Monday, December 29, 2008

Negara Tak Pernah Tidur, Tapi Sering Libur ...

Pak SBY kerap berkata bahwa “the state never sleep”. Negara tak pernah tidur. Hal ini adalah penjelasan atas kebiasaan beliau memimpin rapat kapan saja dan dimana saja. Meski negara tak pernah tidur, bukan berarti negara tak pernah libur. Justru di negeri ini, kita sering merayakan libur bersama. Bahkan Presiden, Wapres, dan Menterinya, beberapa kali kita saksikan sedang menikmati hari libur. Kita tentu ingat tulisan mas Wisnu saat pak JK berenang dengan cucu-cucunya di Makassar. Mungkin mottonya, Bersama Kita Libur...!!

Tak ada yang salah dengan libur. Justru saat libur itulah sebenarnya negara kita bergerak. Saat libur, negara ini tidak tidur. Saat libur, negara ini mengeliat dan ekonomi bertumbuh. Libur akhir tahun ini, banyak dari kita yang mengambil cuti pada tanggal 30-31 Desember sehingga bisa mendapatkan libur sampai 11 hari. Kita pulang kampung, berlibur bersama keluarga, ataupun berbelanja di berbagai tempat. Sungguh menyenangkan bukan.

Apa dampak libur panjang itu? Yang pasti tempat wisata penuh sesak. Belanja masyarakat meningkat. Melihat berita di TV, jalur puncak macet total. Demikian pula dengan kota-kota lain di daerah. Bandung macet dan dipenuhi warga Jakarta. Malioboro di Yogya penuh sesak dengan wisatawan. Pantai Kuta di Bali meriah oleh para pelancong. Mungkin banyak juga yang ingin menikmati Jakarta yang sepi. Tapi ternyata tak sepenuhnya benar. Saat menengok berbagai mall di Jakarta, Mall penuh sesak oleh para wisatawan domestik dari berbagai daerah. Warga Jakarta sendiri juga kerap kedatangan sanak saudara, sepupu, keponakan, dari daerah, yang ingin berwisata di Ibukota.

Tapi inilah gairah perekonomian negeri. Di tengah kelesuan dan pesimisme ekonomi, prediksi lesunya ekonomi di tahun 2009, kita seolah mendapat harap dari geliat masyarakat Indonesia yang gemar melakukan konsumsi. Ya, konsumsi adalah pendukung terbesar pertumbuhan ekonomi negeri. Sekitar 60% dari pertumbuhan ekonomi kita didukung oleh sektor konsumsi. Dengan penduduk melebihi 225 juta orang, gerak konsumsi Indonesia memang sebuah kekuatan luar biasa. Kita melihat sejumlah sektor seperti retail, konsumer produk, tekstil, garmen, elektronik, otomotif, dan non-tradables tumbuh dengan pesat seiring dengan jumlah penduduk yang besar.

Adalah China yang memperkenalkan model “Holiday Economy” untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Wakil PM China Qian Qichen di tahun 2001 menerapkan libur panjang bersama saat peringatan hari buruh untuk mendongkrak ekonomi negerinya. Industri turisme dan perdagangan ritel adalah yang paling diuntungkan dari kebijakan ini. Di tahun 1999, hal ini juga pernah dilakukan di China dan berhasil. Para ahli mengatakan bahwa “holiday economy” memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi China. Pendapatan hotel dan turisme meningkat 80% saat diterapkannya kebijakan itu.

Kembali ke Indonesia, meski kita tak punya apa-apa, tapi kita punya gaya. Konsumsi adalah kekuatan negeri ini. Konsumsi melulu memang tidak memberikan dampak yang berkelanjutan. Tapi tak ada yang salah dengan konsumsi yang besar bukan? Konsumsi, apabila disikapi dengan cerdas akan juga mendorong investasi dan produksi. Konsumsi adalah sebuah kekuatan yang mampu menarik para investor dan penanam modal untuk datang membangun Indonesia.

Secara spesifik, kekuatan konsumsi yang kita bicarakan adalah kekuatan konsumsi orang kaya yang signifikan. Jumlah orang sangat kaya di Indonesia sangat besar, bahkan lebih besar dari yang ada di Singapura ataupun Malaysia. Bandingkan jumlah mobil mewah antara Jakarta dan Singapura. Jauh lebih banyak di Jakarta (itupun belum menghitung yang dimiliki orang Indonesia di Singapura). Tak heran, tahun ini Singapura telah angkat bendera putih karena krisis global. Pertumbuhan mereka negatif, dan mengumumkan bahwa Singapore is in recession. Sementara Indonesia, meski terkena dampak krisis, masih berani menatap masa depan dengan optimis.

Jumlah penduduk Indonesia adalah 225 juta. Pendapatan perkapita mencapai 1.946 dolar AS. Bandingkan dengan masa sebelum krisis moneter saat pendapatan per kapita kita hanya sebesar 1.100 dollar AS. Dari jumlah itu, menurut analisis pak Harinowo (komisaris BCA), 10% nya adalah penduduk yang sangat kaya, dalam arti memiliki pendapatan per kapita lebih dari 6.000 dollar AS. Jumlahnya 22,5 juta orang.
Kekuatan orang sangat kaya di Indonesia dengan pendapatan per kapita yang besar itu menjadi landasan kuat untuk pertumbuhan konsumsi dan kemajuan ekonomi di tahun mendatang. Belum lagi ditambah dengan masyarakat menengah kaya, ataupun masyarakat yang merasa kaya. Kekuatan ini menjadi pendongkrak pertumbuhan ekonomi kita ke depan. Harapannya tentu bisa jadi sebuah pendorong bagi tumbuhnya ekonomi kerakyatan yang tersebar di seluruh negeri. Di sinilah kita berharap pada peran aktif dari Pemerintah untuk menjadikan pertumbuhan konsumsi ini berkelanjutan dan dapat menyebar ke pertumbuhan investasi dan produksi.

Akhirnya, liburan bisa menjadi sangat produktif. Selain memberikan nilai positif dari sisi psikologis, detachment dari rutinitas, membangun keakraban dengan sanak saudara, liburan adalah salah satu cara untuk mendongkrak ekonomi negeri. Kalaupun tidak mendorong ekonomi secara signifikan, setidaknya dengan berlibur kita mampu melupakan sejenak krisis yang sedang melanda negeri. Yuuuk kita berlibur ....

Saturday, December 27, 2008

3 doa, 3 cinta, dan 3 calon Presiden kita

Inilah kisah tentang Tiga. Nicholas Saputra bertemu lagi dengan Dian Sastro dalam film 3 Doa 3 Cinta. Buat yang kangen menyaksikan mereka main bareng lagi, 3 Doa 3 Cinta lumayan menghibur untuk ditonton pada libur natal dan tahun baru ini. Film ini membawa kita merenung dan memicu kesadaran tentang keterkungkungan kita pada berbagai masalah hidup selama ini. Huda, Rian, dan Sahid adalah 3 santri yang tinggal dan belajar di kalangan pesantren. Mereka memiliki mimpi dan cita-cita sendiri. Kebiasaan mereka adalah menulis doa dan harapan pada sebuah tembok pesantren. Dalam mencapai harapan itu, mereka berani memilih jalan yang berbeda, meski risikonya berat. Mereka bahkan harus menghadapi dilema antara kultur pesantren dengan kondisi nyata di luar pesantren.

Kisah tentang tiga orang santri yang memiliki harapan dan mimpi serta tantangan dalam mewujudkannya, dituturkan dengan menarik. Film inipun bisa menjadi sebuah metafor tentang kita dan kehidupan. Kalau dibawa ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mimpi dan harapan rakyat tentu diserahkan pada para pemimpin untuk mewujudkannya. Kebetulan, setelah reformasi, kita memiliki 3 presiden yang dipilih melalui proses demokrasi. Mereka adalah Gus Dur, Megawati, dan SBY. Ketiganya mewakili doa dan harapan rakyat, namun mereka juga dihadapkan pada sulitnya mewujudkan harapan itu. Dan sebagaimana para santri di film, kadang dalam merumuskan kebijakan, mereka cenderung bersifat pragmatis. Karena untuk keluar dari jalur mainstream risikonya terlalu besar.

Kita melihat dari sisi ekonomi negeri. Sepuluh tahun sejak krisis, perekonomian sudah mulai menunjukkan perbaikan. Namun perbaikan itu belum bisa sepenuhnya membawa kita keluar dari krisis. Permasalahan struktural perekonomian seperti kemiskinan dan pengangguran masih menghantui sebagian besar rakyat. Dalam masa kepemimpinan 3 presiden itu, Indonesia beberapa kali dihantam krisis ekonomi. Seperti kutuk, tidak ada satupun Presiden RI yang mulus memimpin negeri ini tanpa harus diuji oleh krisis.

Tapi, apakah para Presiden itu bisa disalahkan? Mereka telah berupaya keras tapi krisis datang lebih keras lagi. Bagi penganut aliran ekonomi business cycle atau conjunctur, tentu menyakini bahwa ekonomi tak selamanya bisa berjalan mulus. Perekonomian diyakini tidak akan bisa tumbuh terus tanpa batas, ataupun menukik terus tanpa dasar. Sudah dari sononya, kehidupan ekonomi akan selalu ditandai oleh fluktuasi. Ada titik balik dari segalanya. Ekonomi, secara alamiah, akan mengalami gelombang naik turun. Siapapun Presidennya.

Itulah konsekuensi dari sistem ekonomi yang kita anut saat ini, ekonomi terbuka. Sistem kita membolehkan produksi dan distribusi dilakukan orang per orang dalam sistem mekanisme pasar. Siapapun Presidennya tak akan bisa menghilangkan gelombang pasang surut ekonomi. Kita harus menerima kenyataan bahwa ekonomi akan mengalami krisis setiap beberapa tahun sekali. Berbagai indikator seperti pengangguran, kemiskinan, investasi, konsumsi, tabungan, suku bunga, dan budget pemerintah, hanya masalah perhitungan saja antara naik dan turun. Setiap pemerintahan akan mengkaji angka demi angka dalam pidato ataupun laporan pertanggungjawabannya.

SBY dan Megawati telah membulatkan tekad untuk maju lagi memimpin negeri. Calon ketiganya bisa Prabowo, bisa Sri Sultan, atau bisa siapa saja. Tapi 3 Presiden terdahulu telah membuktikan bahwa mengendalikan perekonomian Indonesia dalam turbulensi perekonomian terbuka tidak mudah. 3 calon presiden kita ke depan juga akan menghadapi medan perekonomian yang tak mudah.

Apabila sistem ekonomi seperti saat ini akan dipertahankan, siapapun Presiden terpilih nanti, ia dan tim ekonominya akan terus menghadapi masalah ini. Namun, mereka diharapkan dapat mengatur gelombang naik turun perekonomian dengan kebijakan yang “antisiklis”. Saat krisis datang, mereka harus mampu mencari cara bagaimana membendung krisis. Saat ekonomi meningkat, mereka diharap mampu memperpanjang titik itu dan menyejahterakan masyarakat.

Kembali ke film 3 doa 3 cinta, Nicholas Saputra harus berjuang keras untuk meraih cita-cita dan menemukan cinta ibunya yang telah lama tak dijumpai. Presiden kita juga dituntut mampu meraih cita-cita dan menemukan “adil dan makmur” yang lama tak kita jumpai. Mengelola perekonomian Indonesia yang berisikan lebih dari 200 juta penduduk bukanlah hal mudah. Ibarat mengemudikan sebuah pesawat jumbo jet. Mesin dan crew-nya harus kuat dan tangguh. Semoga kita mampu. Salam.

Monday, December 22, 2008

Lia Eden, Indonesia Unggul, dan Utopia


Masuk penjara tak membuat Lia Eden Jera. Keluar dari penjara, ia bahkan tampil semakin berani. Lia memberi ultimatum pada Presiden SBY melalui maklumat Wahyu Tuhan bagi Pemerintah Indonesia. Iapun harus kembali ke penjara. Hal yang menarik adalah, Lia Eden tetap konsisten membawa janji akan “Kerajaan Tuhan” dan perdamaian di muka bumi. Ia mendapat pengikut karena mampu menawarkan sebuah utopia.

Dalam situasi krisis, baik krisis ekonomi hingga krisis kepercayaan diri seperti saat ini, Lia Eden bagaikan sebuah Eden (nirvana) yang memberi seteguk air bagi pengikutnya yang kehausan. Ajaran Lia Eden tentu dianggap sesat. Dan itu menjadi ranah para teolog dan sosiolog. Dalam pandangan politik ekonomi, fenomena Lia Eden merupakan hal yang menarik. Secara lebih besar dan rasional, utopia “Kerajaan Tuhan” sebenarnya juga dipakai oleh para politisi dalam meraih dukungan massa. Dalam jenis dan kadar yang berbeda, para politisi dan calon presiden membawa masyarakat pada sebuah janji utopis tentang masa depan yang lebih baik. Sebuah eden yang menjanjikan. Dan rakyatpun, biasanya, terbuai.

Sepanjang zaman, kemampuan membangun mimpi dan utopia ini selalu dipertahankan. Sistem ekonomi Marxisme dan kapitalisme berkembang sepanjang zaman karena menawarkan mimpi utopis tentang masyarakat yang sejahtera. Sosialisme senantiasa membawa janji kesetaraan dan pemerataan. Kapitalisme menjanjikan kebebasan dan demokrasi. Di bidang politik demikian pula. Ignas Kleden pernah mengatakan bahwa pemimpin bisa bertahan apabila ia mampu menawarkan utopia. Mungkin benar adanya.

Soekarno menawarkan sebuah utopia, yang dapat menggerakan seluruh bangsa dan masyarakat Indonesia, ke arah yang dikehendakinya. Utopia yang ditawarkan adalah pembentukan bangsa yang berkarakter, mendapat pengakuan, bahkan penghormatan dari bangsa lain di dunia. Fokus utamanya adalah pada kebangsaan, dan sepanjang hayat ia bergulat dengan proyek nation building, sebagai sebuah kerja raksasa.

Ketika Soeharto menjadi presiden, ia dan tim ekonominya menawarkan sebuah utopia baru, yaitu pembangunan nasional. Utopia ini berisi banyak janji menarik, antara lain pengentasan kemiskinan, peningkatan taraf hidup, pertumbuhan ekonomi, modernisasi cara hidup, dan demokratisasi sistem politik.

Permasalahannya adalah, utopia tidak pernah memiliki titik masa depan yang jelas. Kapan semua itu akan dicapai tak pernah dibicarakan. Yang muncul adalah janji dan janji terus tanpa henti. Aksi dan aksi tanpa pernah tahu kapan ia bisa mengejawantah di muka bumi. Seiring dengan waktu, masyarakat bisa merasakan, apakah mimpi itu memiliki pencapaian atau tidak di muka bumi. Soekarno terus mengobarkan revolusi hingga revolusi memakan anaknya sendiri. Soeharto menjadi Bapak pembangunan hingga ia menjadi korban dari pembangunannya sendiri. Saat utopia itu semakin sulit diterapkan, rakyat hilang kesabaran.

Habibie dan Gus Dur duduk di tampuk kepemimpinan tanpa membawa utopia. Mereka tak sanggup bertahan lama. Janji utopis ini semacam “sesajen” atau bayaran bagi rakyat Indonesia untuk ganjaran mereka bertahan di tampuk kepemimpinan. Gus Dur memang memiliki over legitimate karena memiliki pengikut setia. Tapi sayang, itu saja belum cukup. Masyarakat Indonesia tak bisa hidup tanpa mimpi utopis yang jelas. Megawati kemudian muncul menjadi presiden. Masyarakat Indonesia berharap ia mampu membangun kembali mimpi utopis sang ayah. Sayang, upaya membangun utopia ini tidak sempat dibangun dan masyarakat terlanjur menemukan figur baru yang dianggap mampu. Dialah SBY.

Pekan lalu, SBY meluncurkan buku Indonesia Unggul. Inilah judul menarik yang digaungkan pada masyarakat Indonesia. Selama kepemimpinannya, SBY mampu hadir membawa utopia. Program-progamnya visioner dan membawa bangsa ini pada sebuah tahapan kesadaran yang mantap. Isu-isu seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kemandirian ekonomi, adalah berbagai masalah yang selama ini membuat kesal dan putus asa bangsa. Dan, SBY mampu hadir menyibak berbagai masalah itu dengan sebuah langkah. Bukunya, Indonesia Unggul, juga berisikan pemikiran-pemikiran yang luar biasa bagus dan visioner. SBY mengingatkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar yang bisa unggul di masa depan. Di sini, SBY memiliki kelebihan dalam merebut hati masyarakat Indonesia.

Utopia memang menjadi rebutan dalam krisis saat ini, apalagi menjelang pemilu 2009. Utopia juga menjadi strategi bagi banyak orang untuk meraih simpati masyarakat. Kalau kita perhatikan iklan kampanye calon presiden, masing-masing ingin membawa kita pada tanah Eden. Bahwa kita akan jaya, akan kembali menjadi macan asia, wong cilik perlu diperhatikan, berjuang untuk rakyat, mengabdi bagi negeri, menghapus korupsi dan lain sebagainya.

Di sini, janji adalah satu sisi. Namun utopia adalah sisi lain. Ia bisa menjadi semacam jebakan. Ia berada dalam lapisan rapuh kepercayaan apabila tak mampu menawarkan titik pencapaian yang kurang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Tanpa adanya titik itu, perlahan pemimpin akan ditinggalkan, seperti para pengikut Lia Eden yang makin hari makin berkurang. Bila itu terjadi, berarti krisis tak memberi kita pelajaran. Atau memang kita memiliki masalah dalam belajar.

Saturday, December 20, 2008

Meneropong Ekonomi 2009

tulisan ini dimuat di koran Investor Daily, 17 Desember 2008
Catatan di pengujung tahun selalu diwarnai ramalan, baik ramalan nasib, peruntungan, jodoh, ataupun proyeksi ekonomi untuk tahun berikutnya. Pada 2009, perekonomian akan diwarnai banyak jebakan, gangguan, yang melemahkan ketahanan ekonomi. Ekonomi Indonesia bersifat terbuka. Kita merasakan sendiri bagaimana berbagai permasalahan di dunia global berdampak pada geliat ekonomi negeri. Resesi yang terjadi di negara maju, melambatnya ekonomi dunia, dan rentannya sistem keuangan global, secara setangkup akan dirasakan pada perekonomian Indonesia. Perdagangan dan keuangan adalah dua jalur paling cepat yang menjalarkan dampak global tersebut.

Dengan kondisi tersebut, tahun 2009 akan menjadi tahun yang tidak mudah, atau istilah filmnnya, year of living dangerously. Akan ada banyak guncangan, jebakan, gangguan, yang dapat sewaktu-waktu menggoyang ketahanan perekonomian kita. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprakirakan akan melambat.

Selain karena melambatnya ekonomi dunia memang, penurunan harga komoditas internasional juga akan menjadi faktor utama perlambatan karena berdampak pada penurunan ekspor Indonesia. Perlambatan ekspor tersebut akan berdampak pada konsumsi rumah tangga melalui penurunan daya beli masyarakat (income effect) dan diikuti oleh penurunan investasi oleh dunia bisnis.

Sementara itu, transmisi krisis global melalui sektor keuangan semakin menambah tekanan pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui terbatasnya pembiayaan, baik untuk konsumsi maupun investasi.

Tekanan Inflasi Berkurang
Pada 2009 akan diadakan pesta demokrasi (Pemilu) yang diperkirakan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat, khususnya saat kampanye. Kemeriahan partai politik dalam menggalang massa berpesta demokrasi diharapkan dapat meningkatkan geliat ekonomi negeri. Namun, krisis keuangan global saat ini berpengaruh pula pada kondisi keuangan partai-partai politik. Akibatnya, walau akan ada dorongan permintaan, dampaknya masih akan terbatas pada pertumbuhan ekonomi.

Akibat langsung pada perlambatan pertumbuhan adalah sektor riil. Apabila dunia bisnis semakin melesu, pada gilirannya akan jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat. Pada 2008 ini, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah meningkat. Pada November saja, tercatat sebanyak 66.000 orang yang terkena PHK. Jumlah yang terkena PHK ini diperkirakan terus meningkat pada 2009. Meningkatnya angka pengangguran dikhawatirkan akan membawa dampak lain pada kehidupan sosial masyarakat.

Melihat berbagai perkembangan tersebut di atas, maka perlambatan ekonomi Indonesia pada 2009 merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan turun drastis pada 4,4%. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan sekitar 4,5%. Bank Pembangunan Asia (ADB) 5%. Dan versi Pemerintah menyebutkan angka sekitar 5% dengan skenario pesimistis mencapai 4,5%.

Namun, di balik keprihatinan atas perlambatan pertumbuhan, secercah harapan pun muncul, yakni berkurangnya tekanan inflasi. Bank Indonesia telah berulangkali menyebutkan bahwa inflasi 2009 akan menurun ke kisaran 6,5-7,5% dengan kecenderungan berada pada batas bawah.

Perkiraan ini cukup beralasan mengingat, selain faktor turunnya imported inflation dari harga-harga komoditas internasional, penurunan inflasi juga didukung oleh faktor domestik, antara lain seperti rencana Pemerintah menurunkan harga BBM, stabilisasi harga oleh Pemerintah sepanjang periode Pemilu, serta meningkatnya produksi padi dan pengadaan beras.

Hasil perhitungan Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa efek penurunan harga premium akan mengurangi tekanan inflasi sebesar 0,3-0,5% pada putaran pertama. Apabila ini ditangkap oleh masyarakat dengan penurunan harga di berbagai sektor, hal itu dipastikan akan semakin menurunkan tekanan inflasi.

Menurunnya tekanan inflasi ini memberikan sebuah ruang bagi ekonomi Indonesia untuk mengeliat. Bank Indonesia tentu diharapkan dapat memanfaatkan momentum ini melalui kebijakannya yang secara konsisten menjaga pencapaian inflasi tanpa mengganggu stabilitas perekonomian.

Kelenturan Ekonomi
Namun, ekonomi Indonesia bukan sekedar angka-angka. Di balik angka-angka itu, hiduplah aktor-aktor ekonomi yang lentur dan liat. Mereka adalah para pelaku yang berdaya juang dan berdaya tahan tinggi. Mereka tersebar luas di seluruh penjuru Nusantara dalam berbagai peran seperti petani, nelayan, dan pengusahan mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Saat krisis melanda negeri kita, dimana ekonomi mendapat tekanan berat, usaha para petani dan nelayan masih bisa tumbuh pada kisaran 3-4%. Pasar domestik yang luas, jaring-jaring kehidupan sosial kemasyarakatan yang erat, telah mampu mengikat dan menjadi penyangga bagi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Dalam keadaan seperti itu, perekonomian Indonesia memiliki kemampuan bergerak seperti mekanika sebuah mesin. Itulah kelenturan ekonomi Indonesia yang sekiranya mampu dirasakan dan dijadikan modal utama oleh otoritas dalam menelurkan kebijakannya.
Ramalan masa depan memang penting. Namun kita tak bisa hanya berhenti di angka. Kita juga tak bisa hanya berhenti pada upaya mengamankan budget pemerintah semata. Krisis global saat ini merupakan momentum untuk dapat membangun perekonomian yang kokoh secara nyata dan merata di masyarakat.

Akhirnya, pertanyaannya bukan berapa besar pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2009, melainkan bagaimana dengan pertumbuhan yang minim itu Indonesia tetap berkomitmen pada kepentingan rakyat? Itulah tantangan bagi pemimpin kita di masa depan. Indonesia di masa depan sangat membutuhkan seorang negarawan yang mampu tampil dan bersedia larut memikirkan masa depan bangsa. Selamat Tahun Baru 2009.

Junanto Herdiawan, peneliti ekonomi lulusan Leeds University

Sunday, December 14, 2008

Presiden Indonesia pilihan tuhan

”In a democracy, the people get the government they deserve”. Dalam sebuah demokrasi, rakyat mendapatkan pemerintah (pemimpin) yang pantas bagi mereka. Begitulah observasi dari Alexis De Tocqueville (1805-1859), seorang filsuf dan sejarawan Perancis. Dengan kata lain, pemimpin adalah cerminan karakter dari mereka yang dipimpin.

Masyarakat yang matang dan intelektual, secara alamiah akan mendapatkan pemerintahan yang matang. Sementara masyarakat yang mentah, akan mendapatkan pemerintahan yang mentah. Masyarakat yang gemar dengan hal-hal yang berbau instan dan gemar dengan bungkusan citra (image), akan mendapatkan pula pemerintah yang sesuai dengan karakter mereka. “Vox Populi Vox Dei”, Suara Rakyat Suara Tuhan. Dalam demokrasi, Tuhan mengejawantah pada suara rakyat. Oleh karenanya, janganlah kita selalu menyalahkan pemerintah. Karena mereka sebenarnya hanya cerminan dari diri kita sendiri.

Kita melihat contoh di banyak negara bagaimana hubungan antara pemimpin dengan mereka yang dipimpin. Amerika yang mayoritas penduduknya matang dan berpendidikan, layak mendapatkan presiden sekaliber Obama. Perancis yang penduduknya terkenal dengan fashion dan modenya, mendapatkan ibu negara yang mantan model dan Presiden yang bergaya selebritis. Beberapa negara Afrika yang masyarakatnya kerap berperang, mendapat pemerintah yang juga gemar perang dan konflik. Itulah sebagian contoh yang berangkat dari observasi De Tocqueville.

Apakah hal itu juga berlaku di Indonesia? Jawabnya bisa diperdebatkan. Apakah Gus Dur, Megawati, dan SBY adalah pemimpin yang mencerminkan sikap dan karakteristik manusia Indonesia, tentu banyak pendapat.

Prof Boeke di masa kolonial pernah menegaskan mitos tentang masyarakat Indonesia yang malas. Menurutnya masyarakat Indonesia ini memiliki karakter “lack of deffered gratification”. Tak bisa menunda kenikmatan. Punya uang sedikit, maunya belanja. Kalau ada buku tentang cara singkat menjadi kaya, buku itu pasti laris manis. Pandangan masyarakat kita berjangka pendek dan ingin cepat sukses.

Di bidang ekonomi, karakter itu dapat dilihat dari komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi. Kalau kita melihat secara agregat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ini, termasuk saat krisis melanda, kita dapat tumbuh cukup menggembirakan di sekitar 6%. Namun kalau dilihat lebih dalam, pertumbuhan itu lebih didominasi oleh sektor konsumsi. Sementara Ekspor dan Investasi masih belum optimal. Konsumsi masyarakat meningkat, konsumsi pemerintah juga meningkat. Tak ada yang salah memang dengan konsumsi. Tapi menjadikan konsumsi sebagai penggerak pertumbuhan semata tentu tidaklah bijak. Kita tahu bahwa bangsa yang konsumtif adalah bangsa yang tidak punya karakter. Hanya bangsa yang produktiflah menjadi bangsa yang berkarakter tinggi.

Kalau kita lihat dari komoditas ekspor, di tahun 1993-1998, ada 20 komoditas ekspor non migas yang tumbuh di atas 10%. Kini, komoditas yang tumbuh di atas 10% mungkin tinggal sekitar tujuh komoditas. Itupun sebagian besarnya adalah komoditas sumber daya alam. Dulu, saat harga udang galah meningkat, masyarakat beramai-ramai berbisnis udang galah. Kini, saat harga CPO meningkat, seluruh tanah diubah tanam menjadi perkebunan sawit. Gejala ini terjadi terus menerus. Saling mengekor dan ingin mencari keuntungan dengan cepat. Dan tentu, kalau ambruk, ambruklah beramai-ramai.

Di saat krisis global seperti ini, kita melihat permasalahan yang menimpa ekonomi kita semakin nyata. Banyak perusahaan yang mulai tutup, semakin sedikit pula ekspor, dan PHK meningkat. Transaksi berjalan kita di neraca pembayaran mulai "megap megap" dan menunjukkan angka defisit. Defisit transaksi berjalan adalah hal yang serius karena menyangkut persoalan struktural dan kultural dari bangsa ini.

Mungkin akan ada pendapat bahwa persoalan di bidang ekonomi ini seolah olah hanya persoalan angka, persoalan uang, ataupun persoalan manajemen. Tetapi, ada yang lebih embedded inherent di balik munculnya angka-angka tersebut. Itulah cerminan dari sikap dan karakteristik bangsa. Budaya sulit menunda kesenangan, senang mengkonsumsi, dan gemar memburu kekayaan dengan instan, dapat tercermin secara agregat di angka-angka makroekonomi. Karena itulah, usaha perbankan untuk mendorong dan menggiatkan tabungan di masyarakat menjadi penting. Karena itulah, usaha-usaha untuk melakukan jalan pintas mencapai kekayaan, harus dicegah bersama-sama. Inilah tantangan bukan hanya bagi pemerintah, tapi bagi kita semua.

Sampai di sini, pernyataan De Tocqueville menjadi penting. Karena dengan demikian kita akan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan karakter kita itu. Waduh, mudah-mudahan De Tocquiville salah. Mudah-mudahan dengan karakter masyarakat yang ada saat ini, kita masih bisa mendapatkan pemimpin yang memiliki karakter negarawan, yang bersedia larut memikirkan masa depan bangsa. Seorang Pemimpin yang benar-benar pilihan Tuhan. Salam.

Monday, December 08, 2008

Twilight, Drakula, dan Ekonomi Politik Jangka Pendek


When you can live forever, what do you live for?”. Kalau anda bisa hidup selamanya, apa yang akan anda lakukan dalam hidup? Di dunia ini mungkin hanya ada dua orang yang ingin hidup seribu tahun lagi. Pertama, Chairil Anwar. Dan kedua, Drakula. Sudah nonton film Twilight? Ya, inilah kisah cinta dua anak remaja dengan latar belakang Drakula modern. Para Twilighters, pecinta novel Twilight karya Stephenie Meyers, menyambut pemutaran film ini dengan antusias. Sejatinya, ini hanya kisah klasik tentang cinta antara dua anak manusia yang berbeda. Bella Swan nan jelita, jatuh cinta pada Edward Cullen yang ternyata adalah keturunan vampir. Kisah ini menarik karena menyajikan vampir modern yang hadir tanpa nuansa horor. Konstelasi kejiwaan vampir diangkat dalam film ini begitu indah. Adegan romantisnya lumayan “picisan”, tapi bikin gregetan. Buat para remaja putri, kisah cinta dengan vampir ganteng ini memang bisa membuat mereka “termehe-mehe”.

Usai menyaksikan film ini, tafsir penontonpun bisa berbeda-beda. Bagi saya, film ini membawa satu pesan moral yang menarik. “When you can live forever, what do you live for?”. Itulah saya pikir kelebihan Drakula dari kebanyakan manusia biasa. Drakula memiliki perspektif jangka panjang dalam memandang masalah dan kehidupan. Karena mereka menyadari bahwa mereka hidup selamanya. Berbeda dengan kebanyakan manusia yang hanya berpikir sesaat dan untuk kepentingan jangka pendek. Edward Cullen dan keluarganya berupaya melindungi Bella dari gangguan vampir jahat. Mereka mementingkan masa depan Bella ketimbang kepentingan jangka pendek mereka, untuk sekedar menghisap darah Bella. Hebat juga. Rupanya Drakula tidak berpikir myopic atau rabun ayam. Mereka justru memandang jauh ke depan.

Di tengah konstelasi krisis ekonomi dan ramai politik saat ini, nampaknya kita perlu belajar dari Drakula. Saya teringat pandangan dari Prof Syafii Maarif yang mengingatkan kita akan bahaya dari kultur politik ”rabun ayam”. Kultur politik ini ditandai dengan visi jangka pendek dan pragmatis para pemain demokrasi. Kita melihat saat ini Indonesia disibukkan dengan politik kekuasaan yang menguras energi bangsa. Sulit rasanya kita membangun bangsa dan pemerintahan yang kokoh selama para pemain demokrasi terpasung kultur ”rabun ayam”. Mereka terpaku dan terpukau kepentingan jangka pendek. Di kalangan intelektual politik, kita melihat godaan politik kekuasaan begitu kuat. Hal ini telah membuat mereka kehilangan kejernihan berpikir dan kemerdekaan dalam menilai. Akibatnya, orang lupa bahwa bangsa ini membutuhkan kelahiran negarawan yang bersedia larut memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa. Kita begitu sibuk dan asyik sekali dengan gelora pemilu 2009 serta kepentingan jangka pendek golongan, bahkan kepentingan diri sendiri.

Dalam pandangan ekonomi, pola pikir myiopic ini juga berbahaya. Adalah John Maynard Keynes yang pernah mengatakan “in the long run we all dead”. Memang demikian. Di masa depan memang kita semua mati. Namun Keynes juga tidak menganjurkan orang untuk hanya memikirkan jangka pendek. Bahwasanya masa depan penuh ketidakpastian, benar adanya. Keputusan preferensi akan likuiditas sangat ditentukan oleh persepsi kita akan masa depan. Namun di sisi lain, Keynes juga pernah menulis essay pendek yang berjudul “The Economic Possibilites for Our Grandchildren”. Ia menulis bagaimana anak cucunya hidup di Inggris setelah krisis dan perang dunia usai. Ia meyakini bahwa di tahun 2030 (tulisan itu dibuat tahun 1931) masa depan anak cucu akan lebih baik. Oleh karenanya, keputusan ekonomi yang dibuat harus bermanfaat bagi masa depan anak cucu.

Dulu, kita pernah bangga punya REPELITA dan konsep Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun. Kita menggaung-gaungkan visi dan lepas landas pembangunan. Kita pernah “merasa” punya masa depan. Kini, PJP memang masih ada. Namun sejauh mana ia tertanam dalam benak kita semua, masih jadi pertanyaan. Saat ini, pikiran kita begitu disibukkan dengan krisis ekonomi dan masalah-masalah mendesak jangka pendek. Persoalan nilai tukar, neraca pembayaran, perbankan, pasar uang, pasar saham, dan melemahnya pertumbuhan ekonomi, menjadi rangkaian masalah yang tak usai. Kita terbawa dalam pusaran demi pusaran langkah menyelesaikan berbagai permasalahan mendesak itu. Tentu tak ada salahnya kita berpikir jangka pendek. Masalah segera memang perlu juga diselesaikan. Hanya saja, jangan sampai semua energi kita terkuras berputar-putar di sana. Kita tetap perlu punya perspektif jangka panjang. Namun, dalam kondisi ekonomi politik saat ini, siapa ya yang memikirkan hal itu? Mungkin kita perlu belajar dan minta bantuan pada Drakula. Salam.

Friday, December 05, 2008

BI Rate Sebagai Problem Filsafat

Media massa hari ini menurunkan berita beragam tentang penurunan BI Rate. Para analis pasar juga setangkup. Ada yang menyambut baik, dan ada yang seolah-olah “caught by surprise”. Kemarin, kami sempat menerima beberapa tamu investor dari Inggris. Mereka menyatakan ketertakjubannya dengan penurunan BI Rate. Sebaliknya, Bisnis Indonesia, hari ini menulis headline “Pasar Sambut Positif penurunan BI Rate”. Koran Tempo menulis berita “BI Rate turun, Rupiah Menguat”. Jauh hari sebelum RDG, Ketua Kadin dan Analis dari Indef mengatakan bahwa BI Rate seharusnya turun. Mereka berkata ”Pakai BI Rate untuk stimulus” (Kompas, 27 Nov 2008). Turunnya BI Rate, bukan hanya diharapkan (expected) oleh mereka, bahkan didoakan. Terlepas dari sambur limburnya pendapat, perhatian dunia, masyarakat, media, dan analis, kini tertuju pada sebuah makhluk abstrak bernama “BI Rate”. BI Rate telah memberi “gairah” dalam diskursus wacana di kalangan pelaku pasar.

Mengapa BI Rate menjadi begitu ”sexy”? Di satu sisi, ini adalah buah dari komunikasi Bank Indonesia yang proaktif dan terus menerus sejak tahun 2005. Hasil komunikasi itu telah mengangkat BI Rate menjadi wacana publik. Namun permasalahan muncul, ketika beberapa pihak mulai menggeser pemahaman dan filosofis BI Rate dari khittahnya semula. Hal ini bukan hanya menyesatkan, namun sangat berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Ferdinand de Saussure (1929), seorang filsuf penganut aliran strukturalisme, kira-kira akan menggolongkan BI Rate sebagai sebuah “penanda” atau “signifier” atas sesuatu yang ”ditandakan” atau ”signified”. ”Bahasa adalah perkara bentuk dan bukan substansi”, demikian ungkapan terkenal dari Saussure. BI Rate menjadi sebuah bentuk yang merupakan identitas dari satu metode, atau cara, untuk mencapai sebuah tujuan. Sebenarnya ada kode tersembunyi (hidden code) dan hakikat asali yang ingin dicapai oleh BI Rate. Bila kita membedah lagi BI Rate ke dalam hakikat asalinya, kita seharusnya sampai pada sebuah alasan kenapa BI Rate ada. Hal ini bisa menjadi sebuah kajian ontologis yang lebih mendalam tentang kehidupan publik dan kesejahteraannya. Claude Levi Strauss (1931) kemudian menulis mengenai kajian mitos. Dalam kajian itu, BI Rate bisa dikategorikan ke dalam mitos (myth), sama seperti Freud terpesona pada mimpi (dream). Topologi mitos adalah ia bisa bekerja di ranah irrasionalitas.

Permasalah muncul ketika ”penanda” yang semula adalah sebuah tekhnik dan cara untuk mencapai tujuan, telah bergeser menjadi tujuan itu sendiri. BI Rate adalah sebuah instrumen yang digunakan untuk mencapai satu tujuan. Bagaimana cara bekerja instrumen itu tetap suatu misteri. Ilmu ekonomi mencoba menjelaskannya dengan berbagai analisis baik kualitatif maupun kuantitatif. Namun bagaimana sebenarnya yang terjadi, tak ada yang tahu. Yang kita bisa lakukan adalah mencoba memahami mekanisme gejala yang ada. Tekanan inflasi, pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran, pasar uang, dan berbagai gejala yang ada. Kita mengandaikan sesuatu sebagai ”ada” padahal itu adalah pengetahuan kita mengenai ”ada”. Inilah yang kadang yang menjadi awal dari sebuah ”keterpelesetan” berpikir.

Beberapa pihak dalam pekan-pekan terakhir ini mencoba menggiring pendapat publik akan pentingnya BI Rate diturunkan. Berbagai diskusi dan wacana dilempar dan menempatkan BI Rate sebagai sebuah ”panacea”. Apabila masalah ekonomi sudah mentok, maka jawaban yang ditunggu adalah BI Rate. Kalau suku bunga di negara lain turun, kenapa di BI gak turun? Jadi, BI Rate harus turun, karena semua turun. Diskusi semakin meluas dan memanas. BI Rate, yang semula adalah cara mencapai tujuan, telah bergeser menjadi tujuan itu sendiri.

Mudah-mudahan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak terjebak ke dalam penyesatan berpikir yang dilakukan beberapa pihak tersebut. Harapan kita adalah munculnya sebuah penjelasan yang semakin ”mendekati” kebenaran akan alasan penurunan tersebut. Pada ujungnya, BI Rate bekerja pula dalam tataran wacana, psikologi, di samping masalah mekanistis. Upaya membangun kesadaran, komunikasi yang jelas dan terus menerus, menjadi lebih penting untuk menghindarkan publik dari keterkejutan dan kebingungan.

BI Rate sebagai problem filsafat mengingatkan kita bahwa mungkin inilah salah satu contoh kesekian tentang implikasi dari sebuah syarat metodologis yang kemudian dianggap sebagai realitas ontologis. Atau, implikasi dari proyek cara memikirkan sesuatu yang terpeleset dan dianggap sebagai ”sesuatu” itu sendiri.

Tuesday, December 02, 2008

Setelah Bank Century, amankah bank kita?

Setelah Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), beberapa nasabah bank kerap bertanya pada saya, apakah akan ada bank lain yang menyusul? Atau, masih amankah bank di Indonesia? Mereka khawatir dan ingin segera memindahkan dananya pada bank yang lebih aman. Kekhawatiran mereka tentu boleh boleh saja. Tapi sebenarnya ada satu hal menarik yang dapat kita lihat dari kasus Bank Century. Hal itu adalah tidak terjadinya gejolak yang berlebihan pada nasabah bank di Indonesia. Padahal, masalah bank gagal adalah sesuatu yang sangat sensitif dalam sebuah krisis.

Masih segar dalam ingatan, saat krisis perbankan terjadi di tahun 1997/98. Kekacauan merembet ke segala sendi kehidupan, berawal dari ditutupnya 16 bank umum. Nasabah beramai-ramai menyerbu dan menarik dana dari bank. Terjadilah rush. Namun kini, saat mendengar Bank Century diserahkan pada LPS, masyarakat relatif tenang dan tidak terjadi rush secara besar-besaran. Di satu sisi, hal ini melegakan karena menunjukkan betapa sigap dan antisipatifnya Pemerintah dalam menyikapi krisis yang terjadi. Meski demikian, kita merasakan bahwa kepercayaan masih belum sepenuhnya pulih. Nasabah masih ragu, bahkan ada yang diam-diam memindahkan dananya ke bank-bank yang dianggap aman atau bahkan ke luar negeri. Adanya kasus bank yang gagal, melemahnya nilai tukar, dan krisis global yang masih belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, menjadi alasan yang kuat bagi para nasabah bank untuk menjadi ragu.

Industri perbankan Indonesia menguasai lebih 90 persen dari keseluruhan industri keuangan saat ini. Sedangkan pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lain-lain menempati sisanya yang amat kecil. Tak heran saat indeks saham melorot tajam, hanya para investor yang panik, sementara kehidupan masyarakat tak serta merta terganggu. Namun saat ada satu bank yang bermasalah, nasabah bank sontak resah. Masalah bank adalah masalah kita semua karena menyangkut dana kita sendiri.

Permasalahan yang menimpa bank berawal dari krisis global yang menyebabkan tekanan pada pasar uang di dalam negeri. Muncul keraguan antar pelaku pasar uang rupiah yang pada akhirnya meningkatkan sekat-sekat antar bank di Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Transaksi antar bank tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kalau kita lihat selama September s.d November 2008, rata-rata volume transaksi PUAB rupiah per hari menurun drastis. Hal ini menyebabkan suku bunga PUAB meningkat secara cepat. Dalam kondisi demikian, bank bisa saja mengalami kesulitan dalam memperoleh dana di PUAB. Kesulitan ini akan diperparah apabila ada isu dan rumor yang berkembang di masyarakat sehingga terjadi penarikan dana.

Meski Bank Century dihadapkan pada masalah serius sehingga harus diambil alih LPS, bukan berarti bank lain juga demikian. Secara fundamental, saat ini ketahanan perbankan Indonesia tetap terjaga dan menunjukkan kinerja yang positif di tengah berbagai gejolak global. Selain itu, respon pemerintah dan Bank Indonesia guna menghindari risiko sistemik melalui Perppu JPSK, Perppu Amandemen UU BI (perluasan kolateral), dan Perppu LPS juga dinilai tepat waktu. Mekanisme permasalahan yang terjadi pada Bank Century dapat diselesaikan tanpa menimbulkan gejolak yang berlebih. Adanya penjaminan dana nasabah sampai dengan Rp2 milyar, meski banyak yang berharap untuk ditingkatkan menjadi penjaminan penuh, juga masih mampu menghindari kepanikan.

Selain karena tekanan krisis global, ada dua hal yang menjadi penyebab krisis pada perbankan kita. Pertama, krisis disebabkan oleh masalah internal bank. Misalnya, kejahatan bank dan good governance yang buruk. Kedua, krisis perbankan disebabkan oleh kepanikan para nasabah dan pemilik modal. Perilaku mania dan panik akan memperparah krisis. Perbankan di satu sisi dapat menjadi sumber krisis, seperti yang terjadi pada tahun 1997/98. Namun perbankan, di sisi lain, dapat juga menjadi obat penyembuh krisis. Bila bank sehat, solid, dan dipercaya masyarakat, peranannya dalam membawa kita keluar dari krisis sangat besar. Untuk itu, kepada perbankanlah tertumpu harapan bangsa ini untuk menjadi pendorong kegiatan ekonomi.

Masih amankah bank kita? Secara fundamental dapat dijawab masih. Namun jawaban sebenarnya terletak pada kepercayaan kita sendiri pada perbankan. Adagium lama mengatakan bahwa Bank adalah bisnis kepercayaan. Tanpa kepercayaan, tidak ada bank. Salam.

Thursday, November 27, 2008

Aji Belut Putih dan Proyeksi Ekonomi 2009

Memasuki tahun 2009 biasanya media massa akan diramaikan oleh ramalan-ramalan tentang perekonomian. Para ekonom, lembaga riset, pemerintah dan bank sentral, akan membuat berbagai ramalan dan prediksi tentang perekonomian Indonesia. Mengapa kita membuat ramalan ekonomi? Dan bagaimana proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun 2009?

Sebelum sampai ke sana, saya teringat cerita guru saya tentang “Aji Belut Putih”. Dalam kisah pewayangan, ada tokoh yang mempunyai ilmu ”aji belut putih”. Namanya Dursasana. Dia satu-satunya tokoh setingkat menteri di Kerajaan Astina yang menguasai ajian itu. Namanya juga aji belut, kemampuannyapun selicin belut. Dengan kemampuannya itulah Dursasana bermulut besar kemana-mana. Saat perang, ia selalu bisa berkelit dan menghindar. Begitu licinnya, ia selalu lolos dari sergapan lawan-lawannya. Di era masa kini, aji belut putih dikuasai oleh banyak orang. Dalam ekonomi, pemiliknya di berbagai kalangan, bahkan di level menteri, seperti Dursasana. Di level tekhnis, merekalah para ekonom dan economic forecaster (peramal proyeksi ekonomi). Secara rutin mereka mampu membuat berbagai kebijakan dan proyeksi ekonomi. Kebijakan mereka selicin belut. Mereka mampu membuat proyeksi dan mampu menjelaskan kenapa proyeksinya meleset. Meski kerap meleset, belum pernah ada forecaster atau peramal ekonomi yang ditangkap karena kesalahannya itu. Bayangkan kalau itu terjadi pada profesi dokter yang meleset dalam mendiagnosis pasiennya. Pasti dituduh malpraktik.

Seperti layaknya astrolog yang gemar meramal masa depan dengan rasi bintang, ataupun astronom yang mampu melakukan ramalan cuaca, demikian pula para ekonom. Kalau kita serahkan peran itu kepada mereka secara bergantian, ekonom menjadi astronom dan sebaliknya, mungkin hidup kita tak akan lebih jelek. Mereka sama-sama bisa membuat ramalan, namun pada ujungnya, sama-sama tak bisa dipegang. Dan tentu, mereka tak bisa dimintai pertanggungjawaban. Hal ini karena ramalan yang dibuat para astronom didasari oleh sekumpulan sensasi, dan ramalan ekonom didasari oleh serangkaian asumsi. Akibatnya menjadi sangat mekanistis dan fragil. Begitu asumsi berubah, demikian pula angka ramalan. Kita melihat beberapa kali angka ramalan tentang ekonomi diganti dan diperbarui. Gejolak krisis keuangan yang terjadi, harga minyak dan komoditi, serta volume perdagangan dunia yang bergejolak, menjadikan ramalan ekonomi berubah setiap saat.

Lantas mengapa kita masih membutuhkan ramalan? Ramalan dibutuhkan untuk ketenangan. Secara naluriah, manusia memiliki semacam perasaan cemas akan masa depan. Apakah hari esok masih ada, kita tak pernah tahu. Ramalan membuat tenang diri kita dari berbagai kecemasan itu. Dengan adanya ramalan ekonomi, kita bisa membuat perencanaan. Dunia usaha bisa membuat proyeksi usaha, perbankan bisa membuat business plan, dan rumah tangga bisa mengatur ekonominya. Ramalan menjadi penting.

Bagaimana ramalan ekonomi untuk tahun 2009? Mari kita tunggu hasil proyeksi dari para ekonom. Secara umum, saya melihat akan ada sebuah benang merah yang hampir sama. Hal ini karena para forecaster itu pada prinsipnya memiliki etos “saling intip”. Mereka akan saling telpon dan diskusi sehingga ramalannya akan tak jauh beda. Kebanyakan akan mengatakan bahwa proyeksi perekonomian Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh dinamika perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menurun. Perbedaan mungkin akan muncul pada angka atau penurunannya. Termasuk pada komponen atau faktor permintaan dan penawaran dari pertumbuhan ekonomi kita. Namun semangatnya sama. Ada pelesuan. Kalangan yang optimis, akan melihat kekuatan ekonomi dalam negeri sebagai nilai positif. Adanya pemilu akan meningkatkan gairah ekonomi rakyat. Selain itu, negara mitra dagang tak semuanya amblas. Mereka akan memandang bahwa ekspor masih tetap tumbuh dan menopang ekonomi. Namun kalangan yang pesimis, akan melihat melemahnya ekonomi dunia sebagai pemicu semakin lemahnya ekonomi Indonesia. Negara mitra dagang di seluruh dunia mengalami resesi. Akibatnya jelas, ekonomi kita akan turut melemah dan tak bergairah.

Akan ada banyak pandangan, akan ada banyak asumsi, dan akan ada banyak argumen, tentang proyeksi ekonomi 2009. Namun itulah ramalan ekonomi. Dengan ramalan itu, kebijakan akan disusun oleh para ekonom. Tentu kita berharap bahwa kebijakan ekonomi itu dapat mengatasi dua titik hitam besar dalam proses pembangunan ekonomi kita, yaitu pengangguran dan kemiskinan. Mungkinkah? Selamat menanti hasil ramalan para ekonom.

Sunday, November 23, 2008

Prabowonomics dan Salam dari Petani Indonesia

Inilah ide besar program ekonomi yang saya pandang menarik untuk dicermati. Meski masih abstrak, ide Prabowo Subianto cukup cerdas, “Saya menyampaikan salam dari petani Indonesia!!”. Terkesan metaforis dan normatif? Tidak juga. Justru pesan dari iklan itu sangat dalam. Di tengah krisis keuangan global yang merambat ke berbagai sisi kehidupan, isu kerakyatan seolah semakin mendapat tempat. Ide-ide untuk membangun strategi ekonomi mandiri, menanamkan kembali kapital pada tanah dan tenaga kerja, dan menolak neoliberalisme, seperti oase bagi ratusan juta masyarakat Indonesia. Dalam bahasa yang berbeda, tema ini sebenarnya juga menjadi pilihan program ekonomi partai-partai politik untuk mendulang suara pada pemilu 2009. Namun upaya untuk fokus membangun kekuatan di kalangan petani, umkm, nelayan, dan pedagang eceran, adalah sebuah pilihan yang “sexy” di tengah gejolak pasar keuangan saat ini. Jumlah sektoralnya yang besar, penyerapan tenaga kerja yang luas, sumbangannya pada PDB, telah menjadikan sektor pertanian sebagai buffer atau penopang kehidupan rakyat bawah.

Kalau kita ingat kisah perdebatan tentang sistem ekonomi Indonesia, salah satu kubunya dulu dimotori oleh Prof. Emil Salim, Prof. Mubyarto, dan Begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo. Pemikiran mereka adalah sebuah sistem ekonomi kerakyatan yang menganut azas-azas pertautan sila Pancasila. Namun memang kata-kata “Pancasila” kerap memiliki makna yang berbeda dalam penangkapan masyarakat. Sistem itupun akhirnya masih berada pada taraf “normatif” hingga saat ini dan belum mampu menjawab dinamika riil ekonomi Indonesia.

Apakah Prabowo akan membumikan impian sang ayah tentang sistem ekonomi Indonesia? Kita tak tahu. Deklarasi Gerindra hanya mengungkapkan pentingnya ekonomi kerakyatan dan kecaman bahwa ekonomi pasar telah memporakporandakan perekonomian bangsa (Deklarasi Gerindra, Februari 2008). Prabowo mengajak bangsa ini untuk meninjau ulang Sistem Ekonomi Indonesia. Namun seperti apakah sebenarnya Sistem Ekonomi Indonesia itu? Kita menyadari bahwa dalam perjalanan waktu, Sistem Ekonomi Indonesia senantiasa berada dalam kegamangan.

Frans Seda misalnya, mengatakan bahwa Sistem Ekonomi Indonesia adalah “bukanisme”, bukan ini dan bukan itu, yaitu paham serba bukan. Bukan kapitalisme, bukan liberalisme, bukan sosialisme, tidak ada monopoli, tidak ada oligopoli, tidak ada machiavelli, dan tidak lainnya. Kwik Kian Gie mengatakan bahwa sistem ekonomi seperti itu adalah sebuah utopia yang dihuni hanya oleh para malaikat. Meski demikian, banyak pihak yang melihat bahwa dinamika perekonomian Indonesia saat ini telah semakin terbuka dan condong “ke kanan”. Krisis keuangan yang terjadi di pasar uang saat ini misalnya, menunjukkan bahwa keterbukaan itu memiliki dampak serius. Memang masih bisa diperdebatkan, namun dengan dianutnya pasar bebas, upaya privatisasi, dan pasar keuangan yang semakin terbuka, kecondongan “ke kanan” tersebut semakin dirasakan.

Alm. Prof. Mubyarto menyimpulkan bahwa sistem ekonomi yang diterapkan selama 32 tahun Orde Baru memang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan mengabaikan nilai-nilai keadilan. Tapi benarkah bila kita menerapkan ekonomi kerakyatan secara konsisten maka krisis ekonomi dengan sendirinya akan berakhir? Jawabnya tak mudah. Namun, pilihan untuk membawa bangsa ini berdiri tegak secara ekonomi menuntut banyak hal. Berbagai hal harus dipilih, seperti struktur pengambilan keputusan, mekanisme pasar ataukah perencanaan, bagaimana pengaturan hak-hak milik, dan sistem insentif. Tidak mudah. Oleh karenanya, sekiranya Prabowo Subianto dapat menjabarkan ide besar Prabowonomics itu dalam sebuah langkah konkrit yang detil dan jelas,tentu akan sangat menarik. Cetak biru ekonomi kerakyatan dari Gerindra masih perlu kita tunggu. Bila tidak, pada ujungnya tak jauh beda dengan yang kebanyakan. Berhenti di tataran normatif dan metaforis. Dan bila itu yang terjadi, salam dari petani tinggal salam belaka. Salam yang mengambang selama puluhan tahun tak berbalas. Mudah-mudahan para pemimpin bangsa bisa bersama membawa kita keluar dari krisis ekonomi yang membelit ini.

Sunday, November 16, 2008

Serigala Spekulan Valas

Manusia adalah serigala bagi sesamanya” (Thomas Hobbes, Leviathan : 1651)

Pasar valas adalah ruang bebas bagi para spekulan valas. Keuntungan yang berlipat dalam waktu singkat telah menggiurkan liur para serigala untuk beramai-ramai berspekulasi di pasar valas. Mereka bermain dengan memanfaatkan momentum krisis global. Hal yang menarik, perilaku itu tak melanggar Undang-undang. Hanya hukum moral yang kerap dipertanyakan, selebihnya adalah konsekuensi dari pasar bebas. Kebebasan itu, menurut Hobbes, membawa naluri manusia sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)dapat tumbuh dan melahirkan perang semua melawan semua.

Kekhawatiran yang diposting dalam diskusi di blog Kompasiana beberapa waktu lalu, terbukti sudah (lihat : Andai Rupiah menembus Rp10.000/USD). Rupiah akhirnya menembus Rp 10.000 perdollar AS, bahkan pekan lalu sempat diperdagangkan pada level Rp 12.000 per dollar AS. Volume perdagangan di pasar valas kita yang tipis memang menjadikan Rupiah rentan. Krisis global telah mendorong para investor global untuk memindahkan portfolio mereka dari Indonesia (flight to quality). Hal ini memicu capital outflow yang tak terbendung, terutama di SBI dan SUN. Rupiah melemah lebih dari 15% dalam satu bulan terakhir. Faktor fundamental perekonomian Indonesia yang relatif kuat, imbal hasil rupiah yang masih tinggi, seolah tak mampu menahan aliran modal keluar. Di tengah tekanan yang dahsyat seperti itu, indikasi terakhir menunjukkan bahwa beberapa pihak mencoba untuk mengeruk keuntungan. Mereka memborong valas tanpa alasan dalam jumlah besar yang pada gilirannya memberi tekanan berlebihan pada rupiah. Rupiah yang terpuruk makin terpuruk.

Melihat kondisi yang terjadi belakangan ini, rasanya sulit mengharapkan Rupiah kembali ke level Rp 9500 per dollar AS. Kita seolah menyaksikan teatrikal geliat rupiah yang fluktuatif dan mencoba menemukan keseimbangan barunya. Pelemahan rupiah ini sungguh mencemaskan. Melemahnya rupiah akan berdampak pada kenaikan harga-harga (harga barang impor menjadi mahal). Dunia usaha yang tergantung pada bahan baku impor, akan mengalami kesulitan. Dan sebaran efeknya tentu akan mempersulit kehidupan perekonomian negeri. Hal ini pernah kita alami pada tahun 1998 dan 2005, saat rupiah juga menembus Rp10.000 per dollar AS. Meski di satu sisi pelemahan rupiah menguntungkan eksportir, melemahnya ekonomi dunia saat ini menyebabkan ekspor juga akan melambat. Akibatnya, pelemahan rupiah yang fluktuatif lebih banyak menimbulkan kesulitan bagi perbankan dan perekonomian secara keseluruhan.

Sistem devisa bebas yang dianut oleh Indonesia memang membebaskan setiap penduduk dalam memiliki dan menggunakan devisa. Kebebasan ini tentu menyimpan risiko. Apabila andaian antropologis terhadap manusia adalah seperti yang diungkapkan oleh Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya, maka kebebasan mengandung risiko. Rupiah yang bergejolak dan melemah secara inheren akan didomplengi oleh perilaku para spekulan yang mengeruk keuntungan. Tak ada aturan untuk mencegah aksi mereka. Di Malaysia dan Thailand kebijakan kontrol devisa atau kontrol kapital (capital control) diterapkan untuk membungkam para spekulan.

Indonesia tentu berbeda. Undang-undang kita masih memberikan kebebasan setiap individu atau badan usaha untuk memperoleh dan menggunakan valas. Saat ini sistem itu dirasakan masih cocok oleh Indonesia. Namun, kebebasan tetap harus diberi rambu. Bebas bukan berarti bebas tanpa batas semau-maunya. Inilah esensi kebebasan yang paling hakiki. Tata cara pemilikan valas perlu diatur. Kebijakan untuk mengatur pembelian valas (bukan melarang) lebih dari USD100.000 per bulan bagi nasabah individu atau badan usaha, adalah sebuah langkah yang berani di tengah suasana seperti ini. Bagaimana efektivitasnya? Tentu masih harus kita lihat di waktu waktu ke depan. Namun kita memiliki harap, jangan sampai pelemahan rupiah yang disebabkan oleh faktor global juga dimanfaatkan oleh segelintir serigala yang mencari keuntungan.

Wednesday, November 12, 2008

Quantum of Solace dan Ekonomi "Kegenitan"


Sudah nonton film terbaru James Bond, Quantum of Solace? Bagi penggemar film Bond klasik, film ini akan mengecewakan. Tak ada lagi gadget canggih. Tak ada lagi keglamouran. Dan yang terpenting, tak ada lagi kegenitan. Yang muncul adalah sisi manusiawi dari James Bond. Ia tampil sebagai sosok jiwa yang terkoyak, terluka, cinta, dendam, dikhianati, bahkan dipecat dari pekerjaannya. Meski demikian, film ini mengusung sebuah tema yang menarik dan patut kita renungkan bersama. Salah satu yang membuat film ini menarik adalah karena Bond mengajak kita pada sebuah pertanyaan filosofis tentang bahaya korporatokrasi. Hal ini menjadi semakin relevan dengan kondisi perekonomian dunia yang sedang dilanda krisis saat ini. Korporatokrasi adalah sebuah istilah baru dimana pemerintah suatu negara dalam menjalankan kebijakannya didominasi oleh pengaruh korporasi dan kalangan pemodal. Kepentingan mereka selalu didahulukan di atas kepentingan rakyat.

Kegenitan James Bond mungkin berkurang, namun kegenitan baru muncul. Itulah kegenitan korporasi raksasa bernama Greene Planet Corporation. Adalah Dominic Greene, pemilik Greene Planet Corporation, yang berpidato kesana kemari mendukung penghijauan bumi. Namun di sisi lain ia juga mendukung aksi kudeta di Bolivia, demi mendapatkan kuasa atas pengelolaan air di negeri tersebut. CIA, MI-6, Pemerintah Amerika, dan Pemerintah Inggris, semuanya memiliki kepentingan yang sama. Greene yang jahat, menjadi tidak jahat, selama kepentingannya sama. Dalam film itu, Pemerintah Inggrispun mengatakan kepada M, ”Benar salah bukan suatu ukuran, kita bertindak atas dasar kebutuhan”. Selama kudeta di Bolivia menguntungkan kepentingan mereka, aksi korporasi ini perlu didukung.

Hal ini mengingatkan kita pada aksi para Economic Hit Man yang bukunya ditulis oleh John Perkins. Di buku itu, John Perkins mengangkat masalah korporasi yang menguasai negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, demi kepentingan negara maju. Saat Korporatokrasi menguasai rezim pemerintahan suatu negara, kedaulatan pemerintah akan berkurang. Ekonomi kemudian akan diisi oleh ”kegenitan-kegenitan” baru. Berbagai jargon yang mengatasnamakan rakyat akan dikeluarkan namun pada intinya mereka mendahulukan kepentingan korporasi.

Dalam film, Jendral Medrano adalah orang yang didukung oleh Greene untuk melakukan kudeta di Bolivia. Tak setuju, Bondpun akhirnya harus dipecat karena tidak mengikuti perintah atasan. Film ini memang mencuatkan idealisme Bond. Meski dibayangi oleh dendam atas kematian kekasihnya, Bond akhirnya menghabisi Greene bersama dengan semangat korporatokrasi. Bahaya korporatokrasi itu pernah terlihat di negara-negara Amerika Latin. Itulah alasan bangkitnya gerakan neososialisme. Evo Morales menjadi Presiden dengan semangat sosialisme. Fernando Lugo muncul di Paraguay juga mengusung semangat ini. Di Venezuela, kita melihat sosok Hugo Sanchez. Bagaimana di Indonesia? Pertanyaannya harus kita kembalikan, apakah korporatokrasi ada di negeri ini? Adakah kekuatan kapital, pemilik modal, menguasai jalannya pemerintahan? Kita tak pernah tahu. Pak Prayitno Ramelan, blogger yang juga pengamat piawai di bidang intelijen, mungkin lebih memahami permasalahan ini. Karena ini memang urusan intelijen. Namun dari sisi ekonomi, korporatokrasi perlu kita waspadai. Hal ini bisa merugikan kehidupan rakyat secara keseluruhan dan tentunya bertentangan dengan semangat para pendiri bangsa. Cita-cita mereka yang mendambakan terwujudnya masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Selamat menonton Quantum of Solace....

Sunday, November 09, 2008

Dari Lehman Brothers ke Bakrie Brothers

Membandingkan Lehman Brothers dan Bakrie Brothers tentu bukan sebuah perbandingan “apple to apple”. Namun keduanya memiliki kesamaan, usaha mereka besar dan ekspansif, memiliki usia dan pengalaman yang panjang, dan sama-sama menjadi korban terjangan krisis finansial global.

Tahun 1845, Henry dan Mayer Lehman mendirikan Lehman Brothers. Bisnis awalnya adalah perdagangan kapas. Usaha Lehman kemudian berkembang pesat menjauhi bisnis kapas. Dan tahun 2008, Lehman Brothers terhempas. Tahun 1942, Achmad Bakrie mendirikan Bakrie Brothers. Bisnis awalnya adalah perdagangan kopi. Usahanya berkembang pesat merambah semua sektor. Dan tahun 2008, krisis kembali menghempas. Saham Bakrie Brothers amblas. Lehman Brothers dililit utang sampai 613 miliar dollar AS. Sahamnya amblas dari 94 dolar AS/ler lembar menjadi hanya 29 sen/lembar. Sementara Bakrie Brothers dililit utang 1,2 miliar dollar AS. Harga saham yang dimiliki Bakrie pun ikut amblas. Saham Bumi meluncur bebas dari Rp 8550/ lembar, menjadi hanya sekitar Rp 2000/lembar.

Ilmu ekonomi yang berkembang pesat sering memperumit persoalan sehingga kita kerap kehilangan kejernihan dalam melihat pokok permasalahannya. Dalam ilmu ekonomi dasar, ada satu paradigma klasik yang dipertahankan berabad-abad. Itulah kaitan intrinsik antara 3 faktor dalam proses produksi. Bila kita ingin menghasilkan produk dari kapas atau kopi, kita membutuhkan relasi antara 3 hal: modal finansial (money/capital), tenaga kerja (labor), dan tanah (land) sebagai sebuah situs untuk berproduksi. Munculnya teknologi adalah ekstensi dari ketiga hal tersebut.

Kaitan ketiganya bersifat intrinsik, dalam arti proses produksi dapat terjadi dan memberi kesejahteraan apabila ketiganya bertaut. Ditemukannya uang dan inovasi finansial telah mengubah segalanya. Berkembangnya pasar finansial telah membawa modal finansial pergi jauh meninggalkan tenaga kerja dan tanah. Globalisasi telah memperumit persoalan. Agenda kapitalisme dan neoliberalisme semakin melepas kinerja modal/uang dari kaitan intrinsiknya dengan tanah dan tenaga kerja. Kalangan bisnis dan pemilik modal semakin memperbesar kekuatan modalnya di pasar-pasar keuangan dan bursa komoditas, baik melalui utang maupun permainan harga.

Pasar saham yang tujuan awalnya adalah tempat investasi telah berubah menjadi ajang judi (J.M.Keynes, 1934). Bisnis, menurut Georg Simmel dalam bukunya The Philosophy of Money, pada awalnya bukan semata mencari keuntungan. Bisnis memiliki fungsi sosial. Ia menganjurkan agar modal finansial juga didukung oleh ketertanaman nilai pada masyarakat. Uang lahir dari semangat solidaritas sosial. Untuk menjaga keseimbangan, diciptakan badan publik. Keberadaan badan publik (pemerintah ataupun otoritas) adalah untuk menyeimbangkan kepentingan masyarakat dan pebisnis. Setiap masyarakat modern dibangun di atas perimbangan antara masyarakat, pasar, dan badan publik.

Hal ini menjadi sulit apabila kepentingan bisnis dan politik menjadi satu. Masyarakat akan ditinggalkan di sisi lain dari variabel ekonomi. Majalah The Economist pernah menulis bagaimana bahayanya poros kekuatan yang hanya bertumpu pada kekuatan politik dan bisnis hingga meninggalkan masyarakat. “The main dangers to the success of capitalism are the very people who would consider themselves its most ardent advocates: the bosses of the companies, the owners of companies, and politicians who tirelessly insist that they are pro business” (The Economist, 28/6/2003). Perimbangan kekuatan antara politik, bisnis, dan komunitas masyarakat adalah sebuah jalan penentu sehat tidaknya sebuah perekonomian. Runtuhnya Lehman Brothers dan prahara yang menimpa Bakrie Brothers menjadi semacam penanda betapa rumitnya hubungan antar poros dalam sistem perekonomian kita.

Saturday, November 01, 2008

Akankah Indonesia Kembali ke Pelukan IMF?

IMF menjadi semacam mantra di krisis global yang penuh turbulensi saat ini. Perlahan tapi pasti, beberapa negara mulai masuk dalam program bantuan IMF. Eslandia, Ukrania, Hongaria telah menyerah pada krisis dan masuk menjadi pasien IMF. Eslandia menerima 2,1 miliar dollar AS, Ukraina menerima 16,5 miliar dollar AS, dan Hungaria menerima 25 miliar dollar AS dalam bentuk paket penyelamatan keuangan di bawah bendera Stand By Arrangement. Belarusia dan Pakistan adalah pasien selanjutnya. Mereka sudah angkat tangan melawan krisis. IMF memang menyediakan dana yang jumlahnya mencapai 200 miliar dollar AS untuk membantu negara anggotanya yang mengalami masalah likuiditas karena krisis global. Namun sebagai dokter, IMF tentu memberlakukan syarat-syarat ketat bagi pasien yang menerima pinjaman tersebut.

Meminta bantuan IMF juga pernah dilakukan Indonesia saat krisis tahun 1997-8 lalu. Meski kita telah berhasil keluar dari program IMF pada tahun 2004, pengalaman pahit berada dalam program itu masih membekas dalam ingatan. Di bawah program IMF, keleluasaan kita dalam mengelola ekonomi sangat terbatas karena segala sesuatu harus dilakukan dengan persetujuan IMF terlebih dulu. Siapa pula tak ingat patahan peristiwa yang menyakitkan hati bangsa, saat Presiden RI menandatangani letter of Intent (LoI), sementara di sebelahnya Managing Director IMF berdiri angkuh sambil melipat tangan. Menyikapi krisis keuangan global terjadi belakangan ini, tentu wajar bila muncul kekhawatiran dan pertanyaan, akankah kita kembali pada pelukan IMF?

Rute menuju IMF
Secara umum, sebuah negara meminta bantuan IMF apabila negara tersebut secara berturut turut atau bersamaan mengalami overheating ekonomi (biasanya ditandai dengan inflasi yang tinggi), defisit pada neraca transaksi berjalan (bahkan beberapa negara mengalami twin deficit yang cukup besar), serta kesulitan memenuhi kewajiban utang luar negeri, termasuk utang luar negeri perbankan. Dengan kondisi fundamental ekonomi yang rapuh, gejolak ekonomi akan memberikan sentimen negatif pada negara tersebut. Hal itu kemudian mendorong terjadinya aliran keluar modal asing yang berakibat pada anjloknya harga saham, melemahnya nilai tukar, dan pada gilirannya meningkatkan credit default swap (ini adalah sebuah indikator premi risiko pada suatu negara). Menghadapi melemahnya nilai tukar, biasanya bank sentral akan melakukan intervensi guna menjaga kestabilan nilai tukar. Apabila terus menerus dilakukan, hal ini menyebabkan tergerusnya cadangan devisa. Akibatnya, rating negara tersebut akan menurun, upaya pembiayaan dan kepercayaan dari luar negeri semakin tertutup, dan ujungnya, bendera putihpun dikibarkan. Negara memanggil sang dokter IMF guna perawatan.Rute permasalahan seperti itulah yang dialami oleh kelima negara yang meminta bantuan IMF. Khusus untuk Pakistan, berbagai masalah itu ditambah lagi dengan munculnya instabilitas politik di negaranya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Ibarat penyakit, demam mulai dirasakan oleh ekonomi Indonesia. Rambatan krisis dari AS mengalir melalui sektor keuangan dan perlahan menyebar ke sektor lainnya. Perekonomian negeri mulai meriang. Kondisi pasar keuangan domestik mengalami tekanan tajam sehingga nilai tukar rupiah terdepresiasi, indeks harga saham turun, dan credit default swap meningkat. Indikator lainnya hampir serupa dengan yang dialami kelima negara di atas, pertumbuhan kredit melaju tinggi, cadangan devisa menurun, inflasi meningkat, dan terjadi defisit pada neraca transaksi berjalan setelah 10 tahun selalu mencatat surplus. Apabila diruntut, kondisi itu bagai rangkaian kereta yang menjalani rute menuju jurang. Akankah kita selamat? Atau apakah di ujung jalan nanti kita akan bertemu dengan sang dokter IMF? Jawabnya tak pasti.

Meski secara umum hampir sama dengan apa yang dialami oleh kelima negara tadi, kondisi fundamental Indonesia masih sedikit lebih baik. Kondisi perbankan jauh lebih baik dibanding pada saat krisis. Berbagai indikator ketahanan menunjukkan bahwa industri perbankan kita saat ini lebih resilien. Eksposur pada utang luar negeri juga tidak separah pada saat 1998. Di sisi pertumbuhan ekonomi, kita masih melihat sebuah kegairahan dengan akan dilaksanakannya pemilu tahun depan. Hal ini diharapkan akan mendukung kuatnya konsumsi dan maraknya investasi domestik. Tekanan inflasi, yang menjadi akar dari permasalahan, juga diperkirakan menurun di tahun depan.

Namun jalan ke depan pasti tak mudah. Kita masih berada pada tahap awal krisis keuangan. Rambatannya masih bisa kemana-mana. Ujungnya kita belum tahu hendak kemana? Kita semua tentu tak ingin ini semua berujung pada sebuah mala.Kita tak ingin ada petaka lagi yang mengoyak dan mengguyah kehidupan rakyat. Berbagai langkah pemerintah untuk menanggapi gejala awal krisis tentu perlu kita beri apresiasi. Namun itu saja belum cukup. Langkah jangka panjang diperlukan. Selain itu, peranan elemen masyarakat juga penting. Saat ini, kita masih memiliki modal penting, yaitu kestabilan politik dan sosial. Tugas kita semua menjaga ketenangan ini terutama dalam menghadapi pemilu tahun depan. Apabila berbagai hal baik ini tak mampu kita jaga bersama, bukan tak mungkin kita akan mengatakan, “Welcome back Mister IMF...”

Mistik Bank Sentral


Bank Sentral adalah sebuah mistik. Oleh sebagian masyarakat bahkan menjadi sebuah mitos. Sulit memang menjelaskan pada masyarakat modern yang rasional saat ini. Di tengah masyarakat yang segala sesuatunya dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan rasional, mistik seolah kehilangan tempat. Namun di masyarakat arkhais (primitif-tradisional), mistik menjadi bagian dalam kehidupan. Segala fenomena yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat, langsung dikategorikan dalam tataran mistik. Mistik tak bisa dipandang lebih rendah dari rasio. Mistik adalah justru sebuah kerendahhatian dan kesadaran manusia bahwa ia tak mampu memahami semua persoalan di dunia ini. Dunia terlalu rumit untuk dijelaskan melulu melalui rasio. Keterbatasan rasio dalam memahami komplikasi dunia inilah yang membuat mistik tetap hidup hingga sekarang.

Di pasar keuangan, mistik juga ada. Mistik itu adalah bank sentral. Montagu Norman, Gubernur Bank of England di tahun 1921-1944 mengatakan,”Never explain, never excuse”. Bank sentral dikondisikan sebagai sebuah kekuatan supranatural yang bekerja di balik tembok dan mampu memengaruhi pasar keuangan. Bob Woodward (1978) dalam bukunya “The Secret of the Temple”, menulis tentang bagaimana mitos dibangun di Federal Reserve (Bank Sentral AS) yang diibaratkan sebagai Kuil Suci. Keyakinan yang dibangun adalah bahwa bank sentral akan beroperasi optimal apabila dianggap oleh pasar sebagai sebuah mitos yang memiliki kekuatan tak terlihat.
Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS, juga meyakini kemistikan bank sentral tersebut. Ucapannya yang terkenal adalah “Since I’ve become a central banker, I’ve learned to mumble with great coherence. If I seem unduly clear to you, you must have misunderstood what i said”. Intinya, Greenspan tak pernah sepenuhnya jelas dalam memberikan pernyataan. Sebagian pesannya dapat ditafsirkan berbeda. Meski tak dapat dipahami, selama 18 tahun masa kepemimpinannya, Greenspan memiliki nuansa profetik dalam setiap katanya. Words that move the market, kata-katanya mampu menggetarkan pasar keuangan. Ada semacam kekuatan supranatural di sana.

Adalah Ben Bernanke, Chairman The Fed yang baru, pengganti Greenspan, yang menjadi satu dari sekian orang yang tidak percaya pada mistik. Ia mencoba mendesakralisasikan mitos bank sentral. Pemikirannya yang akademis rasional mengatakan bahwa semakin transparan sebuah bank sentral, semakin efektiflah kebijakan. Menurutnya, zaman telah berubah, bank sentral tak bisa bekerja dengan tertutup lagi. Kebijakan moneter akan berjalan efektif kalau kita mampu mengkomunikasikan secara transparan arah, tujuan, alasan, rasional, dan metode pencapaian tujuan tersebut secara jelas ke masyarakat. Era transparansi dan komunikasi ini kemudian menjadi semacam keyword yang digunakan bank sentral di seluruh dunia. Pasar senang, media tenang, semua yang terjadi di bank sentral dapat serta merta dilihat dan didapat dengan mudah.

Sampai pada suatu hari, datanglah krisis keuangan global di AS. Desakralisasi bank sentral ini ternyata tak sepenuhnya menguntungkan. Di tengah kegamangan dan kepanikan pasar, yang muncul adalah irasionalitas. Irasionalitas adalah tataran mistik. Dan irasionalitas itu harus berhadapan dengan realita rasional dari bank sentral yang terbatas. Bank sentral kini sudah dipandang sebagai lembaga otoritas biasa yang tak punya kemampuan banyak. Transparansi, yang dilakukan selama ini, membawa pada sebuah kenyataan bahwa bank sentral tak dapat berbuat banyak. Minimnya instrumen moneter, dihadapkan pada semakin canggihnya instrumen keuangan, ibarat David melawan Goliath. Bank sentralpun kehilangan kredibilitas di seluruh dunia.

Di Indonesia, hal ini ada baiknya kita renungkan bersama. Masyarakat kita masih butuh mistik. Sepanjang sejarah nusantara, mistik mewarnai kehidupan kita. Kisah-kisah satrio piningit, kesaktian ngarso dalem, wali nangroe, ratu adil, dll, lekat dalam realita masyarakat. Dalam kondisi tersebut, desakralisasi bank sentral tak sepenuhnya menguntungkan. Kemampuannya dalam mengendalikan pasar akan guyah. Kita masih butuh sebuah bank sentral yang memiliki kekuatan supranatural.. Transparansi di satu sisi, Mistik di sisi lain. Menyeimbangkan antara rasional dan mistik adalah sebuah pilihan, utamanya di Indonesia. Mungkin, hanya mungkin.....

Sunday, October 26, 2008

Kegilaan di Pasar Keuangan

“Madness is rare in individuals, but in groups, parties, nations, and ages, it is the rule.” - Friedrich Nietzsche

Pernahkah kita berkendara menerobos lampu merah? Namun kita melakukannya bukan karena situasi jalan yang sepi. Kita lakukan itu semata karena kita melihat ada kendaraan lain yang menerobos, kemudian diikuti oleh kendaraan-kendaraan lainnya. Di pasar keuangan, perilaku seperti itu dinamakan perilaku naluri kerumunan hewan (herd instinct). Perilaku itulah yang menyebabkan pasar keuangan mengalami panik dan membuat pasar modal runtuh (crash) ataupun nilai tukar amblas. Naluri kerumunan hewan yang biasa terjadi di pasar modal ataupun pasar uang sering membuat orang mencoba untuk ikut-ikutan. Mereka masuk ke pasar modal secara irasional dan membeli saham apa pun yang ada dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan besar. Ketika kemudian hasilnya tidak seperti yang diharapkan, mereka segera melepas kembali untuk mengurangi kerugian.

Pengalaman kita di tahun 1998 menunjukkan bahwa herd instinct menjadi awal dari krisis ekonomi. Perilaku tersebut kembali terulang pada Oktober 2005 saat harga minyak dunia melonjak, dan Agustus 2007 saat krisis kredit hipotek perumahan AS (subprime mortgage) terjadi. Tahun 2008 ini, hal itu terjadi lagi saat Bursa Efek Indonesia sempat dihentikan perdagangannya. Harga saham anjlok, semua orang secara panik melakukan aksi jual tanpa berpikir lagi. Terakhir, pekan lalu, saat nilai tukar rupiah menembus angka Rp10.000 per dollar AS. Semua orang, para profesional pasar keuangan, bahkan ibu rumah tangga, beramai-ramai menukar tabungannya ke dollar. Rupiah yang tertekan, makin tertekan. Mengapa para profesional pasar keuangan, bisa berperilaku seperti kawanan hewan yang ditandai oleh kegilaan dan kepanikan (manias and panics)? Adakah cara mengatasi perilaku tersebut?

Profesional yang Rasional
Friederich Hegel, seorang filsuf, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional dan memiliki kesadaran diri (a rational and self conscious create). Sementara itu, Jack Bogle (1951), ekonom dari Princeton, mengatakan bahwa munculnya para profesional yang mengelola dana masyarakat di pasar keuangan (fund manager) akan melahirkan sebuah sebuah pasar yang tenang dan rasional. Dalam pandangan Bogle, profesional tersebut, memiliki kemampuan rasio dan pendidikan yang dapat mencegah pasar dari kegilaan dan kepanikan. Dan di tahun 1960, para akademisi di bidang keuangan meyakini bahwa para profesional akan menjaga harga saham sejalan dengan nilai bukunya. Hal ini bertentangan dengan pendapat John Maynard Keynes (1941) yang mengatakan bahwa pasar keuangan adalah sebuah kasino, kolam tempat spekulasi (a 'casino,' a 'whirlpool of speculation).

Seiring dengan berjalannya waktu, ramalan Keynes terbukti lebih akurat. Krisis demi krisis terjadi disebabkan oleh perilaku tidak rasional dari para profesional. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan bahwa akal sehat bergantung pada situasi, namun rasio tidak bergantung pada situasi. Para profesional keuangan adalah juga manusia yang menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang sama dengan investor-investor amatir. Apalagi mereka mengelola dana masyarakat. Jika mereka menentang pasar, risikonya adalah ditinggalkan pasar.

Membangun Kepercayaan di antara Kerumunan Hewan
Krisis mengajarkan pada kita bahwa perilaku irasional justru memperparah krisis. Ketika irasionalitas itu mulai merambah pada aksi penarikan dana besar-besaran di bank (rush), memburu dan menumpuk kebutuhan pokok, serta memborong barang tanpa berpikir, perekonomian dipastikan akan semakin sulit. Kita menyadari bahwa irasionalitas ini adalah sifat yang manusiawi. Ditambah lagi, kita hidup dalam dunia digital dan tekhnologi informasi yang semakin mengglobal. Ruang dan waktu terasa semakin sempit. Informasi, isu, gosip, begitu cepat bertebaran.

Menghadapi krisis keuangan saat ini, hal terpenting adalah membangun kredibilitas dan kepercayaan. Fukuyama mengatakan bahwa “Trust is a Social Capital”, Kepercayaan adalah sebuah modal sosial. Bagaimana pemerintah dan otoritas mampu membangun kepercayaan adalah kunci utama kita dalam mengarungi krisis. Pemerintah diharapkan tidak menelurkan kebijakan yang panik dan blunder sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat kita juga akan menghadapi pesta demokrasi, dimana suasana dapat menghangat dan berbalik setiap saat.

Tanpa adanya kepercayaan, yang terjadi adalah kekacauan. Hal ini juga dikatakan oleh salah seorang pejabat IMF, bahwa yang terjadi kini adalah “loss of confidence, regardless the fundamental”, hilangnya kepercayaan tanpa memikirkan masalah fundamental sebenarnya. Statement itu benar adanya. Kalau melihat kondisi fundamental, saat ini perekonomian Indonesia sudah jauh lebih baik dibanding saat krisis 1997-8. Pemerintah juga lebih tanggap dalam menghadapi krisis. Upaya menjaga terus kepercayaan ini menjadi penting. Globalisasi memang penuh ambivalensi. Menghadapinya, kita harus rela menerima kenyataan bahwa kegilaan dan perilaku kerumunan hewan di pasar keuangan, ada dan tak terelakkan.

Friday, October 24, 2008

Indonesia Dalam Bayang Neoliberal

Apakah ada alternatif lain yang lebih baik dari neolib? Sejak Margaret Thatcher mengatakan T.I.N.A (There Is No Alternatives), neoliberal seolah menjadi pilihan niscaya bagi kemakmuran dunia. Neolib meyakinkan kita bahwa pilihan kebijakan untuk mengatasi kemiskinan di muka dunia adalah melalui perdagangan bebas (free trade) dan pasar bebas (free market). Segala upaya untuk menegakkan paham ini disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai institusi internasional maupun pelajaran ekonomi di berbagai universitas. Arus modal yang bergerak bebas antar daerah dan negara, dipandang sebagai hal strategis yang harus dilakukan setiap negara. Berbagai rintangan yang menghambat gerak modal tersebut (seperti tariff, tax, dan kontrol lainnya) harus dihilangkan (David Harvey, 2005). Kedaulatan negara atas komoditas dan arus modal seolah menyerah pada kekuatan pasar global.

Hal nyata yang terjadi kemudian adalah sebuah akumulasi modal yang luar biasa besarnya di pasar-pasar keuangan dunia. Akumulasi ini membalon sedemikian besar hingga pada akhirnya pecah saat krisis subprime mortgage menyeruak. Bangkrutnya Lehman Brothers pada akhir September 2008, melengkapi rentetan rontoknya lembaga-lembaga keuangan besar di dunia. Setelah Bear and Sterns, Fannie Mae, Fredie Mac, Indy Mac, Northern Rock, Merrill Lynch, hingga AIG, institusi keuangan global yang semula tampil bagai pilar yang kokoh, ternyata tak lebih dari sekedar buih yang rapuh. Wall Street yang selama ini diagung-agungkan sebagai fondasi hegemoni kapitalisme AS, kini justru menjadi episentrum dari runtuhnya pasar keuangan global. Perkembangan yang begitu cepat dengan efek ramifikasi yang luas ke seluruh penjuru dunia membuat tak ada seorangpun yang berani meramalkan apa yang akan terjadi ke depan. Kita melihat krisis mengimbas ke pasar saham yang jatuh secara signifikan, diikuti oleh indeks-indeks di bursa-bursa saham seluruh dunia. Krisis tersebut memasuki periode yang makin berbahaya dengan nyaris lumpuhnya pasar surat utang karena investor di berbagai penjuru dunia yang panik.

Menyikapi hal ini, apakah neolib menyerah? Menarik untuk membaca hasil pertemuan Presiden Bush dengan negara-negara G-20 di Washington DC tanggal 15 November lalu. Press Release yang dikeluarkan oleh Press Secretary, Dana Perino, menulis "The summit will also provide an important opportunity for leaders to strengthen the underpinnings of capitalism by discussing how they can enhance their commitment to open, competitive economies, as well as trade and investment liberalization..." Intinya, neolib belum menyerah. Siaran pers itu mengingatkan bahwa jangan sampai krisis keuangan ini menodai semangat kapitalisme dan komitmen negara-negara pada sebuah ekonomi yang terbuka dan kompetitif.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memang diombang ambing dalam ayunan globalisasi saat ini. Krisis keuangan yang terjadi di AS saat ini, serta merta memberi tekanan pada pasar keuangan RI. Jalur finansial dan jalur perdagangan internasional adalah jalan efek itu menyebar pada ekonomi kita. Globalisasi tak dapat kita hindari. Semangat neolib juga tak dapat begitu saja kita nafikkan. Hanya saja, kita punya pilihan. Bangsa Indonesia adalah bangsa berdaulat yang harus memilih jalannya sendiri dalam menyejahterakan rakyatnya. Krisis ini jangan dilihat sebagai bencana, namun sebuah peluang.

Kita patut memberi apresiasi atas langkah yang tanggap dan cepat dari pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dalam menyikapi dampak jangka pendek krisis keuangan ini. Langkah tersebut dilakukan secara tepat guna mengurangi kepanikan pasar. Oleh karenanya, setelah berhasil dengan baik menelurkan kebijakan saat "dihantam badai", kebijakan "pasca badai" perlu segera dirumuskan. Apa itu kebijakan "pasca badai"? itulah sebuah kebijakan yang menanamkan kembali sektor keuangan pada rahimnya sendiri, yaitu sektor riil. Ancaman dan bahaya neolib akan bisa dikurangi apabila kita melakukan kompromi dengan pasar. Krisis ini memberi pelajaran yang sangat berarti bagi kita bahwa sektor keuangan tak bisa melaju sendiri tanpa terkait pada sektor riil. Apabila kebijakan "pasca badai" dapat dirumuskan dan diaplikasikan dengan baik, kita berharap ekonomi Indonesia akan lebih berkesinambungan dan memberi kesejahteraan. Itulah peluang dari krisis keuangan AS saat ini. Tetap waspada pada paham neolib agar tidak mengguyah kedaulatan NKRI. Salam.

Monday, October 20, 2008

Empat Stadium Krisis Moneter

Salah satu dosen mata kuliah ekonomi saya, sembari santai bercerita bahwa krisis ekonomi itu mirip seperti kanker. Ada empat stadium yang berbeda-beda. Pengobatannyapun tergantung pada stadiumnya masing-masing. Yang paling parah bila krisis mencapai tahap kanker Stadium keempat. Ini disebut dengan Depresi. Depresi ditandai oleh amblasnya bursa saham, pasar keuangan, turunnya pertumbuhan, dan meluasnya pengangguran serta kemiskinan. Berbagai masalah sosialpun muncul. Hal ini pernah terjadi saat The Great Depresion tahun 1929-30 di AS. Ekonomi AS saat itu runtuh. Stadium ketiga, adalah Resesi. Kondisi ini ditandai oleh turunnya pertumbuhan ekonomi selama tiga triwulan berturut-turut. Dampaknya adalah pengangguran yang meningkat, kemiskinan yang meluas, dan kehidupan yang bertambah sulit. Apabila tidak ditangani dengan baik, resesi akan berakhir depresi.

Stadium kedua, adalah Stagflasi. Periode ini terjadi ketika inflasi dan stagnasi (yaitu, menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran) terjadi secara bersamaan. Istilah stagflasi pertama kali disebutkan oleh United Kingdom Chancellor of the Exchequer Iain MacLeod dalam pidatonya di hadapan parlemen pada tahun 1965. "Stag" berasal dari suku kata pertama "Stagnasi", yang merujuk pada menurunnya kondisi ekonomi, sementara "flasi" berasal dari suku kata kedua dan ketiga "inflasi", yang merujuk pada naiknya harga barang-barang secara umum dan terjadi secara terus menerus.

Stadium pertama, ini yang paling penting kita cermati, adalah Emosi. Nah, stadium inilah yang saat ini menimpa ekonomi Indonesia. Saat ini muncul kekhawatiran dan kepanikan dari pelaku pasar akan dampak krisis AS terhadap perekonomian domestik. Terjadilah luapan emosi atau irasionalitas dari pasar. Ditutupnya Bursa Efek Indonesia, melemahnya nilai tukar, adalah cerminan kepanikan dari pelaku pasar. Inilah emosi. Menghadapi emosi, kepala dingin sangat diperlukan. Kita patut memberi apresiasi pada otoritas pemerintah maupun moneter yang tidak terbawa emosi. Di saat krisis merebak, berbagai persoalan jangka pendek segera ditangani dengan tanggap. Upaya penyediaan Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan dinilai sebagai kebijakan yang tanggap cepat. Yang menarik juga adalah upaya BI dalam menenangkan pasar dengan mengeluarkan beberapa paket kebijakan pelonggaran likuiditas untuk menyelesaikan masalah keketatan likuiditas di perbankan dalam jangka pendek. Selain itu, upaya meningkatkan batas maksimum penjaminan dana nasabah di bank, dari Rp100 juta ke Rp 2 milyar dianggap mampu menenangkan pasar. Bayangkan bila kebijakan ini baru diambil saat terjadi bank rush seperti tahun 1998. Tentu tak akan kredibel. Inilah langkah yang pre-emptive. Dilakukan sebelum emosi meledak. Mudah-mudahan krisis dapat kita lewati dengan baik dan tidak berkembang biak bagai kanker hingga stadium empat. Naudzubillahi min dzalik.

Blunder [kah] Bank Indonesia?

The Job of a central bank is to worry...”, demikian adagium yang sering diucapkan tentang tugas bank sentral. Menghadapi krisis keuangan yang terjadi di AS akhir-akhir ini, bank sentral kembali berada dalam sorotan. Tak terkecuali di Indonesia. Kebijakan Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan BI Rate menjadi 9,5% bulan Oktober 2008, menuai kritik dan kecaman. Di tengah penurunan suku bunga yang dilakukan di negara-negara lain, di tengah ancaman resesi dunia dan perlambatan ekonomi, mengapa BI justru menaikkan BI Rate? Langkah ini dianggap sebagai langkah yang egois, blunder, dan tidak memikirkan kehidupan masyarakat kebanyakan. Bank Indonesia dihadapkan pada sebuah risiko kredibilitas.

BI Rate yang blunder?
Henry Paulson, menteri keuangan AS, saat mengumumkan paket bail out sebesar 700 miliar dollar AS, kira-kira mengatakan bahwa setiap negara memiliki karakteristiknya sendiri. Inti dari pernyataan Menkeu AS tersebut, bijaklah dalam mengadopsi kebijakan. Krisis yang mengimbas dan menyebar dirasakan berbeda oleh masing-masing negara. Ketahanan, kondisi, dan kekuatan masing-masing akan sangat menentukan sampai seberapa ia bertahan. Indonesia adalah sebuah keunikan tersendiri. Saat ekonomi dunia melesu sejak pertengahan 2007 lalu, perekonomian domestik justru melaju kencang. Ancaman resesi yang dirasakan oleh negara lain, tidak serta merta dirasakan di Indonesia. Hal ini diindikasikan oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi dalam tujuh triwulan terakhir. Dalam kurun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru melejit pada kisaran di atas 6%. Padahal saat itu, banyak negara mengoreksi pertumbuhannya.

Faktor utama tingginya pertumbuhan adalah konsumsi masyarakat dan ekspor yang tinggi seiring dengan tingginya harga komoditas internasional. Selain itu, dukungan dari kredit perbankan yang tumbuh lebih dari 32% pertahun menjadi pendorong meningkatnya permintaan. Konsumsi masyarakat menjadi sumber utama pemicu kuatnya pertumbuhan ekonomi. Dengan jumlah rakyat lebih dari 200 juta, konsumsi memang motor pertumbuhan kita. Apabila kita melihat secara sektoral, laju sektor properti tumbuh pesat mencapai 8% setahun. Pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor, juga terus meningkat di seluruh Indonesia. Tidak ada yang salah memang dengan pertumbuhan dari sisi permintaan ini. Namun permintaan yang melaju eksesif akan sangat membahayakan perekonomian apabila tidak diimbangi oleh pasokan memadai dari sisi penawaran. Hal itu akan membawa ekonomi pada sebuah guyah ketidakstabilan.

Saat ini, harga komoditas dunia mulai menurun. Imbasnya adalah ekspor kita yang juga menurun yang akan berdampak pada prospek pertumbuhan ke depan. Namun, permintaan domestik masih tinggi. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan impor, baik untuk bahan baku dan modal, maupun barang konsumsi. Akibatnya, terjadi tekanan di Neraca Pembayaran Indonesia. Defisit transaksi berjalan mulai terjadi pada triwulan II-2008. Seiring dengan itu, nilai tukar mulai melemah. Ekspektasi inflasi juga meningkat. Hal ini menjadi sebuah penanda akan perlunya kita mencermati ketahanan perekonomian.

Untuk itu, kebijakan menaikkan BI Rate nampaknya dilandasi oleh sebuah raison d’etre yang jelas, dan bukan saran dari IMF seperti yang dituding beberapa pihak. Tingginya permintaan, masih tingginya ekspektasi inflasi, dan dampak dari kenaikan harga barang impor seiring dengan melemahnya rupiah, menjadi hal yang perlu diwaspadai. Reaktif? BI melakukan kenaikan BI Rate sejak bulan Mei 2008, di saat negara lain masih mencermati perkembangan global. Langkah ini dinilai kalangan investor sebagai langkah proaktif. Credo-nya jelas, permintaan yang terlalu tinggi, terutama dari kalangan menengah ke atas, perlu dikendalikan guna menjaga kestabilan bagi kepentingan masyarakat secara luas.

BI Rate ke depan
Menghadapi dampak dari krisis keuangan AS ke depan, tentu fokus utama yang perlu dipikirkan adalah menjaga stabilitas perekonomian. Kestabilan ini menjadi penting karena ia adalah sebuah element of continuity yang perlu kita jaga bersama. Pengalaman krisis 1997-8 perlu menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak “blunder” dalam mengambil kebijakan. Sumber-sumber masalah, utamanya sumber ketidakstabilan ekonomi dan inflasi, perlu ditelisik dengan baik.

Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berupaya menyelesaikan berbagai masalah mendesak akibat dampak krisis AS. BI Rate adalah sebuah instrumen kebijakan moneter yang merupakan respon dari state of the economy dan signal bagi pencapaian inflasi ke depan. Berbagai tekanan pada kestabilan dan prospek inflasi tercermin pada keputusan BI Rate. Namun, BI Rate tak dapat berdiri sendiri. Ia harus didukung oleh instrumen moneter lain yang dimiliki oleh bank sentral, seperti intervensi valas, moral suasion, manajemen likuiditas, dan GWM. Oleh karenanya, upaya untuk melihat dampak kebijakan dalam spektrum menengah panjang menjadi penting. Tentu, orkestrasi kebijakan BI yang selaras diharapkan tidak memberi sinyal yang membingungkan dan berdampak negatif bagi masyarakat.

Sunday, October 12, 2008

"Tanggap ing Sasmita" Krisis Keuangan AS

Rabu sore, 17 September 2008, artis jelita Christy Carlson Romano direncanakan hadir untuk membunyikan bel penutupan di lantai perdagangan New York Stock Exchange (NYSE). Kehadiran Christy sekaligus menandai debutnya di pertunjukan musikal Broadway “Avenue Q”. Dalam pertunjukan itu, ia memainkan dua peran, seorang guru taman kanak-kanak yang romantis dan penyanyi klub malam yang menggoda. Namun realita tak demikian, sore itu bukan Christy Carlson Romano, melainkan seorang petugas NYSE yang muncul sebentar untuk membunyikan bel penutupan perdagangan. Bel berbunyi dan dia menghilang. Lantai saham senyap, hening, tak ada lambaian, tak ada tepukan, hanya ada keterdiaman. Sore itu, bukan hanya di Amerika Serikat, namun di pasar keuangan seluruh dunia, gairah untuk tertawa seolah raib bersama ambruknya Lehman Brothers. Keruntuhan Lehman Brothers tersebut menyusul rentetan ambruknya lembaga-lembaga keuangan global lainnya.

Hari-hari selanjutnya seluruh mata dunia menatap perkembangan yang terjadi di AS dari detik ke detik. Pengambilan keputusan untuk memberikan dana talangan (bail out) sebesar USD 700 miliar oleh DPR AS menjadi momen yang paling dinantikan oleh dunia. Saat RUU paket dana talangan itu disetujui, terselip sedikit nafas lega akan sebuah harapan, meski itu masih jauh dari penyelesaian krisis. Rambatan krisis tersebut terus dirasakan di Eropa, Asia, dan pada ujungnya membuat “meriang” perekonomian Indonesia.

Dampak krisis global ke Indonesia
Indonesia sebagai negara ekonomi terbuka tak dapat dipungkiri berada dalam ayunan globalisasi. Kemana ayunan itu mengarah, kesana kita dibawa. Dampak langsungnya adalah penyesuaian portfolio para investor asing di pasar keuangan. Akibatnya kita saksikan sendiri bagaimana IHSG tertekan, yield SUN jangka pendek meningkat, dan pada gilirannya terjadi tekanan di pasar reksadana. Paniknya pasar menyebabkan Bursa Efek Indonesia harus "tutup" perdagangan. Rupiahpun melemah tak terkontrol mengikuti ayunan pelemahan global. Wajar ini terjadi, karena besarnya kepemilikan saham asing di bursa efek Indonesia, yang saat ini berjumlah 64% dari total kepemilikan. Selain itu, dana asing di pasar SUN dan SBI yang saat ini berjumlah sekitar 14 miliar dollar AS juga sungguh mengkhawatirkan. Komposisi portfolio ini di satu sisi membawa dampak positif karena membawa likuiditas berupa aliran modal masuk. Namun dana ini juga sewaktu-waktu dapat berbalik arah (capital outflow) dan merugikan perekonomian negeri sebagaimana yang terjadi.

Di sisi lain , krisis keuangan di AS tersebut juga berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia, khususnya yang tercermin di sisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Apabila krisis keuangan global ini berlanjut, ekspor Indonesia akan tertekan dan memengaruhi kinerja NPI. Ekspor kita saat ini masih mengandalkan pada sektor yang berbasis sumber daya alam dan peningkatan harga komoditas internasional. Melemahnya ekonomi global dan turunnya harga komoditas pada gilirannya tentu akan menurunkan ekspor. Alhasil, peranan ekspor yang selama ini menjadi cushion bagi perekonomian nasional akan berkurang. Sementara itu, masih tingginya permintaan di dalam negeri mendorong meningkatnya impor barang-barang dari luar negeri yang kemudian akan menekan posisi transaksi berjalan dalam jangka pendek.

Hikmah dari krisis keuangan AS
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi perkembangan yang terjadi tersebut? Tentu kita harus bersikap reflektif dan terbuka. Dalam jangka pendek , apa yang terjadi di AS memang memberi tekanan pada ekonomi domestik. Namun sebenarnya, krisis tersebut dapat menjadi sebuah momentum yang tepat bagi kita untuk memantapkan langkah dalam membangun ekonomi negeri. Kita seolah diingatkan bahwa upaya membesarkan sektor keuangan harus seiring dengan upaya membangun ekonomi di sektor riil.

Saat ini kita memiliki fondasi kestabilan makroekonomi yang jauh lebih baik dibanding setelah krisis. Bahkan di tengah tekanan krisis global seperti ini, ekonomi kita masih dapat tumbuh pada kisaran 6 persen. Pertumbuhan ini harus dapat terus memberi manfaat khususnya pada kehidupan rakyat berupa penurunan kemiskinan dan pengangguran. Tidak ada jalan lain selain memperbaiki kinerja ekonomi kita. Pertama, upaya meningkatkan kinerja sektor riil, membangun daya saing dan diversifikasi ekspor, memperkuat basis UMKM khususnya pertanian dan kelautan dalam menyerap tenaga kerja, serta memicu investasi adalah langkah yang tak dapat ditawar lagi. Harus diakui bahwa peningkatan kinerja ekonomi kita saat ini bukan ditunjang sepenuhnya oleh peningkatan sektor riil, tetapi oleh peningkatan harga komoditas dan kinerja sektor keuangan. Memang terkesan klasik dan membosankan, namun hal ini harus terus dikumandangkan. Upaya melakukan penanaman kembali (re-embeddedness) sektor keuangan pada sektor riil adalah hakikat asali dari sebuah pembangunan ekonomi. Kedua, meneruskan kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dan berhati-hati dan berpihak pada rakyat. Kebijakan yang ditempuh oleh otoritas saat ini dinilai sudah mampu memberikan ketenangan pada pasar karena sifatnya yang konsisten, berhati-hati, dan market friendly. Hal ini merupakan modal kepercayaan para investor terhadap pengelolaan ekonomi makro.

Akhirnya, kita perlu tanggap ing sasmita atau mampu menangkap tanda-tanda yang diberikan alam. Krisis AS adalah sebuah penanda bagi kita semua dalam melakukan refleksi akan pengelolaan ekonomi negeri . Kita pernah diberikan penanda melalui krisis tahun 1997/98, kita diingatkan kembali dengan krisis keuangan di AS tahun 2007/08. Jangan sampai ada peringatan ketiga. Karena saat itu datang, bisa jadi kita sudah terlambat dalam membenahi ekonomi negeri.