Saturday, July 26, 2008

Mampukah Meretas Jalan Sendiri?

Kerap dikatakan bahwa untuk keluar dari keterperangkapan kita pada globalisasi, kapitalisme, dan neoliberalisme, kita perlu meretas jalan alternatif. Jalan, yang bukan sekedar meniru resep atau mengadopsi kebijakan negara lain. Namun, adakah sebenarnya jalan sendiri itu? Atau memang benar apa yang diistilahkan Francis Fukuyama, End of History, kapitalisme adalah ideologi terakhir bagi manusia. Sebagaimana juga yang dikatakan Margaret Thatcher tentang neoliberalisme, bahwa T.I.N.A (There Is No Alternatives). Kita menghadapi jalan buntu.

Kekuatan pasar memang seolah tidak mengijinkan jalan keluar. Theodor Adorno dan Max Horkheimer, tokoh sentral The Frankfurt School, dalam bukunya Dialectic of The Enlightment berupaya mengkritik keras kapitalisme yang dikatakan predatoris dan banyak memakan korban. Mereka, yang juga dikenal sebagai kaum Kiri Baru (New Left) mencoba mencari jalan alternatif dari kekuatan tersebut. Tapi, mereka seolah mengalami jalan buntu (aphoria). Kenyataannya adalah bahwa kapitalisme telah melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan zaman, sehingga menjadi sistem yang paling masuk akal saat ini. Kekuatan arus bawah (unterbau) yang dulu dikumandangkan Karl Marx sebagai penyeimbang kekuatan suprastruktur (uberbau), telah menyesuaikan diri dalam arus kapitalisme. Fenomena inilah yang membuat Adorno dan Horkheimer putus asa dan pesimis. Kebanyakan masyarakatpun mulai mengamini pemikiran bahwa ideologi lain sudah tak perlu diperjuangkan lagi. Kapitalisme telah membuktikan keberhasilan dan terbukti membawa kemakmuran bagi umat manusia. Bahwasanya terjadi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, bukan kegagalan kapitalisme, namun lebih kepada disfungsional dari sistem.

Kebijakan Menendang Tangga
Bagi kita yang mempelajari ekonomi dan sejarah tentu ingat dengan Alexander Hamilton, Menteri Keuangan pertama Amerika Serikat, yang mencetuskan ide awal “industri proteksi”. Ia menolak petuah Adam Smith tentang perdagangan bebas. Menurut Hamilton, perdagangan bebas tidak akan membawa kebaikan bagi negara berkembang seperti Amerika Serikat pada masa itu. Friedrich List, di tahun 1841, kemudian menuangkan diagnosis masyhur tentang strategi “menendang tangga” (kicking away the ladder) yang dilakukan Amerika Serikat dan Inggris. Ia menulis, “adalah siasat yang sangat umum dipakai, ketika seseorang telah mencapai puncak kejayaan, ia tendang tangga yang ia pakai untuk memanjat. Ia lenyapkan tangga itu agar pihak lain tidak bisa mengejarnya. Lalu ia berkhotbah kepada bangsa-bangsa lain tentang keuntungan perdagangan bebas, sambil berpura-pura menyesal bahwa selama ini telah menempuh jalan yang salah”. Tampak jelas di sini, doktrin perdagangan bebas, yang dianggap berstatus ilmiah sebagai dalil sejarah, bukannya tidak melibatkan strategi Negara-negara adidaya yang “menendang tangga”.

Doktin itulah yang ditanamkan oleh negara maju ke negara berkembang. Kita dihadapkan pada sebuah realita bahwa kekuatan pasar jangan dilawan. Dalam rangka menanggulangi krisis ekonomi yang dialami oleh beberapa negara kita mengenal paket kebijakan Konsensus Washington. Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural di negara yang terkena krisis meliputi : (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN. Langkah itu ditempuh dan terbukti secara perlahan membawa beberapa negara keluar dari krisis.

Kekuatan Pasar atas ekonomi
Bukti lain kuatnya kapitalisme dan neoliberalisme terlihat dari kekuatan sektor finansial atas sektor lainnya. Krisis subprime mortgage dan meningkatnya harga komoditas telah mengguncang pasar keuangan di berbagai negara. Bagi negara emerging market, dampaknya beragam. Namun upaya untuk tetap menjaga kredibilitas dan kepercayaan pasar adalah kredo yang dipegang oleh para pengambil kebijakan. Kebijakan yang kurang tepat, seketika akan dihukum oleh pasar. Akhirnya, langkah yang bersahabat dengan pasar akan menjadi pilihan bagi para pengambil kebijakan. Ada tiga hal yang menunjukkan kuatnya tekanan pasar atas ekonomi negara berkembang. Pertama, saat krisis melanda

Menerobos Jalan Buntu?
Dengan kungkungan dan kekuatan dari Globalisasi dan paham neoliberalisme tersebut, sulit rasanya menemukan jalan alternatif. Kita telah digiring ke dalam paradigma dan keyakinan bahwa inilah jalan terbaik yang ada saat ini. Rute dan pilihan kebijakan yang ditempuh otoritas sekalipun, tak terlepas dari jalur mainstream. Semenjak krisis, kita semakin melihat betapa institusi publik menerapkan resep dan jalan sebagaimana yang diresepkan oleh negara-negara adidaya. Upaya menjaga kepentingan pasar menjadi syarat dalam kebijakan apapun yang diambil. Di sini, kita tidak melihat adanya jalan alternatif? Kita, seperti Adorno dan Horkheimer, menghadapi jalan buntu.

Lantas, haruskah kita berhenti? Tentu langkah kompromi perlu ditempuh. Semangat yang digaungkan Habermas melalu dikursi dan komunikasi. Ujungnya, tak semata pemerintah dan otoritas yang memiliki. Keberanian dari masyarkaat akar rumput untuk mencari jalan alternative ini menjadi penting. Kekuatan masyarkaat amadani, kekuatan UMKM, kepedulian masyarkata, kaum ibu, professional kantoran, mereka adalah sebuah kekuatan besar untuk mengatasi jeratan neoliberalisma. Dengan dan atau tanpa restu pemerintah, mereka adalah jalan alternatif. Sebagaimana seorang pengembara dalam sebuah sajakn Robert Frost, The Road Not Taken, tiba di ujung jalan yang kebetulan bercabang dua.Dia memilih satu jalan dengan pertimbangan bahwa dengan berjalan hidupnya akan lebih bermakna daripada kalau dia diam.

1 comment:

Anonymous said...

junanto-herdiawan.blogspot.com is very informative. The article is very professionally written. I enjoy reading junanto-herdiawan.blogspot.com every day.
no fax loans
payday loan