Thursday, November 27, 2008

Aji Belut Putih dan Proyeksi Ekonomi 2009

Memasuki tahun 2009 biasanya media massa akan diramaikan oleh ramalan-ramalan tentang perekonomian. Para ekonom, lembaga riset, pemerintah dan bank sentral, akan membuat berbagai ramalan dan prediksi tentang perekonomian Indonesia. Mengapa kita membuat ramalan ekonomi? Dan bagaimana proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun 2009?

Sebelum sampai ke sana, saya teringat cerita guru saya tentang “Aji Belut Putih”. Dalam kisah pewayangan, ada tokoh yang mempunyai ilmu ”aji belut putih”. Namanya Dursasana. Dia satu-satunya tokoh setingkat menteri di Kerajaan Astina yang menguasai ajian itu. Namanya juga aji belut, kemampuannyapun selicin belut. Dengan kemampuannya itulah Dursasana bermulut besar kemana-mana. Saat perang, ia selalu bisa berkelit dan menghindar. Begitu licinnya, ia selalu lolos dari sergapan lawan-lawannya. Di era masa kini, aji belut putih dikuasai oleh banyak orang. Dalam ekonomi, pemiliknya di berbagai kalangan, bahkan di level menteri, seperti Dursasana. Di level tekhnis, merekalah para ekonom dan economic forecaster (peramal proyeksi ekonomi). Secara rutin mereka mampu membuat berbagai kebijakan dan proyeksi ekonomi. Kebijakan mereka selicin belut. Mereka mampu membuat proyeksi dan mampu menjelaskan kenapa proyeksinya meleset. Meski kerap meleset, belum pernah ada forecaster atau peramal ekonomi yang ditangkap karena kesalahannya itu. Bayangkan kalau itu terjadi pada profesi dokter yang meleset dalam mendiagnosis pasiennya. Pasti dituduh malpraktik.

Seperti layaknya astrolog yang gemar meramal masa depan dengan rasi bintang, ataupun astronom yang mampu melakukan ramalan cuaca, demikian pula para ekonom. Kalau kita serahkan peran itu kepada mereka secara bergantian, ekonom menjadi astronom dan sebaliknya, mungkin hidup kita tak akan lebih jelek. Mereka sama-sama bisa membuat ramalan, namun pada ujungnya, sama-sama tak bisa dipegang. Dan tentu, mereka tak bisa dimintai pertanggungjawaban. Hal ini karena ramalan yang dibuat para astronom didasari oleh sekumpulan sensasi, dan ramalan ekonom didasari oleh serangkaian asumsi. Akibatnya menjadi sangat mekanistis dan fragil. Begitu asumsi berubah, demikian pula angka ramalan. Kita melihat beberapa kali angka ramalan tentang ekonomi diganti dan diperbarui. Gejolak krisis keuangan yang terjadi, harga minyak dan komoditi, serta volume perdagangan dunia yang bergejolak, menjadikan ramalan ekonomi berubah setiap saat.

Lantas mengapa kita masih membutuhkan ramalan? Ramalan dibutuhkan untuk ketenangan. Secara naluriah, manusia memiliki semacam perasaan cemas akan masa depan. Apakah hari esok masih ada, kita tak pernah tahu. Ramalan membuat tenang diri kita dari berbagai kecemasan itu. Dengan adanya ramalan ekonomi, kita bisa membuat perencanaan. Dunia usaha bisa membuat proyeksi usaha, perbankan bisa membuat business plan, dan rumah tangga bisa mengatur ekonominya. Ramalan menjadi penting.

Bagaimana ramalan ekonomi untuk tahun 2009? Mari kita tunggu hasil proyeksi dari para ekonom. Secara umum, saya melihat akan ada sebuah benang merah yang hampir sama. Hal ini karena para forecaster itu pada prinsipnya memiliki etos “saling intip”. Mereka akan saling telpon dan diskusi sehingga ramalannya akan tak jauh beda. Kebanyakan akan mengatakan bahwa proyeksi perekonomian Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh dinamika perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menurun. Perbedaan mungkin akan muncul pada angka atau penurunannya. Termasuk pada komponen atau faktor permintaan dan penawaran dari pertumbuhan ekonomi kita. Namun semangatnya sama. Ada pelesuan. Kalangan yang optimis, akan melihat kekuatan ekonomi dalam negeri sebagai nilai positif. Adanya pemilu akan meningkatkan gairah ekonomi rakyat. Selain itu, negara mitra dagang tak semuanya amblas. Mereka akan memandang bahwa ekspor masih tetap tumbuh dan menopang ekonomi. Namun kalangan yang pesimis, akan melihat melemahnya ekonomi dunia sebagai pemicu semakin lemahnya ekonomi Indonesia. Negara mitra dagang di seluruh dunia mengalami resesi. Akibatnya jelas, ekonomi kita akan turut melemah dan tak bergairah.

Akan ada banyak pandangan, akan ada banyak asumsi, dan akan ada banyak argumen, tentang proyeksi ekonomi 2009. Namun itulah ramalan ekonomi. Dengan ramalan itu, kebijakan akan disusun oleh para ekonom. Tentu kita berharap bahwa kebijakan ekonomi itu dapat mengatasi dua titik hitam besar dalam proses pembangunan ekonomi kita, yaitu pengangguran dan kemiskinan. Mungkinkah? Selamat menanti hasil ramalan para ekonom.

Sunday, November 23, 2008

Prabowonomics dan Salam dari Petani Indonesia

Inilah ide besar program ekonomi yang saya pandang menarik untuk dicermati. Meski masih abstrak, ide Prabowo Subianto cukup cerdas, “Saya menyampaikan salam dari petani Indonesia!!”. Terkesan metaforis dan normatif? Tidak juga. Justru pesan dari iklan itu sangat dalam. Di tengah krisis keuangan global yang merambat ke berbagai sisi kehidupan, isu kerakyatan seolah semakin mendapat tempat. Ide-ide untuk membangun strategi ekonomi mandiri, menanamkan kembali kapital pada tanah dan tenaga kerja, dan menolak neoliberalisme, seperti oase bagi ratusan juta masyarakat Indonesia. Dalam bahasa yang berbeda, tema ini sebenarnya juga menjadi pilihan program ekonomi partai-partai politik untuk mendulang suara pada pemilu 2009. Namun upaya untuk fokus membangun kekuatan di kalangan petani, umkm, nelayan, dan pedagang eceran, adalah sebuah pilihan yang “sexy” di tengah gejolak pasar keuangan saat ini. Jumlah sektoralnya yang besar, penyerapan tenaga kerja yang luas, sumbangannya pada PDB, telah menjadikan sektor pertanian sebagai buffer atau penopang kehidupan rakyat bawah.

Kalau kita ingat kisah perdebatan tentang sistem ekonomi Indonesia, salah satu kubunya dulu dimotori oleh Prof. Emil Salim, Prof. Mubyarto, dan Begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo. Pemikiran mereka adalah sebuah sistem ekonomi kerakyatan yang menganut azas-azas pertautan sila Pancasila. Namun memang kata-kata “Pancasila” kerap memiliki makna yang berbeda dalam penangkapan masyarakat. Sistem itupun akhirnya masih berada pada taraf “normatif” hingga saat ini dan belum mampu menjawab dinamika riil ekonomi Indonesia.

Apakah Prabowo akan membumikan impian sang ayah tentang sistem ekonomi Indonesia? Kita tak tahu. Deklarasi Gerindra hanya mengungkapkan pentingnya ekonomi kerakyatan dan kecaman bahwa ekonomi pasar telah memporakporandakan perekonomian bangsa (Deklarasi Gerindra, Februari 2008). Prabowo mengajak bangsa ini untuk meninjau ulang Sistem Ekonomi Indonesia. Namun seperti apakah sebenarnya Sistem Ekonomi Indonesia itu? Kita menyadari bahwa dalam perjalanan waktu, Sistem Ekonomi Indonesia senantiasa berada dalam kegamangan.

Frans Seda misalnya, mengatakan bahwa Sistem Ekonomi Indonesia adalah “bukanisme”, bukan ini dan bukan itu, yaitu paham serba bukan. Bukan kapitalisme, bukan liberalisme, bukan sosialisme, tidak ada monopoli, tidak ada oligopoli, tidak ada machiavelli, dan tidak lainnya. Kwik Kian Gie mengatakan bahwa sistem ekonomi seperti itu adalah sebuah utopia yang dihuni hanya oleh para malaikat. Meski demikian, banyak pihak yang melihat bahwa dinamika perekonomian Indonesia saat ini telah semakin terbuka dan condong “ke kanan”. Krisis keuangan yang terjadi di pasar uang saat ini misalnya, menunjukkan bahwa keterbukaan itu memiliki dampak serius. Memang masih bisa diperdebatkan, namun dengan dianutnya pasar bebas, upaya privatisasi, dan pasar keuangan yang semakin terbuka, kecondongan “ke kanan” tersebut semakin dirasakan.

Alm. Prof. Mubyarto menyimpulkan bahwa sistem ekonomi yang diterapkan selama 32 tahun Orde Baru memang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan mengabaikan nilai-nilai keadilan. Tapi benarkah bila kita menerapkan ekonomi kerakyatan secara konsisten maka krisis ekonomi dengan sendirinya akan berakhir? Jawabnya tak mudah. Namun, pilihan untuk membawa bangsa ini berdiri tegak secara ekonomi menuntut banyak hal. Berbagai hal harus dipilih, seperti struktur pengambilan keputusan, mekanisme pasar ataukah perencanaan, bagaimana pengaturan hak-hak milik, dan sistem insentif. Tidak mudah. Oleh karenanya, sekiranya Prabowo Subianto dapat menjabarkan ide besar Prabowonomics itu dalam sebuah langkah konkrit yang detil dan jelas,tentu akan sangat menarik. Cetak biru ekonomi kerakyatan dari Gerindra masih perlu kita tunggu. Bila tidak, pada ujungnya tak jauh beda dengan yang kebanyakan. Berhenti di tataran normatif dan metaforis. Dan bila itu yang terjadi, salam dari petani tinggal salam belaka. Salam yang mengambang selama puluhan tahun tak berbalas. Mudah-mudahan para pemimpin bangsa bisa bersama membawa kita keluar dari krisis ekonomi yang membelit ini.

Sunday, November 16, 2008

Serigala Spekulan Valas

Manusia adalah serigala bagi sesamanya” (Thomas Hobbes, Leviathan : 1651)

Pasar valas adalah ruang bebas bagi para spekulan valas. Keuntungan yang berlipat dalam waktu singkat telah menggiurkan liur para serigala untuk beramai-ramai berspekulasi di pasar valas. Mereka bermain dengan memanfaatkan momentum krisis global. Hal yang menarik, perilaku itu tak melanggar Undang-undang. Hanya hukum moral yang kerap dipertanyakan, selebihnya adalah konsekuensi dari pasar bebas. Kebebasan itu, menurut Hobbes, membawa naluri manusia sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)dapat tumbuh dan melahirkan perang semua melawan semua.

Kekhawatiran yang diposting dalam diskusi di blog Kompasiana beberapa waktu lalu, terbukti sudah (lihat : Andai Rupiah menembus Rp10.000/USD). Rupiah akhirnya menembus Rp 10.000 perdollar AS, bahkan pekan lalu sempat diperdagangkan pada level Rp 12.000 per dollar AS. Volume perdagangan di pasar valas kita yang tipis memang menjadikan Rupiah rentan. Krisis global telah mendorong para investor global untuk memindahkan portfolio mereka dari Indonesia (flight to quality). Hal ini memicu capital outflow yang tak terbendung, terutama di SBI dan SUN. Rupiah melemah lebih dari 15% dalam satu bulan terakhir. Faktor fundamental perekonomian Indonesia yang relatif kuat, imbal hasil rupiah yang masih tinggi, seolah tak mampu menahan aliran modal keluar. Di tengah tekanan yang dahsyat seperti itu, indikasi terakhir menunjukkan bahwa beberapa pihak mencoba untuk mengeruk keuntungan. Mereka memborong valas tanpa alasan dalam jumlah besar yang pada gilirannya memberi tekanan berlebihan pada rupiah. Rupiah yang terpuruk makin terpuruk.

Melihat kondisi yang terjadi belakangan ini, rasanya sulit mengharapkan Rupiah kembali ke level Rp 9500 per dollar AS. Kita seolah menyaksikan teatrikal geliat rupiah yang fluktuatif dan mencoba menemukan keseimbangan barunya. Pelemahan rupiah ini sungguh mencemaskan. Melemahnya rupiah akan berdampak pada kenaikan harga-harga (harga barang impor menjadi mahal). Dunia usaha yang tergantung pada bahan baku impor, akan mengalami kesulitan. Dan sebaran efeknya tentu akan mempersulit kehidupan perekonomian negeri. Hal ini pernah kita alami pada tahun 1998 dan 2005, saat rupiah juga menembus Rp10.000 per dollar AS. Meski di satu sisi pelemahan rupiah menguntungkan eksportir, melemahnya ekonomi dunia saat ini menyebabkan ekspor juga akan melambat. Akibatnya, pelemahan rupiah yang fluktuatif lebih banyak menimbulkan kesulitan bagi perbankan dan perekonomian secara keseluruhan.

Sistem devisa bebas yang dianut oleh Indonesia memang membebaskan setiap penduduk dalam memiliki dan menggunakan devisa. Kebebasan ini tentu menyimpan risiko. Apabila andaian antropologis terhadap manusia adalah seperti yang diungkapkan oleh Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya, maka kebebasan mengandung risiko. Rupiah yang bergejolak dan melemah secara inheren akan didomplengi oleh perilaku para spekulan yang mengeruk keuntungan. Tak ada aturan untuk mencegah aksi mereka. Di Malaysia dan Thailand kebijakan kontrol devisa atau kontrol kapital (capital control) diterapkan untuk membungkam para spekulan.

Indonesia tentu berbeda. Undang-undang kita masih memberikan kebebasan setiap individu atau badan usaha untuk memperoleh dan menggunakan valas. Saat ini sistem itu dirasakan masih cocok oleh Indonesia. Namun, kebebasan tetap harus diberi rambu. Bebas bukan berarti bebas tanpa batas semau-maunya. Inilah esensi kebebasan yang paling hakiki. Tata cara pemilikan valas perlu diatur. Kebijakan untuk mengatur pembelian valas (bukan melarang) lebih dari USD100.000 per bulan bagi nasabah individu atau badan usaha, adalah sebuah langkah yang berani di tengah suasana seperti ini. Bagaimana efektivitasnya? Tentu masih harus kita lihat di waktu waktu ke depan. Namun kita memiliki harap, jangan sampai pelemahan rupiah yang disebabkan oleh faktor global juga dimanfaatkan oleh segelintir serigala yang mencari keuntungan.

Wednesday, November 12, 2008

Quantum of Solace dan Ekonomi "Kegenitan"


Sudah nonton film terbaru James Bond, Quantum of Solace? Bagi penggemar film Bond klasik, film ini akan mengecewakan. Tak ada lagi gadget canggih. Tak ada lagi keglamouran. Dan yang terpenting, tak ada lagi kegenitan. Yang muncul adalah sisi manusiawi dari James Bond. Ia tampil sebagai sosok jiwa yang terkoyak, terluka, cinta, dendam, dikhianati, bahkan dipecat dari pekerjaannya. Meski demikian, film ini mengusung sebuah tema yang menarik dan patut kita renungkan bersama. Salah satu yang membuat film ini menarik adalah karena Bond mengajak kita pada sebuah pertanyaan filosofis tentang bahaya korporatokrasi. Hal ini menjadi semakin relevan dengan kondisi perekonomian dunia yang sedang dilanda krisis saat ini. Korporatokrasi adalah sebuah istilah baru dimana pemerintah suatu negara dalam menjalankan kebijakannya didominasi oleh pengaruh korporasi dan kalangan pemodal. Kepentingan mereka selalu didahulukan di atas kepentingan rakyat.

Kegenitan James Bond mungkin berkurang, namun kegenitan baru muncul. Itulah kegenitan korporasi raksasa bernama Greene Planet Corporation. Adalah Dominic Greene, pemilik Greene Planet Corporation, yang berpidato kesana kemari mendukung penghijauan bumi. Namun di sisi lain ia juga mendukung aksi kudeta di Bolivia, demi mendapatkan kuasa atas pengelolaan air di negeri tersebut. CIA, MI-6, Pemerintah Amerika, dan Pemerintah Inggris, semuanya memiliki kepentingan yang sama. Greene yang jahat, menjadi tidak jahat, selama kepentingannya sama. Dalam film itu, Pemerintah Inggrispun mengatakan kepada M, ”Benar salah bukan suatu ukuran, kita bertindak atas dasar kebutuhan”. Selama kudeta di Bolivia menguntungkan kepentingan mereka, aksi korporasi ini perlu didukung.

Hal ini mengingatkan kita pada aksi para Economic Hit Man yang bukunya ditulis oleh John Perkins. Di buku itu, John Perkins mengangkat masalah korporasi yang menguasai negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, demi kepentingan negara maju. Saat Korporatokrasi menguasai rezim pemerintahan suatu negara, kedaulatan pemerintah akan berkurang. Ekonomi kemudian akan diisi oleh ”kegenitan-kegenitan” baru. Berbagai jargon yang mengatasnamakan rakyat akan dikeluarkan namun pada intinya mereka mendahulukan kepentingan korporasi.

Dalam film, Jendral Medrano adalah orang yang didukung oleh Greene untuk melakukan kudeta di Bolivia. Tak setuju, Bondpun akhirnya harus dipecat karena tidak mengikuti perintah atasan. Film ini memang mencuatkan idealisme Bond. Meski dibayangi oleh dendam atas kematian kekasihnya, Bond akhirnya menghabisi Greene bersama dengan semangat korporatokrasi. Bahaya korporatokrasi itu pernah terlihat di negara-negara Amerika Latin. Itulah alasan bangkitnya gerakan neososialisme. Evo Morales menjadi Presiden dengan semangat sosialisme. Fernando Lugo muncul di Paraguay juga mengusung semangat ini. Di Venezuela, kita melihat sosok Hugo Sanchez. Bagaimana di Indonesia? Pertanyaannya harus kita kembalikan, apakah korporatokrasi ada di negeri ini? Adakah kekuatan kapital, pemilik modal, menguasai jalannya pemerintahan? Kita tak pernah tahu. Pak Prayitno Ramelan, blogger yang juga pengamat piawai di bidang intelijen, mungkin lebih memahami permasalahan ini. Karena ini memang urusan intelijen. Namun dari sisi ekonomi, korporatokrasi perlu kita waspadai. Hal ini bisa merugikan kehidupan rakyat secara keseluruhan dan tentunya bertentangan dengan semangat para pendiri bangsa. Cita-cita mereka yang mendambakan terwujudnya masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Selamat menonton Quantum of Solace....

Sunday, November 09, 2008

Dari Lehman Brothers ke Bakrie Brothers

Membandingkan Lehman Brothers dan Bakrie Brothers tentu bukan sebuah perbandingan “apple to apple”. Namun keduanya memiliki kesamaan, usaha mereka besar dan ekspansif, memiliki usia dan pengalaman yang panjang, dan sama-sama menjadi korban terjangan krisis finansial global.

Tahun 1845, Henry dan Mayer Lehman mendirikan Lehman Brothers. Bisnis awalnya adalah perdagangan kapas. Usaha Lehman kemudian berkembang pesat menjauhi bisnis kapas. Dan tahun 2008, Lehman Brothers terhempas. Tahun 1942, Achmad Bakrie mendirikan Bakrie Brothers. Bisnis awalnya adalah perdagangan kopi. Usahanya berkembang pesat merambah semua sektor. Dan tahun 2008, krisis kembali menghempas. Saham Bakrie Brothers amblas. Lehman Brothers dililit utang sampai 613 miliar dollar AS. Sahamnya amblas dari 94 dolar AS/ler lembar menjadi hanya 29 sen/lembar. Sementara Bakrie Brothers dililit utang 1,2 miliar dollar AS. Harga saham yang dimiliki Bakrie pun ikut amblas. Saham Bumi meluncur bebas dari Rp 8550/ lembar, menjadi hanya sekitar Rp 2000/lembar.

Ilmu ekonomi yang berkembang pesat sering memperumit persoalan sehingga kita kerap kehilangan kejernihan dalam melihat pokok permasalahannya. Dalam ilmu ekonomi dasar, ada satu paradigma klasik yang dipertahankan berabad-abad. Itulah kaitan intrinsik antara 3 faktor dalam proses produksi. Bila kita ingin menghasilkan produk dari kapas atau kopi, kita membutuhkan relasi antara 3 hal: modal finansial (money/capital), tenaga kerja (labor), dan tanah (land) sebagai sebuah situs untuk berproduksi. Munculnya teknologi adalah ekstensi dari ketiga hal tersebut.

Kaitan ketiganya bersifat intrinsik, dalam arti proses produksi dapat terjadi dan memberi kesejahteraan apabila ketiganya bertaut. Ditemukannya uang dan inovasi finansial telah mengubah segalanya. Berkembangnya pasar finansial telah membawa modal finansial pergi jauh meninggalkan tenaga kerja dan tanah. Globalisasi telah memperumit persoalan. Agenda kapitalisme dan neoliberalisme semakin melepas kinerja modal/uang dari kaitan intrinsiknya dengan tanah dan tenaga kerja. Kalangan bisnis dan pemilik modal semakin memperbesar kekuatan modalnya di pasar-pasar keuangan dan bursa komoditas, baik melalui utang maupun permainan harga.

Pasar saham yang tujuan awalnya adalah tempat investasi telah berubah menjadi ajang judi (J.M.Keynes, 1934). Bisnis, menurut Georg Simmel dalam bukunya The Philosophy of Money, pada awalnya bukan semata mencari keuntungan. Bisnis memiliki fungsi sosial. Ia menganjurkan agar modal finansial juga didukung oleh ketertanaman nilai pada masyarakat. Uang lahir dari semangat solidaritas sosial. Untuk menjaga keseimbangan, diciptakan badan publik. Keberadaan badan publik (pemerintah ataupun otoritas) adalah untuk menyeimbangkan kepentingan masyarakat dan pebisnis. Setiap masyarakat modern dibangun di atas perimbangan antara masyarakat, pasar, dan badan publik.

Hal ini menjadi sulit apabila kepentingan bisnis dan politik menjadi satu. Masyarakat akan ditinggalkan di sisi lain dari variabel ekonomi. Majalah The Economist pernah menulis bagaimana bahayanya poros kekuatan yang hanya bertumpu pada kekuatan politik dan bisnis hingga meninggalkan masyarakat. “The main dangers to the success of capitalism are the very people who would consider themselves its most ardent advocates: the bosses of the companies, the owners of companies, and politicians who tirelessly insist that they are pro business” (The Economist, 28/6/2003). Perimbangan kekuatan antara politik, bisnis, dan komunitas masyarakat adalah sebuah jalan penentu sehat tidaknya sebuah perekonomian. Runtuhnya Lehman Brothers dan prahara yang menimpa Bakrie Brothers menjadi semacam penanda betapa rumitnya hubungan antar poros dalam sistem perekonomian kita.

Saturday, November 01, 2008

Akankah Indonesia Kembali ke Pelukan IMF?

IMF menjadi semacam mantra di krisis global yang penuh turbulensi saat ini. Perlahan tapi pasti, beberapa negara mulai masuk dalam program bantuan IMF. Eslandia, Ukrania, Hongaria telah menyerah pada krisis dan masuk menjadi pasien IMF. Eslandia menerima 2,1 miliar dollar AS, Ukraina menerima 16,5 miliar dollar AS, dan Hungaria menerima 25 miliar dollar AS dalam bentuk paket penyelamatan keuangan di bawah bendera Stand By Arrangement. Belarusia dan Pakistan adalah pasien selanjutnya. Mereka sudah angkat tangan melawan krisis. IMF memang menyediakan dana yang jumlahnya mencapai 200 miliar dollar AS untuk membantu negara anggotanya yang mengalami masalah likuiditas karena krisis global. Namun sebagai dokter, IMF tentu memberlakukan syarat-syarat ketat bagi pasien yang menerima pinjaman tersebut.

Meminta bantuan IMF juga pernah dilakukan Indonesia saat krisis tahun 1997-8 lalu. Meski kita telah berhasil keluar dari program IMF pada tahun 2004, pengalaman pahit berada dalam program itu masih membekas dalam ingatan. Di bawah program IMF, keleluasaan kita dalam mengelola ekonomi sangat terbatas karena segala sesuatu harus dilakukan dengan persetujuan IMF terlebih dulu. Siapa pula tak ingat patahan peristiwa yang menyakitkan hati bangsa, saat Presiden RI menandatangani letter of Intent (LoI), sementara di sebelahnya Managing Director IMF berdiri angkuh sambil melipat tangan. Menyikapi krisis keuangan global terjadi belakangan ini, tentu wajar bila muncul kekhawatiran dan pertanyaan, akankah kita kembali pada pelukan IMF?

Rute menuju IMF
Secara umum, sebuah negara meminta bantuan IMF apabila negara tersebut secara berturut turut atau bersamaan mengalami overheating ekonomi (biasanya ditandai dengan inflasi yang tinggi), defisit pada neraca transaksi berjalan (bahkan beberapa negara mengalami twin deficit yang cukup besar), serta kesulitan memenuhi kewajiban utang luar negeri, termasuk utang luar negeri perbankan. Dengan kondisi fundamental ekonomi yang rapuh, gejolak ekonomi akan memberikan sentimen negatif pada negara tersebut. Hal itu kemudian mendorong terjadinya aliran keluar modal asing yang berakibat pada anjloknya harga saham, melemahnya nilai tukar, dan pada gilirannya meningkatkan credit default swap (ini adalah sebuah indikator premi risiko pada suatu negara). Menghadapi melemahnya nilai tukar, biasanya bank sentral akan melakukan intervensi guna menjaga kestabilan nilai tukar. Apabila terus menerus dilakukan, hal ini menyebabkan tergerusnya cadangan devisa. Akibatnya, rating negara tersebut akan menurun, upaya pembiayaan dan kepercayaan dari luar negeri semakin tertutup, dan ujungnya, bendera putihpun dikibarkan. Negara memanggil sang dokter IMF guna perawatan.Rute permasalahan seperti itulah yang dialami oleh kelima negara yang meminta bantuan IMF. Khusus untuk Pakistan, berbagai masalah itu ditambah lagi dengan munculnya instabilitas politik di negaranya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Ibarat penyakit, demam mulai dirasakan oleh ekonomi Indonesia. Rambatan krisis dari AS mengalir melalui sektor keuangan dan perlahan menyebar ke sektor lainnya. Perekonomian negeri mulai meriang. Kondisi pasar keuangan domestik mengalami tekanan tajam sehingga nilai tukar rupiah terdepresiasi, indeks harga saham turun, dan credit default swap meningkat. Indikator lainnya hampir serupa dengan yang dialami kelima negara di atas, pertumbuhan kredit melaju tinggi, cadangan devisa menurun, inflasi meningkat, dan terjadi defisit pada neraca transaksi berjalan setelah 10 tahun selalu mencatat surplus. Apabila diruntut, kondisi itu bagai rangkaian kereta yang menjalani rute menuju jurang. Akankah kita selamat? Atau apakah di ujung jalan nanti kita akan bertemu dengan sang dokter IMF? Jawabnya tak pasti.

Meski secara umum hampir sama dengan apa yang dialami oleh kelima negara tadi, kondisi fundamental Indonesia masih sedikit lebih baik. Kondisi perbankan jauh lebih baik dibanding pada saat krisis. Berbagai indikator ketahanan menunjukkan bahwa industri perbankan kita saat ini lebih resilien. Eksposur pada utang luar negeri juga tidak separah pada saat 1998. Di sisi pertumbuhan ekonomi, kita masih melihat sebuah kegairahan dengan akan dilaksanakannya pemilu tahun depan. Hal ini diharapkan akan mendukung kuatnya konsumsi dan maraknya investasi domestik. Tekanan inflasi, yang menjadi akar dari permasalahan, juga diperkirakan menurun di tahun depan.

Namun jalan ke depan pasti tak mudah. Kita masih berada pada tahap awal krisis keuangan. Rambatannya masih bisa kemana-mana. Ujungnya kita belum tahu hendak kemana? Kita semua tentu tak ingin ini semua berujung pada sebuah mala.Kita tak ingin ada petaka lagi yang mengoyak dan mengguyah kehidupan rakyat. Berbagai langkah pemerintah untuk menanggapi gejala awal krisis tentu perlu kita beri apresiasi. Namun itu saja belum cukup. Langkah jangka panjang diperlukan. Selain itu, peranan elemen masyarakat juga penting. Saat ini, kita masih memiliki modal penting, yaitu kestabilan politik dan sosial. Tugas kita semua menjaga ketenangan ini terutama dalam menghadapi pemilu tahun depan. Apabila berbagai hal baik ini tak mampu kita jaga bersama, bukan tak mungkin kita akan mengatakan, “Welcome back Mister IMF...”

Mistik Bank Sentral


Bank Sentral adalah sebuah mistik. Oleh sebagian masyarakat bahkan menjadi sebuah mitos. Sulit memang menjelaskan pada masyarakat modern yang rasional saat ini. Di tengah masyarakat yang segala sesuatunya dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan rasional, mistik seolah kehilangan tempat. Namun di masyarakat arkhais (primitif-tradisional), mistik menjadi bagian dalam kehidupan. Segala fenomena yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat, langsung dikategorikan dalam tataran mistik. Mistik tak bisa dipandang lebih rendah dari rasio. Mistik adalah justru sebuah kerendahhatian dan kesadaran manusia bahwa ia tak mampu memahami semua persoalan di dunia ini. Dunia terlalu rumit untuk dijelaskan melulu melalui rasio. Keterbatasan rasio dalam memahami komplikasi dunia inilah yang membuat mistik tetap hidup hingga sekarang.

Di pasar keuangan, mistik juga ada. Mistik itu adalah bank sentral. Montagu Norman, Gubernur Bank of England di tahun 1921-1944 mengatakan,”Never explain, never excuse”. Bank sentral dikondisikan sebagai sebuah kekuatan supranatural yang bekerja di balik tembok dan mampu memengaruhi pasar keuangan. Bob Woodward (1978) dalam bukunya “The Secret of the Temple”, menulis tentang bagaimana mitos dibangun di Federal Reserve (Bank Sentral AS) yang diibaratkan sebagai Kuil Suci. Keyakinan yang dibangun adalah bahwa bank sentral akan beroperasi optimal apabila dianggap oleh pasar sebagai sebuah mitos yang memiliki kekuatan tak terlihat.
Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS, juga meyakini kemistikan bank sentral tersebut. Ucapannya yang terkenal adalah “Since I’ve become a central banker, I’ve learned to mumble with great coherence. If I seem unduly clear to you, you must have misunderstood what i said”. Intinya, Greenspan tak pernah sepenuhnya jelas dalam memberikan pernyataan. Sebagian pesannya dapat ditafsirkan berbeda. Meski tak dapat dipahami, selama 18 tahun masa kepemimpinannya, Greenspan memiliki nuansa profetik dalam setiap katanya. Words that move the market, kata-katanya mampu menggetarkan pasar keuangan. Ada semacam kekuatan supranatural di sana.

Adalah Ben Bernanke, Chairman The Fed yang baru, pengganti Greenspan, yang menjadi satu dari sekian orang yang tidak percaya pada mistik. Ia mencoba mendesakralisasikan mitos bank sentral. Pemikirannya yang akademis rasional mengatakan bahwa semakin transparan sebuah bank sentral, semakin efektiflah kebijakan. Menurutnya, zaman telah berubah, bank sentral tak bisa bekerja dengan tertutup lagi. Kebijakan moneter akan berjalan efektif kalau kita mampu mengkomunikasikan secara transparan arah, tujuan, alasan, rasional, dan metode pencapaian tujuan tersebut secara jelas ke masyarakat. Era transparansi dan komunikasi ini kemudian menjadi semacam keyword yang digunakan bank sentral di seluruh dunia. Pasar senang, media tenang, semua yang terjadi di bank sentral dapat serta merta dilihat dan didapat dengan mudah.

Sampai pada suatu hari, datanglah krisis keuangan global di AS. Desakralisasi bank sentral ini ternyata tak sepenuhnya menguntungkan. Di tengah kegamangan dan kepanikan pasar, yang muncul adalah irasionalitas. Irasionalitas adalah tataran mistik. Dan irasionalitas itu harus berhadapan dengan realita rasional dari bank sentral yang terbatas. Bank sentral kini sudah dipandang sebagai lembaga otoritas biasa yang tak punya kemampuan banyak. Transparansi, yang dilakukan selama ini, membawa pada sebuah kenyataan bahwa bank sentral tak dapat berbuat banyak. Minimnya instrumen moneter, dihadapkan pada semakin canggihnya instrumen keuangan, ibarat David melawan Goliath. Bank sentralpun kehilangan kredibilitas di seluruh dunia.

Di Indonesia, hal ini ada baiknya kita renungkan bersama. Masyarakat kita masih butuh mistik. Sepanjang sejarah nusantara, mistik mewarnai kehidupan kita. Kisah-kisah satrio piningit, kesaktian ngarso dalem, wali nangroe, ratu adil, dll, lekat dalam realita masyarakat. Dalam kondisi tersebut, desakralisasi bank sentral tak sepenuhnya menguntungkan. Kemampuannya dalam mengendalikan pasar akan guyah. Kita masih butuh sebuah bank sentral yang memiliki kekuatan supranatural.. Transparansi di satu sisi, Mistik di sisi lain. Menyeimbangkan antara rasional dan mistik adalah sebuah pilihan, utamanya di Indonesia. Mungkin, hanya mungkin.....