Monday, December 22, 2008

Lia Eden, Indonesia Unggul, dan Utopia


Masuk penjara tak membuat Lia Eden Jera. Keluar dari penjara, ia bahkan tampil semakin berani. Lia memberi ultimatum pada Presiden SBY melalui maklumat Wahyu Tuhan bagi Pemerintah Indonesia. Iapun harus kembali ke penjara. Hal yang menarik adalah, Lia Eden tetap konsisten membawa janji akan “Kerajaan Tuhan” dan perdamaian di muka bumi. Ia mendapat pengikut karena mampu menawarkan sebuah utopia.

Dalam situasi krisis, baik krisis ekonomi hingga krisis kepercayaan diri seperti saat ini, Lia Eden bagaikan sebuah Eden (nirvana) yang memberi seteguk air bagi pengikutnya yang kehausan. Ajaran Lia Eden tentu dianggap sesat. Dan itu menjadi ranah para teolog dan sosiolog. Dalam pandangan politik ekonomi, fenomena Lia Eden merupakan hal yang menarik. Secara lebih besar dan rasional, utopia “Kerajaan Tuhan” sebenarnya juga dipakai oleh para politisi dalam meraih dukungan massa. Dalam jenis dan kadar yang berbeda, para politisi dan calon presiden membawa masyarakat pada sebuah janji utopis tentang masa depan yang lebih baik. Sebuah eden yang menjanjikan. Dan rakyatpun, biasanya, terbuai.

Sepanjang zaman, kemampuan membangun mimpi dan utopia ini selalu dipertahankan. Sistem ekonomi Marxisme dan kapitalisme berkembang sepanjang zaman karena menawarkan mimpi utopis tentang masyarakat yang sejahtera. Sosialisme senantiasa membawa janji kesetaraan dan pemerataan. Kapitalisme menjanjikan kebebasan dan demokrasi. Di bidang politik demikian pula. Ignas Kleden pernah mengatakan bahwa pemimpin bisa bertahan apabila ia mampu menawarkan utopia. Mungkin benar adanya.

Soekarno menawarkan sebuah utopia, yang dapat menggerakan seluruh bangsa dan masyarakat Indonesia, ke arah yang dikehendakinya. Utopia yang ditawarkan adalah pembentukan bangsa yang berkarakter, mendapat pengakuan, bahkan penghormatan dari bangsa lain di dunia. Fokus utamanya adalah pada kebangsaan, dan sepanjang hayat ia bergulat dengan proyek nation building, sebagai sebuah kerja raksasa.

Ketika Soeharto menjadi presiden, ia dan tim ekonominya menawarkan sebuah utopia baru, yaitu pembangunan nasional. Utopia ini berisi banyak janji menarik, antara lain pengentasan kemiskinan, peningkatan taraf hidup, pertumbuhan ekonomi, modernisasi cara hidup, dan demokratisasi sistem politik.

Permasalahannya adalah, utopia tidak pernah memiliki titik masa depan yang jelas. Kapan semua itu akan dicapai tak pernah dibicarakan. Yang muncul adalah janji dan janji terus tanpa henti. Aksi dan aksi tanpa pernah tahu kapan ia bisa mengejawantah di muka bumi. Seiring dengan waktu, masyarakat bisa merasakan, apakah mimpi itu memiliki pencapaian atau tidak di muka bumi. Soekarno terus mengobarkan revolusi hingga revolusi memakan anaknya sendiri. Soeharto menjadi Bapak pembangunan hingga ia menjadi korban dari pembangunannya sendiri. Saat utopia itu semakin sulit diterapkan, rakyat hilang kesabaran.

Habibie dan Gus Dur duduk di tampuk kepemimpinan tanpa membawa utopia. Mereka tak sanggup bertahan lama. Janji utopis ini semacam “sesajen” atau bayaran bagi rakyat Indonesia untuk ganjaran mereka bertahan di tampuk kepemimpinan. Gus Dur memang memiliki over legitimate karena memiliki pengikut setia. Tapi sayang, itu saja belum cukup. Masyarakat Indonesia tak bisa hidup tanpa mimpi utopis yang jelas. Megawati kemudian muncul menjadi presiden. Masyarakat Indonesia berharap ia mampu membangun kembali mimpi utopis sang ayah. Sayang, upaya membangun utopia ini tidak sempat dibangun dan masyarakat terlanjur menemukan figur baru yang dianggap mampu. Dialah SBY.

Pekan lalu, SBY meluncurkan buku Indonesia Unggul. Inilah judul menarik yang digaungkan pada masyarakat Indonesia. Selama kepemimpinannya, SBY mampu hadir membawa utopia. Program-progamnya visioner dan membawa bangsa ini pada sebuah tahapan kesadaran yang mantap. Isu-isu seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kemandirian ekonomi, adalah berbagai masalah yang selama ini membuat kesal dan putus asa bangsa. Dan, SBY mampu hadir menyibak berbagai masalah itu dengan sebuah langkah. Bukunya, Indonesia Unggul, juga berisikan pemikiran-pemikiran yang luar biasa bagus dan visioner. SBY mengingatkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar yang bisa unggul di masa depan. Di sini, SBY memiliki kelebihan dalam merebut hati masyarakat Indonesia.

Utopia memang menjadi rebutan dalam krisis saat ini, apalagi menjelang pemilu 2009. Utopia juga menjadi strategi bagi banyak orang untuk meraih simpati masyarakat. Kalau kita perhatikan iklan kampanye calon presiden, masing-masing ingin membawa kita pada tanah Eden. Bahwa kita akan jaya, akan kembali menjadi macan asia, wong cilik perlu diperhatikan, berjuang untuk rakyat, mengabdi bagi negeri, menghapus korupsi dan lain sebagainya.

Di sini, janji adalah satu sisi. Namun utopia adalah sisi lain. Ia bisa menjadi semacam jebakan. Ia berada dalam lapisan rapuh kepercayaan apabila tak mampu menawarkan titik pencapaian yang kurang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Tanpa adanya titik itu, perlahan pemimpin akan ditinggalkan, seperti para pengikut Lia Eden yang makin hari makin berkurang. Bila itu terjadi, berarti krisis tak memberi kita pelajaran. Atau memang kita memiliki masalah dalam belajar.

No comments: