Tuesday, February 10, 2009

Negara Paling Bahagia di Dunia

Indonesia adalah negara yang masyarakatnya cukup bahagia di dunia. Jauh lebih bahagia dari masyarakat Jepang, Rusia, bahkan China. Krisis ekonomi yang menimpa, indikator ekonomi yang pas-pasan, kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, bencana yang kerap datang, tak membuat masyarakat Indonesia bersedih dan jauh dari bahagia. Secara umum, survei ini pernah dimuat di Majalah Time edisi januari 2004 yang menulis sebuah laporan tentang “Sains Kebahagiaan”. Hal menarik dari tulisan itu adalah penelitiannya pada berbagai negara untuk melihat apakah pertumbuhan ekonomi, kekayaan, dan pendidikan yang tinggi, membawa kebahagiaan bagi penduduknya.

Selama ini, GDP atau Gross Domestic Product selalu dijadikan acuan tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. GDP dicerminkan oleh komponen Konsumsi, Investasi, Pengeluaran Pemerintah, Ekspor, dan Impor (C+I+G+X-M). Semua komponen itu dihitung dengan satuan uang. Dengan demikian, uang diasumsikan dapat membawa pertumbuhan dan kesejahteraan. Apakah benar demikian? Survei menunjukkan bahwa negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ternyata tidak otomatis menjadi negara yang bahagia. Sebaliknya, negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi pas-pasan atau bahkan ada yang miskin, bukan berarti pula menjadi negara yang tidak bahagia.

Lantas, apa yang membuat kita bahagia. Riset yang dilakukan para ilmuwan dari Universitas Pennsylvania mengambil beberapa hal yang diindikasikan dapat membawa kebahagiaan. Kekayaan sebagai contohnya, dan segala hal yang bisa dibeli dengan uang. Ternyata, hal itu tidak membawa bahagia. Semakin tinggi pendapatan seseorang, justru kebahagiaannya menurun. Sementara itu, mereka yang berpenghasilan rendah, justru bisa merasakan bahagia. Pendidikan yang tinggi? Tidak juga. Mereka yang memiliki IQ tinggi bukan jaminan kebahagiaannya juga tinggi. Masa Muda? Lagi-lagi bukan. Faktanya, justru banyak orang tua yang lebih menikmati dan puas akan hidupnya ketimbang yang muda. Pernikahan? Jawabannya agak rumit. Memang kebanyakan pasangan yang menikah lebih bahagia daripada yang tidak menikah, namun hal itu diperdebatkan di hasil survei. Sebagian berpendapat bahwa kebahagiaan perkawinan sangat tergantung pada bagaimana mereka mengelola dan memulai sebuah perkawinan.

Survei menunjukkan bahwa ada dua hal utama yang membuat orang bahagia. Pertama, iman kepada Tuhan atau agama. Apapun agamanya, apabila orang meyakini agama, umumnya mereka lebih bahagia daripada yang tidak beragama. Kedua, teman, sahabat, keluarga, istri, anak, atau cucu. Ya, sebuah studi lanjutan yang dilakukan oleh Universitas Illinois di tahun 2002 menunjukkan bahwa masyarakat yang memililki kebahagian tertinggi pada umumnya adalah mereka yang memiliki orang-orang dekat. Mereka yang penyendiri pada umumnya lebih cepat mengalami depresi.

Hasil survei yang dilakukan para ilmuwan di berbagai negara mendapatkan hasil yang beragam. Negara-negara dengan kekayaan dan pertumbuhan tinggi, seperti Switzerland misalnya, masuk dalam kategori negara yang memiliki kebahagiaan tinggi. Namun ada negara yang pertumbuhannya tinggi dan kekayaan masyarakatnya juga tinggi, justru tidak bahagia. Jepang adalah salah satu contohnya. Tingkat depresi, stress, dan bunuh diri jumlahnya tinggi di Jepang.

Sementara itu, ada negara yang masuk kategori berpenghasilan pas-pas-an, namun memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Negara itu adalah Indonesia dan Filipina. Nah, Indonesia masuk dalam kategori negara yang memiliki kebahagiaan tinggi, meski kalau melihat dari indikator ekonominya, kebahagiaan itu memang tak tercermin. Pertumbuhan ekonomi Indonesia “hanya” berada dalam kisaran 4-6%, cadangan devisa Indonesia pas-pasan pada sekitar 50 milyar dollar AS (bandingkan dengan Bill Gates yang seorang diri saja kekayaannya mencapai sekitar 60 milyar dollar AS), dan utang luar negeri yang masih tinggi. Selain itu, bencana kerap datang tak henti di negeri ini.

Namun rupanya berbagai hal itu tidak terkait dengan masih bahagianya bangsa kita. Dalam berbagai kondisi, selalu ada cara yang membuat kita bahagia. Modal tawakal, kekerabatan yang kuat, serta keyakinan pada Yang Maha, mungkin bisa menjadi benteng dalam membangun kebahagiaan di tengah kesulitan saat ini.

Apakah itu semua cukup? Tentu tidak. Lama kelamaan kebahagiaan ini bisa luntur. Kebahagiaan bukan sesuatu yang mudah diraih dan harus senantiasa dipertahankan. Raja Bhutan pernah memperkenalkan istilah GDP of Happiness yang mengukur bukan hanya tingkat pertumbuhan negeri, tetapi juga tingkat kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan, dukungan kepada rakyat perlu diberikan dalam bentuk perhatian dan fokus pada pengembangan kekuatan masing-masing elemen bangsa. Keseimbangan antara alam, spiritual, dan manusia menjadi fokus kebijakan pemerintah. Semata mendorong pertumbuhan ekonomi, apalagi dengan memberi uang, tidak akan menjamin tercapainya kebahagiaan. Mungkin hanya mampu meraih kesenangan sesaat. Dan itu, bukan kebahagiaan.

Bukankan tujuan para pendiri bangsa di manapun adalah mengejar kebahagiaan? Kalimat terkenal dalam Deklarasi Independen Amerika adalah, “Life, liberty, and the pursuit of happiness “. Itulah sebuah amanat untuk meraih kebahagiaan.

Sementara, kalimat terkenal di pembukaan UUD 45 kita adalah, “… Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Ujungnya, merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, adalah cara untuk mencapai kebahagiaan….

Mudah-mudahan kita masuk dalam kelompok orang yang berbahagia.

Wednesday, February 04, 2009

Menarik Bank Kembali Pada Akarnya

Posted on Kompasiana


Ekonomi yang berawal dari kata “oikonomia” yang berarti tata kelola rumah tangga, telah beralih menjadi suatu “chrematistic” atau kegiatan uang yang mencari uang. Ekonomi rente telah menjadi ciri dari neoliberalisme dan kapitalisme. Uang telah mampu beranak dan memperanakkan uang tanpa ada dasar yang jelas dalam setiap transaksinya. Oleh karenanya, krisis kali ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk membawa ekonomi, khususnya perbankan, kembali pada akarnya.

Dalam acara jumpa pers Jumat pekan lalu (30/1/09), Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dr Muliaman D. Hadad, menyampaikan bahwa krisis global ini menjadi momentum bagi kita untuk membenahi diri, khususnya memperkuat daya tahan bank. Ia menyampaikan berbagai langkah kebijakan, yang di satu sisi memberi kelonggaran, namun di sisi lain memperkuat ketahanan dalam menempuh krisis.

Salah satu pelajaran yang paling mendasar dari krisis ini, yang juga disampaikan pak Boed dalam acara makan malam usai Konferensi Pers tersebut, adalah pentingnya perbankan kembali ke akar dirinya, “back to basics”. Mengapa demikian? Karena krisis yang kita hadapi sekarang adalah konsekuensi dari perkembangan sektor keuangan yang lepas dari akarnya, yaitu kegiatan ekonomi riil. Perkembangan yang luar biasa dari sektor keuangan di banyak negara bersumber dari perkembangan inovasi produk keuangan dan inovasi kelembagaan keuangan. Hal ini didukung oleh revolusi dalam teknologi informasi dan liberalisasi keuangan global.

Sektor keuangan memang kemudian menarik banyak orang karena merupakan jalur cepat untuk menjadi kaya. Lulusan-lulusan terbaik universitas berlomba-lomba masuk ke sektor keuangan. Produk keuanganpun makin bervariasi, makin canggih dan makin kompleks. Akibatnya tentu juga mempunyai dampak sampingan yang fatal, yaitu makin sulit untuk dinilai risikonya. Instrumen keuangan makin terlepas dari akar kegiatan yang seharusnya melandasinya. Tata kelola rumah tangga telah ditinggalkan. Uang berkembang tanpa landasan yang riil. Hal ini telah menjadi gelembung atau bubbles. Gelembung tumbuh makin membesar, dan akhirnya pecah.

Ajakan pak Boed kepada perbankan untuk kembali ke khittah atau back to basics berlaku bagi semua lembaga keuangan. Fungsi utama perbankan adalah memfasilitasi dan membiayai kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat, yaitu kegiatan-kegiatan nyata. Bank melakukan fungsi tersebut melalui intermediasi keuangan – yaitu mengumpulkan dana dari pemilik dana dan menyalurkannya ke peminjam dana.

Tapi kenyataannya, bank bisa bertindak lebih dari sekedar perantara. Bank dapat menciptakan tambahan likuiditas melalui penciptaan uang giral. Kegiatan-kegiatan bank ini secara inheren mengandung risiko, baik bagi bank itu sendiri, bagi penyimpan dana, bagi sistem perbankan dan bagi perekonomian. Risiko-risiko itu harus dikelola sebaik-baiknya oleh bank, suatu tanggungjawab besar yang memerlukan perhatian penuh dari pengelola bank.

Banyak bank sekarang yang kreatif menawarkan structure products atau produk-produk derivatif yang kadang tidak disadari oleh konsumen. Para petugas pemasaran bank seolah menawarkan produk deposito. Padahal itu produk derivatif. Hal ini sungguh berbahaya apabila nasabah tidak waspada. Bank memiliki tugas untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang mempunyai landasan transaksi yang jelas serta dilandaskan pada perhitungan risiko yang jelas pula.

Bermain dengan instrumen spekulatif bukan domain dari bankir. Bank sebaiknya menjauhi kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur bubbles. Apabila kegiatan seperti itu tidak bisa dihindari, maka harus diterapkan sistem pengelolaan risiko yang efektif. Pak Boed malam itu secara tegas mengatakan bahwa Bank Indonesia sebagai regulator berkepentingan untuk mendorong bank melakukan prinsip kehati-hatian. Ke depan, berbagai langkah akan dikeluarkan untuk memantapkan rambu-rambu yang diperlukan untuk itu.

Sungguh sebuah pesan yang dalam dan penuh makna untuk direnungkan kita semua. Ekonomi yang tumbuh seperti buih hanya akan membawa kesejahteraan semu bagi para pelakunya. Ibarat tumbuhan yang bertambah besar, dahan dan daunnya dapat tumbuh semakin jauh dari akar. Saat itu, dahan dan daun menjadi rentan terhadap hempasan angin. Mudah patah dan rapuh. Oleh karenanya, upaya memperkuat dan kembali berpegangan pada akar menjadi suatu hal yang perlu untuk direnungkan.

Junanto Herdiawan, dari konferensi pers dan jamuan makan malam perbankan 2009

Turunnya Bunga di Mendung Pagi

Posted on Kompasiana


Mendung menggantung dan hujan yang mengguyur Jakarta beberapa hari ini tidak membuat bunga berkembang. Yang terjadi justru bunga dipangkas. Tentu yang dimaksud adalah bunga kebijakan moneter. Rapat Dewan Gubernur (RDG) pagi ini (4 Feb 09) berjalan tidak seperti biasanya. Apabila keputusan BI Rate biasa diumumkan setelah pukul 13.00, hari ini keputusan keluar sebelum pukul 10.00 pagi. Di bawah udara mendung, rapat berlangsung cepat. Mungkin pagi itu, seluruh anggota Dewan Gubernur akan menghadiri acara pembukaan Festival Ekonomi Syariah yang akan dibuka oleh Presiden RI. Tapi mungkin juga karena pembahasan rapat ini di hari-hari sebelumnya sudah cukup alot dan mendalam, bahkan selesai sampai larut malam. Intinya, keputusan ini tak mengurangi kualitas assesmen perekonomian Bank Indonesia.

Dan yang jelas, BI Rate pagi ini turun lagi 50 bps (0,5%), atau turun dari 8,75% menjadi 8,25%. Penurunan ini sudah diperkirakan berbagai kalangan. Gambaran ekonomi dunia yang begitu suram di awal tahun ini, bahkan lebih suram dari yang diperkirakan beberapa bulan lalu, telah membuat otoritas di berbagai negara untuk waspada. Dampak pelemahan ekonomi itu makin terasa di dalam negeri, terutama sektor-sektor yang terkait dengan perdagangan luar negeri (sektor tradables). Banyak industri mulai gulung tikar, dan tingkat PHK meningkat. Sementara di sektor non-tradables, perkembangannya relatif stabil.

Kelesuan ekonomi dalam negeri juga terlihat dari mulai melambatnya pertumbuhan kredit perbankan dan uang beredar, yang tercermin dari melambatnya M1 dan M2. Tekanan inflasi terlihat mulai menurun seiring dengan melambatnya ekonomi dan menurunnya daya beli. Dalam dua bulan berturut-turut kita mengalami deflasi (Desember dan Januari). Deflasi di bulan Januari juga bukan deflasi yang biasa terjadi. Ada istilah ”Januari Effect” yang berarti bahwa inflasi selalu berada di atas 1,0% setiap bulan Januari. Tapi di bulan Januari 2009 ini, kita justru deflasi.

Di sisi lain, tekanan pada ekonomi juga berdampak pada tekanan di nilai tukar. Hal ini membuat kita harus mewaspadai tingkat cadangan devisa yang kita miliki. Pak Boed dalam Rapat Kerja dengan DPR RI beberapa hari lalu mengatakan bahwa cadangan devisa kita masih aman, meski pas-pasan. Cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2009 tercatat sebesar USD 50,9 milyar atau setara dengan 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Keputusan penurunan BI Rate pada pagi ini sejalan dengan semangat relaksasi yang dilakukan di sektor perbankan. Kita melihat kondisi perbankan nasional sampai saat ini masih mantap, seperti tercermin dari perkembangan CAR dan NPL perbankan yang tetap pada batas-batas yang aman. Sementara itu, permasalahan likuiditas perbankan, termasuk aliran likuiditas dalam pasar uang antar bank, yang sempat menjadi isu hangat beberapa bulan lalu, kini mulai mengalami perbaikan.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan menunjukkan langkah optimal dari otoritas moneter dalam menyikapi krisis global. Langkah selanjutnya dari Pemerintah tentu sangat diharapkan. Stimulus fiskal sebagai obat jangka pendek dalam mengatasi pelesuan ekonomi adalah kebijakan yang perlu didukung. Namun dalam jangka panjang, kita tetap memerlukan strategi pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tahan krisis.

Semoga mendungnya pagi ini, dan hujan rintik yang terus mengguyur Jakarta, bukan penanda semakin mendungnya ekonomi negeri. Mari kita tetap optimis.