Monday, December 08, 2008

Twilight, Drakula, dan Ekonomi Politik Jangka Pendek


When you can live forever, what do you live for?”. Kalau anda bisa hidup selamanya, apa yang akan anda lakukan dalam hidup? Di dunia ini mungkin hanya ada dua orang yang ingin hidup seribu tahun lagi. Pertama, Chairil Anwar. Dan kedua, Drakula. Sudah nonton film Twilight? Ya, inilah kisah cinta dua anak remaja dengan latar belakang Drakula modern. Para Twilighters, pecinta novel Twilight karya Stephenie Meyers, menyambut pemutaran film ini dengan antusias. Sejatinya, ini hanya kisah klasik tentang cinta antara dua anak manusia yang berbeda. Bella Swan nan jelita, jatuh cinta pada Edward Cullen yang ternyata adalah keturunan vampir. Kisah ini menarik karena menyajikan vampir modern yang hadir tanpa nuansa horor. Konstelasi kejiwaan vampir diangkat dalam film ini begitu indah. Adegan romantisnya lumayan “picisan”, tapi bikin gregetan. Buat para remaja putri, kisah cinta dengan vampir ganteng ini memang bisa membuat mereka “termehe-mehe”.

Usai menyaksikan film ini, tafsir penontonpun bisa berbeda-beda. Bagi saya, film ini membawa satu pesan moral yang menarik. “When you can live forever, what do you live for?”. Itulah saya pikir kelebihan Drakula dari kebanyakan manusia biasa. Drakula memiliki perspektif jangka panjang dalam memandang masalah dan kehidupan. Karena mereka menyadari bahwa mereka hidup selamanya. Berbeda dengan kebanyakan manusia yang hanya berpikir sesaat dan untuk kepentingan jangka pendek. Edward Cullen dan keluarganya berupaya melindungi Bella dari gangguan vampir jahat. Mereka mementingkan masa depan Bella ketimbang kepentingan jangka pendek mereka, untuk sekedar menghisap darah Bella. Hebat juga. Rupanya Drakula tidak berpikir myopic atau rabun ayam. Mereka justru memandang jauh ke depan.

Di tengah konstelasi krisis ekonomi dan ramai politik saat ini, nampaknya kita perlu belajar dari Drakula. Saya teringat pandangan dari Prof Syafii Maarif yang mengingatkan kita akan bahaya dari kultur politik ”rabun ayam”. Kultur politik ini ditandai dengan visi jangka pendek dan pragmatis para pemain demokrasi. Kita melihat saat ini Indonesia disibukkan dengan politik kekuasaan yang menguras energi bangsa. Sulit rasanya kita membangun bangsa dan pemerintahan yang kokoh selama para pemain demokrasi terpasung kultur ”rabun ayam”. Mereka terpaku dan terpukau kepentingan jangka pendek. Di kalangan intelektual politik, kita melihat godaan politik kekuasaan begitu kuat. Hal ini telah membuat mereka kehilangan kejernihan berpikir dan kemerdekaan dalam menilai. Akibatnya, orang lupa bahwa bangsa ini membutuhkan kelahiran negarawan yang bersedia larut memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa. Kita begitu sibuk dan asyik sekali dengan gelora pemilu 2009 serta kepentingan jangka pendek golongan, bahkan kepentingan diri sendiri.

Dalam pandangan ekonomi, pola pikir myiopic ini juga berbahaya. Adalah John Maynard Keynes yang pernah mengatakan “in the long run we all dead”. Memang demikian. Di masa depan memang kita semua mati. Namun Keynes juga tidak menganjurkan orang untuk hanya memikirkan jangka pendek. Bahwasanya masa depan penuh ketidakpastian, benar adanya. Keputusan preferensi akan likuiditas sangat ditentukan oleh persepsi kita akan masa depan. Namun di sisi lain, Keynes juga pernah menulis essay pendek yang berjudul “The Economic Possibilites for Our Grandchildren”. Ia menulis bagaimana anak cucunya hidup di Inggris setelah krisis dan perang dunia usai. Ia meyakini bahwa di tahun 2030 (tulisan itu dibuat tahun 1931) masa depan anak cucu akan lebih baik. Oleh karenanya, keputusan ekonomi yang dibuat harus bermanfaat bagi masa depan anak cucu.

Dulu, kita pernah bangga punya REPELITA dan konsep Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun. Kita menggaung-gaungkan visi dan lepas landas pembangunan. Kita pernah “merasa” punya masa depan. Kini, PJP memang masih ada. Namun sejauh mana ia tertanam dalam benak kita semua, masih jadi pertanyaan. Saat ini, pikiran kita begitu disibukkan dengan krisis ekonomi dan masalah-masalah mendesak jangka pendek. Persoalan nilai tukar, neraca pembayaran, perbankan, pasar uang, pasar saham, dan melemahnya pertumbuhan ekonomi, menjadi rangkaian masalah yang tak usai. Kita terbawa dalam pusaran demi pusaran langkah menyelesaikan berbagai permasalahan mendesak itu. Tentu tak ada salahnya kita berpikir jangka pendek. Masalah segera memang perlu juga diselesaikan. Hanya saja, jangan sampai semua energi kita terkuras berputar-putar di sana. Kita tetap perlu punya perspektif jangka panjang. Namun, dalam kondisi ekonomi politik saat ini, siapa ya yang memikirkan hal itu? Mungkin kita perlu belajar dan minta bantuan pada Drakula. Salam.

No comments: