Thursday, August 13, 2009

Pahlawan yang Takut Pulang ke Negerinya Sendiri

(Diposting juga di Kompasiana)

Dalam perjalanan pulang dari Korea Selatan beberapa waktu lalu, saya duduk bersebelahan dengan seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bernama Herry. Ia telah bekerja di Korea Selatan lebih dari tiga tahun, tepatnya di wilayah Chungduk, pada sebuah pabrik bahan kimia. Di pabrik itu, bekerja lebih dari 100 orang Indonesia. Selama bekerja, mereka diperlakukan secara baik, hidup terjamin, dan penghasilannya bisa dikirimkan secara rutin ke kampung halamannya.

Setelah bekerja 3 tahun, Herry ingin pulang ke kampungnya di Cimahi untuk mengurus beberapa dokumen. Sepanjang jalan, ia minta bantuan saya agar bisa turun bersama di terminal penumpang biasa. Ia minta saya untuk mengajaknya sebagai kawan dalam rombongan. Ketika saya tanyakan kenapa, ia hanya berkata takut untuk turun di Terminal khusus TKI. Ia khawatir mendapat perlakuan seperti teman-temannya, yang sampai harus keluar uang banyak sebelum sampai ke kampungnya. Birokrasi dan transportasi di luar bandar membuatnya takut. Entah benar atau tidak, tapi saya menangkap ketakutan di wajahnya. Padahal dalam pikiran saya, terminal khusus TKI seharusnya mempermudah para TKI ini. Saya mencoba meyakinkannya, tapi ia tak yakin juga. Mungkin karena saya sendiri juga tidak yakin.

Turun dari pesawat, saya melihat spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Pahlawan Devisa”. Sebuah slogan yang sangat menyejukkan hati. Tentu saja hati saya, bukan hati mas Herry. Baginya, slogan tak ada arti tanpa aksi. Karena ia tetap ketakutan.

Mudah-mudahan apa yang ditakutkan Herry hanya sebuah ketakutan belaka. Sebab nasib seperti Herry ini sungguh memiriskan. Mereka yang bekerja dan menopang kekuatan ekonomi negeri ini, harus mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Belum lagi nasib TKI kita di negeri lain yang harus mengalami siksaan dan cobaan hidup. Kebanggaan dan harga diri mereka sebagai TKI kurang dihargai.



Seminggu sebelumnya, saya terlibat diskusi hangat bersama rekan dari Bangko Sentral Ng Pilipinas (Bank Sentral Filipina). Kami bertukar cerita mengenai kondisi ekonomi, secara khusus tentang ketahanan eksternal perekonomian. Di Filipina, pendapatan dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri (TKI) menjadi salah satu pilar terbesar yang menopang kekuatan ekonomi. Dalam setahun, pendapatan remitansi mereka mencapai hampir 17 miliar dollar AS. Mereka juga dengan bangga menyebutkan negara mereka berbasis pada “Overseas Workers Remittances”. Kalau melihat website Bank sentralnya, data Remitansi menjadi bagian dari pilar Neraca Pembayarannya. Di sisi lain, Tenaga Kerja mereka juga memiliki kebanggaan dan dihargai di negerinya sendiri.

Saat krisis melanda tahun 2008 lalu, hal yang paling menggalaukan kita adalah meningkatnya risiko Indonesia. Salah satu indikator yang digunakan adalah Currency Default Swap (CDS). Ini adalah peringkat risiko yang menunjukkan kerentanan suatu negara dalam memenuhi kewajibannya, khususnya kewajiban Luar Negeri. Hal yang memprihatinkan adalah, Filipina dianggap lebih baik dari Indonesia. Mereka memiliki level CDS yang lebih rendah. Bila CDS Indonesia saat krisis sempat mencapai hampir 800 bps, maka Filipina hanya berada di level lebih rendah dari 350 bps. Artinya, risiko “default” negeri kita, jauh lebih besar dari Filipina.

Satu hal yang membuat Filipina lebih kokoh adalah pemasukan devisa yang pasti dari pekerja mereka di luar negeri, yaitu sebesar 17 miliar dollar AS. Pendapatan ini tidak terganggu oleh krisis karena mereka bekerja di bidang-bidang tugas yang tidak terkena dampak krisis, seperti kesehatan dll. Sebaran pekerja mereka di luar negeri pun tidak hanya terkonsentrasi di AS saja.
Sementara di Indonesia, penghasilan dari TKI yang tercatat di Neraca pembayaran kita “hanya” sekitar 6-7 milliar dollar AS. Belum banyak memang.


Tentu banyak perbedaan antara TKI Indonesia dan Filipina. Kompetensi mereka, kemampuan berbahasa dan skill, yang semuanya terkait dengan keseriusan, keteguhan Pemerintah, dan paradigma kita dalam menjadikan TKI sebagai sumber devisa. Hal ini butuh lebih dari sekedar slogan. Selain itu, harga diri dan kebanggaan mereka sebagai TKI perlu diangkat. Dan pada ujungnya, kesiapan kita untuk “legowo” dan bangga sebagai bangsa TKI perlu ada. Karena mereka memang adalah, pahlawan devisa.

Salam

No comments: