Monday, January 19, 2009

"Banyu Mili" di Warung bu Saleh

Banjir yang melanda Jakarta hari ini meninggalkan cerita menarik tentang Bu Saleh. Ia adalah pemilik warung jajanan dan teh manis di wilayah Sumur Batu, Jakarta Pusat. Bu Saleh bukan tipe pedagang yang mudah menyerah. Meski tak banyak, pelanggannya tetap. Mereka adalah para tukang ojek dan pedagang keliling. Setelah lelah berkeliling, para pedagang itu biasanya istirahat sambil mencicipi pisang goreng dan secangkir teh manis di warungnya. Bukan melulu soal uang, tapi kebersamaan, keakraban, telah menjadi ciri dari warung bu Saleh.

Beberapa dari pelanggan bahkan kerap nge-bon untuk makan di warung bu Saleh. Tapi bu Saleh tak pernah nyinyir dan sedih. Ia percaya bahwa rezeki ada yang mengatur. Kadang dalam suatu waktu, saya “nongkrong” di warung bu Saleh. Sambil menyeruput teh manis, saya bicara dengannya. Pandangannya tentang ekonomi kehidupan ini sederhana saja. Prinsipnya ”banyu mili”. Biar sedikit tapi terus mengalir.

Hujan deras yang melanda pagi tadi merendam sebagian dari Jakarta. Warung bu Salehpun terendam sampai sedengkul orang dewasa. Namun ia tetap tersenyum dan membuka warungnya di atas genangan air. Para pelanggannya pun tetap setia datang minum teh manis sambil mengangkat kaki dan membicarakan banjir. Ketel panas tetap membara menyeduh air panas untuk dibuat teh manis. Pisang goreng tetap tersedia untuk disantap para pelanggan.

Ketika saya tanya soal banyu mili (di atas banyu banjir), bu Saleh hanya tertawa. ”Banyu mili” tetap prinsip hidup saya mas, ujarnya. Filosofinya sederhana katanya. Meski tidak besar, rezeki diyakini akan terus mengalir. ”Mili” dalam bahasa Jawa berarti terus mengalir, walau tidak deras. Seperti sungai kecil, yang kendati sedikit airnya, tak berhenti mengalir. Penghasilan Rp10.000-15.000 per hari menurutnya patut disyukuri. Bukan jumlahnya, tapi pemberian pada hari itulah yang harus disyukuri.

Saya hanya bisa termenung. Pelaku ekonomi seperti bu Saleh inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi kita. Pedagang kecil, pelaku UMKM, petani, dan nelayan, adalah mereka yang menggerakkan ekonomi negeri. Jumlah mereka mencapai lebih dari 90% pelaku ekonomi di Indonesia. Kontribusinya pada PDB juga melebihi 60%. Dan hal terpenting yang mereka miliki, yang jarang dimiliki oleh pengusaha besar/ konglomerat, adalah bahwa mereka tidak cengeng.

Di atas genangan banjir, di bawah tekanan hidup, bu Saleh tak pernah mengeluh. Ia tak meminta fasilitas, ia tak meminta suku bunga turun, ia tak meminta kemudahan kredit, ia tak meminta macam-macam. Menurut Filsuf Friedrich Nietzche, bu Saleh adalah personifikasi mereka yang berani mengatakan ”Ya” pada kehidupan. Merekalah yang seharusnya menjadi perhatian dan keutamaan bagi para pemimpin negeri dalam menjalankan kebijakan ekonominya.

Hari ini, saya belajar dari bu Saleh.

No comments: