Sunday, April 18, 2010

Suster Pahlawan di Jepang

Dibandingkan dengan Filipina, kemampuan bangsa kita dalam menghargai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih jauh dari optimal. Padahal para TKI adalah pahlawan devisa dalam arti sebenarnya. Kalau kita melihat struktur Neraca Pembayaran Indonesia, akan terlihat bahwa penghasilan TKI adalah salah satu elemen pemasukan yang berpotensi besar mendukung ketahanan ekonomi kita. Kalau diperbandingkan, Tenaga Kerja Filipina mampu menyumbang devisa sebesar hampir 20 milyar dollar AS dalam setahun. Sementara di Indonesia, sumbangan TKI belum sampai 7 milyar dollar AS. Oleh karena itu, upaya menghargai peranan para TKI di luar negeri dan meningkatkan kompetensi mereka adalah juga prasyarat kestabilan makroekonomi Indonesia.

Di Jepang, langkah KBRI Tokyo patut dikagumi. Pekan lalu saya diajak oleh KBRI untuk mendatangi pusat pelatihan para perawat dari Indonesia yang akan dipekerjakan di seluruh Jepang. Pusat pelatihan itu terletak di kota Hakone, perfektur Kanagawa, atau sekitar 2 jam perjalanan dari kota Tokyo. Program pelatihan perawat ini adalah bagian dari kesepakatan EPA (Economic Partnership Agreements) antara pemerintah Jepang dan Indonesia. Ada sekitar 316 perawat dari seluruh Indonesia yang ikut serta dalam pelatihan. Selama 3 bulan di sana, mereka dididik bahasa Jepang, sebelum kemudian disebar untuk bekerja di berbagai Rumah Sakit di Jepang.

Menjadi perawat di luar negeri, apalagi Jepang, tidak mudah. Mereka dituntut memiliki pengalaman yang sarat, plus ketrampilan bahasa tekhnis keperawatan. Oleh karena itu, para perawat dapat dikategorikan sebagai pekerja yang berketrampilan (skilled workers). Perawat ini berbeda dengan pada umumnya TKI Indonesia yang tergolong unskilled workers dan bekerja di sektor rumah tangga. Skilled workers memiliki ketrampilan dan tentu, penghasilan yang lebih tinggi. Hal ini pada ujungnya tentu akan menyumbang devisa yang lebih besar bagi negara.

Kunjungan KBRI ke Hakone selain untuk membantu penyelesaian dokumen-dokumen, juga memberikan mereka informasi tentang perlindungan hukum dan peran KBRI sebagai pengayom para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Sungguh mengagumkan melihat para pejabat KBRI seperti Bp Abas Ridwan, atase bidang ekonomi, dan Bp Amir Radjab, atase bidang konsuler, yang begitu akrab dengan para TKI dan sepenuh hati membantu keperluan mereka. Bahkan tanpa segan-segan, mereka turun tangan berdiskusi, langsung menulis, dan menandatangani paspor para perawat.

Upaya reaching out, keluar, dan membuka diri seperti yang dilakukan KBRI Tokyo itu tentu membawa wajah teduh bagi para perawat. Berbagai upaya ini memang telah dilakukan oleh KBRI Tokyo sejak lama. Bahwa KBRI bukan sebuah tempat angker bagi masyarakat Indonesia, namun juga rumah bersama bagi masyarakat Indonesia yang ada di sana.

Namun langkah KBRI saja tidaklah cukup. Peranan KBRI hanya sebatas dalam menjalankan fungsi diplomatiknya. Di hulu, membangun kompetensi para tenaga kerja juga harus dilakukan. Berbagai langkah, seperti menyaring tenaga kerja yang kompeten dan handal di tanah air, menciptakan tenaga terdidik, hingga masalah perlindungan hukum, membutuhkan sinergi lintas departemen dan juga elemen bangsa lainnya. Dari sisi perbankan, upaya mempermudah aliran pembayaran uang ke tanah air (remitansi) juga sangat dibutuhkan para TKI. Hal ini agar mereka tidak menjadi korban para calo ataupun kejahatan lainnya saat tiba di tanah air.

Berbagai langkah tersebut, apabila diseriusi, bisa jadi sebuah pilar kuat bagi kestabilan makroekonomi Indonesia. Hal itu telah terbukti di Filipina. Saat krisis global 2008 lalu, tingkat penilaian premi risikonya tetap rendah, sementara Indonesia dinilai rawan (angka CDS Indonesia mencapai 1000 – atau risiko tinggi bagi investasi). Para investor menilai risiko Filipina lebih rendah dari Indonesia, karena mereka memiliki keterjaminan aliran dana dari tenaga kerja sebesar 15-20 milyar dollar AS selama setahun.

Tentu, jalan masih panjang untuk membangkitkan peran para pahlawan devisa Indonesia.

Salam.

No comments: