Sunday, January 11, 2009

BI Rate 8,75%, Antara Gairah dan Rangsangan

Posted on Kompasiana

PAK Boed hari (7/1/09) ini memutuskan BI Rate turun sebesar 50 basis points (bps) atau 0,5% dari 9,25% menjadi 8,75%. Pasar keuangan, media massa, investor, pengusaha, serta masyarakat umum, hari ini menanti keputusan itu. Wartawan telah memenuhi gedung BI sejak pagi. Penurunan BI Rate itu disambut baik berbagai kalangan dan diharapkan dapat memberi stimulus serta menambah gairah perekonomian nasional yang mulai melesu akibat krisis global.

Tampil lengkap bersama jajaran anggota Dewan Gubernur lainnya, Pak Boed mengatakan bahwa berbagai perkembangan dalam perekonomian di 2009 menghendaki arah kebijakan moneter agar lebih memberikan perhatian pada upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengingat dampak dari krisis global saat ini diperkirakan akan memperlambat ekonomi Indonesia. Tentu saja penurunan BI Rate itu harus tetap memerhatikan laju inflasi dan kestabilan sektor keuangan dalam jangka menengah.

BI Rate adalah instrumen yang digunakan Bank Indonesia sebagai sinyal ke pasar keuangan mengenai kondisi ekonomi, khususnya arah pencapaian inflasi ke depan. Sebagai sinyal, pergerakan BI Rate diharapkan dapat diikuti oleh pergerakan suku bunga di pasar keuangan, dan perbankan khususnya suku bunga kredit. Dengan demikian, dunia usaha akan memiliki ruang gerak dalam mengembangkan usahanya.

Alasan lain diturunkannya BI Rate adalah karena krisis global telah menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri terus menurun. Penurunan inflasi itu muncul sebagai akibat dari berbagai hal antara lain penurunan harga komoditi, pangan dan energi dunia, produksi pangan di dalam negeri yang sangat baik pada 2008, serta perlambatan permintaan agregat. Menurunnya harga-harga tersebut telah ikut menurunkan laju inflasi. Pada bulan Desember 2008 saja kita mencatat deflasi sebesar 0,04%. Secara keseluruhan laju inflasi tahun 2008 tercatat sebesar 11,06%. Dalam tahun 2009 ini, Pak Boed mengatakan bahwa laju inflasi diprakirakan terus menurun menuju kisaran 5%-7%, yang ditunjang oleh berlanjutnya kondisi faktor-faktor pendukung tersebut diatas.

Ketika ditanya tentang prospek ekonomi ke depan, Pak Boed menjelaskan bahwa pada 2009, indikator-indikator awal perekonomian Indonesia menunjukkan perlambatan pertumbuhan. Hal ini terlihat pada beberapa komponen permintaan agregat, khususnya ekspor dan investasi.

Di sisi perbankan, kredit perbankan juga mulai menunjukkan perlambatan dari laju pertumbuhan 37,1% (yoy) pada Oktober 2008, menjadi 30,2% (yoy) berdasarkan data terakhir sementara bulan Desember 2008. Perlambatan kredit perbankan diprakirakan akan berlanjut dalam tahun 2009, dengan laju pertumbuhan kredit diprakirakan berada pada kisaran 18% - 20%. Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi pada 2009 diprakirakan berada pada kisaran 4% - 5%.

Di 2009, industri perbankan dalam negeri diperkirakan akan mengalami dampak dari krisis keuangan global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Namun secara umum, perbankan nasional masih tetap memiliki daya tahan yang cukup baik. Hal itu tercermin dari indikator utama perbankan CAR dan NPL. Rasio kecukupan modal (CAR) masih tetap tinggi meskipun sedikit menurun menjadi 14,3%. Sedangkan Non Performing Loan (NPL), yang merupakan indikasi dari pinjaman yang tidak lancar, berada di sekitar 5%.

Junanto Herdiawan, blogger melaporkan dari konferensi pers BI Rate

No comments: