Thursday, March 24, 2011

Meneropong Ekonomi Jepang Pascatsunami

Sebagaimana dimuat di Kompas.com

Meski situasi di Jepang masih kritis karena isu meluasnya radiasi dari reaktor nuklir Fukushima, upaya menghitung kerugian ekonomi mulai dilakukan oleh banyak pihak. Dalam beberapa hari ini, kami sempat berdiskusi dengan para analis di Tokyo untuk membahas dampak bencana terhadap ekonomi Jepang.

Hal ini menjadi penting, karena Jepang adalah mitra dagang terbesar Indonesia dengan pangsa 17% dan perdagangan senilai 25 miliar dollar AS. Oleh karenanya, apa yang terjadi di Jepang pada gilirannya akan berdampak pada ekonomi Indonesia.

Memang terlalu dini untuk menghitung secara lengkap data ekonomi dari bencana kali ini. Namun kita perlu membedakan dua krisis yang menimpa Jepang, yaitu bencana gempa-tsunami dan krisis reaktor nuklir Fukushima. Gempa dan tsunami memang menghancurkan Jepang. Namun, dari sisi ekonomi, upaya rekonstruksi atau pembangunan kembali akan mendorong lagi aktivitas perekonomian Jepang.

Di sisi lain, krisis reaktor nuklir Fukushima kemungkinan dapat menjadi masalah bagi ekonomi Jepang apabila dampaknya meluas. Keterbatasan pasokan listrik akibat berhentinya reaktor nuklir Fukushima dapat menggangu keberlangsungan industri Jepang. Selain itu, masalah radiasi yang dikabarkan mulai menyebar ke produk makanan dan air minum di Jepang, dapat mengakibatkan gangguan pada perekonomian Jepang apabila tidak segera diatasi.

Sebelum terkena tsunami, ekonomi Jepang telah menyimpan masalah serius. Mereka menderita penyakit 3D, yaitu Depression, Deflation, dan Demographic. Ekonominya mengalami Depresi dan terjebak dalam Deflasi yang berkepanjangan, sementara populasinya menua (Demografi). Saat terkena tsunami, mereka mendapat derita dua tambahan “D” lagi, yaitu Disaster dan Destruction. Gabungan 5D tersebut membawa masalah besar yang berujung pada penyakit persisten ke 6 yang selama ini menggayuti ekonomi Jepang, yaitu DEBT (Utang). Lengkaplah Jepang menderita penyakit 6D.

Dengan berbagai masalah tersebut, bagaimana Jepang dapat bangkit dari krisis? Apabila dilihat dari sisi ekonomi, banyak yang membandingkan bencana gempa tsunami kali ini dengan gempa di Kobe tahun 1995. Saat itu Jepang begitu cepat pulih dan dampak bencananya tidak besar.

Kalau dilihat gempa kali ini, sumbangan wilayah Miyagi yang terkena gempa, terhadap PDB Jepang, jauh lebih kecil dibandingkan Kobe. Miyagi Prefektur “hanya” menyumbang 1.7% dari total PDB Jepang. Angka ini lebih kecil dibandingkan Kobe dengan sumbangan sebesar 2% dari total PDB. Kobe juga merupakan wilayah industri yang memiliki pelabuhan besar dunia, dengan sumbangan 4% dari PDB Jepang. Dengan indikator tersebut, beberapa pengamat memperkirakan gempa kali ini berdampak lebih sedikit pada pertumbuhan ekonomi Jepang dibanding Kobe.

Namun satu hal yang kita tidak boleh lupa adalah bahwa gempa kali ini memiliki eksposur dan skala yang lebih besar dari Kobe. Selain itu, yang lebih parah lagi adalah, saat Gempa Kobe tidak terjadi masalah dengan pasokan listrik di Jepang. Krisis nuklir di Fukushima yang terjadi setelah gempa 2011 ini, telah mengakibatkan Jepang mengalami krisis listrik. Sebagai informasi, reaktor nuklir Fukushima 1 dan 2 menyumbang sekitar 24% tenaga listrik bagi Jepang. Akibat ditutupnya reaktor tersebut, Jepang mengalami krisis energi listrik.

Kekurangan energi listrik tersebut akan berdampak langsung pada industri yang menyerap banyak tenaga listrik, seperti industri baja dan otomotif. Akibat tidak langsungnya terjadi pada industri turunannya, seperti spare parts dan perlengkapan lainnya, yang ikut tutup karena industri hulunya tutup. Pemadaman bergilir juga dilakukan bukan hanya di wilayah yang terkena gempa, namun pada sekitar 13 prefektur, yang menyumbang sekitar 42% dari PDB Jepang, dan menjadi basis industri terkemuka Jepang, seperti Sony, Toyota, Nippon Steel, dll. Dalam skenario terburuk, apabila keseluruhan industri tersebut akan mengurangi kapasitas operasinya hingga beberapa minggu pascabencana, dampaknya ke PDB diperkirakan cukup signifikan. Ini artinya, ekonomi Jepang akan melemah.

Namun harapan terletak pada upaya pembangunan kembali Jepang pascabencana. Biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan kembali Jepang diperkirakan melebihi 200 miliar dollar AS. Bahkan ada yang mengatakan hingga 500 miliar dollar AS. Angka ini selain muncul dari klaim asuransi, juga dari biaya pembangunan infrastruktur, seperti jembatan, jalan raya, dan bangunan. Hal ini dapat menahan perlambatan ekonomi Jepang dalam jangka menengah panjang. Total biaya rekonstruksi ini akan lebih besar lagi kalau memperhitungkan biaya pemulihan wilayah di sekitar reaktor nuklir Fukushima. Saat krisis reaktor Three Mile Islands saja, biaya yang muncul hampir mencapai 1 miliar dollar AS untuk pembersihan radiasi selama 14 tahun.

Dengan bencana tersebut, tahun ini Jepang akan memasuki double dip recession, atau kembali lagi masuk ke zona resesi, dengan pertumbuhan negatif pada triwulan I dan triwulan II 2011, setelah juga mengalami kontraksi ekonomi sebesar 0.3% pada triwulan IV-2010. Dampak negatif bencana akan dirasakan sepenuhnya pada tahun 2011, terkait dengan kekurangan energi listrik dan rantai distribusi yang terganggu. Selanjutnya, pada tahun 2012 hingga 2016, Jepang diperkirakan akan melakukan rekonstruksi seluruh daerah yang terkena gempa.

Kalau kita lihat dari sisi Neraca Pembayaran, ekspor Jepang dari industri yang mengandalkan tenaga listrik besar, seperti – baja, otomotif, elektronik – dan konsumsi diperkirakan akan terpukul terkait dengan dihentikannya produksi beberapa pabrik dan turunnya kepercayaan pasar. Di sisi lain, impor Jepang, terutama terkait dengan bahan bakar untuk mengkompensasi hilangnya tenaga nuklir akan meningkat.

Perkembangan ke depan, akan sangat tergantung pada bagaimana Jepang mengatasi dampak ekonomi bencana ini. Apakah Jepang akan mengoptimalkan industrinya di luar negeri, dan mencari alternatif sumber energi secara cepat, akan sangat memengaruhi pemulihan mereka. Apabila Jepang mampu secara cepat mengganti sumber energi listriknya, maka dampak negatif ekonominya dapat dikurangi.

Menghadapi berbagai perkembangan tersebut, Indonesia perlu berhitung dan melihat dampak dari bencana Jepang. Dampak bencana Jepang akan sampai ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan keuangan. Dalam jangka pendek, Jepang pasti akan membutuhkan alternatif pengganti energi. Kemungkinan terbesar adalah mereka akan mengimpor LNG secara besar-besaran.

Selain itu, kemungkinan besar dalam jangka menengah, sektor industri, perbankan, dan keuangan Jepang, akan memfokuskan operasi pada rekonstruksi pascabencana. Di satu sisi, hal ini akan meningkatkan permintaan bahan-bahan listrik, alat-alat konstruksi, dan kebutuhan material lainnya.

Pada ujungnya, kita tidak hanya perlu melakukan antisipasi ataupun meributkan dampak radiasi reaktor nuklir Jepang ke Indonesia. Namun yang tak kalah penting juga adalah bagaimana kita bisa mengantisipasi dampak ekonomi dari bencana yang terjadi di Jepang.

Salam dari Tokyo

Mengapa Saya (Masih) Bertahan di Tokyo

Sebagaimana dimuat di Kompas.com

Krisis nuklir acapkali menimbulkan ketakutan. Saat bom atom pertama diciptakan, hingga nuklir ditemukan, manusia berada dalam ketakutan yang konstan. Ini yang dulu dikatakan oleh filsuf Hans Jonas sebagai “heuristik ketakutan”.

Saat krisis reaktor nuklir Fukushima 1 terjadi, saya juga dirambati oleh rasa takut itu. Jarak reaktor nuklir Fukushima dengan Tokyo hanya sekitar 200km. Dalam pikiran saya, sekiranya terjadi hal terburuk, kota Tokyo akan diterjang radiasi nuklir dalam hitungan jam. Makin hari, krisis juga terlihat makin tereskalasi, dan seolah tak terkendali. Berbagai ledakan dan lepasan radioaktif terus berlangsung.

Di sisi lain, media massa terus menerus memberitakan suasana yang mencekam. Saat dikatakan radiasi telah mencapai kota Tokyo, saya makin dilingkupi rasa takut. Keluarga di rumah, anak-anak yang masih kecil, dan terutama dampak radiasi yang mengerikan, menjadi alasan saya untuk takut. Belum lagi ditambah puluhan telpon dan sms dari kerabat di tanah air, yang pesannya sama, “Pulang sekarang juga, keadaan makin bahaya!!”

Media massa makin menyulut kepanikan. Hal itu turut dirasakan di Tokyo, khususnya para warga negara asing. Gelombang eksodus warga asing meningkat. Bandara Narita penuh oleh warga asing yang ingin pulang ke negaranya. Saya mencoba menghubungi sesama kolega warga asing di Tokyo. Rekan dari Perancis, Italia, Jerman, dan negara Eropa lainnya sudah mengungsi. Saat saya telpon kantor mereka, banyak yang sudah di luar Tokyo. Sementara kolega dari Cina, saat saya hubungi sudah mengungsi ke selatan. Hanya satu kolega dari Korea Selatan yang masih bertahan dan tetap bekerja.

Wajar apabila saya panik melihat kondisi seperti itu. Haruskah saya ikut lari, mengikuti kepanikan ratusan manusia lainnya. Haruskah saya panik, meninggalkan sahabat-sahabat Jepang saya di kantor, yang berulangkali meyakinkan saya bahwa keadaan aman. Haruskah saya mengungsi, semata hanya karena mempercayai apa yang dimuat di televisi.

Saya teringat ucapan PM Inggris Lloyd George tentang kepanikan di pasar keuangan, “financiers in panic do not make a pretty sight”. Dalam kepanikan kita kerap tak bisa berpikir jernih. Sayapun kemudian mencoba melihat keadaan di kota Tokyo. Hampir tidak ada tanda-tanda kepanikan di wajah orang Jepang. Mereka melakukan aktivitas seperti biasa. Aktivitas berjalan normal tanpa ada yang berubah signifikan. Kalaupun ada yang berbeda adalah karena pasokan listrik yang berkurang, sehingga terjadi penghematan listrik di banyak tempat, termasuk pengurangan operasi kereta api.

Selama pekan lalu, rekan-rekan analis Jepang bahkan masih mengajak diskusi, menelpon, seperti keadaan normal. Saya juga menerima telpon dari beberapa perusahaan dan bank Jepang yang mengatakan bahwa investor Jepang masih akan melakukan investasi di Indonesia. Mereka tidak menunjukkan tanda-tanda panik.

Mengapa mereka tidak panik?

Saat saya tanya, jawabnya adalah karena mereka percaya pada pemerintahnya. Orang Jepang percaya bahwa pemerintah Jepang akan melakukan yang terbaik dan selalu memikirkan rakyatnya. Jangankan untuk krisis nuklir, saat gempa dan seluruh transportasi mati di Tokyo saja, tiba-tiba di stasiun sudah dibagikan selimut dan air putih gratis. Beberapa vending machine otomatis gratis. Makanan juga tiba-tiba keluar entah dari mana.

Pemerintah Jepang sudah siap dengan berbagai kemungkinan. Apalagi untuk krisis nuklir, sangat tidak mungkin apabila pemerintah belum memikirkan kondisi terburuk. Alhasil, orang Jepang bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Meski mereka juga pastinya waswas dengan perkembangan yang terjadi, tapi itu tidak ditunjukkan. Setiap bertemu, mereka saling mengobarkan semangat sesama untuk membangun kembali Jepang. Sama sekali tidak ada kepanikan seperti yang digambarkan di media.

Saya juga percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabat saya, mas Kunta, kandidat PhD Nuklir di Jepang, yang mengatakan bahwa keadaan tak seburuk yang diberitakan media. Saya sempat ikut dalam pertemuan darurat nuklir di KBRI Tokyo, yang dipimpin oleh Dubes RI untuk Jepang, M Lutfi. Dari diskusi yang juga dihadiri para ahli nuklir tadi, kami berkeyakinan bahwa kondisi sampai saat ini masih aman, dan KBRI belum perlu melakukan evakuasi pada warga negara Indonesia.

Para mahasiswa nuklir tersebut, kami menyebutnya “The Nuclear Boys”, diberi ruang kerja di KBRI Tokyo untuk terus memantau dan melakukan update pada warga Indonesia akan kondisi reaktor nuklir Fukushima. Mereka akan memberikan sinyal alert sekiranya kita perlu melakukan evakuasi, yang menurut mereka sangat kecil kemungkinannya terjadi di Tokyo.

Saya seperti ikut kuliah nuklir saat mengikuti penjelasan para nuclear boys ini. Menurut mereka, apa yang dilakukan pemerintah Jepang saat ini sudah sesuai dengan prosedur pengamanan reaktor nuklir, karena reaktor nuklir dibangun dengan mempersiapkan keadaan terburuk yang mungkin terjadi.

Apa yang terjadi pada reaktor Fukushima ini dapat dikatakan apes. Rencananya reaktor ini akan ditutup pada bulan April 2011, karena usianya yang sudah lama (40 tahun). Namun siapa nyana, sebelum ditutup malah terkena tsunami.

Meski sudah berusia 40 tahun, reaktor Fukushima ini tetap menganut prinsip dasar pengelolaan reaktor nuklir yang dikenal dengan istilah 3C, yang berarti Control, Cool, dan Contain. Dalam kondisi apapun, termasuk bencana, reaktor nuklir harus selalu dapat di –Control. Dan fungsi Control ini terbukti bekerja baik. Hal ini terbukti saat gempa terjadi, seluruh reaktor berhenti (shutdown), yang mengurangi terjadinya risiko kebocoran.

Setelah berhenti, reaktor ini membutuhkan langkah pendinginan (cooling). Langkah ini sebenarnya dapat dilakukan secara otomatis dengan pompa listrik yang akan menyirami reaktor dengan air laut. Sayangnya, tsunami menghajar alat otomatis tersebut. Akibatnya proses pendinginan gagal. Inilah yang saat ini diributkan dan diberitakan di media. Inilah juga yang sedang dilakukan dan diperjuangkan oleh Jepang. Mereka berusaha mendinginkan reaktor tersebut. Langkah pendinginan itu mensyaratkan beberapa ledakan untuk mengurangi tekanan. Jadi ledakan-ledakan tersebut bukan tak terkendali, namun memang bagian dari proses pendinginan. Risikonya memang ada pelepasan radiasi ke udara.

Meski pendinginan gagal, bahan radioaktif yang berbahaya masih tersimpan dalam tabung pengamannya (reactor vessel). Inilah fungsi C ketiga, atau Contain tadi. Bahan radioaktif berbahaya di reaktor Fukushima, tersimpan baik dalam berbagai lapisan tabung pengaman. Hal ini berbeda dengan reaktor nuklir Chernobyl yang tidak memiliki vessel pengaman dan tidak didinginkan dengan air, melainkan dengan graphite yang justru memicu api. Reaktor Chernobyl juga digunakan untuk keperluan militer, sementara Fukushima untuk pembangkit energi. Oleh karena itu, di Chernobyl, material yang digunakan berbeda, materinya berbeda, dan cara penangannya juga berbeda. Jadi, bencana Chernobyl tidak mungkin terjadi di Fukushima.

Mengenai radiasi yang terjadi, bahan yang saat ini dilepaskan di udara adalah jenis cesium 137 dan iodine 131. Keduanya terbawa udara dan tertiup angin sampai di Tokyo. Namun semakin jauh zat ini dari pusatnya, ia semakin terurai dan tidak berbahaya. Inilah yang menjadikan pemerintah Jepang membuat radius evakuasi sepanjang 30 km. Sementara mereka mengatakan bahwa kota Tokyo masih aman.

Kemarin, radiasi di daerah Shinjuku Tokyo sekitar 0.089 microsievert (satuan pengukur radiasi). Sebagai perbandingan, angka radiasi itu kurang lebih sama dengan radiasi kalau kita makan 4 butir pisang. Jauh lebih kecil dari radiasi kalau kita naik pesawat terbang, ataupun bekerja di depan komputer.

Dengan berbagai alasan yang sangat rasional tersebut, saya belum melihat alasan mengapa harus melakukan evakuasi dari Tokyo saat ini. Masyarakat Jepang tetap bekerja, dan kitapun harus tetap bekerja. Beberapa kerabat dan teman yang khawatir dengan kondisi kami, saya sarankan untuk sementara berhenti melihat televisi atau media yang kerap “lebay” dalam memberitakan keadaan di Jepang, khususnya terkait dengan krisis nuklir Fukushima.

Masalah pemerintah Jepang memang terletak pada upaya komunikasi mereka yang kurang baik. Orang Jepang terkenal hebat dalam perencanaan dan pelaksanaan, namun kerap memiliki masalah dengan komunikasi. Hal ini yang menyebabkan terjadinya banyak ketidakjelasan dalam penanganan krisis nuklir kali ini. Persis seperti saat krisis rem blong Toyota lalu, di mana mereka sangat lama dalam melakukan respons. Hal ini mungkin terkait juga dengan budaya mereka yang selalu ingin semuanya serba pasti sebelum berkata.

Terlepas dari itu, berdasarkan berbagai informasi tadi, dan juga melihat kegigihan orang-orang Jepang, ketangguhan rekan PPI, kesabaran rekan KBRI, dan teman Indonesia lain di Jepang, saya melihat memang belum ada alasan untuk melakukan evakuasi saat ini. Semoga keadaan ke depan bisa lebih baik.

Salam

Sunday, March 13, 2011

Merasakan Gempa Terburuk di Jepang

Sebagaimana dimuat di Kompas.com, 12 Maret 2011



Selama satu tahun tinggal di Jepang, saya sering merasakan gempa. Hampir setiap bulan, Jepang diguncang gempa. Oleh karenanya, saya mulai terbiasa oleh gempa sporadis yang berulangkali terjadi. Biasanya saya akan tetap diam dan menunggu hingga gempa berlalu. Warga Jepang juga terbiasa dengan gempa. Mereka selalu terlihat tenang, setiap gempa mengguncang.

Tapi, gempa kemarin (11/3) sungguh beda. Itu bukan gempa biasa.

Saat guncangan pertama terjadi, saya merasakan getaran yang hebat. Tak lama, lemari di ruang kerja saya jatuh terbalik dan buku-buku bertebaran. Saat itu saya sedang berada di kantor yang berlokasi di lantai 9 sebuah gedung di daerah Marunouchi, Tokyo.

Saya langsung berdiri dan bertanya pada rekan kantor yang warga Jepang. Mulanya mereka mengatakan untuk tenang, namun saat guncangan makin besar, mereka juga panik. Kalau warga Jepang sudah panik, artinya gempa ini serius. Ketika getaran semakin keras, kami bertahan di bawah meja dan melihat ruangan kantor porak poranda. Selain lemari, papan tulis, gantungan jaket, dan buku-buku, ambruk dan berhamburan ke lantai.

Getaran tidak berhenti namun justru bertambah kencang. Debu-debu mulai berjatuhan dari langit-langit ruang kerja. Saat itu, kami mulai panik. Namun di tengah kepanikan, saya kagum dengan kesigapan, standard operation procedure, dari pengelola gedung.

Saat guncangan pertama terjadi, pengeras suara langsung mengumumkan bahwa saat ini terjadi gempa yang cukup keras. Kita diminta untuk tetap bertahan di ruangan. Hal ini bagi saya agak berat, sebab sudah pernah beberapa kali merasakan gempa di gedung tinggi Jakarta. Dan yang dilakukan saat itu adalah, kita berhamburan keluar melalui pintu darurat. Namun hal itu justru dilarang di Jepang.

Peringatan mengatakan bahwa berada di luar gedung saat gempa justru lebih berbahaya. Kami diminta untuk bertahan di dalam. Gedung sudah dirancang untuk tahan gempa. Mudah memang mengatakannya, namun kalau anda berada pada posisi yang secara konsisten diguncang dan dibanting selama bermenit-menit, yang terbersit tentu pikiran untuk segera keluar dari gedung.

Selama hampir dua jam, guncangan tidak berhenti. Keras, reda, kemudian kembali dibanting-banting lagi. Bukan hanya gerakan dari kiri ke kanan, namun juga diguncang dari atas ke bawah. Kami bertahan di bawah meja saat guncangan terjadi.

Pegawai di kantor kami secara sigap langsung membagikan makanan, air minum, mempersiapkan senter dan peluit. Itu memang standar penanganan gempa di gedung-gedung tinggi Jepang. Saat pertama kali berkantor, saya juga sudah diingatkan untuk selalu menyediakan berbagai keperluan standar tersebut.

Saat guncangan semakin keras, pikiran saya tentu tertuju ke keluarga di rumah. Apalagi saat itu anak saya sedang berada di sekolah. Namun saya lebih tenang kalau anak di sekolah, karena sekolah di Jepang telah memiliki standar penanganan gempa, dan anak-anak sudah dilatih menghadapinya.

Anak saya diberikan perangkat gempa dari sekolah, berupa tutup kepala yang selalu harus dipasang di bangkunya setiap hari, baik saat terjadi maupun tidak terjadi gempa. Mereka juga dilatih bagaimana kalau terjadi gempa, ke mana harus berkumpul, dan bagaimana sekolah mengontak orang tua.

Pihak kelurahan juga telah memeringati tentang kemungkinan terjadinya gempa besar ini sejak tahun lalu. Mereka sudah antisipasi akan terjadi gempa besar, namun tidak dapat memastikan kedatangannya. Hal yang dilakukan adalah secara rutin berlatih menghadapi gempa. Di sekolah, di rumah, dan di perkantoran, kami dilatih untuk menghadapi gempa. Di setiap perumahan juga tersedia pengeras suara dan sirene yang menandakan gempa, serta apa yang perlu kita lakukan.

Berdasarkan kondisi tersebut, saya merasa lebih tenang akan kondisi keluarga.
Tiba-tiba, pengeras suara di gedung berbunyi kembali dan mengatakan bahwa seluruh lift dimatikan, para penghuni gedung diminta menjauh dari tempat berbahaya, jangan menyalakan api, dan tetap berada di ruangan. Diingatkan pula bahwa gempa susulan masih akan terus terjadi. Petugas-petugas gedung juga melakukan inspeksi ke setiap ruangan untuk memastikam keamanan gedung dan penghuninya.

Saya berada di gedung sekitar 4 jam hingga pengumuman mengatakan boleh keluar. Namun, saat berhasil keluar gedung, seluruh layanan kereta api dan bis kota dihentikan. Pemerintah kota mengambil langkah antisipatif demi keamanan penumpang. Penduduk Tokyo pun tumpah ruah di jalan, berdesakan di stasiun, karena tidak bisa pulang. Kebanyakan pekerja di Tokyo tinggal di luar kota dan menggunakan kereta api sebagai sarana transportasi mereka. Berhentinya kereta api, berarti terputusnya hubungan dengan rumah.

Karena udara musim dingin begitu menggigil, sekitar 5 derajat, dan jalan kaki tidak mungkin, maka sebagian mereka menginap di kantor. Akibatnya banyak convenience store (kombini) diserbu orang untuk sekedar mendapatkan roti atau onigiri (nasi kepal Jepang).

Hal menarik dari gempa di Jepang adalah perkara kesiapan pemerintah dan warganya dalam menghadapi bencana. Meski panik, mereka terlihat tenang dalam menyikapi bencana. Prosedur dan latihan bertahun-tahun membentuk ketenangan tersebut. Selain itu, budaya memikirkan orang juga patut dicontoh. Saat pulang semalam, meski jalanan padat oleh mobil, masyarakat menyerbu supermarket untuk makanan, warga mencari taksi untuk kembali pulang, mereka tetap melakukannya dengan tertib dan antri secara teratur. Di jalanan, meski macet total, tapi tidak terlihat ada yang menyerobot, bahkan menyalakan klakson.

Gempa dan bencana alam memang tak bisa ditolak. Korban juga tak dapat dihindari. Gempa saat ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah gempa di Jepang. Namun mereka telah mempersiapkan kedatangan gempa ini jauh-jauh hari. Malang tentu tak dapat ditolak, tapi bagaimana kita menyikapi bencana tersebut menjadi penting. Dengan persiapan yang matang dan antisipasi yang baik, meski terdapat korban, jumlahnya bisa diminimalkan.

Bayangkan bila Jepang tidak mempersiapkan diri, termasuk mempersiapkan ketahanan bangunannya. Korbannya mungkin bukan hanya akibat tsunami, tapi ditambah dengan akibat reruntuhan bangunan.

Saat ini, gempa susulan masih terjadi beberapa kali. Mudah-mudahan keadaan bisa lebih baik di sini, dan kita bisa mengambil pelajaran. Mohon doanya dari rekan kompasianer.

Salam