Thursday, August 13, 2009

Sandal Jepit dan Ekonomi Indonesia

(Diposting juga di Kompasiana)

Gedung pencakar langit di ibukota tak selalu berarti kementerengan. Di balik ruangan dingin ber-AC, wallpaper nan indah, sampai penampilan para pekerja yang mentereng, selalu ada hakikat asali dari diri kita. Setidaknya itulah yang terjadi di kantor saya. Saat hari beranjak siang di kantor, pemandangan para pekerja yang tampil mentereng, perlahan mulai berubah.
Sebut saja namanya Dewi. Ia rekan kerja saya yang cantik dan manis. Penampilannya tipe wanita karir. Baju bermerek, busana stylish, parfum semerbak, dan sepatu berhak tinggi mengkilat. Ia lulusan S-2 dari universitas ranking teratas di Amerika. Pengetahuannya jangan diragukan. Pengalaman dan pergaulannya luas.

Tapi, saat bekerja di kantor, Dewi selalu menggunakan sandal jepit. Sambil bersandal jepit, Dewi bekerja, menerima telpon, dan melakukan analisis pasar dengan tajam. Di sekitar Dewi, banyak para pekerja kantor yang secara diam-diam atau terang-terangan, juga memakai sandal jepit. Sepatu berhak tinggi dan mengkilat diparkir di bawah meja. Saya sendiri selalu menggunakan sandal jepit. Baik untuk sholat ataupun untuk bekerja, sandal jepit memang nyaman. Kalau mau jujur, lihatlah di kolong-kolong meja para eksekutif di kantor mewah. Hampir dipastikan kita menemukan sandal jepit.

Sandal jepit, selain memberi kenyamanan adalah juga sebuah kejujuran. Sandal jepit adalah sebuah nilai tradisional yang dimiliki bangsa kita untuk berontak terhadap hegemoni sepatu. Sandal jepit merupakan makna “Ada” bagi kita. Eksistensi kita tercermin dari kenyamanan kita dengan sandal jepit. Memakai sandal jepit, berarti juga mengakui hakikat bangsa ini yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa agraris dan maritim.

Sejak dahulu, nenek moyang kita tidak pernah memakai sepatu. Mereka ke sawah ataupun melaut, tanpa beralas kaki (nyeker). Sepatu masuk ke negeri ini dibawa oleh para penjajah Belanda. Sepatu modern baru ditemukan di wilayah Eropa pada tahun 1800-an. Sejak saat itu, para petinggi pribumi mulai mengenal sepatu. Tapi rakyat kebanyakan, masih nyeker.
Sebagai penganut chaos theory, ataupun web of life dari Fritjof Chapra, saya kerap mengaitkan berbagai fenomena menarik pada kondisi ekonomi bangsa. Dari sandal jepit saya berpikir, di balik kemajuan dan kemewahan mall-mall, di balik kata pembangunan gedung mewah dan teknologi, sesungguhnya kita ini bangsa yang rindu pada kekuatan asali bangsa, yaitu bangsa agraris dan maritim.



Kalau kita lihat kekuatan ekspor bangsa Indonesia, hampir didominasi oleh ekspor komoditas alam dan hasil bumi. Dalam beberapa triwulan ini, ekspor CPO dan batubara tumbuh meningkat seiring dengan membaiknya permintaan internasional (Grafik). Dulu, ekspor beras, karet, dan minyak bumi, menjadi kekuatan bangsa ini. Berbeda dengan Korea Selatan atau Jepang, yang kekuatan ekspor negaranya terletak pada industri semikonduktor, otomotif, dan produk komunikasi, bangsa kita masih tradisional dan “hanya” mengekspor hasil bumi. Meski kelihatan tradisional, tapi itulah hakikat dan jati diri bangsa ini. Upaya mengingkarinya sama dengan memakai sepatu mengkilat dan berhak tinggi. Hanya terlihat mentereng, tapi hati kecil berontak dan mencari kembali sandal jepit.

Oleh karenanya, upaya penguatan industri, jatah anggaran pemulihan ekonomi, kiranya perlu fokus pada industri yang menjadi kekuatan bangsa ini, seperti pertanian, pertambangan, dan maritim. Sektor kelautan adalah sektor yang kerap terpinggirkan, meski bangsa Indonesia adalah bangsa maritim dengan mottonya yang terkenal dulu “Di Laut Kita Jaya”. Namun kini, sektor itu belum jadi “jagoan”. Coba tengok keberpihakan pemerintah pada pengembangan sektor kelautan yang masih minim. Fokus industri maritim masih belum optimal. Selain itu, rencana anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan 2010 juga turun menjadi Rp 3,1 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 3,4 triliun.

Seperti sandal jepit, mungkin kini saatnya kita jujur pada diri kita. Bahwa kita ini pada hakikatnya adalah bangsa petani dan nelayan. Basis industri kita adalah usaha kerakyatan atau usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kita bukan bangsa yang sophisticated dengan hiruk pikuk pasar keuangan dan tekhnologi, semikonduktor, otomotif, dan perangkat komunikasi. Kita adalah bangsa petani dan nelayan. Upaya mensofistikasi industri dan tekhnologi, ada baiknya diarahkan pada industri pertanian, pertambangan, dan kelautan. Thailand tidak malu dengan hakikat diri tersebut, dan telah membuktikan bahwa bangsa petani dan umkm juga bisa berkiprah di dunia internasional.

Dari sandal jepit di kantor, kita memahami arti “Ada”. Dengan demikian, kita tak perlu lagi bingung untuk memulai dari mana membangun basis kekuatan ekonomi kita. Salam.

2 comments:

ekonomi indonesia said...

wow,,great comparison..
yup..setuju sekali,kalau bangs ini walaupun sudah terkontaminasi hal2 baru masih tetap mempertahankan nilai2 tradisional kita. dan bagaimanapun, beberapa hal sebagai negara dengan sumber daya alam yang besar, tentu saja kita masih mengedepankan perekonomian tradisional yang terdiri dari pertanian, perikanan dan pertambangan.
salam kenal..
oia,mungkin juragan mau berkunjung sebentar ke http://vibiznews.com hanya untuk sekedar mampir.terimakasih...

Junanto Herdiawan said...

Terima kasih atas pandangan dan komentarnya. Blog yang menarik juga, tks sudah mengundang ke sana. Salam.