Friday, December 05, 2008

BI Rate Sebagai Problem Filsafat

Media massa hari ini menurunkan berita beragam tentang penurunan BI Rate. Para analis pasar juga setangkup. Ada yang menyambut baik, dan ada yang seolah-olah “caught by surprise”. Kemarin, kami sempat menerima beberapa tamu investor dari Inggris. Mereka menyatakan ketertakjubannya dengan penurunan BI Rate. Sebaliknya, Bisnis Indonesia, hari ini menulis headline “Pasar Sambut Positif penurunan BI Rate”. Koran Tempo menulis berita “BI Rate turun, Rupiah Menguat”. Jauh hari sebelum RDG, Ketua Kadin dan Analis dari Indef mengatakan bahwa BI Rate seharusnya turun. Mereka berkata ”Pakai BI Rate untuk stimulus” (Kompas, 27 Nov 2008). Turunnya BI Rate, bukan hanya diharapkan (expected) oleh mereka, bahkan didoakan. Terlepas dari sambur limburnya pendapat, perhatian dunia, masyarakat, media, dan analis, kini tertuju pada sebuah makhluk abstrak bernama “BI Rate”. BI Rate telah memberi “gairah” dalam diskursus wacana di kalangan pelaku pasar.

Mengapa BI Rate menjadi begitu ”sexy”? Di satu sisi, ini adalah buah dari komunikasi Bank Indonesia yang proaktif dan terus menerus sejak tahun 2005. Hasil komunikasi itu telah mengangkat BI Rate menjadi wacana publik. Namun permasalahan muncul, ketika beberapa pihak mulai menggeser pemahaman dan filosofis BI Rate dari khittahnya semula. Hal ini bukan hanya menyesatkan, namun sangat berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Ferdinand de Saussure (1929), seorang filsuf penganut aliran strukturalisme, kira-kira akan menggolongkan BI Rate sebagai sebuah “penanda” atau “signifier” atas sesuatu yang ”ditandakan” atau ”signified”. ”Bahasa adalah perkara bentuk dan bukan substansi”, demikian ungkapan terkenal dari Saussure. BI Rate menjadi sebuah bentuk yang merupakan identitas dari satu metode, atau cara, untuk mencapai sebuah tujuan. Sebenarnya ada kode tersembunyi (hidden code) dan hakikat asali yang ingin dicapai oleh BI Rate. Bila kita membedah lagi BI Rate ke dalam hakikat asalinya, kita seharusnya sampai pada sebuah alasan kenapa BI Rate ada. Hal ini bisa menjadi sebuah kajian ontologis yang lebih mendalam tentang kehidupan publik dan kesejahteraannya. Claude Levi Strauss (1931) kemudian menulis mengenai kajian mitos. Dalam kajian itu, BI Rate bisa dikategorikan ke dalam mitos (myth), sama seperti Freud terpesona pada mimpi (dream). Topologi mitos adalah ia bisa bekerja di ranah irrasionalitas.

Permasalah muncul ketika ”penanda” yang semula adalah sebuah tekhnik dan cara untuk mencapai tujuan, telah bergeser menjadi tujuan itu sendiri. BI Rate adalah sebuah instrumen yang digunakan untuk mencapai satu tujuan. Bagaimana cara bekerja instrumen itu tetap suatu misteri. Ilmu ekonomi mencoba menjelaskannya dengan berbagai analisis baik kualitatif maupun kuantitatif. Namun bagaimana sebenarnya yang terjadi, tak ada yang tahu. Yang kita bisa lakukan adalah mencoba memahami mekanisme gejala yang ada. Tekanan inflasi, pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran, pasar uang, dan berbagai gejala yang ada. Kita mengandaikan sesuatu sebagai ”ada” padahal itu adalah pengetahuan kita mengenai ”ada”. Inilah yang kadang yang menjadi awal dari sebuah ”keterpelesetan” berpikir.

Beberapa pihak dalam pekan-pekan terakhir ini mencoba menggiring pendapat publik akan pentingnya BI Rate diturunkan. Berbagai diskusi dan wacana dilempar dan menempatkan BI Rate sebagai sebuah ”panacea”. Apabila masalah ekonomi sudah mentok, maka jawaban yang ditunggu adalah BI Rate. Kalau suku bunga di negara lain turun, kenapa di BI gak turun? Jadi, BI Rate harus turun, karena semua turun. Diskusi semakin meluas dan memanas. BI Rate, yang semula adalah cara mencapai tujuan, telah bergeser menjadi tujuan itu sendiri.

Mudah-mudahan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak terjebak ke dalam penyesatan berpikir yang dilakukan beberapa pihak tersebut. Harapan kita adalah munculnya sebuah penjelasan yang semakin ”mendekati” kebenaran akan alasan penurunan tersebut. Pada ujungnya, BI Rate bekerja pula dalam tataran wacana, psikologi, di samping masalah mekanistis. Upaya membangun kesadaran, komunikasi yang jelas dan terus menerus, menjadi lebih penting untuk menghindarkan publik dari keterkejutan dan kebingungan.

BI Rate sebagai problem filsafat mengingatkan kita bahwa mungkin inilah salah satu contoh kesekian tentang implikasi dari sebuah syarat metodologis yang kemudian dianggap sebagai realitas ontologis. Atau, implikasi dari proyek cara memikirkan sesuatu yang terpeleset dan dianggap sebagai ”sesuatu” itu sendiri.

No comments: