Sunday, November 16, 2008

Serigala Spekulan Valas

Manusia adalah serigala bagi sesamanya” (Thomas Hobbes, Leviathan : 1651)

Pasar valas adalah ruang bebas bagi para spekulan valas. Keuntungan yang berlipat dalam waktu singkat telah menggiurkan liur para serigala untuk beramai-ramai berspekulasi di pasar valas. Mereka bermain dengan memanfaatkan momentum krisis global. Hal yang menarik, perilaku itu tak melanggar Undang-undang. Hanya hukum moral yang kerap dipertanyakan, selebihnya adalah konsekuensi dari pasar bebas. Kebebasan itu, menurut Hobbes, membawa naluri manusia sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)dapat tumbuh dan melahirkan perang semua melawan semua.

Kekhawatiran yang diposting dalam diskusi di blog Kompasiana beberapa waktu lalu, terbukti sudah (lihat : Andai Rupiah menembus Rp10.000/USD). Rupiah akhirnya menembus Rp 10.000 perdollar AS, bahkan pekan lalu sempat diperdagangkan pada level Rp 12.000 per dollar AS. Volume perdagangan di pasar valas kita yang tipis memang menjadikan Rupiah rentan. Krisis global telah mendorong para investor global untuk memindahkan portfolio mereka dari Indonesia (flight to quality). Hal ini memicu capital outflow yang tak terbendung, terutama di SBI dan SUN. Rupiah melemah lebih dari 15% dalam satu bulan terakhir. Faktor fundamental perekonomian Indonesia yang relatif kuat, imbal hasil rupiah yang masih tinggi, seolah tak mampu menahan aliran modal keluar. Di tengah tekanan yang dahsyat seperti itu, indikasi terakhir menunjukkan bahwa beberapa pihak mencoba untuk mengeruk keuntungan. Mereka memborong valas tanpa alasan dalam jumlah besar yang pada gilirannya memberi tekanan berlebihan pada rupiah. Rupiah yang terpuruk makin terpuruk.

Melihat kondisi yang terjadi belakangan ini, rasanya sulit mengharapkan Rupiah kembali ke level Rp 9500 per dollar AS. Kita seolah menyaksikan teatrikal geliat rupiah yang fluktuatif dan mencoba menemukan keseimbangan barunya. Pelemahan rupiah ini sungguh mencemaskan. Melemahnya rupiah akan berdampak pada kenaikan harga-harga (harga barang impor menjadi mahal). Dunia usaha yang tergantung pada bahan baku impor, akan mengalami kesulitan. Dan sebaran efeknya tentu akan mempersulit kehidupan perekonomian negeri. Hal ini pernah kita alami pada tahun 1998 dan 2005, saat rupiah juga menembus Rp10.000 per dollar AS. Meski di satu sisi pelemahan rupiah menguntungkan eksportir, melemahnya ekonomi dunia saat ini menyebabkan ekspor juga akan melambat. Akibatnya, pelemahan rupiah yang fluktuatif lebih banyak menimbulkan kesulitan bagi perbankan dan perekonomian secara keseluruhan.

Sistem devisa bebas yang dianut oleh Indonesia memang membebaskan setiap penduduk dalam memiliki dan menggunakan devisa. Kebebasan ini tentu menyimpan risiko. Apabila andaian antropologis terhadap manusia adalah seperti yang diungkapkan oleh Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya, maka kebebasan mengandung risiko. Rupiah yang bergejolak dan melemah secara inheren akan didomplengi oleh perilaku para spekulan yang mengeruk keuntungan. Tak ada aturan untuk mencegah aksi mereka. Di Malaysia dan Thailand kebijakan kontrol devisa atau kontrol kapital (capital control) diterapkan untuk membungkam para spekulan.

Indonesia tentu berbeda. Undang-undang kita masih memberikan kebebasan setiap individu atau badan usaha untuk memperoleh dan menggunakan valas. Saat ini sistem itu dirasakan masih cocok oleh Indonesia. Namun, kebebasan tetap harus diberi rambu. Bebas bukan berarti bebas tanpa batas semau-maunya. Inilah esensi kebebasan yang paling hakiki. Tata cara pemilikan valas perlu diatur. Kebijakan untuk mengatur pembelian valas (bukan melarang) lebih dari USD100.000 per bulan bagi nasabah individu atau badan usaha, adalah sebuah langkah yang berani di tengah suasana seperti ini. Bagaimana efektivitasnya? Tentu masih harus kita lihat di waktu waktu ke depan. Namun kita memiliki harap, jangan sampai pelemahan rupiah yang disebabkan oleh faktor global juga dimanfaatkan oleh segelintir serigala yang mencari keuntungan.

No comments: