Friday, April 08, 2011

Masa Depan Nuklir Sesudah Fukushima

Tulisan ini dimuat di Harian KONTAN, 8 April 2011, hal 23

Semenjak terjadi krisis reaktor nuklir Fukushima, yang terletak di wilayah timur laut Jepang, masa depan energi nuklir berada dalam kegamangan. Bayangan tragedi Three Mile Island di Amerika Serikat (1979) dan Chernobyl di Ukraina, bekas wilayah Uni Soviet (1986) terasa bangkit kembali. Dunia kemudian dihinggapi oleh kecemasan akan keselamatan reaktor nuklir dan bahaya radiasi pada kehidupan manusia.

Sesaat setelah terjadi bencana di Fukushima, Amerika Serikat, India, dan Korea Selatan langsung melakukan review terhadap standar keamanan pada seluruh reaktor nuklir mereka. Jerman menghentikan 7 dari 17 reaktor yang dimiliki. Taiwan mengundurkan jadwal operasi reaktor barunya. Italia melakukan penilaian kembali perlunya memiliki reaktor nuklir. Sementara China menghentikan sementara pembangunan semua reaktor nuklir baru. Rencana pembangunan reaktor nuklir di beberapa negara sementara dihentikan. Hanya dua negara di Asia Tenggara yang mengindikasikan terus memiliki reaktor nuklir, yaitu Indonesia dan Vietnam.

Para pengambil kebijakan kini berada pada posisi yang sulit karena menghadapi tekanan publik akan keselamatan reaktor nuklir mereka. Hal inilah yang juga menjadikan banyak negara mulai mempertimbangkan keberadaan reaktor nuklir mereka. Pertemuan pemimpin negara-negara industri maju G-8, yang dijadwalkan Mei mendatang, akan membahas secara khusus tentang standar keamanan reaktor nuklir dan masa depan energi nuklir.

Dibandingkan dengan gas dan batu bara, nuklir diyakini sebagai sumber energi masa depan yang harganya lebih murah dan memiliki emisi karbon yang jauh lebih rendah. Para ilmuwan juga mengatakan, untuk kepentingan energi, nuklir memiliki daya damai yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Kitapun menyaksikan masa kebangkitan nuklir (nuclear renaissance) sebelum tragedi Fukushima terjadi.

Saat ini ada sekitar 440 reaktor nuklir yang beroperasi di 31 negara, dan menyumbang sekitar 15% energi listrik dunia. Sebanyak 63 reaktor sedang dibangun, dan lebih dari 158 dalam proses pengajuan pendirian di berbagai negara. Alasannya masuk akal, bahwa upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, membutuhkan energi yang berkesinambungan dengan emisi karbon rendah. Apalagi ke depan bahan bakar fosil semakin langka dan habis.

Langkah berbagai negara menimbang ulang pembangunan reaktor nuklir tersebut menjadikan masa depan energi nuklir berada dalam ketidakpastian. Hal ini juga tercermin dari anjloknya harga uranium dunia. Pascatsunami Jepang, harga uranium turun menuju titik terendah pada tanggal 17 Maret 2011, menyentuh US$ 49.74 per lb. Pada masa kebangkitan industri nuklir di tahun 2007-2008, harga uranium pernah menyentuh rekor tertinggi, mencapai US$ 136 per lb, sebelum turun karena krisis ekonomi global. Menurut Asosiasi Nuklir Dunia, di 2009 permintaan uranium dari 9 negara penghasil uranium sebesar 5,4 juta metrik Ton.

Dari sisi perekonomian, ketersediaan energi listrik menjadi salah satu variabel penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Berbagai industri manufaktur hanya akan bisa tumbuh dan berkembang di tempat yang menyediakan pasokan energi murah dan berkesinambungan. Hal ini membuat beberapa negara, seperti China dan Vietnam berpacu membangun reaktor nuklir.

China telah melakukan investasi agresif di bidang reaktor nuklir. Data dari Asosiasi Nuklir Dunia menunjukkan, di China, sebanyak 27 reaktor sedang dibangun, 50 reaktor sedang dalam proses perencanaan, dan 110 reaktor sedang diajukan untuk mendapat persetujuan pemerintah.

Saat ini China memiliki 13 reaktor nuklir yang sudah beroperasi dan menghasilkan 65,7 terrawatt hours (TWh). Jumlah ini hampir mencapai 2% dari kebutuhan total energi di China tahun 2009.

Dengan bangkitnya perekonomian China menjadi kekuatan ekonomi nomor dua dunia, Beijing terus menggenjot jumlah reaktor nuklir guna memenuhi target 5% pangsa energi nuklir di tahun 2020. Permintaan energi China diperkirakan meningkat sebesar 75% antara tahun 2008 hingga 2035.

Dalam draft Pembangunan Lima Tahun ke-12 awal Maret lalu, pemerintah China menargetkan tambahan kapasitas listrik sebesar 40 gigawatt tahun 2011-2015. Ini empat kali lebih besar dari ketersediaan listrik di tahun 2010. Namun, bencana di Fukushima membuat China sementara menangguhkan berbagai proyek nuklir tersebut.

Banyak pertimbangan
Ditangguhkannya berbagai proyek nuklir di banyak negara tersebut menunjukkan bahwa meski energi nuklir memiliki “daya damai” yang bermanfaat, segi keselamatan tetap menjadi prioritas. Berbagai tragedi menyisakan pertanyaan berapa yang harus dibayar dari kenyamanan teknologi nuklir.

Pelajaran dari kasus Fukushima ini jelas. Di satu sisi, standar pengamanan dan budaya pengelolaan disiplin menjadi syarat utama pengelolaan reaktor nuklir. Namun di sisi lain, kemungkinan bencana alam terburuk, termasuk gelombang tsunami, juga perlu dipikirkan dalam pembangunan reaktor nuklir. Apalagi beberapa negara yang memiliki reaktor nuklir, justru berada di wilayah “ring of fire” yang rawan dengan bencana gempa, tsunami, dan gunung berapi. Berbagai risiko tadi belum mempertimbangkan risiko lain, yakni ancaman terorisme. Bila terjadi serangan teroris pada reaktor nuklir, dampaknya sangat fatal.

Ujung-ujungnya, pembangunan reaktor nuklir memerlukan banyak pertimbangan. Bukan hanya dari sisi tekhnis operasional, namun juga dari sisi ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, masa depan energi nuklir ke depan diperkirakan masih akan tumbuh, namun secara moderat.

Beberapa negara, seperti Perancis yang tingkat ketergantungannya terhadap nuklir mencapai 75%, Finlandia, dan Belanda, masih akan berjalan dengan program nuklirnya. Negara-negara tersebut diperkirakan akan meningkatkan investasi untuk membangun reaktor nuklir generasi baru, yang diyakini lebih aman dan tahan terhadap bencana alam.

Namun di sisi lain, pembangunan beberapa reaktor kemungkinan akan terhambat atau dihentikan seiring dengan dilakukannya pengetatan syarat-syarat keamanan.

Bencana di Fukushima menunjukkan bahwa Jepang, negara yang paling disiplin, paling baik perencanaannya terhadap bencana dan salah satu yang paling kompeten dalam pengelolaan reaktor nuklir, tampak gagap. Kegelisahan, kengerian, dan ketakutan, sempat dirasakan pada penduduk Jepang, dan ikut menyebar ke seluruh dunia.

Kiranya berbagai hal itu perlu dipertimbangkan oleh setiap negara yang ingin membangun reaktor nuklirnya.

Junanto Herdiawan, Analis Ekonomi Senior

Wednesday, April 06, 2011

Menghitung Tsunami Ekonomi Jepang

Tulisan ini dimuat di Harian Kontan, 23 Maret 2011, hal 23.

Sebelum terkena bencana tsunami 11 Maret 2011 lalu, sejatinya perekonomian Jepang telah menyimpan beberapa masalah serius. Ekonomi Jepang menderita penyakit 3D, yaitu Depression, Deflation, dan Demographic.

Artinya, ekonominya mengalami depresi, terjebak dalam deflasi yang berkepanjangan, dan populasinya menua. Dan saat terkena bencana, mereka mendapat dua tambahan “D” lagi, yaitu Disaster dan Destruction. Belum lagi ada satu “D” yang selama ini juga telah menggayuti ekonomi Jepang, yaitu Debt (Utang).

Bencana kali ini lebih berat, karena selain menghadapi gempa dan tsunami, Jepang harus menghadapi krisis reaktor nuklir Fukushima. Bagaimana dampak bencana kali ini bagi Jepang? Untuk menghitung dampaknya, pertama kita perlu menghitung potensi kerugian yang muncul dari bencana kali ini. Lalu, kita perlu melihat potensi pemulihan atau rekonstruksi pascabencana yang dilakukan oleh Jepang, sehingga dampak total bencana bisa diperkirakan.

Setelah itu, kita juga dapat memperkirakan dampak bencana ini bagi perekonomian Indonesia. Bagi Indonesia, Jepang adalah mitra dagang terbesar, dengan pangsa sekitar 17% dan total ekspor senilai 25 miliar dolar AS.

Banyak pendapat yang mencoba membandingkan bencana kali ini dengan Gempa Kobe tahun 1995. Beberapa analis berpendapat, dampak bencana 2011 pada perekonomian Jepang tidak akan sebesar Kobe. Hal ini karena daerah yang terkena tsunami (Prefektur Miyagi), memiliki potensi ekonomi lebih kecil dibandingkan Kobe. Menilik pangsanya terhadap produk domestik bruto (PDB), pangsa Prefektur Miyagi hanya 1,7% terhadap PDB, lebih kecil dibanding Kobe, yang mencapai 2% dari PDB.

Namun, kita perlu ingat bahwa gempa yang menimpa Kobe berbeda dengan tsunami Miyagi. Saat Gempa Kobe, yang terkena dampaknya adalah sektor pelabuhan dan industri, namun tidak memengaruhi pasokan energi ke seluruh Jepang.

Tsunami tahun ini, bukan hanya menghantam wilayah Miyagi, namun mengenai reaktor nuklir Fukushima, yang menjadi pemasok sekitar 24% energi ke seluruh Jepang. Akibatnya, bukan hanya di wilayah yang terkena tsunami, namun sebagian besar Pulau Honshu (pulau terbesar di Jepang), mengalami kekurangan suplai energi.

Terkait dengan hal tersebut, bencana kali ini diperkirakan memberi dampak serius, dan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan Gempa Kobe 1995. Dampak putaran pertama dari bencana Jepang ini (first round impact) adalah menurunnya output beberapa industri, terkait dengan rusaknya pabrik akibat tsunami.

Di Miyagi, terdapat empat area yang terkena dampak paling parah, yaitu Iwate, Miyagi, Fukushima, dan Ibaraki. Keseluruhannya menyumbang sekitar 6,2% PDB Jepang (berdasarkan pengeluaran). Tsunami yang menghantam wilayah timur laut Jepang, diperkirakan akan menghentikan industri yang berada di wilayah sekitar pantai timur laut, minimal satu tahun ini, akibat kerusakan parah pada pabrik.

Analis memperkirakan terhentinya pabrik tersebut akan menurunkan pertumbuhan Jepang sebesar 2,2% hingga 3.0% dari PDB, atau sekitar 12 triliun Yen (148 miliar dolar AS). Apabila hal itu juga memperhitungkan industri berat di wilayah Fukushima dan Ibaraki, dampaknya akan lebih besar.

Dampak lanjutan (second round impact) dari bencana tersebut muncul akibat krisis reaktor nuklir Fukushima. Jepang akan mengalami kekurangan energi listrik dalam jangka pendek. Hal ini mengakibatkan penutupan operasi industri di hampir sebagian wilayah Kanto, atau di luar wilayah yang terkena dampak tsunami, khususnya industri yang menyerap banyak tenaga listrik, seperti industri baja dan otomotif.

Sementara itu, pemadaman bergilir dilakukan bukan hanya pada daerah yang terkena gempa, melainkan juga pada sekitar 13 prefektur, yang menyumbang sekitar 42% dari PDB Jepang. Mereka menjadi basis industri terkemuka Jepang, seperti Sony, Toyota, Nippon Steel, dll.

Risiko lain yang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Jepang adalah turunnya konsumsi masyarakat akibat kepercayaan yang turun, penguatan Yen yang berkelanjutan, dan apabila penanganan krisis reaktor nuklir tidak berjalan baik.

Tumbuh berkat rekonstruksi

Meski kerugian terhadap perekonomian Jepang akibat bencana ini cukup besar, harapan terletak pada upaya rekonstruksi atau pembangunan kembali Jepang, dalam jangka menengah panjang. Berapa jumlah biaya pemulihan untuk bencana kali ini, masih sulit dihitung.

Banyak analis memperkirakan biaya rekonstruksi gempa-tsunami 2011 ini antara US$ 100 milar – US$ 200 miliar dolar AS. Sementara biaya pembangunan kembali infrastruktur diperkirakan mencapai US$ 300 miliar dalam waktu sekitar 3 tahun. Biaya itu belum mempertimbangkan dampak pembersihan reaktor nuklir Fukushima, yang kemungkinan akan memakan waktu panjang dan biaya besar. Melihat dari kasus Three Mile Island di Amerika, mereka membutuhkan 14 tahun dengan biaya lebih dari US$ 1 triliun.

Menghitung kerugian dan potensi rekonstruksi pascabencana tersebut, perekonomian Jepang diperkirakan akan melemah dalam jangka pendek, terkait dengan kekurangan energi listrik dan rantai distribusi yang terganggu. Namun, proses rekonstruksi diperkirakan akan menahan kontraksi ekonomi tersebut. Beberapa lembaga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Jepang akan turun antara 0.1-0.2% secara year on year (yoy)

Ekspor Jepang dari industri yang mengandalkan tenaga listrik besar, seperti – baja, otomotif, elektronik – diperkirakan akan terpukul terkait dengan dihentikannya produksi beberapa pabrik dan turunnya kepercayaan pasar. Di sisi lain, impor Jepang, terutama bahan bakar untuk mengkompensasi hilangnya tenaga nuklir akan meningkat.

Kalau kita tarik ke dalam negeri, sebagai mitra dagang terbesar, gempa Jepang akan memberi dampak pada perekonomian Indonesia, khususnya melalui jalur perdagangan dan keuangan. Di sisi perdagangan, kita melihat kebutuhan energi Jepang akan meningkat dalam jangka pendek.

Beberapa hari setelah tsunami, Jepang menandatangani kesepakatan tambahan impor LPG sebesar 150.000 ton dari Rusia, dan 500.000 ton dari Korea Selatan. Dari sisi ini, Indonesia tentu dapat melihat peluang akan meningkatnya ekspor LPG ke Jepang.

Sementara di jangka menengah, saat dilakukannya rekonstruksi, kebutuhan akan alat-alat listrik dan alat dukung konstruksi diperkirakan ikut meningkat. Namun di sisi lain, impor Indonesia dari Jepang juga akan terpengaruh. Produksi otomotif, baja, dan elektronik Jepang, diperkirakan akan terganggu, setidaknya hingga akhir tahun 2011.

Akhirnya, kita tidak hanya perlu melakukan antisipasi ataupun meributkan dampak radiasi reaktor nuklir Jepang ke Indonesia. Namun yang tak kalah penting juga adalah bagaimana kita bisa mengantisipasi dampak ekonomi dari bencana yang terjadi di Jepang.

Junanto Herdiawan
Ekonom di Kantor Perwakilan BI Tokyo