Thursday, April 16, 2009

Rupiah dan Rapuhnya Sayap Kupu-Kupu

Rupiah yang makin menguat dalam dua pekan terakhir ini menimbulkan H2C (Harap Harap Cemas) dari para pelaku pasar. Di satu sisi, penguatan Rupiah ditanggapi positif karena menunjukkan kepercayaan pasar yang membaik. Namun di sisi lain, banyak pihak yang khawatir apabila penguatan tersebut terjadi terlalu cepat. Risiko yang mungkin terjadi adalah pembalikan arah dan dampak negatifnya ke ekspor Indonesia.

Lantas, sampai kapan Rupiah akan terus menguat? Dan apakah penguatan itu perlu dihambat? Pertanyaan ini tentu masih memburu jawaban.

Sejak pekan lalu Rupiah berlari kencang, menguat lebih dari 5% dalam sepekan, dari Rp11.380 per dollar AS menuju Rp10.750 per dollar AS pada akhir pekan ini (16/4). Rupiah bahkan mencatat sebagai mata uang terbaik di wilayah regional, atau yang paling menguat dibanding mata uang lain. Kecepatan penguatan itu dipicu oleh perkembangan sentimen yang membaik, di pasar global maupun domestik. Di pasar global, rencana stimulus fiskal pemerintah China, dan perbaikan ekonomi di Jepang, telah memicu sentimen positif di pasar regional.

Di dalam negeri, pelaksanaan pemilu yang damai telah meningkatkan selera risiko (risk appetite) para pelaku pasar terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Saat ini, Indonesia dianggap sebagai negara yang “paling menarik” di Asia Tenggara, baik di sisi ekonomi maupun politik. Kalau dibandingkan dengan Singapura yang mencatat prospek pertumbuhan negatif hingga 9%, atau Thailand yang masih dilanda ketidakpastian politik, Indonesia memang terlihat lebih “sexy”. Rupiahpun diburu oleh para pemilik modal.

Rendahnya imbal hasil surat-surat berharga di negara maju, maupun di negara tetangga, telah mendorong investor membeli surat-surat berharga rupiah. Akibatnya, dana asing berebut untuk berpindah ke Indonesia. Dalam dua pekan ini, pelaku asing mencatat inflow di seluruh instrumen rupiah, baik itu SBI, SUN, ataupun Saham. Tengoklah kondisi pasar obligasi yang ikut membaik dan stabil dibandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya. Turunnya BI Rate sebesar 25 bps pada bulan ini juga turut mendorong membaiknya pasar SUN.

Di pasar saham, dana asing yang masuk senilai lebih dari Rp 140 milyar telah membantu menstabilkan likuiditas di pasar saham. Di pasar valas sendiri, saat ini terjadi kelebihan pasokan valas seiring dengan masuknya dana asing ke Indonesia. Rupiah, dengan sendirinya, terus menguat.

Bagi penganut aliran sentimental, yaitu mereka yang percaya pada kekuatan sentimen, berbagai perkembangan tersebut tentu menggembirakan. Dalam hitungan singkat, rupiah seperti mendapatkan “berkah” dari berbagai perkembangan situasi. Namun bagi penganut aliran fundamental, yaitu mereka yang percaya pada kekuatan struktur fundamental ekonomi, penguatan yang cepat seperti ini perlu diwaspadai. Hal ini karena penguatan Rupisah saat ini masih didorong oleh masalah sentimen, atau belum menyentuh pada perbaikan fundamental. Secara fundamental, belum ada perbaikan berarti pada ekonomi Indonesia. Prospek ekonomi ke depan juga masih akan melambat. Perekonomian Indonesia juga diproyeksikan akan mengalami penurunan pertumbuhan. Oleh karenanya, penguatan rupiah saat ini perlu diwaspadai dan dicermati secara hati-hati.

Faktor Sentimen ini ibarat rasa benci dan rindu. Bisa sewaktu waktu muncul cinta, terutama kalau perasaan sedang senang. Tapi, bisa juga sewaktu-waktu muncul benci. Apalagi kalau mendengar isu-isu buruk. Begitu sentimen memburuk, benci datang tiada ampun. Rupiah bisa melemah lagi sewaktu-waktu.

Untuk perekonomian yang terintegrasi dengan dunia global seperti saat ini, mustahil memang menghilangkan masalah sentimen. Oleh karenanya, selain memperbaiki fundamental ekonomi kita secara riil, faktor sentimen juga perlu dijaga dan dicermati.

Jadi, pertanyaannya tentu bukan apakah penguatan Rupiah ini perlu dihambat atau tidak, namun bagaimana agar penguatan ini bisa memberi manfaat dan kesinambungan bagi ekonomi.

Di sinilah pentingnya kita untuk terus menjaga momentum yang sedang baik saat ini. Sentimen positif harus dijaga dan dikawal terus. Apabila Indonesia bisa terus mempertahankan stabilitas ekonomi dan politik, maka kurs rupiah akan terus menguat hingga akhir tahun. Ekonomipun akan stabil. Namun, apabila proses politik yang terjadi saat ini menimbulkan gejolak, bukan mustahil kepercayaan akan luntur kembali. Dan seperti biasa, rakyat akan jadi korbannya.

Berbagai hal inilah yang kiranya perlu dipikirkan oleh para petinggi parpol, maupun calon presiden, agar dalam menjalankan hasrat politiknya tetap juga mampu menjaga kestabilan. Tanpa kestabilan politik, ekonomi Indonesia masih serapuh sayap kupu-kupu.

2 comments:

Anonymous said...

saya salah satu penikmat tulisan-tulisan mas jun. saya kebetulan sedang belajar secara otodidak tentang pasar uang, kalau gak keberatan mas jun bersedia jadi mentornya. :) kalau boleh berkirim email kealamat mana ya?

salam

riza

Junanto Herdiawan said...

mas riza, tks ya. tapi ilmu saya masih pas-pas-an. Nanti kita saling share aja. Silakan imel2an, saya di: junantoherdiawan@gmail.com. Tks ya.