Sunday, April 18, 2010

Yamazaki, sang Astronot Mama

Beberapa hari ini, media massa di Jepang memuat berita tentang Naoko Yamazaki. Ia adalah astronot perempuan Jepang yang mampu membetot perhatian publik. Kesuksesannya adalah sebuah fenomena, karena Yamazaki adalah juga seorang ibu rumah tangga. Dalam kultur masyarakat Jepang, tak banyak ibu rumah tangga yang bisa meraih sukses seperti dirinya. Meski Jepang adalah negara modern, pandangan terhadap kaum perempuan masih tradisional. Nilai yang masih dipegang adalah bahwa kaum perempuan itu “konco wingking”(teman di belakang) yang tugas utamanya mengurus rumah dan anak. Oleh karena itu, fokus pemberitaan tentang Yamazaki bukan tentang perannya di ruang angkasa, namun lebih pada perannya dalam kehidupan keluarga.

Yamazaki, wanita berusia 39 tahun, yang kini bertugas sebagai insinyur stasiun ruang angkasa, harus meninggalkan putrinya yang baru berusia 7 tahun, bernama Yuki, dan suaminya, Taichi, yang secara sukarela meninggalkan pekerjaannya untuk mengurus anak dan rumah. Taichi meninggalkan pekerjaannya sebagai insinyur perancang software untuk secara “full time” mengurus rumah dan mendukung karir istrinya. Keduanya telah menikah selama 11 tahun, tepat sesaat setelah Yamazaki terpilih dalam program astronot Jepang.

Televisi di Jepang berulangkali menayangkan Taichi, sang suami, sedang mencuci beras untuk makan malam dan mencuci pakaian, sebuah tugas yang sangat aneh untuk pria di Jepang. Media massa kemudian menjuluki Yamazaki sebagai “Mom Astronaut”, julukan yang tidak membuatnya senang, karena kurangnya apresiasi media pada sang suami. Dalam sebuah wawancara, Yamazaki mengatakan bahwa selama 11 tahun ini, ia tak mungkin mencapai karir yang sukses tanpa dukungan suami. Ia menempatkan suaminya tetap sebagai kepala keluarga yang sangat ia hormati. Meski dalam praktiknya, ia mengakui tak mudah.

Kisah Yamazaki ini membangkitkan kesadaran tentang semakin meningkatnya peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Kaum perempuan, pada ujungnya, memiliki kesetaraan derajat dengan kaum pria. Kalau melihat pada kehidupan ekonomi, kaum perempuan di Jepang memang bukan kaum yang terpinggirkan. Hak sosial, politik, maupun kesehatan (biasanya dilihat dari angka kematian ibu yang melahirkan), semuanya sama, bahkan lebih baik dari kaum pria. Namun dalam peranan mereka di pekerjaan dan perusahaan, nilai-nilai tradisional kerap masih dipegang oleh banyak keluarga.

Berbeda dengan di Indonesia yang memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan, maka peranan perempuan di Indonesia bisa dikatakan jauh lebih baik. Banyak sudah perempuan Indonesia yang sukses dan memiliki peranan sama dengan kaum pria. Bukan hanya astronot perempuan yang dulu pernah kita miliki, namun kita juga memiliki Presiden dari kaum perempuan. Di bidang ekonomi, kita melihat Menteri Keuangan yang perempuan terbukti tangguh dan disiplin dalam melakukan pembenahan di jajarannya, termasuk menjaga ketahanan fiskal negeri ini.

Namun, dilihat dari kehidupan sosial secara umum, memang kaum perempuan Indonesia masih terpinggirkan. Dari jumlah penduduk miskin absolut di Indonesia, apabila dibedakan menurut jenis kelaminnya, maka penduduk perempuan miskin (16,72%) lebih banyak jumlahnya dibanding laki-laki (16,61%). Kalau kita merinci menurut rumah tangga, maka rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan, jumlahnya makin bertambah dari tahun ke tahun. Kemiskinan di Indonesia sangat lekat dan dekat dengan perempuan. Di sisi lain, dana BLT yang diterima dari Pemerintah sebagian besar diterima oleh laki laki, karena definisi kepala keluarga di Indonesia masih menempatkan laki-laki sebagai subjeknya. Tidak mengherankan jika perempuan di Indonesia identik dengan kemiskinan.

Mendefinisikan kaum perempuan memang sebuah hal yang sulit dan senantiasa menjadi perdebatan filsafat sepanjang zaman, mulai dari pemikir perempuan seperti Simone de Beauvoir, Kristeva & Irigaray, hingga Julia Kristeva, situasi kaum Perempuan kerap menjadi situasi problematik dan bukan afirmatif.

Namun satu hal yang jelas adalah bahwa bangsa ini tentu tak bisa berjalan tanpa perempuan. Dalam penentuan kebijakan makroekonomi, kaum ibu memiliki peran yang lebih besar dari kaum bapak. Andai para ibu rumah tangga mogok saja dalam sehari, atau berhenti membeli satu jenis barang secara serempak (yang sering terjadi), maka bermasalahlah perekonomian Indonesia.

Semoga semakin banyak perempuan Indonesia yang maju dan menjadi “Yamazaki-Yamazaki” di ruang angkasa, maupun di panggung lainnya.

Selamat berakhir pekan. Salam.

Jangan Beli Tanah, Harganya Turun Looh ...

Orang tua kita dulu sering berkata, kalau punya rejeki, belilah tanah. Tanah adalah investasi jangka panjang yang menguntungkan, karena harganya akan terus naik. Uang hasil jual tanah bisa buat biaya kuliah anak-anak di masa depan. Tapi itu kisah di Indonesia. Di Jepang, pesan itu tidak sepenuhnya benar. Harga tanah di Jepang justru terus turun seiring dengan pusaran deflasi yang berkepanjangan. Membeli tanah di saat-saat sekarang ini bisa berarti rugi.

Meledaknya bubble harga asset di tahun 90-an masih meninggalkan luka yang dalam pada ekonomi Jepang. Lingkaran setan turunnya harga barang dan jasa mengakibatkan harga tanah di Jepang terus turun. Sebaliknya, harga tanah yang terus turun mengakibatkan harga barang dan jasa turun. Begitu terus berputar-putar.

Daerah Ginza di Tokyo, dahulu terkenal sebagai daerah termahal sedunia. Harga tanah dan permintaannya tinggi. Tapi kini, harga tanah di Ginza turun sekitar 25% hingga 26% secara rata-rata tahunan (y-o-y). Data dari Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transport, dan Turisme Jepang menyebutkan bahwa tekanan deflasi telah menyeret harga properti semakin ke bawah. Nilai properti di Jepang secara umum turun 4,6% (y-o-y) pada Januari 2010.

Secara umum, harga tanah di Tokyo, Nagoya, dan Osaka, turun 5% dibandingkan tahun lalu. Indikator fundamental real estate Jepang juga menunjukkan penurunan yang drastis dalam beberapa tahun belakangan ini. Nilai investasi tanah dari perusahaan-perusahaan di Jepang telah turun sebesar 56% sejak tahun 2008. Di sisi lain, perbankan di Jepang menahan diri untuk tidak memberikan kredit karena ketidakpastian di masa depan, meski suku bunga kebijakan sudah mendekati nol persen. Masyarakat juga menahan diri untuk membeli tanah karena ekspektasi akan terus turunnya harga.

Tekanan kemudian diberikan pada Bank of Japan untuk terus menjalankan tugasnya memerangi deflasi. Namun, Gubernur Bank of Japan mengatakan bahwa upaya menekan deflasi tidak bisa ditangani hanya oleh bank sentral melalui kebijakan moneter. Saat ini suku bunga kebijakan sudah mepet di angka 0 persen dan Bank of Japan telah mengucurkan dana sebesar 20 triliun Yen ke pasar keuangan. Secara teori, mekanisme moneter melalui jalur harga asset memang dapat dilakukan oleh kebijakan moneter dengan memengaruhi perubahan harga asset dan kekayaan masyarakat, yang selanjutnya berdampak pada pola pengeluaran investasi dan konsumsi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter yang ekspansif, maka hal tersebut akan mendorong penurunan suku bunga, dan pada gilirannya menaikkan harga asset.

Namun, nampaknya kenyataan tak semudah itu. Kebijakan makroekonomi yang diyakini oleh banyak kalangan tentang kekuatan yang dimiliki bank sentral perlu direnungkan kembali. Kekuatan bank sentral memiliki batas. Bank sentral bukanlah “pesulap dengan tongkat ajaibnya” yang bisa membalikan keadaan dengan mudah lagi. Pada akhirnya, kebijakan fiskal, struktural, maupun regulasi di sistem keuangan menjadi kelindan yang sangat dibutuhkan. Amalgamisasi berbagai kebijakan itu, dan bukan saling menyalahkan, menjadi kunci keluar dari krisis. Untuk itu, dibutuhkan inovasi dan keberanian menempuh langkah yang sulit ke depan.

Turunnya harga tanah di Jepang hanyalah sebuah gejala tentang masalah besar yang masih dihadapi oleh perekonomian secara makro, baik di Jepang, maupun pengelolaan makroekonomi secara global. Sudah saatnya kita melakukan perenungan kembali akan kebijakan makroekonomi yang diyakini selama ini. Semoga kita bisa menarik pelajaran dari hal tersebut. Salam.

Yakuza dan Gangster di Ekonomi

Peranan gangster dalam perekonomian adalah rahasia yang terjaga baik (the worst-kept secret) dan sulit diungkap selama ratusan tahun. Membutuhkan keberanian dan risiko yang besar untuk membongkar kiprah mereka. Para gangster mampu mengisi celah yang selama ini tidak disentuh para pengambil kebijakan. Mereka juga mampu menyatu dan menjalin hubungan dengan masyarakat, birokrat, militer, politisi, serta memberi peran di dalamnya.

Di Jepang, istilah “four finger economy” mengacu pada peranan Yakuza dalam perekonomian Jepang. Yakuza, gangster Jepang yang bercirikan tattoo sekujur tubuh dan memiliki tangan berjari empat, telah lama hadir dalam kehidupan masyarakat Jepang. Di masa lalu, mereka adalah para ronin (samurai tak bertuan) yang menguasai dunia hitam. Peranannya di zaman modern terus berkembang, mulai dari sindikat kejahatan, pemerasan, judi, narkoba, hingga penjualan senjata. Krisis ekonomi global saat ini menjadi peluang bagi para Yakuza untuk mengembangkan usahanya di sektor finansial. Mulai dari aksi pencucian uang melalui berbagai perusahaan, hingga peranan mereka di sektor UMKM atau masyarakat kecil, sebagai “lintah darat”.

Meski secara nominal beberapa indikator ekonomi di Jepang menunjukkan kemajuan, secara riil, ekonomi Jepang masih lemah. Dilema yang dihadapi oleh ekonomi Jepang adalah deflasi yang berkepanjangan. Hal itu mengakibatkan ekonomi Jepang bagai tubuh “kurang darah”, alias tak bergairah. Akibatnya, banyak perusahaan Jepang yang merugi bahkan ditutup. Ruginya Japan Airlines, munculnya kasus Toyota dan Honda, hanya puncak dari gunung es masalah yang dihadapi ekonomi Jepang. Pengangguran masih tinggi, dan banyak perusahaan yang terpaksa harus mem-PHK karyawannya. Data terakhir dari Pemerintah Jepang menunjukkan bahwa perekonomian Jepang masih berada dalam pusaran krisis, angka pertumbuhan triwulan IV-2009 tumbuh lebih rendah dari prediksi sebelumnya.

Hal inilah yang menyebabkan perseteruan antara pemerintah dan Bank of Japan (bank sentral Jepang) saat ini. Pemerintah, melalui Menteri Keuangan, Naoto Kan, menekan Bank of Japan untuk bertindak cepat membawa Jepang keluar dari deflasi. Di sisi lain, Gubernur Bank of Japan, Shirakawa, mengatakan bahwa permasalahan deflasi bukan soal moneter, namun bagaimana pemerintah memperbaiki sektor industri dan memperbaiki struktur penyaluran kredit ke masyarakat. Kebijakan moneter telah optimal dan bukan solusi untuk keluar dari masalah saat ini.

Bank of Japan telah menurunkan suku bunga hingga mendekati nol persen. Bank of Japan juga telah menggelontorkan dana lebih dari 20 triliun Yen ke pasar agar tercipta permintaan. Namun yang terjadi, uang tersebut kembali masuk ke bank sentral. Rumah tangga tidak mau meminjam, industri tidak mau meminjam, dan bank tidak mau meminjamkan, karena keyakinan akan masa depan ekonomi yang belum membaik. Mengatasi hal ini, pemerintah Jepang terus menerus menambah utangnya untuk membiayai pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Jepang saat ini menjadi salah satu negara penghutang terbesar di dunia. Lembaga rating internasional seperti S&P bahkan mengancam untuk menurunkan rating pemerintah Jepang. Dalam kondisi seperti ini, Pemerintah memojokkan bank sentral yang kurang tanggap. Keduanya terus berseteru.

Lesunya ekonomi, dan perseteruan antara pengambil kebijakan, memberi ruang bagi Yakuza untuk bermanuver. Macetnya saluran antara perbankan dan industri serta rumah tangga, difasilitasi oleh Yakuza. Mereka masuk ke kehidupan riil masyarakat, memberi pinjaman, memberi perlindungan, dan memasok kebutuhan masyarakat, serta jaminan keamanan. Masyarakat yang membutuhkan dana karena “kepepet” juga akhirnya tenggelam ke lembah hitam, masuk dalam jeratan utang para Yakuza.

Bukan hanya di kalangan bawah, di perusahaan raksasa Jepang, peran Yakuza juga menjadi “perbincangan”. Menurut pemberitaan di harian The Japan Times, peranan Yakuza dalam perusahaan besar Jepang tak pernah terungkap dan selalu menjadi perdebatan. Proses intermediasi perbankan yang macet, penciptaan kredit yang gagal, dan birokrat saling menyalahkan, adalah rentetan yang memberi peluang bagi bisnis para Yakuza.

Bagaimana dengan di Indonesia? Seberapa jauh para gangster masuk dalam dunia finansial? Peranan gangster dalam ekonomi Indonesia juga sebuah rahasia yang tersimpan baik selama puluhan tahun. Tak pernah terungkap dan hanya menjadi pembicaraan di warung kopi.

Kala pemerintah, bank sentral, dan politisi saling menyalahkan, kala kekuatan formal tidak optimal, gangster akan selalu melihat celah untuk mengambil peranan. Saya mencoba mengutip kata Mario Puzzo, ”Behind every great fortune, there is a crime..”. Di balik kekayaan yang luar biasa, biasanya tersimpan kejahatan.

Mudah-mudahan negeri ini dihindari dari kejahatan. Ngeri ah ….. Salam.

Salary Man Menuntut Kenaikan Gaji

Demonstrasi menuntut kenaikan gaji tak hanya terjadi di negeri kita. Di negara maju seperti Jepang, tuntutan kenaikan gaji kerap terjadi. Alasannya macam-macam, tapi salah satunya tentu untuk menuntut kehidupan yang lebih baik. Beberapa waktu lalu, di daerah Ginza, saya melihat dengan serombongan kaum pekerja Jepang (biasa disebut Salary Man) yang berteriak-teriak dan menyanyikan yel-yel untuk menuntut kenaikan gaji. Para salary man itu merasakan semakin beratnya kehidupan di Jepang, secara khusus di kota besar seperti Tokyo, dewasa ini.

Kehidupan di Jepang memang semakin dirasakan sulit, apalagi sejak krisis global melanda. Perekonomian Jepang saat ini masih lesu dan geraknya didorong terutama oleh besarnya stimulus pemerintah. Pidato dari Gubernur Bank of Japan di awal tahun 2010 mengatakan bahwa ekonomi Jepang masih belum memiliki momentum yang tepat bagi pemulihan yang berkelanjutan. Hal ini berarti, dalam jangka pendek, sampai dengan semester I-2010, perekonomian Jepang masih akan lesu.

Kondisi pasar tenaga kerja di Jepang juga masih menyimpan masalah. Angka pengangguran yang meningkat mencapai lebih dari 5% pada triwulan IV-2009 telah menjadikan kehidupan di Jepang semakin sulit. Di kota Tokyo, Pemerintah menyediakan penampungan bagi lebih dari 800 orang pengangguran sampai dengan pekerjaan bisa didapatkan. Hal ini berdampak pada besarnya subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah Jepang untuk memberikan penampungan bagi para pencari kerja.

Bagi kalangan pekerja, gaji yang rendah dan pas-pasan menjadi salah satu masalah. Kala perusahaan Jepang menghadapi persaingan ketat di pasar global, mereka mulai memangkas jumlah karyawan dan menghemat gaji. Hal ini menambah jumlah pengangguran dan mempersulit kehidupan para pekerja.

Berbagai tantangan tersebut memang menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintahan Yukio Hatoyama. Namun masalah politik juga masih menghantui kubu Hatoyama terkait dengan skandal suap di partainya DPJ. Masalah ekonomi politik ini juga telah menurunkan popularitas pemerintahan Hatoyama.

Dengan berbagai masalah tersebut, tentu tak heran bila kita melihat mulai munculnya demonstrasi di jalan-jalan. Namun bedanya, demonstrasi di Jepang dilakukan secara santun dan jauh dari sikap anarkis. Meski mereka mengkritik pemerintah dengan berbagai kebijakannya, kepentingan orang lain tetap mereka perhatikan. Salah satu contohnya adalah bagaimana mereka menjaga agar tidak menghalangi penyebrang jalan. Apabila terdapat zebra cross, para pendemo memisahkan diri untuk memberi jalan pada penyeberang.

Ungkapan rasa dan kesulitan hidup memang kadang kerap membuat kita kalang kabut. Namun bagaimana ia diungkapkan tanpa menyulitkan orang lain, apalagi hingga mengacaukan kestabilan negara, menjadi pelajaran bagi kita. Mudah-mudahan kita bisa belajar mengungkap rasa dengan cara yang makin hari makin santun.

Salam.

Repotnya Kalau Harga Turun Terus

“Apa yang bisa naik tapi tak bisa turun?”. Teka teki iseng itu sering diungkap di negeri kita. Dan Jawaban yang kita dengar adalah harga-harga. Kita seolah terbiasa dengan kenaikan harga. Ya, kenaikan harga yang terus menerus, apalagi tidak terkendali, memang menyulitkan kehidupan masyarakat. Namun, penurunan harga yang terus menerus, dan tidak terkendali, juga menyulitkan kehidupan. Berbeda dengan di negara kita yang menghadapi masalah dengan kenaikan harga (inflasi), Jepang justru menghadapi masalah dengan penurunan harga (deflasi). Jadi, teka teki di atas tentu tidak berlaku di Jepang.

Dulu ada istilah bahwa Jepang adalah negara yang terkenal mahal biaya hidupnya. Tapi deflasi yang terjadi di Jepang, telah mengubah paradigma itu. Seorang economist Jepang, Noriko Hama, dalam essaynya tentang deflasi mengatakan bahwa kompetisi dari para produsen untuk menurunkan harga (yasuuri kyoso) telah “menghancurkan masyarakat”. Kalau kita sekarang berkeliling berbagai pusat perbelanjaan di Jepang, akan terlihat dengan nyata bahwa perang pemotongan harga terjadi dengan besar-besaran.

Sebuah fenomena yang menjadi pembicaraan saat ini adalah toko retail pakaian yang bernama UNIQLO. Toko ini terkenal menjual barang dagangannya dengan harga rendah. Celana jeans di Uniqlo, rata-rata berharga 900 yen atau sekitar Rp90.000. Baju kerja, kaus, dan pakaian dalam, rata-rata dijual lebih rendah dari Rp100.000. Dengan kualitas yang cukup baik, Uniqlo menyerang pangsa pasar pakaian di Jepang yang terkenal mahal. Kompetisi harga rendah yang ekstrim (gekiyasu) bukan hanya terjadi di bisnis pakaian. Muncul juga supermarket dan toko-toko yang menamakan dirinya 100 yen Shop (Hyaku En Shop). Toko itu menawarkan semua barang dengan harga sekitar 100 yen atau Rp 10.000. Mereka memberi tagline pada dagangannya, bahwa dengan 100 yen, anda bisa hidup di Jepang.

Di bisnis makanan, restoran Yoshinoya yang terkenal dengan beef bowlnya juga ikut-ikutan memotong harga. Kalau dulu satu porsi beef bowl dihargai 580 yen atau sekitar Rp58 ribu, kini diturunkan menjadi 380 yen atau sekitar Rp38 ribu. Perang penurunan harga terjadi pada bisnis makanan cepat saji di Jepang.

Di kalangan ekonom terjadi perbedaan pendapat dan saling menyalahkan. Sebagian menyalahkan para retailer ini yang menurunkan harga terlalu ekstrim sehingga pusaran deflasi semakin parah. Tapi para retailer membela diri. Mereka menyalahkan rendahnya daya beli masyarakat sebagai faktor lesunya ekonomi. Artinya, walaupun harga sudah diturunkan, pembelian tetap tidak meningkat.

Semenjak krisis melanda, ekonomi Jepang memang dilanda kelesuan. Pasar domestik mengecil dan daya beli menurun. Deflasi bisa jadi penanda akan lesunya perekonomian. Apabila harga-harga terus turun, tentu produsen tidak memiliki insentif untuk berproduksi, pengangguran meningkat, dan ekonomi bertambah lesu. Upaya meningkatkan daya beli menjadi program dari pemerintahan Hatoyama, PM Jepang yang baru. Kebijakan memberi lebih banyak uang pada generasi muda menjadi target yang akan dicapai dalam beberapa tahun ke depan. Sayangnya, jumlah generasi muda ini terus menurun. Ujungnya, Jepang juga menggalakkan program “banyak anak, banyak rejeki”, agar generasi muda semakin banyak dan daya beli bisa meningkat.

Inflasi ataupun deflasi terbukti menyulitkan kehidupan masyarakat secara umum. Berbeda dengan Jepang, kita memiliki keunggulan di sisi daya beli. Saat krisis ekonomi melanda, ekonomi Indonesia terbukti masih bergairah dan tetap tumbuh karena daya beli masyarakat yang masih kuat. Hal ini sebenarnya yang menjadi kekuatan ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis global. Permasalahannya adalah bagaimana agar daya beli masyarakat tetap dapat dijaga dan inflasi dapat dikendalikan.

Langkah mengendalikan inflasi itu, diamanatkan kepada bank sentral. Di Jepang, tugas ini dipikulkan pada Bank of Japan, yang sudah memotong suku bunga hingga 0,1% untuk mendorong ekonomi, meski belum juga berhasil sepenuhnya. Di Indonesia, tugas mengendalikan inflasi dipikulkan pada Bank Indonesia yang menjaga suku bunga pada tingkatan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi.

Inflasi atau deflasi adalah musuh yang dihadapi bersama dalam kehidupan. Banyak pihak mungkin tidak menyadari secara langsung arti inflasi atau deflasi. Namun saat gejala itu terjadi, dampaknya dirasakan pada kehidupan. Hal itulah yang saat ini dirasakan di Jepang, ataupun di Indonesia pada masa krisis moneter lalu, saat inflasi meroket drastis.

Salam.

Suster Pahlawan di Jepang

Dibandingkan dengan Filipina, kemampuan bangsa kita dalam menghargai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih jauh dari optimal. Padahal para TKI adalah pahlawan devisa dalam arti sebenarnya. Kalau kita melihat struktur Neraca Pembayaran Indonesia, akan terlihat bahwa penghasilan TKI adalah salah satu elemen pemasukan yang berpotensi besar mendukung ketahanan ekonomi kita. Kalau diperbandingkan, Tenaga Kerja Filipina mampu menyumbang devisa sebesar hampir 20 milyar dollar AS dalam setahun. Sementara di Indonesia, sumbangan TKI belum sampai 7 milyar dollar AS. Oleh karena itu, upaya menghargai peranan para TKI di luar negeri dan meningkatkan kompetensi mereka adalah juga prasyarat kestabilan makroekonomi Indonesia.

Di Jepang, langkah KBRI Tokyo patut dikagumi. Pekan lalu saya diajak oleh KBRI untuk mendatangi pusat pelatihan para perawat dari Indonesia yang akan dipekerjakan di seluruh Jepang. Pusat pelatihan itu terletak di kota Hakone, perfektur Kanagawa, atau sekitar 2 jam perjalanan dari kota Tokyo. Program pelatihan perawat ini adalah bagian dari kesepakatan EPA (Economic Partnership Agreements) antara pemerintah Jepang dan Indonesia. Ada sekitar 316 perawat dari seluruh Indonesia yang ikut serta dalam pelatihan. Selama 3 bulan di sana, mereka dididik bahasa Jepang, sebelum kemudian disebar untuk bekerja di berbagai Rumah Sakit di Jepang.

Menjadi perawat di luar negeri, apalagi Jepang, tidak mudah. Mereka dituntut memiliki pengalaman yang sarat, plus ketrampilan bahasa tekhnis keperawatan. Oleh karena itu, para perawat dapat dikategorikan sebagai pekerja yang berketrampilan (skilled workers). Perawat ini berbeda dengan pada umumnya TKI Indonesia yang tergolong unskilled workers dan bekerja di sektor rumah tangga. Skilled workers memiliki ketrampilan dan tentu, penghasilan yang lebih tinggi. Hal ini pada ujungnya tentu akan menyumbang devisa yang lebih besar bagi negara.

Kunjungan KBRI ke Hakone selain untuk membantu penyelesaian dokumen-dokumen, juga memberikan mereka informasi tentang perlindungan hukum dan peran KBRI sebagai pengayom para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Sungguh mengagumkan melihat para pejabat KBRI seperti Bp Abas Ridwan, atase bidang ekonomi, dan Bp Amir Radjab, atase bidang konsuler, yang begitu akrab dengan para TKI dan sepenuh hati membantu keperluan mereka. Bahkan tanpa segan-segan, mereka turun tangan berdiskusi, langsung menulis, dan menandatangani paspor para perawat.

Upaya reaching out, keluar, dan membuka diri seperti yang dilakukan KBRI Tokyo itu tentu membawa wajah teduh bagi para perawat. Berbagai upaya ini memang telah dilakukan oleh KBRI Tokyo sejak lama. Bahwa KBRI bukan sebuah tempat angker bagi masyarakat Indonesia, namun juga rumah bersama bagi masyarakat Indonesia yang ada di sana.

Namun langkah KBRI saja tidaklah cukup. Peranan KBRI hanya sebatas dalam menjalankan fungsi diplomatiknya. Di hulu, membangun kompetensi para tenaga kerja juga harus dilakukan. Berbagai langkah, seperti menyaring tenaga kerja yang kompeten dan handal di tanah air, menciptakan tenaga terdidik, hingga masalah perlindungan hukum, membutuhkan sinergi lintas departemen dan juga elemen bangsa lainnya. Dari sisi perbankan, upaya mempermudah aliran pembayaran uang ke tanah air (remitansi) juga sangat dibutuhkan para TKI. Hal ini agar mereka tidak menjadi korban para calo ataupun kejahatan lainnya saat tiba di tanah air.

Berbagai langkah tersebut, apabila diseriusi, bisa jadi sebuah pilar kuat bagi kestabilan makroekonomi Indonesia. Hal itu telah terbukti di Filipina. Saat krisis global 2008 lalu, tingkat penilaian premi risikonya tetap rendah, sementara Indonesia dinilai rawan (angka CDS Indonesia mencapai 1000 – atau risiko tinggi bagi investasi). Para investor menilai risiko Filipina lebih rendah dari Indonesia, karena mereka memiliki keterjaminan aliran dana dari tenaga kerja sebesar 15-20 milyar dollar AS selama setahun.

Tentu, jalan masih panjang untuk membangkitkan peran para pahlawan devisa Indonesia.

Salam.

Banyak Anak Banyak Rejeki, Dorong Ekonomi


Majalah The Economist dalam laporannya tahun 2009 pernah menulis tentang Indonesia. Disebutkan di sana bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi besar dunia di masa depan. Salah satu potensi kekuatan Indonesia adalah faktor demografi. Besarnya jumlah penduduk berusia produktif yang dimiliki Indonesia merupakan kekuatan yang tak tertandingi di negara kawasan, baik oleh Cina ataupun Jepang.

Melongok ke Jepang, semakin mahalnya biaya hidup, pendidikan, dan meningkatnya angkatan kerja wanita, menjadikan tingkat kelahiran di Jepang menurun drastis. Total rasio kelahiran di Jepang terus anjlok dari 1,57 di tahun 1989 menjadi 1,37 di tahun 2008. Angka ini jauh di bawah rasio pertumbuhan penduduk yang dapat mendukung populasi yang berkesinambungan, yaitu 2,1. Sebuah lembaga riset di Jepang mengatakan bahwa populasi Jepang akan menciut sepertiga pada tahun 2050, dan pada tahun 2105 tinggal tersisa sekitar 44 juta orang Jepang di dunia. Jumlah penduduk usia produktif, antara 15-64 tahun, hanya tinggal separuh dari yang ada sekarang pada tahun 2055.

Dengan angka kelahiran yang rendah, dalam 20-30 tahun ke depan, Jepang akan kehilangan peranannya sebagai kekuatan ekonomi dunia. Jepang bahkan bisa dikategorikan sebagai decaying country, atau negara yang menuju kepunahan. Hal ini juga terjadi di Cina. Kebijakan “satu anak” yang diterapkan selama beberapa tahun ini, telah menyusutkan jumlah angkatan kerja produktif di Cina.

Secara ekonomi, jumlah penduduk yang menyusut sungguh tidak menguntungkan. Jumlah tenaga produktif dan terpelajar merupakan salah satu kekuatan ekonomi sebuah negara. Bukan hanya di Cina dan Jepang, beberapa negara Eropa (Jerman, Swedia, Perancis) juga menghadapi masalah yang serius di bidang kependudukan.

Kembali ke Jepang, sejak krisis global melanda, masalah kependudukan ini semakin membuat ekonomi Jepang terhempas dalam jurang krisis. Upaya PM Jepang yang baru, Yurio Hatoyama, untuk mengangkat ekonomi Jepang, menghadapi jalan terjal. Menurunnya jumlah penduduk berkorelasi pula pada semakin rendahnya permintaan domestik. Berbeda dengan Indonesia yang permintaan domestik menguasai 60% dari pertumbuhan ekonomi, di Jepang, permintaan domestik sangat rendah. Selain kultur orang Jepang yang gemar menabung, jumlah penduduk mudanya yang notabene konsumtif terus menurun.

Untuk itu, di awal tahun 2010, pemerintah Hatoyama mengumumkan berbagai program pemulihan ekonomi , untuk mendorong pertumbuhan hingga mencapai 2 persen pada 2020. Salah satu program pemerintah Jepang adalah mendorong terciptanya permintaan domestik. Dan strategi yang dilakukan adalah mendorong angka kelahiran. Jepang memberi subsidi besar-besaran bagi pasangan muda yang berniat memiliki anak. Pemerintah juga akan menambah tempat penitipan anak (child care center) di berbagai gedung perkantoran, agar para ibu yang bekerja tidak khawatir untuk memiliki anak. Pemerintah juga akan memberikan tunjangan sebesar 26.000 Yen (sekitar Rp2,6 juta) per anak setiap bulan. Berbagai program mendorong keluarga di Jepang agak “punya anak” terus dilakukan. Pepatah orang tua kita dulu, “Banyak Anak, Banyak Rejeki” nampaknya menjadi valid di Jepang.

Implikasi kependudukan pada ekonomi di berbagai negara maju tersebut memberi pelajaran bagi ekonomi Indonesia. Hal yang sebaliknya justru terjadi pada ekonomi kita. Jumlah penduduk kita besar, terutama mereka yang memiliki usia produktif. Tak heran, bila The Economist menyebutkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi masa depan.

Namun, apa yang disebut majalah Economist baru sebatas potensi, belum menjadi aksi. Syarat menjadikan potensi tersebut menjadi aksi tidaklah mudah. Ketika ekonomi semakin bertumbuh dan canggih, ia membutuhkan penduduk yang memiliki skills atau ketrampilan tinggi yang semakin beragam. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan investasi besar-besaran di bidang pendidikan adalah sebuah keharusan. Pemerintah perlu fokus dan serius membangun masa depan bangsa melalui pendidikan.

Jumlah penduduk besar, namun tidak memiliki kultur tinggi dan pendidikan yang memadai, hanya akan menjadi beban bagi sebuah negara. Mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran dari ekonomi Jepang. Salam.