Monday, January 26, 2009

Sekaleng Coca Cola seharga 15 Milyar

Ini sungguh terjadi. Harga sekaleng Cola mencapai 15 miliar. Harga dua kilo gula pasir mencapai 20 miliar. Kertas tissue, toilet paper, sabun, dan sikat gigi, harganya miliaran. Dan harga tersebut dalam satu hari bisa meningkat dua kali lipat. Mungkin bulan depan, sekaleng Cola bisa berharga satu triliun. Kenapa jadi mahal begitu? Karena hampir seluruh warga Zimbabwe kini menjadi miliarder. Bukan hanya miliarder, bahkan triliuner. Tanggal 17 Januari 2009 lalu, Bank Sentral Zimbabwe menerbitkan lagi uang kertas senilai 10 triliun dollar Zimbabwe dan rencananya akan segera menerbitkan 20, 50, dan 100 triliun dollar Zimbabwe. Anda ingin jadi miliarder, pergilah ke Zimbabwe.

Namun uang triliunan dollar di Zimbabwe nyaris tiada arti saat dibawa ke pasar. Uang 20 miliar dollar Zimbabwe nilainya sama dengan 6000 rupiah. Uang 10 triliun kira-kira sama dengan 300 ribu rupiah. Itulah kondisi perekonomian di Zimbabwe yang dilanda hiperinflasi. Barang-barang menjadi langka, perekonomian mengalami depresi, dan inflasi mencapai jutaan persen. Rakyat hidup dalam kesulitan. Dalam ilmu ekonomi, hiperinflasi adalah sebuah kondisi saat inflasi melejit tinggi tak terkontrol.

Hiperinflasi di Zimbabwe adalah salah satu kondisi terburuk sepanjang sejarah. Yang terparah di Hungaria pasca perang dunia ke II. Saat itu, inflasi mencapai 12,950,000,000,000,000 (12 quadrillion) persen, dengan harga melonjak dua kali lipat setiap 15 jam. Hiperinflasi lain pernah terjadi di Jerman pada tahun 1923. Di Jerman, inflasi meroket 30% per bulan dengan harga meningkat dua kali lipat setiap 3 hari. Di Zimbabwe, inflasi naik lebih dari 100% per bulan dengan harga meningkat dua kali lipat setiap 1,3 hari. Saat menerima uang, warga Zimbabwe harus segera membelanjakannya. Kalau lewat sehari saja, nilainya tergerus setengahnya.

Penyebab hal ini adalah pengelolaan ekonomi yang buruk oleh Presiden Mugabe. Gejolak politik dan sosial telah mengacaukan Zimbabwe. Hal yang dilakukan oleh pemerintahan Mugabe untuk mempertahankan kekuasaannya adalah mencetak uang secara besar-besaran. Uang dipakai untuk membayar gaji pegawai, tentara, dan belanja pemerintah. Uang beredarpun tumbuh tak terkendali menjadi akar dari hiperinflasi. Menghadapi masalah yang timbul, Mugabe justru memerintahkan bank sentral Zimbabwe untuk terus mencetak uang. Bank Sentral Zimbabwe adalah kementrian yang berada di bawah kekuasaannya. Gubernur Bank Sentral Zimbabwe, Dr Gideon Gono, dengan sendirinya patuh pada perintah Mugabe. Dengan uang beredar yang meningkat berkali lipat, inflasi terus menanjak.

Indonesia pernah mengalami hiperinflasi pada tahun 1965. Saat itu inflasi di Indonesia mencapai lebih dari 600%. Sumber permasalahannya sama, terlalu banyak uang dicetak untuk membiayai revolusi dan berbagai pengeluaran lainnya. Setelah kejadian itu, hiperinflasi tidak pernah terjadi lagi di negeri ini. Mudah-mudahan ke depan juga begitu. Inflasi pernah melejit tinggi mencapai 72% saat krisis ekonomi tahun 1997/98 dan mencapai 17% saat kenaikan harga minyak di tahun 2005. Tahun 2008 lalu, saat krisis global melanda, harga minyak dunia meningkat dan mendorong kenaikan BBM serta harga-harga dalam negeri. Namun inflasi untuk tahun 2008 masih dapat dikendalikan pada tingkat 11,06%.

Tingginya inflasi merepotkan kehidupan rakyat. Harga-harga melonjak tinggi dan masyarakat kehilangan daya beli, khususnya mereka yang berpenghasilan tetap. Benar apa yang dikatakan Ernest Hemingway, bahwa inflasi lebih berbahaya dari perang. Inflasi adalah perampok diam-diam yang menggerus uang dari kantong setiap warga masyarakat. Perlahan tapi pasti, masyarakat bertambah miskin karena inflasi.

Oleh karenanya, upaya mengendalikan inflasi menjadi kepedulian setiap negara. Kita tidak ingin inflasi membuat rakyat bertambah miskin. Guna menjaga dan mengendalikan inflasi, peranan bank sentral sangat strategis dalam perekonomian. Bank sentral yang tidak independen, seperti yang terjadi di Zimbabwe, kerap menjadi alat politisi dalam menjalankan kebijakan politiknya, misalnya mencetak uang secara terus menerus. Indonesia sejak tahun 1999 telah memiliki undang-undang yang mengatur independensi bank sentral. Upaya ini bertujuan untuk mensterilkan peranan bank sentral dalam pengendalian inflasi.

Sejak beberapa dekade terakhir ini, bank sentral di seluruh dunia sangat ketat mengontrol inflasi, melalui sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Maksudnya adalah, bank sentral mengelola tingkat inflasi pada level tertentu dan menjaganya agar tidak melonjak dari kisaran yang sudah ditentukan. Apabila inflasi diperkirakan melampaui target, Bank sentral harus siap meredam inflasi. Sumber inflasi bisa bermacam-macam, mulai dari kenaikan harga barang yang dikendalikan pemerintah, kelangkaan makanan, pelemahan nilai tukar, ataupun meningkatnya permintaan yang tidak diimbangi oleh penawaran. Bank Sentral perlu memahami sumber inflasi sebelum melakukan respon dalam kebijakan moneternya.

Apakah dengan ITF kemudian bank sentral melupakan pentingnya pertumbuhan ekonomi? Krisis global saat ini menunjukkan bahwa kebijakan ITF bersifat fleksibel. Dalam jumpa pers awal tahun, Gubernur Bank Indonesia, Dr Boediono, mengatakan bahwa inflasi tetap menjadi perhatian Bank Indonesia. Namun dengan semakin turunnya tekanan inflasi akibat melemahnya perekonomian global, perhatian kiranya dapat diberikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat perlu dijaga agar tidak semakin melemahkan perekonomian. Oleh karenanya, rangsangan yang diberikan oleh kebijakan moneter adalah penurunan suku bunga yang akan terus dilakukan sepanjang tidak mengganggu stabilitas. Jadi di sini terlihat bahwa ITF bukanlah sebuah mekanisme yang kaku. Ia juga fleksibel dalam pengelolaan ekonomi negeri.

Mudah-mudahan apa yang terjadi di Zimbabwe tak akan pernah terjadi di negeri ini. Untuk itu, pengendalian inflasi secara konsisten memang sebaiknya diserahkan pada bank sentral yang independen.

2 comments:

Mirza Purnama said...

Yth Pak Jun,

Saya orang IT , maaf kalau agak kacau dalam istilah ekonomi..
Untuk Zimbabwe mungkin kalau kita bisa retrieve sejarah yang mirip, itu seperti sejarahnya Greek kuno, cina kuno (Han dynasty), afrika selatan (rezim pre/post apartheid)..atau Indonesia di zaman land reform tahun 50-60-an. Dimana "again" tema classical &leverage antara harga diri (non materi) dan perut/ketergantungan (materi). Mugabe may not be a good leader for everyone "here", but he may be a good leader for everyone "there".
Jadi ukurannya (mungkin pas-nya value) di negara Zimbabwe mungkin berbeda dengan kita. Begitupula dengan perilaku central banknya. Sehingga right or wrongnya menjadi relatif.
Maaf saya mungkin menggunakan parameter yang bukan ekonomi.Mohon dimaklumi ya pak. Mohon pencerahannya.

Regards, Mirza

Junanto Herdiawan said...

Pak Mirza, terima kasih tanggapannya. Sungguh filosofis. Maka saya akan tanggapi juga secara filosofis, bukan ekonomi heheh.

Memang benar pak, benar atau salah itu relatif. Hanya saja kalau kita tarik kembali pada filsafat moral, mengacu pada akarnya di Plato dan Aristoteles, tujuan dari penyelenggaraan sebuah negara adalah untuk mencapai eudaimonia (kebahagiaan). Bahkan ini menjadi tujuan semua dari kita dalam hidup ini.

Pengelolaan ekonomi adalah satu patahan dalam kehidupan yang juga harus menuju ke sana. Bagaimana ekonomi negeri ini dikelola, tujuannya adalah kesejahteraan, kemakmuran, dan tentu kebahagiaan. Parameter apapun selama memberi kebahagiaan tidak menjadi masalah. Sekarang, apakah rakyat Zimbabwe, dengan hiperinflasi, kesulitan dan kelangkaan barang, kerusuhan, dapat mencapai kebahagiaan. Tentu saya tidak bisa menjawab hal ini. Again, saya setuju dengan pak Mirza. Semua itu relatif. Bisa jadi, jangan-jangan memang Mugabe diterima di sana. Dan mereka lebih bahagia ketimbang dipimpin yang lain. Tapi dengan berbagai kesulitan yang muncul, saya ragu... Tks pak atas diskusinya yang menarik.

Salam
Junanto