Monday, January 26, 2009

Sekaleng Coca Cola seharga 15 Milyar

Ini sungguh terjadi. Harga sekaleng Cola mencapai 15 miliar. Harga dua kilo gula pasir mencapai 20 miliar. Kertas tissue, toilet paper, sabun, dan sikat gigi, harganya miliaran. Dan harga tersebut dalam satu hari bisa meningkat dua kali lipat. Mungkin bulan depan, sekaleng Cola bisa berharga satu triliun. Kenapa jadi mahal begitu? Karena hampir seluruh warga Zimbabwe kini menjadi miliarder. Bukan hanya miliarder, bahkan triliuner. Tanggal 17 Januari 2009 lalu, Bank Sentral Zimbabwe menerbitkan lagi uang kertas senilai 10 triliun dollar Zimbabwe dan rencananya akan segera menerbitkan 20, 50, dan 100 triliun dollar Zimbabwe. Anda ingin jadi miliarder, pergilah ke Zimbabwe.

Namun uang triliunan dollar di Zimbabwe nyaris tiada arti saat dibawa ke pasar. Uang 20 miliar dollar Zimbabwe nilainya sama dengan 6000 rupiah. Uang 10 triliun kira-kira sama dengan 300 ribu rupiah. Itulah kondisi perekonomian di Zimbabwe yang dilanda hiperinflasi. Barang-barang menjadi langka, perekonomian mengalami depresi, dan inflasi mencapai jutaan persen. Rakyat hidup dalam kesulitan. Dalam ilmu ekonomi, hiperinflasi adalah sebuah kondisi saat inflasi melejit tinggi tak terkontrol.

Hiperinflasi di Zimbabwe adalah salah satu kondisi terburuk sepanjang sejarah. Yang terparah di Hungaria pasca perang dunia ke II. Saat itu, inflasi mencapai 12,950,000,000,000,000 (12 quadrillion) persen, dengan harga melonjak dua kali lipat setiap 15 jam. Hiperinflasi lain pernah terjadi di Jerman pada tahun 1923. Di Jerman, inflasi meroket 30% per bulan dengan harga meningkat dua kali lipat setiap 3 hari. Di Zimbabwe, inflasi naik lebih dari 100% per bulan dengan harga meningkat dua kali lipat setiap 1,3 hari. Saat menerima uang, warga Zimbabwe harus segera membelanjakannya. Kalau lewat sehari saja, nilainya tergerus setengahnya.

Penyebab hal ini adalah pengelolaan ekonomi yang buruk oleh Presiden Mugabe. Gejolak politik dan sosial telah mengacaukan Zimbabwe. Hal yang dilakukan oleh pemerintahan Mugabe untuk mempertahankan kekuasaannya adalah mencetak uang secara besar-besaran. Uang dipakai untuk membayar gaji pegawai, tentara, dan belanja pemerintah. Uang beredarpun tumbuh tak terkendali menjadi akar dari hiperinflasi. Menghadapi masalah yang timbul, Mugabe justru memerintahkan bank sentral Zimbabwe untuk terus mencetak uang. Bank Sentral Zimbabwe adalah kementrian yang berada di bawah kekuasaannya. Gubernur Bank Sentral Zimbabwe, Dr Gideon Gono, dengan sendirinya patuh pada perintah Mugabe. Dengan uang beredar yang meningkat berkali lipat, inflasi terus menanjak.

Indonesia pernah mengalami hiperinflasi pada tahun 1965. Saat itu inflasi di Indonesia mencapai lebih dari 600%. Sumber permasalahannya sama, terlalu banyak uang dicetak untuk membiayai revolusi dan berbagai pengeluaran lainnya. Setelah kejadian itu, hiperinflasi tidak pernah terjadi lagi di negeri ini. Mudah-mudahan ke depan juga begitu. Inflasi pernah melejit tinggi mencapai 72% saat krisis ekonomi tahun 1997/98 dan mencapai 17% saat kenaikan harga minyak di tahun 2005. Tahun 2008 lalu, saat krisis global melanda, harga minyak dunia meningkat dan mendorong kenaikan BBM serta harga-harga dalam negeri. Namun inflasi untuk tahun 2008 masih dapat dikendalikan pada tingkat 11,06%.

Tingginya inflasi merepotkan kehidupan rakyat. Harga-harga melonjak tinggi dan masyarakat kehilangan daya beli, khususnya mereka yang berpenghasilan tetap. Benar apa yang dikatakan Ernest Hemingway, bahwa inflasi lebih berbahaya dari perang. Inflasi adalah perampok diam-diam yang menggerus uang dari kantong setiap warga masyarakat. Perlahan tapi pasti, masyarakat bertambah miskin karena inflasi.

Oleh karenanya, upaya mengendalikan inflasi menjadi kepedulian setiap negara. Kita tidak ingin inflasi membuat rakyat bertambah miskin. Guna menjaga dan mengendalikan inflasi, peranan bank sentral sangat strategis dalam perekonomian. Bank sentral yang tidak independen, seperti yang terjadi di Zimbabwe, kerap menjadi alat politisi dalam menjalankan kebijakan politiknya, misalnya mencetak uang secara terus menerus. Indonesia sejak tahun 1999 telah memiliki undang-undang yang mengatur independensi bank sentral. Upaya ini bertujuan untuk mensterilkan peranan bank sentral dalam pengendalian inflasi.

Sejak beberapa dekade terakhir ini, bank sentral di seluruh dunia sangat ketat mengontrol inflasi, melalui sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Maksudnya adalah, bank sentral mengelola tingkat inflasi pada level tertentu dan menjaganya agar tidak melonjak dari kisaran yang sudah ditentukan. Apabila inflasi diperkirakan melampaui target, Bank sentral harus siap meredam inflasi. Sumber inflasi bisa bermacam-macam, mulai dari kenaikan harga barang yang dikendalikan pemerintah, kelangkaan makanan, pelemahan nilai tukar, ataupun meningkatnya permintaan yang tidak diimbangi oleh penawaran. Bank Sentral perlu memahami sumber inflasi sebelum melakukan respon dalam kebijakan moneternya.

Apakah dengan ITF kemudian bank sentral melupakan pentingnya pertumbuhan ekonomi? Krisis global saat ini menunjukkan bahwa kebijakan ITF bersifat fleksibel. Dalam jumpa pers awal tahun, Gubernur Bank Indonesia, Dr Boediono, mengatakan bahwa inflasi tetap menjadi perhatian Bank Indonesia. Namun dengan semakin turunnya tekanan inflasi akibat melemahnya perekonomian global, perhatian kiranya dapat diberikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat perlu dijaga agar tidak semakin melemahkan perekonomian. Oleh karenanya, rangsangan yang diberikan oleh kebijakan moneter adalah penurunan suku bunga yang akan terus dilakukan sepanjang tidak mengganggu stabilitas. Jadi di sini terlihat bahwa ITF bukanlah sebuah mekanisme yang kaku. Ia juga fleksibel dalam pengelolaan ekonomi negeri.

Mudah-mudahan apa yang terjadi di Zimbabwe tak akan pernah terjadi di negeri ini. Untuk itu, pengendalian inflasi secara konsisten memang sebaiknya diserahkan pada bank sentral yang independen.

Sunday, January 25, 2009

Lu Olang Musti Kelja Kelas

Tahun baru Imlek 2560 punya makna sendiri bagi Cik Lusi. Tahun ke depan tak akan lebih mudah. “Lu olang musti lajin kelja kelas ya (rajin kerja keras)”, ujarnya. Bagi mereka yang setiap akhir pekan sering lari pagi di pantai Carnival Ancol, tentu mengenal Cik Lusi. Ia adalah pedagang makanan kecil yang mangkal di pojok pantai Carnival. Dagangan cik Lusi mulai dari nasi begana, nasi kuning, kue-kue basah, dan beragam makanan kecil lainnya. Para pengunjung pantai, kebanyakan orang-orang tua Tionghoa, usai lari pagi kerap mengerubungi cik Lusi. Mereka makan kue sambil kongkow-kongkow. Persis seperti kebiasaan yum cha (makan kecil di pagi hari) di tea house pada kota-kota di Hong Kong ataupun daratan China.

Saya salah satu pelanggan tetap cik Lusi. Bakso goreng dan nasi begananya lumayan mengganjal perut yang habis diajak lari pagi. Cik Lusi datang pagi hari sebelum pantai ramai dan pulang setelah dagangannya habis. Menyambut Imlek ini Cik Lusi berpesan pada kita yang muda-muda. “Anak sekalang kalo kelja suka pilih-pilih. Jangan malu kalau kelja. Halus (harus) tekun..”. Ia bercerita bahwa kalau dagangannya belum habis, ia tidak malu untuk mengasong ke setiap pengunjung. Kalau ditolak, jangan cemberut. Itu prinsipnya. Kebiasaan ini sudah dilakukannya sejak kecil dulu. Ia memulai usaha dengan berjualan es mambo keliling bis kota. Harganya waktu itu hanya seringgit. Ketekunan dalam berdagang adalah semangat yang diajarkan Cik Lusi pada kita semua di pagi hari itu. Kini cik Lusi sudah memiliki usaha yang lumayan dan mampu menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Ia berdagang di Ancol hanya pada hari libur saja.

Imlek 2560 kali ini dibayangi oleh ancaman krisis global yang semakin dalam. Di tahun Kerbau Tanah ini, IMF dalam World Economic Outlook meramalkan krisis yang akan semakin dalam. Strauss Kahn, Managing Director IMF, dalam wawancara di BBC pekan lalu mengatakan bahwa gambaran ekonomi dunia makin suram dan menyedihkan. Pertumbuhan ekonomi negara maju memasuki resesi, atau tumbuh negatif antara 1 hingga 3 persen. Perlambatan ini juga terjadi di China, India, dan Brazil. Hal tersebut pada gilirannya akan memukul ekspor Indonesia dan berdampak pula pada melemahnya ekonomi RI.

Harapan terbesar untuk bertahan hidup di tahun 2009 dan imlek 2560 kali ini adalah pada sisi konsumsi. Di sinilah mengapa stimulus fiskal dan rangsangan lainnya di perekonomian menjadi penting. Daya beli masyarakat jangan sampai jatuh. Kita melihat bahwa turunnya BBM telah memberi sedikit rangsangan daya beli masyarakat. Turunnya suku bunga diharapkan semakin meningkatkan gairah perekonomian.

Sektor perdagangan diperkirakan masih dapat tumbuh sekitar 5,7% di tahun 2009. Secara khusus, subsektor ritel diharapkan dapat menahan perlambatan ekonomi lebih dalam. Produk subsektor ini adalah makanan dan minuman. Inilah sektor yang diperkirakan mampu bertahan di tengah krisis. Omzet makanan dan minuman mendominasi 50% dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran.

Kalau kita bedah dan menukik lebih dalam lagi pada pelaku sektor perdagangan, kita akan menemukan cik Lusi dan banyak lagi pelaku dagang Tionghoa lainnya. Termasuk pula tentu pedagang kecil lainnya. Mereka inilah salah satu bantalan dalam menghadapi krisis. Perannya tak bisa dinihilkan. Perhatian pada mereka perlu menjadi kepedulian Pemerintah.

Kelebihan mereka, tangguh dan tahan terhadap krisis. Benar kata cik Lusi, “Kalau mau sukses, lu olang musti kerja kelas. Jangan pelnah malu…..”. Semoga kita tetap semangat.

Selamat Tahun Baru Imlek Cik. Gong Xi Fa Cai…..

Proyek Citizen Journalism dari pantai Carnival Ancol

Monday, January 19, 2009

"Banyu Mili" di Warung bu Saleh

Banjir yang melanda Jakarta hari ini meninggalkan cerita menarik tentang Bu Saleh. Ia adalah pemilik warung jajanan dan teh manis di wilayah Sumur Batu, Jakarta Pusat. Bu Saleh bukan tipe pedagang yang mudah menyerah. Meski tak banyak, pelanggannya tetap. Mereka adalah para tukang ojek dan pedagang keliling. Setelah lelah berkeliling, para pedagang itu biasanya istirahat sambil mencicipi pisang goreng dan secangkir teh manis di warungnya. Bukan melulu soal uang, tapi kebersamaan, keakraban, telah menjadi ciri dari warung bu Saleh.

Beberapa dari pelanggan bahkan kerap nge-bon untuk makan di warung bu Saleh. Tapi bu Saleh tak pernah nyinyir dan sedih. Ia percaya bahwa rezeki ada yang mengatur. Kadang dalam suatu waktu, saya “nongkrong” di warung bu Saleh. Sambil menyeruput teh manis, saya bicara dengannya. Pandangannya tentang ekonomi kehidupan ini sederhana saja. Prinsipnya ”banyu mili”. Biar sedikit tapi terus mengalir.

Hujan deras yang melanda pagi tadi merendam sebagian dari Jakarta. Warung bu Salehpun terendam sampai sedengkul orang dewasa. Namun ia tetap tersenyum dan membuka warungnya di atas genangan air. Para pelanggannya pun tetap setia datang minum teh manis sambil mengangkat kaki dan membicarakan banjir. Ketel panas tetap membara menyeduh air panas untuk dibuat teh manis. Pisang goreng tetap tersedia untuk disantap para pelanggan.

Ketika saya tanya soal banyu mili (di atas banyu banjir), bu Saleh hanya tertawa. ”Banyu mili” tetap prinsip hidup saya mas, ujarnya. Filosofinya sederhana katanya. Meski tidak besar, rezeki diyakini akan terus mengalir. ”Mili” dalam bahasa Jawa berarti terus mengalir, walau tidak deras. Seperti sungai kecil, yang kendati sedikit airnya, tak berhenti mengalir. Penghasilan Rp10.000-15.000 per hari menurutnya patut disyukuri. Bukan jumlahnya, tapi pemberian pada hari itulah yang harus disyukuri.

Saya hanya bisa termenung. Pelaku ekonomi seperti bu Saleh inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi kita. Pedagang kecil, pelaku UMKM, petani, dan nelayan, adalah mereka yang menggerakkan ekonomi negeri. Jumlah mereka mencapai lebih dari 90% pelaku ekonomi di Indonesia. Kontribusinya pada PDB juga melebihi 60%. Dan hal terpenting yang mereka miliki, yang jarang dimiliki oleh pengusaha besar/ konglomerat, adalah bahwa mereka tidak cengeng.

Di atas genangan banjir, di bawah tekanan hidup, bu Saleh tak pernah mengeluh. Ia tak meminta fasilitas, ia tak meminta suku bunga turun, ia tak meminta kemudahan kredit, ia tak meminta macam-macam. Menurut Filsuf Friedrich Nietzche, bu Saleh adalah personifikasi mereka yang berani mengatakan ”Ya” pada kehidupan. Merekalah yang seharusnya menjadi perhatian dan keutamaan bagi para pemimpin negeri dalam menjalankan kebijakan ekonominya.

Hari ini, saya belajar dari bu Saleh.

Sunday, January 11, 2009

Kenapa yang Krisis Amerika, Tapi Dollar AS malah Menguat?

Kalau Indonesia kena krisis ekonomi, Rupiah pasti melemah. Kalau Thailand kena krisis, Baht juga pasti melemah. Di banyak negara lain, krisis yang terjadi akan berdampak pada melemahnya nilai tukar. Tapi kenapa kalau Amerika yang kena krisis, Dollar malah menguat? Ambruknya ekonomi, runtuhnya pasar keuangan, bertumbangannya pabrik, dan melebarnya PHK di Amerika, seharusnya membuat Dollar melemah. Tapi yang terjadi justru Dollar menguat.

Pertanyaan ini banyak muncul saat melihat Rupiah tertekan terhadap dollar di penghujung 2008 dan memasuki 2009 ini. Pertanyaan iseng ini muncul lagi, saat saya ngobrol-ngobrol dengan salah seorang pengamat ekonomi dalam “Diskusi Outlook Ekonomi 2009” yang diadakan di Jakarta pekan lalu. Obrolan ini dilakukan sambil santai sebelum diskusi dimulai.

Economist dan pengamat yang hadir pada kesempatan itu antara lain Umar Juoro, Mirza Adityaswara, Budi Hikmat, Purbaya Sadhewa, Yanuar Rizky, dan beberapa pengamat lainnya. Hadir pula beberapa Deputi Gubernur BI seperti Dr Hartadi Sarwono dan Dr Muliaman D Hadad. Diskusi memang lebih banyak membicarakan mengenai outlook ekonomi 2009.

Namun di meja kopi, saya dan pengamat tersebut asyik membahas mengenai rupiah. Pertanyaan kenapa Dollar menguat adalah pertanyaan umum masyarakat awam dan menjadi perbincangan warung kopi sehari-hari saat terjadi krisis ekonomi. Saat krisis melanda Amerika, banyak orang bersorak bahwa Amerika akan ambruk. Apalagi kalau kita ingat krisis 1998 yang terjadi di Indonesia telah meluluhlantakkan rupiah. Namun inilah kehebatan politik ekonomi Amerika Serikat, dan sekali lagi menunjukkan betapa rentannya perekonomian Indonesia. Dollar justru makin hari makin menguat. Mengapa?

Alasan pertama adalah, saat terjadi krisis global, ekonomi seluruh dunia menghadapi gejolak yang meningkat. Keketatan likuiditas di pasar keuangan dunia yang dipicu oleh permasalahan subprime mortgage, meluas menjadi krisis kepercayaan. Sektor riil di AS kemudian terkena imbas dari gejolak, yang mendorong pelemahan ekspansi ekonomi dunia yang dalam. Krisis kepercayaan merambat ke seluruh dunia. Dalam kondisi seperti ini, uang tak punya tuan. Uang tak punya nasionalisme. Mereka bergerak liar mencari kandang, atau tempat yang paling aman. Terjadilah apa yang dinamakan “flight to quality” atau pelarian modal pada asset yang paling bisa dipercaya di muka bumi.
Kemana tempat yang masih bisa dipercaya? Dalam kondisi saling tak percaya, asset T-Bills milik Bank Sentral AS (The Fed) dan Surat Berharga Pemerintah AS dinilai masih lebih baik relatif dibanding asset di negara lain. Hal inilah yang mendorong Dollar rame-rame “pulang kampung” ke AS. Inilah realita dari kapitalisme. Arus keluar modal asing dari emerging markets terus berlangsung dengan bebas. Proses ini ditambah lagi dengan upaya perusahaan di AS untuk memperbaiki struktur neraca lembaga keuangannya. Mereka melakukan penyesuaian portfolionya secara besar-besaran. Proses ini dikenal dengan istilah deleveraging.

Alasan kedua, menurut obrol-obrol tadi, adalah semacam konspirasi teori. Bangkrutnya lembaga keuangan AS sudah terlihat ketika The Fed mengumumkan terjadinya gagal bayar kredit perumahan (KPR) oleh nasabah pas-pasan (subprime mortage). Saat nasabah mengambil KPR, bunganya rendah karena bunga acuan The Fed (Fed rate) berada di satu persen. Masalah terjadi pada 2002, saat Amerika mengalami masalah defisit neraca perdagangan dengan Cina (ekspor lebih kecil dari impor). Untuk mengatasi defisit, bisa juga diatasi dengan operasi pasar di pasar kurs. Nah, repotnya Cina tidak ikut rezim kurs pasar melainkan kurs tetap (fix rate).

Saat itu, The Fed meminta dana berlebih dari lembaga keuangan AS (global hedge fund) untuk kembali ke “kampungnya” , agar likuiditas menjadi suporter di tim AS bukan sebaliknya. Sekali lagi, inilah konsekuensi dari kapitalisme, yaitu uang tak kenal nasionalisme.Untuk bisa pulang kampung, harus ada untung. Itulah, saat The Fed menaikkan Fed rate yang agresif dimulai 2004 sampai ke 5,85%. Uang kembali, tapi makan korban gagal bayar KPR yang lalu memerlukan koreksi The Fed (September 2007) dengan menurunkan rate.

Di 2008, krisis makin bergulir. Lehman jatuh dan Fed membutuhkan dana besar mencegah dampaknya ke AIG. Keluarlah mekanisme “bail out”. Awalnya publik mengatakan ini sebagai karma BLBI, agar AS merasakan sendiri rasanya krisis. Namun bail out ini baru awal cerita, setelah itu terjadi, uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS harus diganti. Saat itu yang terjadi adalah “devisa kertas”, karena bail out diganti oleh kertas milik perusahaan. Pemerintah AS pun memerintahkan untuk melakukan “force sale” atau memaksa perusahaan-perusahaan AS menjual portfolionya di negara lain. Bursa duniapun rontok, termasuk Indonesia. Rupiahpun melemah, namun dollar menguat karena dollar ramai-ramai “dipaksa” pulang kampung .

Singkat cerita, berbagai alasan mulai dari krisis kepercayaan hingga konspirasi teori antara pemerintah AS dan the Fed, politik ekonomi Amerika masih bisa menyelamatkan dollar. Permasalahannya adalah apakah gejala ini temporer (sementara) atau tetap. Kita akan melihat nanti ke depan, seberapa kuat ekonomi AS dan Dollar AS menahan kepercayaan ini.

Namun pelajaran yang dapat dipetik oleh kita adalah, kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia perlu lebih smart dalam membaca gejolak dan konspirasi pasar keuangan global. Kita harus menghindari kebijakan panik dan berjangka pendek. Di sisi struktur perekonomian, upaya membangun struktur industri yang kokoh di dalam negeri perlu diintensifkan. Pertumbuhan ekonomi yang masih dilandasi oleh konsumsi, apalagi yang ditopang impor, akan sangat rawan terhadap pelarian arus modal. Struktur pertumbuhan ini akan lebih memunculkan banyaknya saudagar ketimbang industriawan. Diskusi yang menarik di siang hari.

BI Rate 8,75%, Antara Gairah dan Rangsangan

Posted on Kompasiana

PAK Boed hari (7/1/09) ini memutuskan BI Rate turun sebesar 50 basis points (bps) atau 0,5% dari 9,25% menjadi 8,75%. Pasar keuangan, media massa, investor, pengusaha, serta masyarakat umum, hari ini menanti keputusan itu. Wartawan telah memenuhi gedung BI sejak pagi. Penurunan BI Rate itu disambut baik berbagai kalangan dan diharapkan dapat memberi stimulus serta menambah gairah perekonomian nasional yang mulai melesu akibat krisis global.

Tampil lengkap bersama jajaran anggota Dewan Gubernur lainnya, Pak Boed mengatakan bahwa berbagai perkembangan dalam perekonomian di 2009 menghendaki arah kebijakan moneter agar lebih memberikan perhatian pada upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengingat dampak dari krisis global saat ini diperkirakan akan memperlambat ekonomi Indonesia. Tentu saja penurunan BI Rate itu harus tetap memerhatikan laju inflasi dan kestabilan sektor keuangan dalam jangka menengah.

BI Rate adalah instrumen yang digunakan Bank Indonesia sebagai sinyal ke pasar keuangan mengenai kondisi ekonomi, khususnya arah pencapaian inflasi ke depan. Sebagai sinyal, pergerakan BI Rate diharapkan dapat diikuti oleh pergerakan suku bunga di pasar keuangan, dan perbankan khususnya suku bunga kredit. Dengan demikian, dunia usaha akan memiliki ruang gerak dalam mengembangkan usahanya.

Alasan lain diturunkannya BI Rate adalah karena krisis global telah menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri terus menurun. Penurunan inflasi itu muncul sebagai akibat dari berbagai hal antara lain penurunan harga komoditi, pangan dan energi dunia, produksi pangan di dalam negeri yang sangat baik pada 2008, serta perlambatan permintaan agregat. Menurunnya harga-harga tersebut telah ikut menurunkan laju inflasi. Pada bulan Desember 2008 saja kita mencatat deflasi sebesar 0,04%. Secara keseluruhan laju inflasi tahun 2008 tercatat sebesar 11,06%. Dalam tahun 2009 ini, Pak Boed mengatakan bahwa laju inflasi diprakirakan terus menurun menuju kisaran 5%-7%, yang ditunjang oleh berlanjutnya kondisi faktor-faktor pendukung tersebut diatas.

Ketika ditanya tentang prospek ekonomi ke depan, Pak Boed menjelaskan bahwa pada 2009, indikator-indikator awal perekonomian Indonesia menunjukkan perlambatan pertumbuhan. Hal ini terlihat pada beberapa komponen permintaan agregat, khususnya ekspor dan investasi.

Di sisi perbankan, kredit perbankan juga mulai menunjukkan perlambatan dari laju pertumbuhan 37,1% (yoy) pada Oktober 2008, menjadi 30,2% (yoy) berdasarkan data terakhir sementara bulan Desember 2008. Perlambatan kredit perbankan diprakirakan akan berlanjut dalam tahun 2009, dengan laju pertumbuhan kredit diprakirakan berada pada kisaran 18% - 20%. Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi pada 2009 diprakirakan berada pada kisaran 4% - 5%.

Di 2009, industri perbankan dalam negeri diperkirakan akan mengalami dampak dari krisis keuangan global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Namun secara umum, perbankan nasional masih tetap memiliki daya tahan yang cukup baik. Hal itu tercermin dari indikator utama perbankan CAR dan NPL. Rasio kecukupan modal (CAR) masih tetap tinggi meskipun sedikit menurun menjadi 14,3%. Sedangkan Non Performing Loan (NPL), yang merupakan indikasi dari pinjaman yang tidak lancar, berada di sekitar 5%.

Junanto Herdiawan, blogger melaporkan dari konferensi pers BI Rate