Tuesday, December 01, 2009

Badai Century Menghantam Ekonomi

posted on Bisnis Indonesia 26 November 2009

Berbeda dengan perekonomian di negara maju yang relatif tahan terhadap isu di luar ekonomi, perekonomian Indonesia terbukti masih rentan terhadap berbagai isu. Hal ini terbukti saat kasus Bank Century semakin bergulir bagai badai yang menghantam ekonomi kita.

Hasil audit investigatif BPK, hak angket Bank Century di DPR, yang berjalin kelindan dengan berlarut-larutnya kasus Bibit-Chandra, membawa pemulihan ekonomi Indonesia seolah-olah berhenti di tempat. Program 100 hari pemerintah seolah-olah raib ditiup angin. Acara Rembuk Nasional (National Summit) yang memuat gagasan-gagasan besar tentang ekonomi Indonesia ke depan, seolah-olah termarginalkan dari ruang-ruang diskusi publik.

Banyak pelaku ekonomi, khususnya investor asing, mulai bertanya tentang kasus hukum yang mencuat dikaitkan dengan pemulihan ekonomi. Sebenarnya apabila kita melihat berbagai indikator ekonomi makro, tak dapat dipungkiri bahwa ekonomi Indonesia memang telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang membaik.

Indonesia bahkan telah disandingkan dengan China dan India, sebagai flavour of the day oleh para investor asing. Kita melihat bahwa konsumen di Indonesia sudah mulai bangkit dan membeli. Hal ini tecermin dari kuatnya tingkat konsumsi kita yang tumbuh rata-rata 5% dalam beberapa tahun terakhir ini.

Kita melihat juga ekspor kita terus meningkat seiring dengan pulihnya ekonomi dunia dan membaiknya pertumbuhan ekonomi di negara mitra dagang.

Menghadapi krisis global di tahun 2008, ekonomi Indonesia terbukti mampu melaluinya dengan baik. Kebijakan makroekonomi yang berhati-hati telah menahan perlambatan lebih jauh dari perekonomian Indonesia.

Di sisi stabilitas sistem keuangan, sebenarnya penanganan kasus Bank Century di tahun 2008 yang relatif tidak menimbulkan guncangan di pasar keuangan, dapat dikatakan sebuah keberhasilan otoritas dalam meredam gejolak lebih lanjut dari dampak krisis. Sayangnya, penanganan kasus itu menyisakan persoalan hingga kini.

Persoalan mendasar

Kalau dilihat secara lebih detail, ekonomi kita memang masih menyimpan banyak pekerjaan rumah. Kita belum melihat perbaikan yang berarti di bidang investasi. Belum banyak investor yang mau memberikan komitmennya pada ekonomi Indonesia di jangka panjang.

Para investor masih menunggu (wait and see) kalau ditanya tentang investasi yang berjangka panjang. Hal itu terlihat dari jumlah investasi yang jumlahnya menurun dari 11,7% pada 2008, menjadi sekitar 3% sampai dengan triwulan III-2009.

Padahal, investasi adalah bukti nyata yang menggambarkan komitmen investor pada ekonomi Indonesia. Kita mungkin bisa menyalahkan krisis global dan lemahnya ekonomi dunia, yang menjadi penyebab turunnya jumlah investasi tersebut.

Namun, dibandingkan dengan negara kawasan yang masih bisa menarik investasi, potensi dan besarnya ekonomi Indonesia seharusnya bisa menarik investasi riil lebih banyak agar peningkatan produksi dapat berlanjut.

Tantangan ekonomi kita ke depan adalah bagaimana dapat membangun komitmen dari para investor dan pelaku pasar utama. Tanpa komitmen jangka panjang, akibatnya adalah, ekonomi kita bisa 'terlihat' bergairah, tetapi pergerakannya lebih banyak ditopang oleh para petualang kapital sesaat.

Posisi asing di SBI dan SUN yang jumlahnya mencapai hampir US$4,5 miliar menjadi indikator masuknya dana asing di pasar keuangan kita. Para pemilik modal datang ke negeri ini untuk menanam dalam penempatan portofolio jangka pendek, dan tergiur dengan keuntungan sesaat yang saat ini menjanjikan.

Namun, kalau diajak bicara tentang perspektif yang lebih jauh, dapat dilihat yield SUN jangka panjang (di atas 15 tahun) yang masih tinggi. Hal ini menunjukkan persepsi mereka tak seindah yang terlihat di jangka pendek.

Pada galibnya, aliran dana asing jangka pendek tersebut tidaklah salah sepenuhnya. Sepanjang kepercayaan bisa terus dibangun, dana itu akan tetap mengendap di pasar keuangan kita, dan syukur-syukur bisa beralih pada penempatan atau investasi jangka panjang.

Gejala adverse selection dari para investor seperti itu, saat ini masih menguntungkan bagi perekonomian kita. Kita melihat bahwa nilai tukar dan indeks saham masih stabil. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa gejala saat ini bukanlah pilar yang kuat dalam mendukung kemajuan ekonomi kita yang berkelanjutan. Persepsi dan confidence para pemilik modal ini sangat rawan apabila terjadi gangguan, seperti permasalahan hukum maupun apabila ada policy inconsistency.

Di sisi policy inconsistency, pihak pemerintah dan Bank Indonesia berulangkali menegaskan kepada para pelaku pasar bahwa tidak akan melakukan banyak perubahan dalam pengelolaan makroekonomi yang ada saat ini.

Namun, di sisi penegakan hukum, apabila berbagai permasalahan hukum yang ada saat ini berlarut larut, dapat dipastikan para investor akan semakin menunda komitmen mereka dalam jangka panjang. Dan bukan itu saja, dana jangka pendek yang ada saat ini juga dikhawatirkan akan ikut keluar.

Kita perlu menyadari bahwa pilar ekonomi kita saat ini masih belum kuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.

Menghadapi tahun 2010 nanti, tantangan terbesar adalah memfokuskan kebijakan dan kegiatan ekonomi pada pilar yang lebih kokoh, yaitu sektor produksi. Upaya membangun kekuatan ekonomi domestik, menarik investasi riil, ikut serta dalam global chain production sebagai pemerkayaan ekspor kita, dan upaya membangun industri, adalah langkah strategis yang membutuhkan kerja sama dan kepercayaan tinggi dari para pelaku ekonomi.

Kita juga perlu terus menambah daya respons sisi suplai guna menyeimbangkan respons di sisi permintaan.

Di sisi lain, kasus Bank Century menuntut penyelesaian yang tepat dan adil. Permasalahan hukum harus diproses secara hukum, permasalahan politik juga harus diproses secara politik, sementara permasalahan teknis perbankan kiranya diselesaikan dengan mekanisme perbankan.

Jangan sampai ada campur aduk dalam penyelesaiannya, yang menjadikan masalah menjadi semakin complicated dan berlarut-larut. Secara umum tentu pengungkapan kasus Bank Century ini ditunggu oleh masyarakat agar prosesnya menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Penggunaan dana sebesar Rp6,7 triliun tentu mengundang ingin tahu banyak kalangan. Namun, hal yang perlu diingat adalah bahwa penyelesaian kasus ini jangan sampai mengorbankan hal lain yang lebih penting, yaitu pembangunan ekonomi. Semakin lama dan komplikatif kasus ini bergulir, maka ongkos ekonominya akan semakin mahal dan berdampak pada turunnya kepercayaan pelaku pasar. Akibatnya, ekonomi Indonesia akan terus tertatih-tatih dan semakin terpuruk.

Oleh Junanto Herdiawan
Peneliti Ekonomi Madya Bank Indonesia

Monday, October 05, 2009

Nasib Kelam Pimpinan Bank Sentral

Tulisan ini dimuat juga di Harian Kompas, 13 Agustus 2009


Pengadilan terhadap unsur pimpinan bank sentral jarang terjadi di negeri lain. Namun, di Indonesia terjadi dari masa ke masa. Bank Indonesia tak pernah bisa dilepaskan dari lipatan kepentingan demi kepentingan, baik politik maupun ekonomi.

Kisah di balik pengadilan pimpinan Bank Indonesia (BI) yang telah dibukukan ini menarik untuk dibaca. Perubahan rezim Soekarno ke Soeharto, misalnya, membawa korban, yaitu diadilinya Jusuf Muda Dalam. Kemudian, pada perubahan dari rezim Soeharto ke zaman Reformasi terjadi penggantian mendadak terhadap Soedradjad Djiwandono. Selanjutnya, pada zaman Reformasi, korbannya adalah Syahril Sabirin atas kasus Bank Bali. Tidak cukup sampai di sini, terakhir adalah Burhanuddin Abdullah untuk kasus aliran dana BI.
Selain pemimpin nomor satu di bank sentral, hampir semua anggota Dewan Gubernur BI juga ikut diadili. Mereka adalah Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.

Timbul pertanyaan, mengapa BI selalu berada dalam konstelasi politik dan ekonomi yang kisruh? Buku ini mencoba mencari jawabannya. Ditulis oleh mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang merupakan hasil perenungannya selama hampir satu setengah tahun menjalani proses hukum di balik tahanan.

Buku ini menarik karena bukan hanya bercerita mengenai kasus yang menimpa Burhanuddin. Bukan pula semata berisi pembelaan sebagaimana yang biasa ditulis banyak pejabat dari balik tahanan. Namun, buku ini justru berupaya memaknai konstelasi bank sentral di tengah kepentingan ekonomi politik.

Menghadapi badai
Dalam bukunya, Burhanuddin mengakui bahwa tak banyak orang yang paham dengan tugas dan fungsi dari bank sentral. Padahal, peran bank sentral diibaratkan seperti jantung yang memompa darah bagi tubuh manusia. Uang beredar serta jumlah dan fungsinya adalah darah yang pergerakannya diatur oleh bank sentral. Perekonomian akan berjalan secara dinamis dan bugar apabila peredaran uangnya tidak mengalami hambatan (hal 9). Tugas bank sentral dengan demikian sangat strategis dalam menjaga kestabilan perekonomian suatu negara.
Setelah menguraikan peran bank sentral dalam perekonomian pada bab 1 dan bab 2, Burhanuddin kemudian menceritakan kembali kasus aliran dana BI. Dalam menulis, ia melakukan perbandingan dengan beberapa kasus yang pernah terjadi, baik di dalam maupun luar negeri.

Saat krisis ekonomi menimpa, berbagai cara yang biasa digunakan dalam kondisi normal belum tentu dapat bekerja dengan baik. Sebagaimana Burhanuddin menulis, ”Upaya untuk keluar dari badai atau menghindari hantaman karang-karang itu bisa jadi tidak berarti sama sekali kalau orang tidak pernah mau tahu seperti apa badai yang terjadi atau bahkan tidak percaya ada badai. Cara pandang, pikiran, dan ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai segala upaya untuk keluar dari badai adalah untuk situasi dan kondisi yang normal. Tentu keduanya sulit bertemu” (hal 20).

Metafora ini digunakan Burhanuddin Abdullah saat menjelaskan kasus aliran dana BI, termasuk kebijakan BLBI pada masa lampau. Saat krisis tahun 1998, keadaan begitu kacau. Aturan- aturan hukum normal tidak berjalan. Saat itu perlu sebuah keberanian untuk melakukan penyelamatan terhadap ekonomi nasional. Ia menulis, ”Bantuan likuiditas adalah kebijakan yang lumrah pada masa krisis. Dan itu mampu menyelamatkan perekonomian kita untuk tidak rontok lebih jauh. Apabila dalam pelaksanaannya kemudian ada yang disalahgunakan, tentu bukan kebijakannya yang harus dipermasalahkan, tetapi penyalahgunaannya yang harus ditindak secara tegas dan pasti” (hal 21).

Terkait dengan aliran dana BI, hal serupa perlu dipertimbangkan. Saat kebijakan itu diambil pada tahun 2003, ada empat permasalahan utama yang dihadapi perekonomian Indonesia. Pertama, kredibilitas kebijakan Pemerintah dan BI yang rendah karena terlalu bergantung pada IMF. Kedua, kebijakan moneter kurang efektif dengan tingkat inflasi yang tinggi. Ketiga, kondisi perbankan yang belum solid. Dan, keempat, persoalan BLBI yang belum selesai sehingga menyebabkan kebijakan bank sentral tidak efektif.

Selain itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak dapat bekerja secara optimal karena amandemen Undang-Undang Bank Indonesia terkatung-katung dalam waktu yang lama. Kepentingan politik yang beraneka ragam menyebabkan proses amandemen itu berlarut-larut (hal 95).

Dalam kondisi seperti itu, Burhanuddin menyadari bahwa BI tidak akan mampu bekerja secara optimal. Apalagi untuk menghadapi kondisi ekonomi dan politik yang pada saat itu sedang sulit. Dalam pandangan Burhanuddin, Dewan Gubernur BI telah mengambil langkah strategis dengan itikad baik untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dimaksud, yaitu dengan melakukan langkah-langkah diseminasi kepada stakeholders BI.

Keputusan tersebut terbukti memberikan hasil positif berupa membaiknya kredibilitas BI yang kemudian mampu mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik. Ironisnya, kebijakan itu jugalah yang pada kemudian hari dipermasalahkan sebagai pelanggaran hukum.

Pelajaran berharga
Pada bagian penutup, Burhanuddin mencatat pelajaran yang dapat dipetik dari konstelasi bank sentral dalam kehidupan politik ekonomi nasional. Salah satunya adalah perlunya mengkaji arah bentuk dan sifat hubungan antara BI dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara lain. Terutama yang cocok dengan sejarah dan tradisi pengelolaan ekonomi kita. Selain itu, perlu dipikirkan kembali proses rekrutmen anggota Dewan Gubernur BI. Proses saat ini adalah melalui fit and proper test di DPR. Cara ini rawan dengan politik uang serta proses dukung- mendukung berdasarkan partai politik dan kepentingan. Inilah yang kemudian diduga Burhanuddin rawan untuk ”pemerasan” oleh DPR (hal 271).

Membaca buku ini sungguh mengasyikkan karena Burhanuddin menulis dengan gaya bahasa yang ringan. Kalaupun ada kekurangan dari buku ini adalah kesan yang bercampur aduk antara suasana hati, proses hukum yang formal, dan arsip pengadilan yang panjang. Namun, hal itu tidak mengurangi kenikmatan membacanya.

Kasus hukum memang bisa dipandang dari berbagai sudut. Kala benar dan salah menjadi relatif, upaya menceritakan keduanya dari berbagai sudut pandang jadi menarik. Namun, satu pelajaran dari kasus ini adalah sikap berani mengambil risiko saat terjadi krisis demi kepentingan rakyat yang lebih luas. Sebuah sikap yang tak bisa dilakukan setiap orang.
Menarik apa yang disampaikan Emha Ainun Nadjib dalam kata pengantar buku ini, ”Penjara negara tidak lagi bisa diidentikkan dengan kesalahan. Dan kebebasan tidak berarti kebenaran. Yang lebih absolut lagi, penjara negara tidak sama dengan neraka, dan surga tidak pula bisa disamakan dengan sesuatu yang ada di luar penjara”.

Junanto Herdiawan Peneliti Ekonomi; Bekerja di Bank Sentral

Wednesday, September 30, 2009

Arus Modal Asing : Antara Benci dan Rindu

sebuah tulisan lama di Harian Republika

Senin, 11 Juni 2007
Arus Modal Asing: Antara Benci dan Rindu

Oleh : Junanto Herdiawan, Peneliti Ekonomi Bank Indonesia (BI)

Masuknya modal asing ke Tanah Air dalam beberapa pekan ini seolah membangkitkan sense deja ju dalam diri kita masing-masing. Apalagi, tahun ini bertepatan dengan 10 tahun krisis ekonomi yang menimpa negeri. Masih segar dalam ingatan kita bahwa salah satu pemicu krisis saat itu adalah terjadinya penarikan dana besar-besaran (sudden capital reversal), dari dana masuk secara besar-besaran menjadi dana keluar secara besar-besaran. Kini, kita dihadapkan kembali pada derasnya aliran modalasing ke Indonesia.

Sampai bulan Mei 2007, aliran modal asing yang masuk tersebut terus meningkat jumlahnya hingga mencapai sekitar 17 miliar dolar AS. Dana tersebut ditempatkan ke berbagai outlet rupiah seperti SBI, SUN, dan pasar saham. Derasnya aliran dana itu seolah menggedor kesadaran kita pada pengalaman saat krisis lalu. Penarikan dana besar-besaran saat itu kemudian menimbulkan gejolak dengan dampak penularan yang sangat menekan pasar uang dan ekonomi nasional. Kalau ada perilaku "membebek" saat aliran dana tersebut masuk maka perilaku serupa juga akan terjadi saat dana itu keluar.

World Bank dalam laporannya, ''Addressing the Social Impact of the Crisis in Indonesia 1998'', menulis bahwa perubahan aliran dana luar negeri swasta di Indonesia berjumlah sekitar 22 miliar dolar AS selama setahun, dari aliran masuk 12 miliar dolar AS pada 1997 menjadi aliran keluar 10 miliar dolar AS pada 1998. Leo Gough dalam bukunya Asia Meltdown mengatakan bahwa Asia, yang semula diharapkan menjadi miracle, dalam waktu singkat berubah menjadi chaos, krisis, atau meltdown.

Modal asing yang saat itu dielu-elukan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, dalam sekejap berubah menjadi sumber krisis multidimensi. Kitapun teringat lirik lagu "Benci Tapi Rindu" yang didendangkan Diana Nasution. Kau datang dan pergi/Sesuka hatimu /Oh... kejamnya dikau/ Teganya dikau padaku."

Akankah berulang?
Masuknya aliran modal ke kawasan regional saat ini dipengaruhi oleh masih berlangsungnya kelebihan likuiditas global dan menariknya imbal hasil investasi di kawasan regional. Sementara di sisi domestik, kita melihat bahwa berlanjutnya perbaikan fundamental perekonomian menjadi faktor penting dalam menarik masuknya modal asing tersebut yang pada gilirannya mendukung penguatan nilai tukar rupiah.

Belajar dari pengalaman krisis, derasnya arus modal asing tersebut perlu kita cermati secara seksama. Hal ini agar kita dapat mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah terulangnya krisis serupa. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengingat kembali, mengapa pada tahun 1997 lalu terjadi pembalikan modal secara tiba-tiba. Untuk itu, marilah kita membandingkan berbagai indikator ekonomi utama saat ini dengan saat tahun 1997 lalu.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa kondisi saat ini jauh berbeda dengan kondisi tahun 1997. Dari aspek politik, saat ini kita tidak melihat terdapat gejolak yang signifikan seperti yang terjadi di tahun 1997. Sementara dari aspek ekonomi, kondisi fundamental makroekonomi dewasa ini juga jauh lebih baik.

Hal tersebut tercermin dari beberapa indikator ekonomi seperti stabilitas makroekonomi yang terjaga, kondisi transaksi berjalan yang surplus, cadangan devisa yang tinggi, sistem nilai tukar mengambang, kondisi fiskal yang sehat, dan kondisi perbankan yang relatif lebih baik. Stabilitas makroekonomi Indonesia saat ini terjaga dengan baik.

Pertumbuhan ekonomi terus berlangsung, laju inflasi semakin rendah, dan kondisi fiskal sehat. Sementara itu, transaksi berjalan mencapai surplus dalam beberapa tahun terakhir sehingga mencapai 9,6 miliar dolar AS pada akhir tahun 2006 dibanding defisit 5,2 miliar dolar AS pada akhir tahun 1997.

Cadangan devisa kita juga terus bertambah secara signifikan dan pada akhir April 2007 mencapai 49,3 miliar dolar AS serta terus meningkat menjadi 50,3 miliar dolar AS pada awal Mei, dibanding sekitar 20 miliar dolar AS pada tahun 1997. Dari sisi kebijakan nilai tukar, dianutnya sistem nilai tukar mengambang saat ini juga memberikan keuntungan berupa rendahnya tekanan langsung pada cadangan devisa.

Di sisi institusi, kondisi perusahaan khususnya institusi keuangan nasional juga lebih baik dibanding dengan kondisi pada tahun 1997. Kita melihat berbagai upaya penguatan sendi-sendi kelembagaan, finansial, dan operasional telah dilakukan. Perbaikan kondisi permodalan, penerapan risk management, dan konsistensi penerapan prinsip kehati-hatian bank, telah menjadi fokus perhatian dalam proses penguatan industri perbankan.

Membangun garis-garis pertahanan
Kita menyadari bahwa kondisi yang baik saat ini saja tak cukup untuk membuat modal asing itu betah berlama-lama di negeri kita. Kita memerlukan langkah lanjutan agar dana tersebut dapat bertahan dan mengalir ke sektor riil yang lebih berjangka panjang. Untuk itu, manajemen pengelolaan perekonomian nasional yang berhati-hati perlu terus dilakukan.

Kehati-hatian dalam mengelola anggaran pemerintah dan neraca pembayaran Indonesia juga menjadi hal yang penting. Selain itu, upaya memperbaiki iklim investasi juga perlu terus dilakukan. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia perlu terus memfasilitasi kegiatan perekonomian nasional dengan melakukan review aturan-aturan yang terkait dengan industri perbankan guna mendorong penyaluran kredit.

Sementara itu, second line of defence yang perlu dipertajam guna mengantisipasi apabila terjadi pembalikan modal secara mendadak adalah mempererat kerja sama regional dengan negara-negara lain di kawasan. Secara regional, kita telah memiliki perjanjian Bilateral Swap Arrangement (BSA) dengan beberapa negara (Cina, Jepang, dan Korea) yang jumlahnya mencapai 12 miliar dollar AS.

Sejarah, kata Nietzche, adalah sebuah ingatan yang disimpan dalam kesadaran kolektif dan mengendap dalam kenangan. Belajar dari pengalaman sejarah itu, kita berharap dengan upaya antisipasi yang kita dilakukan, krisis tahun 1997 tidak akan terulang lagi di negeri ini. Selain itu kita juga berharap agar para pelaku pasar, investor asing, dan pemilik dana, lebih meyakini kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1997. Bila aliran modal asing tadi dapat bersifat produktif dan terus berlama-lama di Tanah Air maka kita yakin perekonomian Indonesia dapat tumbuh secara berkualitas dan berkesinambungan. ( )

Friday, September 04, 2009

Celana Dalam dan Kesehatan Ekonomi

Seberapa sering anda membeli Celana Dalam? Meski buat beberapa orang, Celana Dalam itu sifatnya personal, dalam ekonomi tak ada yang personal. Secara agregat, Celana Dalam bisa jadi indikator akan kondisi perekonomian suatu negara. Berita di Washington Post beberapa hari lalu menulis mengenai Celana Dalam dan Resesi Ekonomi di AS. Hasil survey menunjukkan bahwa kaum pria membeli 3 hingga 4 celana dalam selama satu tahun. Saat krisis ekonomi melanda, pembelian Celana Dalam Pria merosot drastis. Rupanya, membeli Celana Dalam secara rutin bukan hanya baik bagi kesehatan diri, tapi juga baik bagi kesehatan ekonomi suatu negara.

Teorinya seperti ini : dalam keadaan krisis, pada umumnya orang akan memotong pengeluarannya. Mereka hanya akan mempertahankan konsumsi kebutuhan pokok, dan mengurangi biaya-biaya lainnya, seperti biaya hiburan, berlibur, belanja dll. Celana Dalam termasuk ke dalam kebutuhan dasar manusia yang ikut dipotong. Dalam kondisi krisis, lebih baik tidak beli celana dalam daripada tidak membeli makanan. Akhirnya penjualan Celana Dalam pun mulai merosot. Ini menjadi indikasi bahwa ekonomi berada dalam tekanan serius.

Di Amerika, ada sebuah Indeks yang dinamakan Indeks Celana Dalam Pria atau Men’s Underwear Index yang pada tahun 2008 lalu mencatat penurunan drastis setelah sebelumnya selalu mencatat pertumbuhan positif sejak tahun 2003. Namun memasuki pertengahan 2009, indeks Celana Dalam pria di Amerika Serikat menunjukkan perlambatan penurunan. Bahkan pada tahun 2010 diprediksi akan mulai menunjukkan tanda pembalikan ke atas. Masyarakat mulai kembali membeli Celana Dalam. Hal ini sungguh melegakan dan menjadi secercah cahaya akan berakhirnya resesi di Amerika.

Bagaimana di Indonesia? Apakah Celana Dalam bisa menjadi patokan berakhirnya krisis? Pembalikan ekonomi di AS tentu akan membawa dampak pada perbaikan ekonomi di dalam negeri. Namun sejak kasus “Kolor Ijo” di Bekasi beberapa waktu lalu, kisah tentang Celana Dalam di negeri ini masih berputar hanya di sekitar urusan perut. Meski demikian, kalau melihat pada indikator-indikator konvensional, krisis ekonomi nampaknya hampir berlalu. Pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II-2009 tercatat masih tumbuh positif di angka 4% dan diprediksi selama 2009 akan berada pada tingkat sekitar 4%. Di tahun 2010, pertumbuhan ekonomi akan mulai pulih dan diperkirakan dapat mencapai 5%.

Terkait dengan Celana Dalam, sebagai proxy dapat dilihat perbaikan pada penjualan ritel selama triwulan II-2009. Sektor perdagangan, yang menjadi salah satu sektor terbesar penyumbang pertumbuhan pada ekonomi Indonesia, juga tumbuh membaik. Keyakinan konsumen, dan keyakinan dunia usaha akan ekonomi Indonesia ke depan, semakin menunjukkan perbaikan. Hal itu tercermin dari membaiknya hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Perbaikan keyakinan tersebut pada gilirannya mendorong geliat aktivitas sektor-sektor ekonomi. Di triwulan III-2009 ini, perbaikan ekonomi akan menyebabkan angka pertumbuhan pada triwulan III mampu melebihi prediksi semula sebesar 3,9%.

Apakah perbaikan ini akan terus berlangsung? Kemampuan kita menggunakan momentum menjadi hal yang teramat penting dalam situasi pembalikan ekonomi yang sedang terjadi saat ini.

Sementara itu, cobalah cek lemari pakaian anda. Kapan terakhir kali anda membeli Celana Dalam?

Selamat berakhir pekan. Salam.

Ada Duri di Balik Century

If you borrow 100 dollar, you are at the mercy of the bank
But if you borrow 1 million dollar, the bank is at your mercy ….

Metafor di atas menunjukkan bahwa perbankan adalah bisnis yang penuh komplikasi. Masalah yang dihadapi bukan melulu soal tekhnis keuangan, tapi juga soal kepercayaan dan psikologi publik. Istilah “risiko sistemik” pada perbankan misalnya, kerap terjalin kusut dengan salah kaprah. Adakah sebenarnya risiko sistemik itu? Atau itu hanya istilah semantik yang digunakan politisi dalam menutupi kepentingannya?

Kasus bailout lembaga keuangan di Amerika Serikat dan Eropa, atau sejarah krisis sepanjang zaman, menunjukkan bahwa “risiko sistemik” adalah hal yang inheren dalam dunia keuangan. Itu adalah sebuah risiko akan terjadinya instabilitas di pasar keuangan yang dapat merambat ke sektor riil. Saat krisis terjadi, kepercayaan masyarakat runtuh. Saat itu, umumnya Pemerintah turun tangan mem-bail out sistem keuangan, meski misalnya, kesalahan seperti penerbitan subprime mortgage, dilakukan oleh para pemilik bank.
Kegalauan itu pula yang mengemuka dalam kasus penyelamatan Bank Century. Kita perlu membedakan antara penyelamatan Century karena risiko sistemik dengan kejahatan perbankan yang dilakukan pemilik bank. Sayangnya, isu politis telah bercampur baur dengan isu tekhnis.

Permasalahan penyelamatan bank, kejahatan perbankan, kebijakan pengawasan, hingga langkah penyelesaian, simpang siur dalam wacana publik.

Mengapa Bank Century Diselamatkan?

Banyak pendapat mengatakan bahwa Bank Century adalah bank kecil. Penutupannya dinilai lebih baik daripada penyelamatannya. Lantas, mengapa pada saat itu (akhir 2008) Bank Century tidak ditutup saja?

Sebelum menjawab hal itu, ada baiknya kita melihat pada kontekstualisasi saat peristiwa itu terjadi. Terlepas dari permasalahan yang terjadi di Bank Century, pada akhir 2008, Indonesia sedang terkena imbas krisis global yang luar biasa dahsyatnya. Saat itu, Bank Century menghadapi “sakratul maut”. Pilihannya adalah menutup bank itu atau menyelamatkannya.

Apabila melihat pada dampaknya di sektor riil dan jumlah nasabahnya, Bank Century sebenarnya termasuk ke dalam low impact bank. Jumlah nasabahnya pun hanya 65.000 orang. Artinya, apabila ada permasalahan, menutup bank ini memiliki dampak kecil ke sektor riil dan nasabah.

Namun hal itu hanyalah satu parameter dalam mempertimbangkan penutupan suatu bank. Beberapa parameter lain perlu menjadi pertimbangan, khususnya apabila melihat apakah penutupan bank itu membawa “risiko sistemik”.

Parameter pertama adalah melihat bagaimana dampak penutupan Bank Century pada bank lain. Dilihat dari parameter itu, Bank Indonesia memandang imbasnya sangat besar. Data pada waktu itu menunjukkan bahwa ada beberapa bank yang memiliki eksposur besar di Bank Century. Artinya, dana bank-bank tersebut akan “nyangkut” di Bank Century melalui fasilitas Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Beberapa bank akan mengalami masalah likuiditas. Akibatnya, rasio kecukupan modalnya (CAR) akan anjlok. Kalau CAR suatu bank anjlok, bank tersebut langsung masuk ICU, atau pengawasan khusus BI. Masalah tidak berhenti di situ, karena efeknya akan berantai ke bank-bank lainnya.

Parameter lain yang menjadikan Bank Century sistemik pada waktu itu, adalah imbasnya ke pasar modal, baik pada saham maupun obligasi. Belum lagi menghitung imbasnya pada sistem pembayaran antar bank, dan ditambah “trauma” masyarakat apabila mendengar sebuah bank “ditutup”.

Kondisi ekonomi saat itu sungguh berada dalam posisi clear and present danger. Bangkrutnya Lehman Brothers dan ditutupnya lebih dari 50 bank di Amerika, belum termasuk di Eropa, telah menimbulkan “kengerian” yang luar biasa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sistem keuangan Indonesia saat itu mengalami tekanan hebat. Kepercayaan publik terhadap perbankan merosot drastis. Hal itu dapat dilihat pada dana perbankan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang biasanya mencapai Rp 200 triliun, tiba-tiba menyusut hingga “hanya” Rp 89 triliun. Itu artinya, masyarakat beramai-ramai menarik dananya dari perbankan dalam jumlah besar. Untuk menutupi kebutuhan itu, perbankan mencairkan dana mereka di SBI.

Indikator kepanikan masyarakat juga dilihat dari anjloknya dana deposito masyarakat di bank. Menyikapi penarikan ini, bank melakukan perang suku bunga, guna menghindari penarikan lebih lanjut. Di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), bank-bank besar mulai menahan dana dan enggan saling meminjamkan pada bank yang membutuhkan. Akibatnya, bank kecil dan menengah mengalami kesulitan likuiditas.

Kondisi pasar uang saat itu, sungguh amat tegang.

Di sisi lain, ada indikator risiko gagal kredit yang dinamakan CDS (Credit Default Swap). Ini adalah indikator yang berlaku internasional untuk melihat risiko kegagalan suatu negara dalam membayar kewajibannya. Makin tinggi indeksnya, makin tinggi risikonya. Saat itu, CDS Indonesia melonjak dari angka 200 basis point (bps) menjadi 1400 bps. Risiko gagal Indonesia saat itu sungguh tinggi. Hal ini kemudian diikuti oleh penarikan dana asing yang mencapai sekitar 6 miliar dollar AS. Nilai tukar rupiah pun ikut tertekan. Masyarakat makin resah dan panik. Sebagian menarik simpanannya dan menukar ke dollar.

Penutupan bank, dalam kontekstualisasi keadaan seperti di atas, akan menyebabkan kondisi semakin tidak terkendali. Masyarakat merosot kepercayaannya pada bank. Trauma penutupan 16 bank di tahun 1998 masih jelas membayang dan menjadikan mereka gelisah.

Dari sisi ini, diperlukan sebuah professional judgement, atau executive decision yang berani. Tentu dengan segala risikonya. Bank Century pun diselamatkan.

Duri di balik penyelamatan
Namun di balik aksi penyelamatan itu, ada duri yang harus dipisahkan. Itulah kejahatan perbankan yang dilakukan oleh manajemen Bank Century. Secara diam-diam, manajemen Bank Century melakukan praktik-praktik kejahatan yang amat busuk. Beberapa praktik yang dilakukan antara lain adalah surat berharga senilai 11 juta dollar AS yang tak bisa dicairkan, letter of credit (L/C) fiktif senilai 100 juta dollar AS, pemalsuan bank note senilai 18 juta dollar AS, serta beberapa kredit fiktif lainnya bernilai jutaan dollar AS.

Kejahatan perbankan seperti itu harus ditindak secara tegas. Oleh karena itu, langkah BPK untuk menuntaskan audit investigatif terhadap dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Bank Century, ataupun permasalahan dalam penyimpangan pengucuran dana, perlu dilakukan secara serius.Di sini kita perlu melihat secara proporsional antara penyelamatan, pengawasan, dan kejahatan. Kebijakan penyelamatan, adalah sebuah langkah yang berani dan dinilai tepat untuk menghindari kegagalan lebih besar pada sistem keuangan Indonesia. Namun, apabila dalam pelaksanaan penyelamatan itu terdapat penyimpangan, ataupun kejahatan pada perbankan, maka yang perlu diusut tuntas adalah kejahatannya, dan bukan pada kebijakan penyelamatannya.

Saat puluhan bank ditutup di Amerika Serikat dan Eropa, perbankan di Indonesia justru solid di tengah guncangan krisis. Lebih dari 130 bank di Indonesia kondisinya sehat dan stabil dengan tingkat kesehatan yang baik. Bahwasanya dalam kondisi itu, ada satu atau dua bank yang sakit karena berbagai sebab, tentu memprihatinkan kita. Namun kiranya pandangan proporsional perlu diberikan pula pada berhasilnya pengawasan di 130 bank yang sehat.

Mudah-mudahan kita bisa berpikir jernih dalam melihat kasus Bank Century. Mudah-mudahan kita tidak terseret pada diskusi semantik tentang risiko sistemik, apalagi isu-isu politis yang membelokkan isu sebenarnya.

Salam.

Wednesday, September 02, 2009

Malaysia Tetap Negara Favorit Kita

Nasionalisme kadang hadir dalam wajah ganda. Pemahamannya pun berupa makna. Di satu sisi, kita bisa saja berkata cinta produk dalam negeri. Namun di sisi lain, kita sekaligus pecinta produk luar negeri. Di satu sisi, kita mengecam penjiplakan budaya kita. Tapi di sisi lain, kita dengan mudahnya menjiplak budaya asing. Pun demikian halnya dalam menyikapi kasus klaim Malaysia atas budaya kita. Meski banyak yang menghujat dan mengecam Malaysia, terkait dengan iklan pariwisatanya, bangsa kita tetap menjadikan Malaysia tujuan pelancongan. Iklan pariwisata Malaysia yang ditayangkan, sanggup membetot hati para pelancong negeri ini untuk selalu berkunjung ke Malaysia.

Dari data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) Triwulan II-2009 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, jumlah WNI yang bepergian ke luar negeri meningkat 13%, menjadi 1,3 juta orang. Ke mana mereka pergi? Daerah favorit turis Indonesia adalah Singapura (44%) dan Malaysia (25%), kemudian diikuti oleh Australia (6%), Thailand (4%), dan Amerika Serikat (4%). Dana yang dikeluarkan oleh para turis itu, atau dana yang keluar dari Indonesia untuk perjalanan itu adalah sebesar 1,2 miliar dollar AS. Itu artinya, selama triwulan II-2009, ada dana sebesar 1,2 miliar dollar AS yang dibelanjakan penduduk Indonesia di luar negeri.

Setelah Singapura, Malaysia adalah negara favorit tujuan wisata pelancong WNI. Jumlah wisatawanpun meningkat setiap waktu. Iklan turisme, penerbangan murah, menjadi perangsang turis Indonesia untuk melancong ke Malaysia. Tamasya ke Malaysia juga sangat mudah dan mengasyikkan. Infrastruktur, akomodasi, transportasi, hingga kemudahan papan penunjuk jalan menjadikan wisata ke Malaysia sangat menyenangkan. Kesiapan infrastruktur transportasi memungkinkan pengunjung memiliki banyak pilihan untuk melakukan mobilitas, mulai dari kereta komuter, monorail, ERL, taksi, bus, hingga sepeda motor. Meski tak banyak dibanding negeri kita, Malaysia memberikan pula pilihan wisata. Mulai dari mandi matahari di pantai Pulau Redang, bersnorkeling dalam kejernihan air Pulau Langkawi, merasakan manisnya strawberry di Dataran Tinggi Cameron, hingga menguji adrenalin di Genting Highlands.

Upaya meningkatkan pariwisata sebagai tulang punggung pendapatan, dilakukan dengan sangat serius oleh Pemerintah Malaysia. Dari sebelumnya, menempati posisi ke-16 penghasil devisa, kini pariwisata Malaysia adalah 5 besar penyumbang devisa negeri itu. Dalam setahun, penghasilan Malaysia dari sektor pariwisata mencapai 14 miliar dollar AS, atau dua kali lipat Indonesia, yang “hanya” 7 miliar dollar AS. Pilihan tempat wisata, keanekaragaman hayati, alam, dan keindahan budaya, yang dimiliki Indonesia, ternyata tidak otomatis mampu mendatangkan turis. Bahkan turis Indonesiapun masih memilih untuk berlibur ke Malaysia.

Dari data Neraca Pembayaran, Malaysia …. memang truly Asia. Salam.

Thursday, August 13, 2009

Rahasia Kebugaran Mbak Ani

(Diposting pula di Kompasiana)

Bagi mereka yang pernah mengikuti proses penyusunan APBN di DPR tentu akan merasakan betapa panjang dan melelahkannya proses itu. APBN harus dibahas terlebih dahulu dengan Komisi XI DPR RI. Setelah itu dibawa ke Panitia Anggaran. Dari situ, dibahas dalam Panitia Kerja, sebelum akhirnya dibawa kembali ke Rapat Paripurna Panitia Anggaran. Prosesnya bisa memakan waktu lebih dari satu bulan dengan rapat marathon hingga dini hari. Perdebatan dan perbedaan kepentingan sangat mewarnai proses pembagian anggaran. Apalagi kalau sudah sampai pada pembagian anggaran ke dalam kantong Departemen atau sektor tertentu, prosesnya sangat alot dan melelahkan.

Tak sedikit rekan-rekan dari Pemerintahan yang jatuh sakit dalam proses panjang itu. Mulai dari flu hingga badan meriang. Namun, bagi Mbak Ani, atau Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, proses itu dijalaninya dengan selalu riang dan bugar. Berbagai pertanyaan yang tajam, kritis, dan kadang ngeyel tetap dilayaninya dengan senyum. Hingga akhir pembahasan, Mbak Ani tetap tampil ceria. Padahal pekerjaannya bukan hanya rapat di DPR, melainkan juga setumpuk pekerjaan di Pemerintahan. Apa rahasianya?

Dari hasil pengamatan dan bincang-bincang dengan para ajudan, memang mbak Ani selalu menjaga kebugarannya. Selain itu, ada satu hal yang selalu dibawa ajudan setiap mbak Ani ikut sidang di DPR, dan itu adalah dua botol termos. Sebelum mbak Ani datang, termos sudah meluncur lebih dahulu dibawa ajudan. Termos mencari posisi di depan meja Mbak Ani. Kalau bahan Rapat boleh saja ketinggalan, karena staf mbak Ani pasti membawakan. Tapi termos ini jangan sampai ketinggalan, demikian menurut Ajudan. Meski di ruang rapat disediakan minuman atau makanan, termos favorit mbak Ani tetap hadir mendampingi. Ajudan biasanya meletakkan dengan hati-hati, memutar tutupnya untuk mengecek kesegaran isinya, dan mempersiapkan gelas di samping termos tersebut.

Apa isi kedua termos itu? Termos pertama berisi “Sari Jeruk Segar Dingin”. Sementara termos kedua berisi “Kopi”. Kata ajudan, mbak Ani sendiri yang memeras jeruk dan membuat kopi itu setiap pagi. Jeruk segar dingin memang penuh kelezatan dan mengandung vitamin C yang baik untuk tubuh. Sari jeruk dingin ini diperas khusus, dan bukan diambil dari sirup. Mbak Ani bisa membedakan mana sirup dan mana jeruk asli. Seperti Miss Universe yang selalu tampil segar dalam iklan vitamin C, maka mbak Ani juga tampil segar dengan Sari Jeruk Dinginnya.

Lantas, kenapa kopi? Karena kopi mengandung zat kafein yang mampu membuat kita tahan kerja lebih lama. Menurut penelitian, efek positif dari kafein antara lain: menambah kecepatan berpikir dan inspirasi, menyembuhkan rasa ngantuk dan kelelahan, peningkatan sensor stimuli dan reaksi motorik. Kopi juga bermanfaat bagi kecantikan karena mampu mengangkat sel kulit mati dan menggantikannya dengan yang baru. Bahkan kini juga mulai dikenal luluran kopi di berbagai salon kecantikan.

Di atas kedua termos tersebut ditempeli label, supaya mbak Ani tidak tertukar kalau mau minum. Sebab, mbak Ani tidak minum keduanya secara random. Kalau dicermati, bila keputusan rapat menyenangkan hati dan sesuai dengan perkiraan, biasanya mbak Ani mengambil sari Jeruk. Tapi bila rapat kelihatan bakal deadlock dan panjang, ia membuka termos kopi. Dengan kebugaran seperti itu, nampaknya mbak Ani masih akan tetap bugar lima tahun ke depan.

Selamat mencoba jeruk dan kopi. Salam.

Sandal Jepit dan Ekonomi Indonesia

(Diposting juga di Kompasiana)

Gedung pencakar langit di ibukota tak selalu berarti kementerengan. Di balik ruangan dingin ber-AC, wallpaper nan indah, sampai penampilan para pekerja yang mentereng, selalu ada hakikat asali dari diri kita. Setidaknya itulah yang terjadi di kantor saya. Saat hari beranjak siang di kantor, pemandangan para pekerja yang tampil mentereng, perlahan mulai berubah.
Sebut saja namanya Dewi. Ia rekan kerja saya yang cantik dan manis. Penampilannya tipe wanita karir. Baju bermerek, busana stylish, parfum semerbak, dan sepatu berhak tinggi mengkilat. Ia lulusan S-2 dari universitas ranking teratas di Amerika. Pengetahuannya jangan diragukan. Pengalaman dan pergaulannya luas.

Tapi, saat bekerja di kantor, Dewi selalu menggunakan sandal jepit. Sambil bersandal jepit, Dewi bekerja, menerima telpon, dan melakukan analisis pasar dengan tajam. Di sekitar Dewi, banyak para pekerja kantor yang secara diam-diam atau terang-terangan, juga memakai sandal jepit. Sepatu berhak tinggi dan mengkilat diparkir di bawah meja. Saya sendiri selalu menggunakan sandal jepit. Baik untuk sholat ataupun untuk bekerja, sandal jepit memang nyaman. Kalau mau jujur, lihatlah di kolong-kolong meja para eksekutif di kantor mewah. Hampir dipastikan kita menemukan sandal jepit.

Sandal jepit, selain memberi kenyamanan adalah juga sebuah kejujuran. Sandal jepit adalah sebuah nilai tradisional yang dimiliki bangsa kita untuk berontak terhadap hegemoni sepatu. Sandal jepit merupakan makna “Ada” bagi kita. Eksistensi kita tercermin dari kenyamanan kita dengan sandal jepit. Memakai sandal jepit, berarti juga mengakui hakikat bangsa ini yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa agraris dan maritim.

Sejak dahulu, nenek moyang kita tidak pernah memakai sepatu. Mereka ke sawah ataupun melaut, tanpa beralas kaki (nyeker). Sepatu masuk ke negeri ini dibawa oleh para penjajah Belanda. Sepatu modern baru ditemukan di wilayah Eropa pada tahun 1800-an. Sejak saat itu, para petinggi pribumi mulai mengenal sepatu. Tapi rakyat kebanyakan, masih nyeker.
Sebagai penganut chaos theory, ataupun web of life dari Fritjof Chapra, saya kerap mengaitkan berbagai fenomena menarik pada kondisi ekonomi bangsa. Dari sandal jepit saya berpikir, di balik kemajuan dan kemewahan mall-mall, di balik kata pembangunan gedung mewah dan teknologi, sesungguhnya kita ini bangsa yang rindu pada kekuatan asali bangsa, yaitu bangsa agraris dan maritim.



Kalau kita lihat kekuatan ekspor bangsa Indonesia, hampir didominasi oleh ekspor komoditas alam dan hasil bumi. Dalam beberapa triwulan ini, ekspor CPO dan batubara tumbuh meningkat seiring dengan membaiknya permintaan internasional (Grafik). Dulu, ekspor beras, karet, dan minyak bumi, menjadi kekuatan bangsa ini. Berbeda dengan Korea Selatan atau Jepang, yang kekuatan ekspor negaranya terletak pada industri semikonduktor, otomotif, dan produk komunikasi, bangsa kita masih tradisional dan “hanya” mengekspor hasil bumi. Meski kelihatan tradisional, tapi itulah hakikat dan jati diri bangsa ini. Upaya mengingkarinya sama dengan memakai sepatu mengkilat dan berhak tinggi. Hanya terlihat mentereng, tapi hati kecil berontak dan mencari kembali sandal jepit.

Oleh karenanya, upaya penguatan industri, jatah anggaran pemulihan ekonomi, kiranya perlu fokus pada industri yang menjadi kekuatan bangsa ini, seperti pertanian, pertambangan, dan maritim. Sektor kelautan adalah sektor yang kerap terpinggirkan, meski bangsa Indonesia adalah bangsa maritim dengan mottonya yang terkenal dulu “Di Laut Kita Jaya”. Namun kini, sektor itu belum jadi “jagoan”. Coba tengok keberpihakan pemerintah pada pengembangan sektor kelautan yang masih minim. Fokus industri maritim masih belum optimal. Selain itu, rencana anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan 2010 juga turun menjadi Rp 3,1 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 3,4 triliun.

Seperti sandal jepit, mungkin kini saatnya kita jujur pada diri kita. Bahwa kita ini pada hakikatnya adalah bangsa petani dan nelayan. Basis industri kita adalah usaha kerakyatan atau usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kita bukan bangsa yang sophisticated dengan hiruk pikuk pasar keuangan dan tekhnologi, semikonduktor, otomotif, dan perangkat komunikasi. Kita adalah bangsa petani dan nelayan. Upaya mensofistikasi industri dan tekhnologi, ada baiknya diarahkan pada industri pertanian, pertambangan, dan kelautan. Thailand tidak malu dengan hakikat diri tersebut, dan telah membuktikan bahwa bangsa petani dan umkm juga bisa berkiprah di dunia internasional.

Dari sandal jepit di kantor, kita memahami arti “Ada”. Dengan demikian, kita tak perlu lagi bingung untuk memulai dari mana membangun basis kekuatan ekonomi kita. Salam.

Ekonomi Indonesia Pasca Teror Bom

Diposting pula di Kompasiana

Tak dapat dipungkiri, teror bom Ritz Carlton dan JW Marriot tanggal 17 Juli 2009 lalu akan membawa persepsi negatif bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Baru saja, beberapa pekan lalu, IMF mengeluarkan outlook yang positif tentang Indonesia. Dan baru saja, ekonomi Indonesia dipuji dalam berbagai fora internasional. Namun, semua itu seolah sirna dengan terjadinya bom. Kejadian itu dikhawatirkan dapat menghapus prestasi di bidang ekonomi yang telah diraih secara susah payah selama 4 tahun terakhir ini.

Apakah ekonomi Indonesia akan terpengaruh oleh ledakan bom tersebut? Dalam jangka pendek mungkin akan ada dampaknya. Dampak bom terhadap ekonomi kemungkinan akan dirasakan dalam 2-3 bulan mendatang. Apabila kita melihat pada data perkembangan kejadian terorisme di Indonesia, dampak langsungnya adalah pada penurunan PDB, secara khusus pada subsektor pariwisata yang ditunjukkan oleh menurunnya jumlah wisatawan manca negara.

Dari grafik terlihat, setiap terjadi bom, jumlah wisatawan manca negara yang datang ke Indonesia langsung menurun. Meski dampak kasus Bom Bali dan Jakarta tidak sama, karena Bali adalah daerah wisata, keduanya kita perbandingkan dalam satu grafik untuk mempermudah. Usai Bom Bali 2002, Bom Marriot 2004, Bom Kedubes Australia 2004, dan Bom Bali jilid II 2005 (tanda panah), pertumbuhan di sektor pariwisata Indonesia turun drastis. Tahun 2005 misalnya, terjadi penurunan pada subsektor perhotelan dan pariwisata dari sekitar 8% menjadi 6%.

Namun apabila dilihat secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru terlihat mampu bertahan dari dampak ledakan bom. Setelah ledakan Bom Bali Oktober 2002 misalnya, PDB triwulan IV-2002 memang turun drastis menjadi 2,61% dibanding triwulan sebelumnya. Sektor pariwisata turun 0,9%. Namun di awal 2003, PDB sudah dapat tumbuh kembali 2,04%, termasuk sektor pariwisata tumbuh 0,47%.

Setelah ledakan bom Marriot Agustus 2003 dan ledakan bom di kedutaan Australia September 2004, terjadi hal serupa. PDB turun pada triwulan III-2003 dan Triwulan III-2004 turun menjadi 3,97% dan 5,10%. Namun PDB kembali tumbuh pada triwulan IV-2003 dan Triwulan IV-2004 menjadi 4,95% dan 6,65%. Secara umum, bahkan pertumbuhan ekonomi kita berangsur membaik dari tahun 2003 hingga 2005, dari 4,9%. 5,1%, dan 5,6%.

Di pasar uang, ketahanan ekonomi relatif lebih baik. Nilai tukar rupiah pada umumnya akan berfluktuasi usai serangan bom. Namun relatif kembali stabil dalam waktu cepat. Hal sama terjadi pada IHSG. Di sisi moneter, kemampuan Bank Indonesia meredam dampak moneter dari kejadian bom juga cukup baik. Perkembangan uang beredar dapat dikendalikan stabil, dan inflasi juga terkendali sebesar 5,06% dan 6,4% pada tahun 2003 dan 2004.

Dari data di atas, ekonomi Indonesia terbukti relatif tahan terhadap guncangan bom. Meski sempat mengalami gangguan dalam jangka pendek, penyesuaian berlangsung cukup cepat. Pesimisme biasanya muncul dari kalangan pengusaha dan investor asing. Namun melihat sampai saat ini pertumbuhan investasi belum terlalu optimal di negeri ini, mudah-mudahan dampak ke depan tidak terlalu parah. Pengalaman di atas memberi kita sedikit optimisme dalam melihat kinerja ekonomi Indonesia ke depan.

Perkembangan ekonomi secara umum memang bukan ditentukan oleh faktor sentimen semata, namun juga oleh faktor fundamental. Keduanya harus saling mengisi. Kemampuan kita menyeimbangkan antara faktor fundamental dan sentimen sungguh penting untuk menjaga keberlangsungan ekonomi kita ke depan. Mudah-mudahan, kabinet yang tinggal beberapa bulan ini masih dapat bekerja secara optimal dalam menyikapi guncangan. Salam.

Pahlawan yang Takut Pulang ke Negerinya Sendiri

(Diposting juga di Kompasiana)

Dalam perjalanan pulang dari Korea Selatan beberapa waktu lalu, saya duduk bersebelahan dengan seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bernama Herry. Ia telah bekerja di Korea Selatan lebih dari tiga tahun, tepatnya di wilayah Chungduk, pada sebuah pabrik bahan kimia. Di pabrik itu, bekerja lebih dari 100 orang Indonesia. Selama bekerja, mereka diperlakukan secara baik, hidup terjamin, dan penghasilannya bisa dikirimkan secara rutin ke kampung halamannya.

Setelah bekerja 3 tahun, Herry ingin pulang ke kampungnya di Cimahi untuk mengurus beberapa dokumen. Sepanjang jalan, ia minta bantuan saya agar bisa turun bersama di terminal penumpang biasa. Ia minta saya untuk mengajaknya sebagai kawan dalam rombongan. Ketika saya tanyakan kenapa, ia hanya berkata takut untuk turun di Terminal khusus TKI. Ia khawatir mendapat perlakuan seperti teman-temannya, yang sampai harus keluar uang banyak sebelum sampai ke kampungnya. Birokrasi dan transportasi di luar bandar membuatnya takut. Entah benar atau tidak, tapi saya menangkap ketakutan di wajahnya. Padahal dalam pikiran saya, terminal khusus TKI seharusnya mempermudah para TKI ini. Saya mencoba meyakinkannya, tapi ia tak yakin juga. Mungkin karena saya sendiri juga tidak yakin.

Turun dari pesawat, saya melihat spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Pahlawan Devisa”. Sebuah slogan yang sangat menyejukkan hati. Tentu saja hati saya, bukan hati mas Herry. Baginya, slogan tak ada arti tanpa aksi. Karena ia tetap ketakutan.

Mudah-mudahan apa yang ditakutkan Herry hanya sebuah ketakutan belaka. Sebab nasib seperti Herry ini sungguh memiriskan. Mereka yang bekerja dan menopang kekuatan ekonomi negeri ini, harus mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Belum lagi nasib TKI kita di negeri lain yang harus mengalami siksaan dan cobaan hidup. Kebanggaan dan harga diri mereka sebagai TKI kurang dihargai.



Seminggu sebelumnya, saya terlibat diskusi hangat bersama rekan dari Bangko Sentral Ng Pilipinas (Bank Sentral Filipina). Kami bertukar cerita mengenai kondisi ekonomi, secara khusus tentang ketahanan eksternal perekonomian. Di Filipina, pendapatan dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri (TKI) menjadi salah satu pilar terbesar yang menopang kekuatan ekonomi. Dalam setahun, pendapatan remitansi mereka mencapai hampir 17 miliar dollar AS. Mereka juga dengan bangga menyebutkan negara mereka berbasis pada “Overseas Workers Remittances”. Kalau melihat website Bank sentralnya, data Remitansi menjadi bagian dari pilar Neraca Pembayarannya. Di sisi lain, Tenaga Kerja mereka juga memiliki kebanggaan dan dihargai di negerinya sendiri.

Saat krisis melanda tahun 2008 lalu, hal yang paling menggalaukan kita adalah meningkatnya risiko Indonesia. Salah satu indikator yang digunakan adalah Currency Default Swap (CDS). Ini adalah peringkat risiko yang menunjukkan kerentanan suatu negara dalam memenuhi kewajibannya, khususnya kewajiban Luar Negeri. Hal yang memprihatinkan adalah, Filipina dianggap lebih baik dari Indonesia. Mereka memiliki level CDS yang lebih rendah. Bila CDS Indonesia saat krisis sempat mencapai hampir 800 bps, maka Filipina hanya berada di level lebih rendah dari 350 bps. Artinya, risiko “default” negeri kita, jauh lebih besar dari Filipina.

Satu hal yang membuat Filipina lebih kokoh adalah pemasukan devisa yang pasti dari pekerja mereka di luar negeri, yaitu sebesar 17 miliar dollar AS. Pendapatan ini tidak terganggu oleh krisis karena mereka bekerja di bidang-bidang tugas yang tidak terkena dampak krisis, seperti kesehatan dll. Sebaran pekerja mereka di luar negeri pun tidak hanya terkonsentrasi di AS saja.
Sementara di Indonesia, penghasilan dari TKI yang tercatat di Neraca pembayaran kita “hanya” sekitar 6-7 milliar dollar AS. Belum banyak memang.


Tentu banyak perbedaan antara TKI Indonesia dan Filipina. Kompetensi mereka, kemampuan berbahasa dan skill, yang semuanya terkait dengan keseriusan, keteguhan Pemerintah, dan paradigma kita dalam menjadikan TKI sebagai sumber devisa. Hal ini butuh lebih dari sekedar slogan. Selain itu, harga diri dan kebanggaan mereka sebagai TKI perlu diangkat. Dan pada ujungnya, kesiapan kita untuk “legowo” dan bangga sebagai bangsa TKI perlu ada. Karena mereka memang adalah, pahlawan devisa.

Salam

Sunday, July 12, 2009

Indonesia Masih Paling Bahagia

(Diposting juga di Kompasiana)

Di tengah gemuruh politik, makin sulitnya hidup, serta tingginya kemiskinan dan pengangguran, Indonesia masih termasuk dalam bangsa yang paling bahagia sedunia. Hasil penelitian Prof. Ronald Inglehart (2008) dari Michigan University menunjukkan hal tersebut. Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang pas-pasan, ternyata bukan jaminan negara kita tidak bisa bahagia. Penelitian ini mengonfirmasi apa yang pernah dimuat oleh Majalah Time pada tahun 2004 tentang “The Science of Happiness” yang memuat kesimpulan sama, bahwa Indonesia memang negara bahagia. (Artikel terkait “Negara Paling Bahagia Sedunia“).

Prof Ingelhart melakukan survey data sejak tahun 1981 hingga 2007 pada hampir 90% dari populasi dunia dan mencakup lebih dari 52 negara. Survey itu dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup penduduk dunia. Kedua faktor tersebut dihitung dalam sebuah komposit yang dinamakan Subjective Well Being (SWB). Kebahagiaan adalah tujuan utama semua orang di dunia ini. Berbagai cara ditempuh, berbagai ilmu dilahirkan, dan berbagai kebijakan dikeluarkan, untuk menjawab pencarian itu. Kebahagiaan tentu berbeda dengan kesenangan. Orang yang senang belum tentu orang yang bahagia. Pleasure is different with Happiness, demikian ungkap para filsuf. Kahneman (2004) mengatakan bahwa berpesta, bermain, shopping, rekreasi, dan kegiatan hedonistik lainnya hanya mengakibatkan kesenangan. Sementara, hubungan kesenangan dengan kebahagian terbukti lemah. Banyak orang mengatakan bahwa salah satu sumber kebahagiaan adalah memiliki anak. Namun kegiatan membesarkan anak, jauh dari kegiatan hedon. Mulai dari mengganti popok, bangun tengah malam, mengajar anak, dan lain sebagainya membutuhkan pengorbanan yang tidak menyenangkan. Toh, memiliki anak tetap menjadi sumber kebahagiaan banyak orang.

Lantas apa yang membuat Indonesia menjadi negara bahagia di dunia. Penelitian Inglehart menunjuk pada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kebahagiaan. Ada 3 faktor yaitu, pembangunan ekonomi, demokratisasi, dan kebebasan sosial. Beberapa faktor lain yang berdampak pada kebahagiaan adalah kepercayaan pada Tuhan dan keluarga.

Pembangunan ekonomi menjadi salah satu faktor dalam mencapai kebahagiaan. Pembangunan ekonomi yang berkesinambungan memberikan masyarakat pilihan hidup yang lebih banyak. Namun hubungannya dalam membuat bahagia ternyata paling lemah. Beberapa negara yang memiliki GDP tinggi memang cenderung bahagia. Namun sekelompok negara, seperti negara Amerika Latin, dan juga Indonesia, memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi, meski GDP-nya rendah. Amartya Sen kemudian menyebutkan unsur lainnya, yaitu demokratisasi dan kebebasan sosial. Ini adalah kunci dalam mencapai kebahagiaan. Pembangunan ekonomi yang tidak memuat unsur kebebasan, hanya akan meningkatkan kepuasan hidup, namun belum tentu meningkatkan kebahagiaan.

Penelitian Inglehart tersebut menarik untuk kita cermati. Meski Indonesia banyak dilanda oleh krisis di berbagai segi, kemampuan meningkatkan kebahagiaan adalah sisi lain. Kita perlu menyadari bahwa pembangunan ekonomi yang hanya berfokus pada pertumbuhan memang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun, fokus pembangunan tak cukup hanya diarahkan pada angka-angka pertumbuhan, mengingat lemahnya hubungan dalam mencapai kebahagiaan. Unsur-unsur nonekonomi dan kultural memegang peranan penting dalam menggapai kebahagiaan. Kemampuan negara menjamin kebebasan berpendapat dan terlaksananya proses demokratisasi, menjadi salah satu ukuran kebahagiaan.

Pertanyaannya adalah, sampai kapan kebahagiaan ini bertahan? Nampaknya ini menjadi tantangan kita dan para pemimpin kita ke depan. Bahwa pembangunan ekonomi tak akan pernah cukup. Pemimpin harus mampu menjamin kebahagiaan warganya. Untuk itu, mereka perlu memahami esensi kebahagiaan.

Di beberapa negara, kebahagiaan juga menjadi tujuan. Kalimat terkenal dalam Deklarasi Independen Amerika adalah, “Life, liberty, and the pursuit of happiness “.Sementara di Indonesia, kalimat terkenal di pembukaan UUD 45 kita adalah, “… Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Penelitian Prof Inglehart tentu masih bisa diperdebatkan. Apakah kebahagiaan di negeri ini menjadi tujuan, atau justru alat untuk bertahan hidup. Kalau hidup sudah sulit dan tidak bahagia, repot bukan. Oleh karenanya, di sini saya tidak akan bertanya, apakah kita benar-benar sudah bahagia?

Karena kata guru saya, “Ask yourself whether you are happy. Then you stop being happy”.
Ketika kita bertanya, apakah kita bahagia, maka pada saat itu kita berhenti menjadi bahagia.

Salam

Tuesday, May 26, 2009

Boediono dan Neoliberalisme

(Posting di Kompasiana)

Perkenalan saya dengan pak Boediono mungkin tak terlalu lama. Namun dalam beberapa bulan terakhir, saya kerap kali bertemu dan berdiskusi dengan pak Boed, baik dalam rapat formal, maupun sekedar ngobrol-ngobrol ringan. Persis sebagaimana cerita orang, ia adalah orang yang hati-hati dan irit dalam berbicara. Demikian pula dalam pemikiran ekonomi, ia sungguh penuh perhitungan.
Saya tidak membahas pemikiran ekonomi Pak Boed, ataupun bermaksud mendukung dan membela pak Boed, namun lebih fokus pada sebuah isu yang selama ini ditudingkan kepadanya, yaitu sebagai agen Neoliberalisme. Sebelum menyimpulkan apakah pak Boed itu seorang neolib atau bukan, hal terpenting bagi kita adalah memahami apa itu ”binatang” neoliberalisme. Hal ini mengingat dalam beberapa waktu belakangan, kata ”Neoliberalisme” kerap digunakan secara longgar dan terlalu mudah disematkan pada berbagai kesempatan.
Bagi yang mengenal pak Boed, baik dari sisi moral maupun profesional, tudingan neolib akan terasa salah alamat. Secara moral, kepentingan kekuasaan dan uang bukan menjadi ciri pak Boed. Secara profesional, pandangan ekonominya justru lebih banyak bicara dari sisi kerakyatan, bukan seperti yang didengungkan selama ini tentang neoliberal.
Memahami neoliberalisme, tak cukup hanya melihat dari sisi tekhnis ekonomi, namun juga perlu dipahami fondasi filosofinya. Secara fondasi filosofi, neoliberalisme sering disalahartikan secara longgar. Seolah-olah kapitalisme dan pasar bebas itu adalah neoliberalisme. Seolah-olah mereka yang mengikuti petuah IMF dan World Bank, otomatis adalah seorang neoliberalis. Padahal tidak selamanya begitu.
Neoliberalisme juga kerap diciutkan pada trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi. Trio kebijakan tersebut memang merupakan motor dari kebijakan ekonomi neoliberal. Namun, tidak semua bentuk deregulasi-liberalisasi-privatisasi merupakan agenda neoliberal.
Neoliberalisme memiliki makna lebih luas dari itu semua. Ia adalah radikalisasi dari kapitalisme dan prinsip pasar bebas ke seluruh bidang kehidupan manusia. Penganut neolib, bukan sekedar melihat persoalan dalam statistik ekonomi belaka, melainkan sudah membangun ideologinya tentang ekonomi pasar pada kehidupan manusia dan pengaturan masyarakat. Dalam pandangan seorang neolib, hubungan manusia dipandu oleh prinsip transaksi laba rugi yang berlaku dalam ekonomi pasar.
Pandangan ini bermula dari pecahan Mazhab Freiburg, yaitu mazhab Chicago, yang disponsori oleh Friedrich von Hayek dan Milton Friedman. Dalam salah satu artikelnya, Friedman mengatakan, ”Kapitalisme adalah prasyarat kebebasan politik”. Gary Becker, salah seorang ekonom Mazhab Chicago kemudian mengatakan’”ekonomi memberikan semesta pendekatan paling komprehensif untuk memahami semua perilaku manusia”. Dari sini, berkembanglah kodrat manusia sebagai mahluk ekonomi.
Manusia kemudian diwujudkan dalam sosok makhluk pengusaha, yang memandang segala sesuatunya sebagai perusahaan yang mencetak laba. Mulai dari tanah, pendidikan, kesehatan, hingga kehidupan sosial, hubungannya adalah seberapa besar ia bisa mencetak laba. Menurut B. Herry Priyono, dalam pandangan Neolib, tidak ada kesehatan, yang ada bisnis rumah sakit. Tidak ada pendidikan, yang ada bisnis sekolah, bukan pasien melainkan konsumen pengobatan. Bukan guru, melainkan penjual pelajaran. Pada akhirnya tak ada lagi perbedaan antara ekonomi pasar (market economy) dan masyarakat pasar (market society).
Krisis ekonomi global yang terjadi, menunjukkan betapa neoliberalisme bekerja dengan dahsyat dan mengutamakan syahwat laba. David Harvey menulis bahwa neoliberalisme adalah juga berarti finansialisasi segalanya, yang ditujukan untuk mencetak laba. Tak heran, terjadi bubble yang luar biasa radikal di pasar keuangan negara industri maju. Kapital telah tercerabut dari faktor produksi tenaga kerja dan sumber daya alam. Kapital telah menguasai ekonomi di semua sektor, mengatur kehidupan masyarakat, bahkan pada relasi antar manusia yang melihat seseorang dari seberapa besar ia memiliki kapital.
Bagi para penganut neolib, tak cukup hanya ada prinsip pasar pada barang/jasa ekonomi, melainkan harus berada pada seluruh aspek kehidupan. Pasar adalah segalanya, tak boleh ada yang lain.
Dari sini, kita kembali pada pertanyaan, apakah pak Boed memercayai radikalisasi pasar tersebut. Inti dari ”agama” Neolib dapat dilihat dari jawaban atas pertanyaan, ”Apakah pak Boed percaya bahwa ekonomi dan finansial adalah satu-satunya jawaban bagi penciptaan tatanan di negeri ini?”. Bila ia percaya, maka ia seorang Neolib, bila tidak, tentu ia bukan Neolib.
Untuk itu, ada baiknya kita membaca dan mengikuti beberapa pemikirannya. Dalam pidato awal tahun 2009 di hadapan para bankers yang berjudul “Hidup di tengah Krisis”, Pak Boed justru menyampaikan bahwa ekonomi kita perlu kembali ke akarnya, perbankan kita perlu “back to basic”, dan kehidupan masyarakat tak ditentukan melulu dari sisi pasar. Ia mengatakan :
“Salah satu pelajaran yang paling mendasar dari krisis ini adalah pentingnya bagi kita untuk kembali ke khittah, “back to basics”. Marilah kita lihat mengapa demikian. Krisis yang kita hadapi sekarang ini dapat dilihat sebagai konsekuensi dari perkembangan sektor keuangan yang lepas dari akarnya yaitu kegiatan ekonomi riil. Perkembangan yang luar biasa dari sektor keuangan di banyak negara selama lebih dari satu dasawarsa terakhir bersumber dari perkembangan inovasi produk keuangan dan inovasi kelembagaan keuangan yang juga luar biasa.”
Dalam kesempatan tersebut, pak Boed juga mengemukakan pentingnya peranan UMKM sebagai basis fundamental ekonomi Indonesia. Untuk itu, skema kredit kepada UMKM perlu didukung penyalurannya.
Selain itu, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di UGM, Pak Boed mengatakan pentingnya peran Pemerintah dalam mendorong proses pembangunan yang mensejahterakan rakyat, serta memberi perhatian khusus pada pentingnya pendidikan melalui proses belajar mengajar yang efektif. Ekonomi bukanlah semata mata jawaban bagi terwujudnya sebuah tatanan. Ragam hubungan manusia bisa dikategorikan dalam hubungan kultural, politik, legal, sosial, estetik, spritiual dan lain sebagainya.
Tentu saja tulisan ini merupakan simplifikasi dari cerita dan sejarah panjang neoliberalisme. Namun, dari berbagai deskripsi di atas kiranya kita dapat menyimpulkan apakah seseorang Neolib atau bukan. Dan selanjutnya, kita juga bisa menerka-nerka, adakah di antara pengelola negeri ini yang sebenarnya justru agen Neolib. Saya serahkan sepenuhnya kepada anda.
Salam.

Thursday, April 16, 2009

Rupiah dan Rapuhnya Sayap Kupu-Kupu

Rupiah yang makin menguat dalam dua pekan terakhir ini menimbulkan H2C (Harap Harap Cemas) dari para pelaku pasar. Di satu sisi, penguatan Rupiah ditanggapi positif karena menunjukkan kepercayaan pasar yang membaik. Namun di sisi lain, banyak pihak yang khawatir apabila penguatan tersebut terjadi terlalu cepat. Risiko yang mungkin terjadi adalah pembalikan arah dan dampak negatifnya ke ekspor Indonesia.

Lantas, sampai kapan Rupiah akan terus menguat? Dan apakah penguatan itu perlu dihambat? Pertanyaan ini tentu masih memburu jawaban.

Sejak pekan lalu Rupiah berlari kencang, menguat lebih dari 5% dalam sepekan, dari Rp11.380 per dollar AS menuju Rp10.750 per dollar AS pada akhir pekan ini (16/4). Rupiah bahkan mencatat sebagai mata uang terbaik di wilayah regional, atau yang paling menguat dibanding mata uang lain. Kecepatan penguatan itu dipicu oleh perkembangan sentimen yang membaik, di pasar global maupun domestik. Di pasar global, rencana stimulus fiskal pemerintah China, dan perbaikan ekonomi di Jepang, telah memicu sentimen positif di pasar regional.

Di dalam negeri, pelaksanaan pemilu yang damai telah meningkatkan selera risiko (risk appetite) para pelaku pasar terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Saat ini, Indonesia dianggap sebagai negara yang “paling menarik” di Asia Tenggara, baik di sisi ekonomi maupun politik. Kalau dibandingkan dengan Singapura yang mencatat prospek pertumbuhan negatif hingga 9%, atau Thailand yang masih dilanda ketidakpastian politik, Indonesia memang terlihat lebih “sexy”. Rupiahpun diburu oleh para pemilik modal.

Rendahnya imbal hasil surat-surat berharga di negara maju, maupun di negara tetangga, telah mendorong investor membeli surat-surat berharga rupiah. Akibatnya, dana asing berebut untuk berpindah ke Indonesia. Dalam dua pekan ini, pelaku asing mencatat inflow di seluruh instrumen rupiah, baik itu SBI, SUN, ataupun Saham. Tengoklah kondisi pasar obligasi yang ikut membaik dan stabil dibandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya. Turunnya BI Rate sebesar 25 bps pada bulan ini juga turut mendorong membaiknya pasar SUN.

Di pasar saham, dana asing yang masuk senilai lebih dari Rp 140 milyar telah membantu menstabilkan likuiditas di pasar saham. Di pasar valas sendiri, saat ini terjadi kelebihan pasokan valas seiring dengan masuknya dana asing ke Indonesia. Rupiah, dengan sendirinya, terus menguat.

Bagi penganut aliran sentimental, yaitu mereka yang percaya pada kekuatan sentimen, berbagai perkembangan tersebut tentu menggembirakan. Dalam hitungan singkat, rupiah seperti mendapatkan “berkah” dari berbagai perkembangan situasi. Namun bagi penganut aliran fundamental, yaitu mereka yang percaya pada kekuatan struktur fundamental ekonomi, penguatan yang cepat seperti ini perlu diwaspadai. Hal ini karena penguatan Rupisah saat ini masih didorong oleh masalah sentimen, atau belum menyentuh pada perbaikan fundamental. Secara fundamental, belum ada perbaikan berarti pada ekonomi Indonesia. Prospek ekonomi ke depan juga masih akan melambat. Perekonomian Indonesia juga diproyeksikan akan mengalami penurunan pertumbuhan. Oleh karenanya, penguatan rupiah saat ini perlu diwaspadai dan dicermati secara hati-hati.

Faktor Sentimen ini ibarat rasa benci dan rindu. Bisa sewaktu waktu muncul cinta, terutama kalau perasaan sedang senang. Tapi, bisa juga sewaktu-waktu muncul benci. Apalagi kalau mendengar isu-isu buruk. Begitu sentimen memburuk, benci datang tiada ampun. Rupiah bisa melemah lagi sewaktu-waktu.

Untuk perekonomian yang terintegrasi dengan dunia global seperti saat ini, mustahil memang menghilangkan masalah sentimen. Oleh karenanya, selain memperbaiki fundamental ekonomi kita secara riil, faktor sentimen juga perlu dijaga dan dicermati.

Jadi, pertanyaannya tentu bukan apakah penguatan Rupiah ini perlu dihambat atau tidak, namun bagaimana agar penguatan ini bisa memberi manfaat dan kesinambungan bagi ekonomi.

Di sinilah pentingnya kita untuk terus menjaga momentum yang sedang baik saat ini. Sentimen positif harus dijaga dan dikawal terus. Apabila Indonesia bisa terus mempertahankan stabilitas ekonomi dan politik, maka kurs rupiah akan terus menguat hingga akhir tahun. Ekonomipun akan stabil. Namun, apabila proses politik yang terjadi saat ini menimbulkan gejolak, bukan mustahil kepercayaan akan luntur kembali. Dan seperti biasa, rakyat akan jadi korbannya.

Berbagai hal inilah yang kiranya perlu dipikirkan oleh para petinggi parpol, maupun calon presiden, agar dalam menjalankan hasrat politiknya tetap juga mampu menjaga kestabilan. Tanpa kestabilan politik, ekonomi Indonesia masih serapuh sayap kupu-kupu.

Saturday, April 04, 2009

Menakar Dosa Nabi Adam dan Adam Smith

Sebelum pertemuan G-20 dilangsungkan, Presiden Perancis Nikolas Sarkozy mengadakan sebuah simposium yang bertema “New World, New Capitalism” pada bulan Januari di Paris. Pertemuan itu juga dimotori oleh mantan PM Inggris, Tony Blair, dan Kanselir Jerman, Angela Merkel. Di sana dibahas sebuah isu sentral tentang sistem ekonomi dunia yang berlaku saat ini. Krisis Global memang telah membuat kita merenungkan dosa-dosa dari kapitalisme dan pasar bebas. Keserakahan model Wall Street diduga muncul akibat dari sistem kapitalisme dan pasar bebas yang menjadi akar dari krisis keuangan global sekarang. Pertanyaannya adalah, perlukah kita mencari model kapitalisme baru? Atau mengamini hancurnya kapitalisme serta munculnya kembali sosialisme dan neososialisme?

Di dalam negeri, beberapa partai dan calon presiden juga membawa-bawa isu kapitalisme dalam kampanyenya. Sistem kapitalisme dan pasar bebas dituding sebagai biang kerok masalah dan tidak tepat diterapkan di Indonesia. Sistem kapitalisme dituding hanya membawa keuntungan bagi yang berpunya. Sementara yang miskin kerap terlupakan. Kapitalisme dianggap menyalahi kodrat manusia.

Tapi, benarkah kapitalisme itu salah. Tulisan ini adalah sebuah pembelaan terhadap kapitalisme dan pasar bebas secara esensi. Kita perlu mendudukan kapitalisme dan pasar bebas pada akarnya sebelum terjadi salah kaprah dan kitapun berburuk sangka (su’udzon) terhadapnya. Karena esensi dasar manusia adalah juga kapitalis, maka tentu kapitalisme bukan sesuatu yang diharamkan.

Kapitalisme pertama memang pernah terjadi di tanah surga. Saat itu Tuhan memberi kebebasan pada Adam untuk melakukan apa saja dan memakan apa saja, kecuali mendekati pohon khuldi. Namun Adam tak mampu menahan godaan. Meski ia bebas memiliki segalanya, buah khuldi disikatnya juga. Fenomena buah Khuldi ini menjadi dasar keserakahan dan ketidakcukupan manusia. Tapi Tuhan memahami ciptaannya yang secara esensi memiliki sifat serakah dan hanya peduli mengejar kepentingannya sendiri (self interest). Oleh karenanya, ia memberi dunia pada Adam untuk ditinggali dan mengelola self interest itu sebaik-baiknya demi kesejahteraan tatanan masyarakat.

Entah kenapa, beribu tahun kemudian lahir Bapak Kapitalisme yang juga bernama Adam. Ia pastinya keturunan Nabi Adam. Nama lengkapnya Adam Smith (1725 – 1790). Entah kebetulan, entah tidak, tapi Adam Smith juga melahirkan ajaran tentang pasar bebas dan kapitalisme. Adam yang ini bukan seorang nabi, dan ia juga bukan seorang ekonom, karena ilmu ekonomi belum lahir kala itu. Adam Smith adalah seorang filsuf moral. Pertanyaan yang ada dalam benaknya adalah mengenai moralitas manusia. Bagaimana sifat manusia yang serakah dan mengejar kepentingannya sendiri dapat menciptakan tatanan dalam masyarakat. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang maha besar yang terus memburu jawaban.

Adam Smith kemudian menulis buku pertamanya yang berjudul “Theory of Moral Sentiments”. Dalam buku itu, Smith mencetuskan ide tentang mekanisme pasar bebas dan wujud rasa “Simphaty” atau Simpati. Inilah prinsip awal etika moral Adam Smith dalam sebuah tatanan masyarakat. Bagi Smith, tatanan dapat terwujud selama pasar dibiarkan bebas dan para pelakunya memiliki rasa simpati. Kita menebang hutan dengan sebuah simpati sampai di mana alam boleh dirusak. Kita mempekerjakan buruh dengan sebuah simpati sampai di mana mereka bisa hidup layak. Dalam perdagangan demikian pula, tukang roti, tukang daging, semua mengejar kepentingannya sendiri. Namun dengan “simpati”, mereka tahu batas-batas dimana kepentingan diri ini tidak merugikan kepentingan diri orang lain. Inilah soal rasa merasa yang menjadi landasan pikir dari Adam Smith.

Syarat dapat berjalannya pasar bebas dan rasa merasa ini adalah juga adanya dukungan dari beberapa institusi, termasuk pelayanan publik seperti sekolah, kesehatan, dan tentunya regulasi negara dan finansial terhadap si miskin. Hal ini perlu ada untuk mengurangi instabilitas, ketidakseimbangan, dan ketidakadilan. Bagi yang menganggap teori Adam Smith semata meletakkan kebebasan pada pasar, mereka tentu salah besar. Adam Smith justru menulis pentingnya tugas Pemerintah dalam mensejahterakan warganya (The Wealth of Nation, hal 687-688).

Kapitalisme dan pasar bebas dalam semangat Adam Smith adalah sebuah nilai luhur yang bertujuan untuk menciptakan tatanan. Pasar bebas perlu dijaga untuk kemaslahatan umat apalagi saat permintaan dan penawaran bergejolak secara alami. Saat itu, mekanisme pasar bebas adalah yang terbaik dan sesuai dengan kodrat manusia. Peranan Pemerintah dalam hal ini, menurut Smith, hanya sangat terbatas dan bukan bersifat otoriter, misalnya mematok harga demi kepentingan kaum petani dan nelayan. Dalam keadaan itu, penetapan harga oleh pemerintah justru dapat menimbulkan kedzaliman.

Buat yang ingin merujuk dari sisi agama, kita tentu ingat hadits Rasulullah Muhammad saw tentang kejadian lonjakan harga di Mekah pada suatu masa. Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Dalam riwayat itu dikatakan: “Pada zaman Rasulullah saw terjadi lonjakan harga di pasar, lalu sekelompok orang menghadap Rasulullah saw seraya mereka berkata:’Ya Rasulullah, harga-harga di pasar melonjak begitu tinggi, tolong patoklah harga tersebut’.

Rasulullah saw menjawab, ’sesungguhnya Allahlah yang (pada hakekatnya) menetapkan harga, dan menurunkannya, melapangkan dan meluaskan rezki. Janganlah seseorang diantara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta maupun nyawa’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

Di sini kita melihat bahwa Rasulullah menolak pematokan harga dan menyerahkan harga komoditas pada mekanisme pasar bebas, meskipun mungkin saat itu para petani dan nelayan dirugikan. Hal ini karena kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh mekanisme pasar, dan bukan aksi spekulasi. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas, maka wajar harga barang tersebut naik. Dalam keadaan demikian Rasulullah saw tidak mau campur tangan membatasi harga komoditas di pasar tersebut, karena policy dan tindakan seperti ini dapat menzalimi hak para pedagang.

Di sini kita memahami, bahwa kapitalisme bukan melulu tentang keserakahan. Ia adalah juga tentang keseimbangan kodrat manusia. Ia adalah juga tentang kesejahteraan dan keluhuran. Ia juga mensyaratkan sifat hati –hati dan keutamaan (prudence and virtue). Keserakahan muncul karena kurangnya simpati, bukan karena kesalahan kapitalisme. Salam.

Thursday, April 02, 2009

Politisi dan Watak Ningrat Machiavelli

Politisi sangat menghindari diri apabila dikaitkan dengan praktik Machiavelli. Pak JK sendiri pernah mengatakan di koran bahwa “Golkar Pantang Terapkan Machiavelli”. Nama Niccolo Machiavelli (1469 - 1527) memang sering dihubung-hubungkan dengan praktik-praktik busuk kekuasaan. Misalnya, taktik “Machiavellian” seorang diktator. Gagasannya juga sering dituduh amoral dan menyimpang dari suara hati yang sehat. Akan tetapi, di dalam hati terdalam politisi, banyak yang mengakui bahwa Machiavelli adalah seorang genius yang sangat besar peranannya dalam sejarah dan peletak fundamental ilmu politik modern. Pikiran Machiavelli, meski dikecam, diam-diam atau terang-terangan ternyata menjadi praktik politik di banyak negara.

Namun di balik pendapat orang bahwa ia seorang politikus yang layak dihujat, Machiavelli memiliki watak ningrat yang luhur. Machiavelli sebenarnya adalah seorang tokoh yang berjiwa besar. Simak kata-kata dalam bukunya yang terkenal, “Sang Pangeran (Il Principe)”. Ia mengatakan “Seorang pangeran tak boleh mencuri harta rakyatnya, karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya, daripada kehilangan bagian warisannya”.

Tak boleh mencuri harta rakyat adalah ciri dari watak ningrat Machiavelli. Janganlah sekali-kali kita makan uang rakyat. Itu pesan dari Machiavelli. Seorang penguasa, memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja. Ia bisa membuat aturan untuk dirinya sendiri, dan ia tak mesti patuh pula pada aturan itu. Di sini kemudian muncul pasase power tend to corrupt, kekuasaan cenderung korup. Machiavelli mengingatkan para penguasa untuk mampu menyeimbangkan kekuasaannya dengan kepentingan rakyat. Mencuri harta rakyat berarti juga memanfaatkan jabatan demi kepentingan diri sendiri.

Machiavelli menyadari adanya tendensi korup tersebut. Di buku selanjutnya, Discourse on the First Ten Books of Titus Livy, ia bercerita tentang bentuk negara yang ideal, dengan konsep negara yang berbentuk Republik. Di sini penguasa tak lagi dapat melakukan keinginan sekehendak hati. Ada sesuatu yang membatasi wewenang penguasa, yaitu rakyat. Dalam buku ini kehendak rakyat di beri ruang yang luas. Kemerdekaan adalah lambang utama yang harus ditegakkan. Penguasa tidak boleh memaksakan kehendaknya, penguasa hanya boleh menjadi penjaga agar kemerdekaan itu tetap terjamin. Dalam buku ini, Machiavelli membayangkan suatu negara yang benar-benar ideal, suatu negara yang jauh dari perselisihan, perpecahan dan konflik. Suatu negara yang dilandasi kedewasaan warga negaranya.

Kemerdekaan pilihan itu menjadi dasar pandangan ekonomi dari Machiavelli. Ia adalah pendukung utama kebebasan individu, aneka pilihan sukarela atau fakultatif. Kebebasan ini menjadi penting dalam kehidupan berekonomi suatu negara saat ini. Kaum petani, kaum pedagang, dan pelaku UMKM di sektor kerakyatan, perlu memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya. Dengan kebebasan ini, sektor kerakyatan tidak akan terbelenggu oleh kekuasaan para tengkulak ataupun penguasa. Mereka memiliki keleluasaan mendapatkan sumber daya yang lebih efisien dan menguntungkan hingga pada gilirannya mensejahterakan kehidupan mereka.

Memahami Machiavelli memang tak bisa dengan hanya melihat dari sisi gelapnya. Machiavelli juga menyimpan nilai luhur. Kalau kita tetap mencuri harta rakyat, memanfaatkan kuasa demi kepentingan sendiri, dan menekan kebebasan rakyat dalam ekonomi, bisa jadi kita lebih kejam dari Machiavelli. Mudah-mudahan bukan begitu yang dimaksud para politisi yang tak mau dikaitkan dengan Machiavelli. Dan mudah-mudahan bukan itu yang dimaksud dengan “Pantang Menerapkan Machiavelli”. Salam.

Tuesday, February 10, 2009

Negara Paling Bahagia di Dunia

Indonesia adalah negara yang masyarakatnya cukup bahagia di dunia. Jauh lebih bahagia dari masyarakat Jepang, Rusia, bahkan China. Krisis ekonomi yang menimpa, indikator ekonomi yang pas-pasan, kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, bencana yang kerap datang, tak membuat masyarakat Indonesia bersedih dan jauh dari bahagia. Secara umum, survei ini pernah dimuat di Majalah Time edisi januari 2004 yang menulis sebuah laporan tentang “Sains Kebahagiaan”. Hal menarik dari tulisan itu adalah penelitiannya pada berbagai negara untuk melihat apakah pertumbuhan ekonomi, kekayaan, dan pendidikan yang tinggi, membawa kebahagiaan bagi penduduknya.

Selama ini, GDP atau Gross Domestic Product selalu dijadikan acuan tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. GDP dicerminkan oleh komponen Konsumsi, Investasi, Pengeluaran Pemerintah, Ekspor, dan Impor (C+I+G+X-M). Semua komponen itu dihitung dengan satuan uang. Dengan demikian, uang diasumsikan dapat membawa pertumbuhan dan kesejahteraan. Apakah benar demikian? Survei menunjukkan bahwa negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ternyata tidak otomatis menjadi negara yang bahagia. Sebaliknya, negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi pas-pasan atau bahkan ada yang miskin, bukan berarti pula menjadi negara yang tidak bahagia.

Lantas, apa yang membuat kita bahagia. Riset yang dilakukan para ilmuwan dari Universitas Pennsylvania mengambil beberapa hal yang diindikasikan dapat membawa kebahagiaan. Kekayaan sebagai contohnya, dan segala hal yang bisa dibeli dengan uang. Ternyata, hal itu tidak membawa bahagia. Semakin tinggi pendapatan seseorang, justru kebahagiaannya menurun. Sementara itu, mereka yang berpenghasilan rendah, justru bisa merasakan bahagia. Pendidikan yang tinggi? Tidak juga. Mereka yang memiliki IQ tinggi bukan jaminan kebahagiaannya juga tinggi. Masa Muda? Lagi-lagi bukan. Faktanya, justru banyak orang tua yang lebih menikmati dan puas akan hidupnya ketimbang yang muda. Pernikahan? Jawabannya agak rumit. Memang kebanyakan pasangan yang menikah lebih bahagia daripada yang tidak menikah, namun hal itu diperdebatkan di hasil survei. Sebagian berpendapat bahwa kebahagiaan perkawinan sangat tergantung pada bagaimana mereka mengelola dan memulai sebuah perkawinan.

Survei menunjukkan bahwa ada dua hal utama yang membuat orang bahagia. Pertama, iman kepada Tuhan atau agama. Apapun agamanya, apabila orang meyakini agama, umumnya mereka lebih bahagia daripada yang tidak beragama. Kedua, teman, sahabat, keluarga, istri, anak, atau cucu. Ya, sebuah studi lanjutan yang dilakukan oleh Universitas Illinois di tahun 2002 menunjukkan bahwa masyarakat yang memililki kebahagian tertinggi pada umumnya adalah mereka yang memiliki orang-orang dekat. Mereka yang penyendiri pada umumnya lebih cepat mengalami depresi.

Hasil survei yang dilakukan para ilmuwan di berbagai negara mendapatkan hasil yang beragam. Negara-negara dengan kekayaan dan pertumbuhan tinggi, seperti Switzerland misalnya, masuk dalam kategori negara yang memiliki kebahagiaan tinggi. Namun ada negara yang pertumbuhannya tinggi dan kekayaan masyarakatnya juga tinggi, justru tidak bahagia. Jepang adalah salah satu contohnya. Tingkat depresi, stress, dan bunuh diri jumlahnya tinggi di Jepang.

Sementara itu, ada negara yang masuk kategori berpenghasilan pas-pas-an, namun memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Negara itu adalah Indonesia dan Filipina. Nah, Indonesia masuk dalam kategori negara yang memiliki kebahagiaan tinggi, meski kalau melihat dari indikator ekonominya, kebahagiaan itu memang tak tercermin. Pertumbuhan ekonomi Indonesia “hanya” berada dalam kisaran 4-6%, cadangan devisa Indonesia pas-pasan pada sekitar 50 milyar dollar AS (bandingkan dengan Bill Gates yang seorang diri saja kekayaannya mencapai sekitar 60 milyar dollar AS), dan utang luar negeri yang masih tinggi. Selain itu, bencana kerap datang tak henti di negeri ini.

Namun rupanya berbagai hal itu tidak terkait dengan masih bahagianya bangsa kita. Dalam berbagai kondisi, selalu ada cara yang membuat kita bahagia. Modal tawakal, kekerabatan yang kuat, serta keyakinan pada Yang Maha, mungkin bisa menjadi benteng dalam membangun kebahagiaan di tengah kesulitan saat ini.

Apakah itu semua cukup? Tentu tidak. Lama kelamaan kebahagiaan ini bisa luntur. Kebahagiaan bukan sesuatu yang mudah diraih dan harus senantiasa dipertahankan. Raja Bhutan pernah memperkenalkan istilah GDP of Happiness yang mengukur bukan hanya tingkat pertumbuhan negeri, tetapi juga tingkat kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan, dukungan kepada rakyat perlu diberikan dalam bentuk perhatian dan fokus pada pengembangan kekuatan masing-masing elemen bangsa. Keseimbangan antara alam, spiritual, dan manusia menjadi fokus kebijakan pemerintah. Semata mendorong pertumbuhan ekonomi, apalagi dengan memberi uang, tidak akan menjamin tercapainya kebahagiaan. Mungkin hanya mampu meraih kesenangan sesaat. Dan itu, bukan kebahagiaan.

Bukankan tujuan para pendiri bangsa di manapun adalah mengejar kebahagiaan? Kalimat terkenal dalam Deklarasi Independen Amerika adalah, “Life, liberty, and the pursuit of happiness “. Itulah sebuah amanat untuk meraih kebahagiaan.

Sementara, kalimat terkenal di pembukaan UUD 45 kita adalah, “… Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Ujungnya, merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, adalah cara untuk mencapai kebahagiaan….

Mudah-mudahan kita masuk dalam kelompok orang yang berbahagia.

Wednesday, February 04, 2009

Menarik Bank Kembali Pada Akarnya

Posted on Kompasiana


Ekonomi yang berawal dari kata “oikonomia” yang berarti tata kelola rumah tangga, telah beralih menjadi suatu “chrematistic” atau kegiatan uang yang mencari uang. Ekonomi rente telah menjadi ciri dari neoliberalisme dan kapitalisme. Uang telah mampu beranak dan memperanakkan uang tanpa ada dasar yang jelas dalam setiap transaksinya. Oleh karenanya, krisis kali ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk membawa ekonomi, khususnya perbankan, kembali pada akarnya.

Dalam acara jumpa pers Jumat pekan lalu (30/1/09), Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dr Muliaman D. Hadad, menyampaikan bahwa krisis global ini menjadi momentum bagi kita untuk membenahi diri, khususnya memperkuat daya tahan bank. Ia menyampaikan berbagai langkah kebijakan, yang di satu sisi memberi kelonggaran, namun di sisi lain memperkuat ketahanan dalam menempuh krisis.

Salah satu pelajaran yang paling mendasar dari krisis ini, yang juga disampaikan pak Boed dalam acara makan malam usai Konferensi Pers tersebut, adalah pentingnya perbankan kembali ke akar dirinya, “back to basics”. Mengapa demikian? Karena krisis yang kita hadapi sekarang adalah konsekuensi dari perkembangan sektor keuangan yang lepas dari akarnya, yaitu kegiatan ekonomi riil. Perkembangan yang luar biasa dari sektor keuangan di banyak negara bersumber dari perkembangan inovasi produk keuangan dan inovasi kelembagaan keuangan. Hal ini didukung oleh revolusi dalam teknologi informasi dan liberalisasi keuangan global.

Sektor keuangan memang kemudian menarik banyak orang karena merupakan jalur cepat untuk menjadi kaya. Lulusan-lulusan terbaik universitas berlomba-lomba masuk ke sektor keuangan. Produk keuanganpun makin bervariasi, makin canggih dan makin kompleks. Akibatnya tentu juga mempunyai dampak sampingan yang fatal, yaitu makin sulit untuk dinilai risikonya. Instrumen keuangan makin terlepas dari akar kegiatan yang seharusnya melandasinya. Tata kelola rumah tangga telah ditinggalkan. Uang berkembang tanpa landasan yang riil. Hal ini telah menjadi gelembung atau bubbles. Gelembung tumbuh makin membesar, dan akhirnya pecah.

Ajakan pak Boed kepada perbankan untuk kembali ke khittah atau back to basics berlaku bagi semua lembaga keuangan. Fungsi utama perbankan adalah memfasilitasi dan membiayai kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat, yaitu kegiatan-kegiatan nyata. Bank melakukan fungsi tersebut melalui intermediasi keuangan – yaitu mengumpulkan dana dari pemilik dana dan menyalurkannya ke peminjam dana.

Tapi kenyataannya, bank bisa bertindak lebih dari sekedar perantara. Bank dapat menciptakan tambahan likuiditas melalui penciptaan uang giral. Kegiatan-kegiatan bank ini secara inheren mengandung risiko, baik bagi bank itu sendiri, bagi penyimpan dana, bagi sistem perbankan dan bagi perekonomian. Risiko-risiko itu harus dikelola sebaik-baiknya oleh bank, suatu tanggungjawab besar yang memerlukan perhatian penuh dari pengelola bank.

Banyak bank sekarang yang kreatif menawarkan structure products atau produk-produk derivatif yang kadang tidak disadari oleh konsumen. Para petugas pemasaran bank seolah menawarkan produk deposito. Padahal itu produk derivatif. Hal ini sungguh berbahaya apabila nasabah tidak waspada. Bank memiliki tugas untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang mempunyai landasan transaksi yang jelas serta dilandaskan pada perhitungan risiko yang jelas pula.

Bermain dengan instrumen spekulatif bukan domain dari bankir. Bank sebaiknya menjauhi kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur bubbles. Apabila kegiatan seperti itu tidak bisa dihindari, maka harus diterapkan sistem pengelolaan risiko yang efektif. Pak Boed malam itu secara tegas mengatakan bahwa Bank Indonesia sebagai regulator berkepentingan untuk mendorong bank melakukan prinsip kehati-hatian. Ke depan, berbagai langkah akan dikeluarkan untuk memantapkan rambu-rambu yang diperlukan untuk itu.

Sungguh sebuah pesan yang dalam dan penuh makna untuk direnungkan kita semua. Ekonomi yang tumbuh seperti buih hanya akan membawa kesejahteraan semu bagi para pelakunya. Ibarat tumbuhan yang bertambah besar, dahan dan daunnya dapat tumbuh semakin jauh dari akar. Saat itu, dahan dan daun menjadi rentan terhadap hempasan angin. Mudah patah dan rapuh. Oleh karenanya, upaya memperkuat dan kembali berpegangan pada akar menjadi suatu hal yang perlu untuk direnungkan.

Junanto Herdiawan, dari konferensi pers dan jamuan makan malam perbankan 2009

Turunnya Bunga di Mendung Pagi

Posted on Kompasiana


Mendung menggantung dan hujan yang mengguyur Jakarta beberapa hari ini tidak membuat bunga berkembang. Yang terjadi justru bunga dipangkas. Tentu yang dimaksud adalah bunga kebijakan moneter. Rapat Dewan Gubernur (RDG) pagi ini (4 Feb 09) berjalan tidak seperti biasanya. Apabila keputusan BI Rate biasa diumumkan setelah pukul 13.00, hari ini keputusan keluar sebelum pukul 10.00 pagi. Di bawah udara mendung, rapat berlangsung cepat. Mungkin pagi itu, seluruh anggota Dewan Gubernur akan menghadiri acara pembukaan Festival Ekonomi Syariah yang akan dibuka oleh Presiden RI. Tapi mungkin juga karena pembahasan rapat ini di hari-hari sebelumnya sudah cukup alot dan mendalam, bahkan selesai sampai larut malam. Intinya, keputusan ini tak mengurangi kualitas assesmen perekonomian Bank Indonesia.

Dan yang jelas, BI Rate pagi ini turun lagi 50 bps (0,5%), atau turun dari 8,75% menjadi 8,25%. Penurunan ini sudah diperkirakan berbagai kalangan. Gambaran ekonomi dunia yang begitu suram di awal tahun ini, bahkan lebih suram dari yang diperkirakan beberapa bulan lalu, telah membuat otoritas di berbagai negara untuk waspada. Dampak pelemahan ekonomi itu makin terasa di dalam negeri, terutama sektor-sektor yang terkait dengan perdagangan luar negeri (sektor tradables). Banyak industri mulai gulung tikar, dan tingkat PHK meningkat. Sementara di sektor non-tradables, perkembangannya relatif stabil.

Kelesuan ekonomi dalam negeri juga terlihat dari mulai melambatnya pertumbuhan kredit perbankan dan uang beredar, yang tercermin dari melambatnya M1 dan M2. Tekanan inflasi terlihat mulai menurun seiring dengan melambatnya ekonomi dan menurunnya daya beli. Dalam dua bulan berturut-turut kita mengalami deflasi (Desember dan Januari). Deflasi di bulan Januari juga bukan deflasi yang biasa terjadi. Ada istilah ”Januari Effect” yang berarti bahwa inflasi selalu berada di atas 1,0% setiap bulan Januari. Tapi di bulan Januari 2009 ini, kita justru deflasi.

Di sisi lain, tekanan pada ekonomi juga berdampak pada tekanan di nilai tukar. Hal ini membuat kita harus mewaspadai tingkat cadangan devisa yang kita miliki. Pak Boed dalam Rapat Kerja dengan DPR RI beberapa hari lalu mengatakan bahwa cadangan devisa kita masih aman, meski pas-pasan. Cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2009 tercatat sebesar USD 50,9 milyar atau setara dengan 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Keputusan penurunan BI Rate pada pagi ini sejalan dengan semangat relaksasi yang dilakukan di sektor perbankan. Kita melihat kondisi perbankan nasional sampai saat ini masih mantap, seperti tercermin dari perkembangan CAR dan NPL perbankan yang tetap pada batas-batas yang aman. Sementara itu, permasalahan likuiditas perbankan, termasuk aliran likuiditas dalam pasar uang antar bank, yang sempat menjadi isu hangat beberapa bulan lalu, kini mulai mengalami perbaikan.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan menunjukkan langkah optimal dari otoritas moneter dalam menyikapi krisis global. Langkah selanjutnya dari Pemerintah tentu sangat diharapkan. Stimulus fiskal sebagai obat jangka pendek dalam mengatasi pelesuan ekonomi adalah kebijakan yang perlu didukung. Namun dalam jangka panjang, kita tetap memerlukan strategi pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tahan krisis.

Semoga mendungnya pagi ini, dan hujan rintik yang terus mengguyur Jakarta, bukan penanda semakin mendungnya ekonomi negeri. Mari kita tetap optimis.