Friday, September 04, 2009

Ada Duri di Balik Century

If you borrow 100 dollar, you are at the mercy of the bank
But if you borrow 1 million dollar, the bank is at your mercy ….

Metafor di atas menunjukkan bahwa perbankan adalah bisnis yang penuh komplikasi. Masalah yang dihadapi bukan melulu soal tekhnis keuangan, tapi juga soal kepercayaan dan psikologi publik. Istilah “risiko sistemik” pada perbankan misalnya, kerap terjalin kusut dengan salah kaprah. Adakah sebenarnya risiko sistemik itu? Atau itu hanya istilah semantik yang digunakan politisi dalam menutupi kepentingannya?

Kasus bailout lembaga keuangan di Amerika Serikat dan Eropa, atau sejarah krisis sepanjang zaman, menunjukkan bahwa “risiko sistemik” adalah hal yang inheren dalam dunia keuangan. Itu adalah sebuah risiko akan terjadinya instabilitas di pasar keuangan yang dapat merambat ke sektor riil. Saat krisis terjadi, kepercayaan masyarakat runtuh. Saat itu, umumnya Pemerintah turun tangan mem-bail out sistem keuangan, meski misalnya, kesalahan seperti penerbitan subprime mortgage, dilakukan oleh para pemilik bank.
Kegalauan itu pula yang mengemuka dalam kasus penyelamatan Bank Century. Kita perlu membedakan antara penyelamatan Century karena risiko sistemik dengan kejahatan perbankan yang dilakukan pemilik bank. Sayangnya, isu politis telah bercampur baur dengan isu tekhnis.

Permasalahan penyelamatan bank, kejahatan perbankan, kebijakan pengawasan, hingga langkah penyelesaian, simpang siur dalam wacana publik.

Mengapa Bank Century Diselamatkan?

Banyak pendapat mengatakan bahwa Bank Century adalah bank kecil. Penutupannya dinilai lebih baik daripada penyelamatannya. Lantas, mengapa pada saat itu (akhir 2008) Bank Century tidak ditutup saja?

Sebelum menjawab hal itu, ada baiknya kita melihat pada kontekstualisasi saat peristiwa itu terjadi. Terlepas dari permasalahan yang terjadi di Bank Century, pada akhir 2008, Indonesia sedang terkena imbas krisis global yang luar biasa dahsyatnya. Saat itu, Bank Century menghadapi “sakratul maut”. Pilihannya adalah menutup bank itu atau menyelamatkannya.

Apabila melihat pada dampaknya di sektor riil dan jumlah nasabahnya, Bank Century sebenarnya termasuk ke dalam low impact bank. Jumlah nasabahnya pun hanya 65.000 orang. Artinya, apabila ada permasalahan, menutup bank ini memiliki dampak kecil ke sektor riil dan nasabah.

Namun hal itu hanyalah satu parameter dalam mempertimbangkan penutupan suatu bank. Beberapa parameter lain perlu menjadi pertimbangan, khususnya apabila melihat apakah penutupan bank itu membawa “risiko sistemik”.

Parameter pertama adalah melihat bagaimana dampak penutupan Bank Century pada bank lain. Dilihat dari parameter itu, Bank Indonesia memandang imbasnya sangat besar. Data pada waktu itu menunjukkan bahwa ada beberapa bank yang memiliki eksposur besar di Bank Century. Artinya, dana bank-bank tersebut akan “nyangkut” di Bank Century melalui fasilitas Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Beberapa bank akan mengalami masalah likuiditas. Akibatnya, rasio kecukupan modalnya (CAR) akan anjlok. Kalau CAR suatu bank anjlok, bank tersebut langsung masuk ICU, atau pengawasan khusus BI. Masalah tidak berhenti di situ, karena efeknya akan berantai ke bank-bank lainnya.

Parameter lain yang menjadikan Bank Century sistemik pada waktu itu, adalah imbasnya ke pasar modal, baik pada saham maupun obligasi. Belum lagi menghitung imbasnya pada sistem pembayaran antar bank, dan ditambah “trauma” masyarakat apabila mendengar sebuah bank “ditutup”.

Kondisi ekonomi saat itu sungguh berada dalam posisi clear and present danger. Bangkrutnya Lehman Brothers dan ditutupnya lebih dari 50 bank di Amerika, belum termasuk di Eropa, telah menimbulkan “kengerian” yang luar biasa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sistem keuangan Indonesia saat itu mengalami tekanan hebat. Kepercayaan publik terhadap perbankan merosot drastis. Hal itu dapat dilihat pada dana perbankan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang biasanya mencapai Rp 200 triliun, tiba-tiba menyusut hingga “hanya” Rp 89 triliun. Itu artinya, masyarakat beramai-ramai menarik dananya dari perbankan dalam jumlah besar. Untuk menutupi kebutuhan itu, perbankan mencairkan dana mereka di SBI.

Indikator kepanikan masyarakat juga dilihat dari anjloknya dana deposito masyarakat di bank. Menyikapi penarikan ini, bank melakukan perang suku bunga, guna menghindari penarikan lebih lanjut. Di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), bank-bank besar mulai menahan dana dan enggan saling meminjamkan pada bank yang membutuhkan. Akibatnya, bank kecil dan menengah mengalami kesulitan likuiditas.

Kondisi pasar uang saat itu, sungguh amat tegang.

Di sisi lain, ada indikator risiko gagal kredit yang dinamakan CDS (Credit Default Swap). Ini adalah indikator yang berlaku internasional untuk melihat risiko kegagalan suatu negara dalam membayar kewajibannya. Makin tinggi indeksnya, makin tinggi risikonya. Saat itu, CDS Indonesia melonjak dari angka 200 basis point (bps) menjadi 1400 bps. Risiko gagal Indonesia saat itu sungguh tinggi. Hal ini kemudian diikuti oleh penarikan dana asing yang mencapai sekitar 6 miliar dollar AS. Nilai tukar rupiah pun ikut tertekan. Masyarakat makin resah dan panik. Sebagian menarik simpanannya dan menukar ke dollar.

Penutupan bank, dalam kontekstualisasi keadaan seperti di atas, akan menyebabkan kondisi semakin tidak terkendali. Masyarakat merosot kepercayaannya pada bank. Trauma penutupan 16 bank di tahun 1998 masih jelas membayang dan menjadikan mereka gelisah.

Dari sisi ini, diperlukan sebuah professional judgement, atau executive decision yang berani. Tentu dengan segala risikonya. Bank Century pun diselamatkan.

Duri di balik penyelamatan
Namun di balik aksi penyelamatan itu, ada duri yang harus dipisahkan. Itulah kejahatan perbankan yang dilakukan oleh manajemen Bank Century. Secara diam-diam, manajemen Bank Century melakukan praktik-praktik kejahatan yang amat busuk. Beberapa praktik yang dilakukan antara lain adalah surat berharga senilai 11 juta dollar AS yang tak bisa dicairkan, letter of credit (L/C) fiktif senilai 100 juta dollar AS, pemalsuan bank note senilai 18 juta dollar AS, serta beberapa kredit fiktif lainnya bernilai jutaan dollar AS.

Kejahatan perbankan seperti itu harus ditindak secara tegas. Oleh karena itu, langkah BPK untuk menuntaskan audit investigatif terhadap dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Bank Century, ataupun permasalahan dalam penyimpangan pengucuran dana, perlu dilakukan secara serius.Di sini kita perlu melihat secara proporsional antara penyelamatan, pengawasan, dan kejahatan. Kebijakan penyelamatan, adalah sebuah langkah yang berani dan dinilai tepat untuk menghindari kegagalan lebih besar pada sistem keuangan Indonesia. Namun, apabila dalam pelaksanaan penyelamatan itu terdapat penyimpangan, ataupun kejahatan pada perbankan, maka yang perlu diusut tuntas adalah kejahatannya, dan bukan pada kebijakan penyelamatannya.

Saat puluhan bank ditutup di Amerika Serikat dan Eropa, perbankan di Indonesia justru solid di tengah guncangan krisis. Lebih dari 130 bank di Indonesia kondisinya sehat dan stabil dengan tingkat kesehatan yang baik. Bahwasanya dalam kondisi itu, ada satu atau dua bank yang sakit karena berbagai sebab, tentu memprihatinkan kita. Namun kiranya pandangan proporsional perlu diberikan pula pada berhasilnya pengawasan di 130 bank yang sehat.

Mudah-mudahan kita bisa berpikir jernih dalam melihat kasus Bank Century. Mudah-mudahan kita tidak terseret pada diskusi semantik tentang risiko sistemik, apalagi isu-isu politis yang membelokkan isu sebenarnya.

Salam.

2 comments:

Iklan Gratis said...

kasus Bank Century ini sangat besar menelan biaya...
triliunan uang negara akan lenyap untuk mengganti kerugian Bank tersebut...
apakah ini suatu cermin budaya bangsa?
apakah ini suatu kebiasaan yang akan terus berlanjut?

sungguh sangat sulit untuk mencari para pengelola yang jujur dan bertanggung jawab...
klo sudah begini keadaanaannya, rakyatlah yang menjadi tulang punggung negara unrtuk membayar kerugian Bank tersebut....
uang rakyat yang berasal dari pajak, pasti akan mengalir untuk memulihkan kondisi Bank Century tersebut...
apakah ini layak?
sedangkan rakyat masih belum bisa menikmati kemerdekaan secara seutuhnya...

semoga saja kejadian ini bisa menjadi tolak ukur bangsa kita agar suatu saat kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi...
semoga Bangsa kita terhindar dari para pencuri berdasai...

Maju terus Indonesiaku !!!
Iklan Gratis

Junanto Herdiawan said...

Salam, terima kasih atas pandangan dan komentarnya..