Thursday, February 22, 2007

Selebritas Bank Sentral

Washington Post, edisi Januari 2007, dalam artikelnya A Who's Who of Fed Policy Makers, menulis bahwa central bankers adalah juga manusia.. or bahkan, selebritis... Mengapa artikel ini menjadi menarik? karena sebelum tahun 90-an, bank sentral sangat jarang memiliki keinginan untuk membuka diri dan berbicara dengan publik. Buku bestsellers karya William Gerdner pada tahun 1987, Secrets of the Temple: How Federal Reserve Runs the Country, menegaskan gambaran tentang misteri tersebut. Buku itu menceritakan bagaimana The Fed mengelola kebijakan moneter dari dalam ”kuil rahasianya”. Mistik dan mitos di seputar tugas bank sentral secara ketat dijaga oleh para central bankers, yang menunjukkan juga rahasia sukses mereka.

Namun kini perubahan telah terjadi, baik pada The Fed maupun pada bank sentral lainnya di dunia, termasuk Bank Indonesia. Di negeri ini, Bank Sentral sudah sangat terbuka dalam berkomunikasi dengan publik, apalagi sejak diterapkannya kerangka kebijakan yang namanya Inflation Targeting. Dengan kerangka kebijakan yang baru itu, efektifitas pencapaian inflasi akan sangat tergantung pada ekspektasi masyarakat. Kalau masyarakat ramai-ramai berpikir bahwa inflasi pasti rendah, maka mereka akan berperilaku sesuai dengan perkiraannya. Nah, disinilah bank sentral perlu tampil lebih membumi. Bank sentral perlu menempatkan transparansi dan prediktabilitas kebijakan moneter sebagai salah satu resep kebijakannya. Dalam dunia yang semakin terbuka, teknologi komunikasi yang semakin canggih, dan semakin terintegrasinya sistem keuangan global, tuntutan bagi keterbukaan dan pentingnya edukasi bagi masyarakat terkait dengan sektor moneter dan keuangan semakin besar dan nyata.

Jadi, ga ada salahnya kan kalau bank sentral tampil bak selebritis?

Bukan sekedar "Business as Usual"

Sebuah pesan menarik dari Tajuk Rencana Kompas tanggal 21 Februari 2007. Pertama, apresiasi kepada Bank Indonesia dan Departemen terkait atas inflasi, nilai tukar, dan stabilitas makro yang terjaga. Kedua, ajakan pada kita semua untuk tidak lagi "business as usual", bekerja biasa-biasa saja. Untuk keluar dari krisis, kita harus memiliki pola sikap yang berbeda dan pola tindak yang agresif. Bekerja di luar kebiasaan, kreatif, inovatif. Tentu bukan asal bertindak atau ngawur.

Menariknya tulisan ini adalah tiadanya kesan saling menyalahkan. Seluruh pihak justru digugah untuk bersama memikirkan kepentingan bangsa. Mungkin pemikiran seperti ini dapat kita pertimbangkan saat kita menghadapi perbedaan pendapat antar berbagai elemen bangsa.
Sebagaimana kisah sebuah show dalam cabaret di broadway kota Paris, bahwa upaya membangun harapan dengan sikap kreatif tanpa saling menyalahkan adalah juga membangun sebuah bayangan hidup, l’image de la vie.