Sunday, December 14, 2008

Presiden Indonesia pilihan tuhan

”In a democracy, the people get the government they deserve”. Dalam sebuah demokrasi, rakyat mendapatkan pemerintah (pemimpin) yang pantas bagi mereka. Begitulah observasi dari Alexis De Tocqueville (1805-1859), seorang filsuf dan sejarawan Perancis. Dengan kata lain, pemimpin adalah cerminan karakter dari mereka yang dipimpin.

Masyarakat yang matang dan intelektual, secara alamiah akan mendapatkan pemerintahan yang matang. Sementara masyarakat yang mentah, akan mendapatkan pemerintahan yang mentah. Masyarakat yang gemar dengan hal-hal yang berbau instan dan gemar dengan bungkusan citra (image), akan mendapatkan pula pemerintah yang sesuai dengan karakter mereka. “Vox Populi Vox Dei”, Suara Rakyat Suara Tuhan. Dalam demokrasi, Tuhan mengejawantah pada suara rakyat. Oleh karenanya, janganlah kita selalu menyalahkan pemerintah. Karena mereka sebenarnya hanya cerminan dari diri kita sendiri.

Kita melihat contoh di banyak negara bagaimana hubungan antara pemimpin dengan mereka yang dipimpin. Amerika yang mayoritas penduduknya matang dan berpendidikan, layak mendapatkan presiden sekaliber Obama. Perancis yang penduduknya terkenal dengan fashion dan modenya, mendapatkan ibu negara yang mantan model dan Presiden yang bergaya selebritis. Beberapa negara Afrika yang masyarakatnya kerap berperang, mendapat pemerintah yang juga gemar perang dan konflik. Itulah sebagian contoh yang berangkat dari observasi De Tocqueville.

Apakah hal itu juga berlaku di Indonesia? Jawabnya bisa diperdebatkan. Apakah Gus Dur, Megawati, dan SBY adalah pemimpin yang mencerminkan sikap dan karakteristik manusia Indonesia, tentu banyak pendapat.

Prof Boeke di masa kolonial pernah menegaskan mitos tentang masyarakat Indonesia yang malas. Menurutnya masyarakat Indonesia ini memiliki karakter “lack of deffered gratification”. Tak bisa menunda kenikmatan. Punya uang sedikit, maunya belanja. Kalau ada buku tentang cara singkat menjadi kaya, buku itu pasti laris manis. Pandangan masyarakat kita berjangka pendek dan ingin cepat sukses.

Di bidang ekonomi, karakter itu dapat dilihat dari komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi. Kalau kita melihat secara agregat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ini, termasuk saat krisis melanda, kita dapat tumbuh cukup menggembirakan di sekitar 6%. Namun kalau dilihat lebih dalam, pertumbuhan itu lebih didominasi oleh sektor konsumsi. Sementara Ekspor dan Investasi masih belum optimal. Konsumsi masyarakat meningkat, konsumsi pemerintah juga meningkat. Tak ada yang salah memang dengan konsumsi. Tapi menjadikan konsumsi sebagai penggerak pertumbuhan semata tentu tidaklah bijak. Kita tahu bahwa bangsa yang konsumtif adalah bangsa yang tidak punya karakter. Hanya bangsa yang produktiflah menjadi bangsa yang berkarakter tinggi.

Kalau kita lihat dari komoditas ekspor, di tahun 1993-1998, ada 20 komoditas ekspor non migas yang tumbuh di atas 10%. Kini, komoditas yang tumbuh di atas 10% mungkin tinggal sekitar tujuh komoditas. Itupun sebagian besarnya adalah komoditas sumber daya alam. Dulu, saat harga udang galah meningkat, masyarakat beramai-ramai berbisnis udang galah. Kini, saat harga CPO meningkat, seluruh tanah diubah tanam menjadi perkebunan sawit. Gejala ini terjadi terus menerus. Saling mengekor dan ingin mencari keuntungan dengan cepat. Dan tentu, kalau ambruk, ambruklah beramai-ramai.

Di saat krisis global seperti ini, kita melihat permasalahan yang menimpa ekonomi kita semakin nyata. Banyak perusahaan yang mulai tutup, semakin sedikit pula ekspor, dan PHK meningkat. Transaksi berjalan kita di neraca pembayaran mulai "megap megap" dan menunjukkan angka defisit. Defisit transaksi berjalan adalah hal yang serius karena menyangkut persoalan struktural dan kultural dari bangsa ini.

Mungkin akan ada pendapat bahwa persoalan di bidang ekonomi ini seolah olah hanya persoalan angka, persoalan uang, ataupun persoalan manajemen. Tetapi, ada yang lebih embedded inherent di balik munculnya angka-angka tersebut. Itulah cerminan dari sikap dan karakteristik bangsa. Budaya sulit menunda kesenangan, senang mengkonsumsi, dan gemar memburu kekayaan dengan instan, dapat tercermin secara agregat di angka-angka makroekonomi. Karena itulah, usaha perbankan untuk mendorong dan menggiatkan tabungan di masyarakat menjadi penting. Karena itulah, usaha-usaha untuk melakukan jalan pintas mencapai kekayaan, harus dicegah bersama-sama. Inilah tantangan bukan hanya bagi pemerintah, tapi bagi kita semua.

Sampai di sini, pernyataan De Tocqueville menjadi penting. Karena dengan demikian kita akan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan karakter kita itu. Waduh, mudah-mudahan De Tocquiville salah. Mudah-mudahan dengan karakter masyarakat yang ada saat ini, kita masih bisa mendapatkan pemimpin yang memiliki karakter negarawan, yang bersedia larut memikirkan masa depan bangsa. Seorang Pemimpin yang benar-benar pilihan Tuhan. Salam.

No comments: