Sunday, October 26, 2008

Kegilaan di Pasar Keuangan

“Madness is rare in individuals, but in groups, parties, nations, and ages, it is the rule.” - Friedrich Nietzsche

Pernahkah kita berkendara menerobos lampu merah? Namun kita melakukannya bukan karena situasi jalan yang sepi. Kita lakukan itu semata karena kita melihat ada kendaraan lain yang menerobos, kemudian diikuti oleh kendaraan-kendaraan lainnya. Di pasar keuangan, perilaku seperti itu dinamakan perilaku naluri kerumunan hewan (herd instinct). Perilaku itulah yang menyebabkan pasar keuangan mengalami panik dan membuat pasar modal runtuh (crash) ataupun nilai tukar amblas. Naluri kerumunan hewan yang biasa terjadi di pasar modal ataupun pasar uang sering membuat orang mencoba untuk ikut-ikutan. Mereka masuk ke pasar modal secara irasional dan membeli saham apa pun yang ada dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan besar. Ketika kemudian hasilnya tidak seperti yang diharapkan, mereka segera melepas kembali untuk mengurangi kerugian.

Pengalaman kita di tahun 1998 menunjukkan bahwa herd instinct menjadi awal dari krisis ekonomi. Perilaku tersebut kembali terulang pada Oktober 2005 saat harga minyak dunia melonjak, dan Agustus 2007 saat krisis kredit hipotek perumahan AS (subprime mortgage) terjadi. Tahun 2008 ini, hal itu terjadi lagi saat Bursa Efek Indonesia sempat dihentikan perdagangannya. Harga saham anjlok, semua orang secara panik melakukan aksi jual tanpa berpikir lagi. Terakhir, pekan lalu, saat nilai tukar rupiah menembus angka Rp10.000 per dollar AS. Semua orang, para profesional pasar keuangan, bahkan ibu rumah tangga, beramai-ramai menukar tabungannya ke dollar. Rupiah yang tertekan, makin tertekan. Mengapa para profesional pasar keuangan, bisa berperilaku seperti kawanan hewan yang ditandai oleh kegilaan dan kepanikan (manias and panics)? Adakah cara mengatasi perilaku tersebut?

Profesional yang Rasional
Friederich Hegel, seorang filsuf, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional dan memiliki kesadaran diri (a rational and self conscious create). Sementara itu, Jack Bogle (1951), ekonom dari Princeton, mengatakan bahwa munculnya para profesional yang mengelola dana masyarakat di pasar keuangan (fund manager) akan melahirkan sebuah sebuah pasar yang tenang dan rasional. Dalam pandangan Bogle, profesional tersebut, memiliki kemampuan rasio dan pendidikan yang dapat mencegah pasar dari kegilaan dan kepanikan. Dan di tahun 1960, para akademisi di bidang keuangan meyakini bahwa para profesional akan menjaga harga saham sejalan dengan nilai bukunya. Hal ini bertentangan dengan pendapat John Maynard Keynes (1941) yang mengatakan bahwa pasar keuangan adalah sebuah kasino, kolam tempat spekulasi (a 'casino,' a 'whirlpool of speculation).

Seiring dengan berjalannya waktu, ramalan Keynes terbukti lebih akurat. Krisis demi krisis terjadi disebabkan oleh perilaku tidak rasional dari para profesional. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan bahwa akal sehat bergantung pada situasi, namun rasio tidak bergantung pada situasi. Para profesional keuangan adalah juga manusia yang menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang sama dengan investor-investor amatir. Apalagi mereka mengelola dana masyarakat. Jika mereka menentang pasar, risikonya adalah ditinggalkan pasar.

Membangun Kepercayaan di antara Kerumunan Hewan
Krisis mengajarkan pada kita bahwa perilaku irasional justru memperparah krisis. Ketika irasionalitas itu mulai merambah pada aksi penarikan dana besar-besaran di bank (rush), memburu dan menumpuk kebutuhan pokok, serta memborong barang tanpa berpikir, perekonomian dipastikan akan semakin sulit. Kita menyadari bahwa irasionalitas ini adalah sifat yang manusiawi. Ditambah lagi, kita hidup dalam dunia digital dan tekhnologi informasi yang semakin mengglobal. Ruang dan waktu terasa semakin sempit. Informasi, isu, gosip, begitu cepat bertebaran.

Menghadapi krisis keuangan saat ini, hal terpenting adalah membangun kredibilitas dan kepercayaan. Fukuyama mengatakan bahwa “Trust is a Social Capital”, Kepercayaan adalah sebuah modal sosial. Bagaimana pemerintah dan otoritas mampu membangun kepercayaan adalah kunci utama kita dalam mengarungi krisis. Pemerintah diharapkan tidak menelurkan kebijakan yang panik dan blunder sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat kita juga akan menghadapi pesta demokrasi, dimana suasana dapat menghangat dan berbalik setiap saat.

Tanpa adanya kepercayaan, yang terjadi adalah kekacauan. Hal ini juga dikatakan oleh salah seorang pejabat IMF, bahwa yang terjadi kini adalah “loss of confidence, regardless the fundamental”, hilangnya kepercayaan tanpa memikirkan masalah fundamental sebenarnya. Statement itu benar adanya. Kalau melihat kondisi fundamental, saat ini perekonomian Indonesia sudah jauh lebih baik dibanding saat krisis 1997-8. Pemerintah juga lebih tanggap dalam menghadapi krisis. Upaya menjaga terus kepercayaan ini menjadi penting. Globalisasi memang penuh ambivalensi. Menghadapinya, kita harus rela menerima kenyataan bahwa kegilaan dan perilaku kerumunan hewan di pasar keuangan, ada dan tak terelakkan.

Friday, October 24, 2008

Indonesia Dalam Bayang Neoliberal

Apakah ada alternatif lain yang lebih baik dari neolib? Sejak Margaret Thatcher mengatakan T.I.N.A (There Is No Alternatives), neoliberal seolah menjadi pilihan niscaya bagi kemakmuran dunia. Neolib meyakinkan kita bahwa pilihan kebijakan untuk mengatasi kemiskinan di muka dunia adalah melalui perdagangan bebas (free trade) dan pasar bebas (free market). Segala upaya untuk menegakkan paham ini disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai institusi internasional maupun pelajaran ekonomi di berbagai universitas. Arus modal yang bergerak bebas antar daerah dan negara, dipandang sebagai hal strategis yang harus dilakukan setiap negara. Berbagai rintangan yang menghambat gerak modal tersebut (seperti tariff, tax, dan kontrol lainnya) harus dihilangkan (David Harvey, 2005). Kedaulatan negara atas komoditas dan arus modal seolah menyerah pada kekuatan pasar global.

Hal nyata yang terjadi kemudian adalah sebuah akumulasi modal yang luar biasa besarnya di pasar-pasar keuangan dunia. Akumulasi ini membalon sedemikian besar hingga pada akhirnya pecah saat krisis subprime mortgage menyeruak. Bangkrutnya Lehman Brothers pada akhir September 2008, melengkapi rentetan rontoknya lembaga-lembaga keuangan besar di dunia. Setelah Bear and Sterns, Fannie Mae, Fredie Mac, Indy Mac, Northern Rock, Merrill Lynch, hingga AIG, institusi keuangan global yang semula tampil bagai pilar yang kokoh, ternyata tak lebih dari sekedar buih yang rapuh. Wall Street yang selama ini diagung-agungkan sebagai fondasi hegemoni kapitalisme AS, kini justru menjadi episentrum dari runtuhnya pasar keuangan global. Perkembangan yang begitu cepat dengan efek ramifikasi yang luas ke seluruh penjuru dunia membuat tak ada seorangpun yang berani meramalkan apa yang akan terjadi ke depan. Kita melihat krisis mengimbas ke pasar saham yang jatuh secara signifikan, diikuti oleh indeks-indeks di bursa-bursa saham seluruh dunia. Krisis tersebut memasuki periode yang makin berbahaya dengan nyaris lumpuhnya pasar surat utang karena investor di berbagai penjuru dunia yang panik.

Menyikapi hal ini, apakah neolib menyerah? Menarik untuk membaca hasil pertemuan Presiden Bush dengan negara-negara G-20 di Washington DC tanggal 15 November lalu. Press Release yang dikeluarkan oleh Press Secretary, Dana Perino, menulis "The summit will also provide an important opportunity for leaders to strengthen the underpinnings of capitalism by discussing how they can enhance their commitment to open, competitive economies, as well as trade and investment liberalization..." Intinya, neolib belum menyerah. Siaran pers itu mengingatkan bahwa jangan sampai krisis keuangan ini menodai semangat kapitalisme dan komitmen negara-negara pada sebuah ekonomi yang terbuka dan kompetitif.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memang diombang ambing dalam ayunan globalisasi saat ini. Krisis keuangan yang terjadi di AS saat ini, serta merta memberi tekanan pada pasar keuangan RI. Jalur finansial dan jalur perdagangan internasional adalah jalan efek itu menyebar pada ekonomi kita. Globalisasi tak dapat kita hindari. Semangat neolib juga tak dapat begitu saja kita nafikkan. Hanya saja, kita punya pilihan. Bangsa Indonesia adalah bangsa berdaulat yang harus memilih jalannya sendiri dalam menyejahterakan rakyatnya. Krisis ini jangan dilihat sebagai bencana, namun sebuah peluang.

Kita patut memberi apresiasi atas langkah yang tanggap dan cepat dari pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dalam menyikapi dampak jangka pendek krisis keuangan ini. Langkah tersebut dilakukan secara tepat guna mengurangi kepanikan pasar. Oleh karenanya, setelah berhasil dengan baik menelurkan kebijakan saat "dihantam badai", kebijakan "pasca badai" perlu segera dirumuskan. Apa itu kebijakan "pasca badai"? itulah sebuah kebijakan yang menanamkan kembali sektor keuangan pada rahimnya sendiri, yaitu sektor riil. Ancaman dan bahaya neolib akan bisa dikurangi apabila kita melakukan kompromi dengan pasar. Krisis ini memberi pelajaran yang sangat berarti bagi kita bahwa sektor keuangan tak bisa melaju sendiri tanpa terkait pada sektor riil. Apabila kebijakan "pasca badai" dapat dirumuskan dan diaplikasikan dengan baik, kita berharap ekonomi Indonesia akan lebih berkesinambungan dan memberi kesejahteraan. Itulah peluang dari krisis keuangan AS saat ini. Tetap waspada pada paham neolib agar tidak mengguyah kedaulatan NKRI. Salam.

Monday, October 20, 2008

Empat Stadium Krisis Moneter

Salah satu dosen mata kuliah ekonomi saya, sembari santai bercerita bahwa krisis ekonomi itu mirip seperti kanker. Ada empat stadium yang berbeda-beda. Pengobatannyapun tergantung pada stadiumnya masing-masing. Yang paling parah bila krisis mencapai tahap kanker Stadium keempat. Ini disebut dengan Depresi. Depresi ditandai oleh amblasnya bursa saham, pasar keuangan, turunnya pertumbuhan, dan meluasnya pengangguran serta kemiskinan. Berbagai masalah sosialpun muncul. Hal ini pernah terjadi saat The Great Depresion tahun 1929-30 di AS. Ekonomi AS saat itu runtuh. Stadium ketiga, adalah Resesi. Kondisi ini ditandai oleh turunnya pertumbuhan ekonomi selama tiga triwulan berturut-turut. Dampaknya adalah pengangguran yang meningkat, kemiskinan yang meluas, dan kehidupan yang bertambah sulit. Apabila tidak ditangani dengan baik, resesi akan berakhir depresi.

Stadium kedua, adalah Stagflasi. Periode ini terjadi ketika inflasi dan stagnasi (yaitu, menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran) terjadi secara bersamaan. Istilah stagflasi pertama kali disebutkan oleh United Kingdom Chancellor of the Exchequer Iain MacLeod dalam pidatonya di hadapan parlemen pada tahun 1965. "Stag" berasal dari suku kata pertama "Stagnasi", yang merujuk pada menurunnya kondisi ekonomi, sementara "flasi" berasal dari suku kata kedua dan ketiga "inflasi", yang merujuk pada naiknya harga barang-barang secara umum dan terjadi secara terus menerus.

Stadium pertama, ini yang paling penting kita cermati, adalah Emosi. Nah, stadium inilah yang saat ini menimpa ekonomi Indonesia. Saat ini muncul kekhawatiran dan kepanikan dari pelaku pasar akan dampak krisis AS terhadap perekonomian domestik. Terjadilah luapan emosi atau irasionalitas dari pasar. Ditutupnya Bursa Efek Indonesia, melemahnya nilai tukar, adalah cerminan kepanikan dari pelaku pasar. Inilah emosi. Menghadapi emosi, kepala dingin sangat diperlukan. Kita patut memberi apresiasi pada otoritas pemerintah maupun moneter yang tidak terbawa emosi. Di saat krisis merebak, berbagai persoalan jangka pendek segera ditangani dengan tanggap. Upaya penyediaan Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan dinilai sebagai kebijakan yang tanggap cepat. Yang menarik juga adalah upaya BI dalam menenangkan pasar dengan mengeluarkan beberapa paket kebijakan pelonggaran likuiditas untuk menyelesaikan masalah keketatan likuiditas di perbankan dalam jangka pendek. Selain itu, upaya meningkatkan batas maksimum penjaminan dana nasabah di bank, dari Rp100 juta ke Rp 2 milyar dianggap mampu menenangkan pasar. Bayangkan bila kebijakan ini baru diambil saat terjadi bank rush seperti tahun 1998. Tentu tak akan kredibel. Inilah langkah yang pre-emptive. Dilakukan sebelum emosi meledak. Mudah-mudahan krisis dapat kita lewati dengan baik dan tidak berkembang biak bagai kanker hingga stadium empat. Naudzubillahi min dzalik.

Blunder [kah] Bank Indonesia?

The Job of a central bank is to worry...”, demikian adagium yang sering diucapkan tentang tugas bank sentral. Menghadapi krisis keuangan yang terjadi di AS akhir-akhir ini, bank sentral kembali berada dalam sorotan. Tak terkecuali di Indonesia. Kebijakan Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan BI Rate menjadi 9,5% bulan Oktober 2008, menuai kritik dan kecaman. Di tengah penurunan suku bunga yang dilakukan di negara-negara lain, di tengah ancaman resesi dunia dan perlambatan ekonomi, mengapa BI justru menaikkan BI Rate? Langkah ini dianggap sebagai langkah yang egois, blunder, dan tidak memikirkan kehidupan masyarakat kebanyakan. Bank Indonesia dihadapkan pada sebuah risiko kredibilitas.

BI Rate yang blunder?
Henry Paulson, menteri keuangan AS, saat mengumumkan paket bail out sebesar 700 miliar dollar AS, kira-kira mengatakan bahwa setiap negara memiliki karakteristiknya sendiri. Inti dari pernyataan Menkeu AS tersebut, bijaklah dalam mengadopsi kebijakan. Krisis yang mengimbas dan menyebar dirasakan berbeda oleh masing-masing negara. Ketahanan, kondisi, dan kekuatan masing-masing akan sangat menentukan sampai seberapa ia bertahan. Indonesia adalah sebuah keunikan tersendiri. Saat ekonomi dunia melesu sejak pertengahan 2007 lalu, perekonomian domestik justru melaju kencang. Ancaman resesi yang dirasakan oleh negara lain, tidak serta merta dirasakan di Indonesia. Hal ini diindikasikan oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi dalam tujuh triwulan terakhir. Dalam kurun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru melejit pada kisaran di atas 6%. Padahal saat itu, banyak negara mengoreksi pertumbuhannya.

Faktor utama tingginya pertumbuhan adalah konsumsi masyarakat dan ekspor yang tinggi seiring dengan tingginya harga komoditas internasional. Selain itu, dukungan dari kredit perbankan yang tumbuh lebih dari 32% pertahun menjadi pendorong meningkatnya permintaan. Konsumsi masyarakat menjadi sumber utama pemicu kuatnya pertumbuhan ekonomi. Dengan jumlah rakyat lebih dari 200 juta, konsumsi memang motor pertumbuhan kita. Apabila kita melihat secara sektoral, laju sektor properti tumbuh pesat mencapai 8% setahun. Pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor, juga terus meningkat di seluruh Indonesia. Tidak ada yang salah memang dengan pertumbuhan dari sisi permintaan ini. Namun permintaan yang melaju eksesif akan sangat membahayakan perekonomian apabila tidak diimbangi oleh pasokan memadai dari sisi penawaran. Hal itu akan membawa ekonomi pada sebuah guyah ketidakstabilan.

Saat ini, harga komoditas dunia mulai menurun. Imbasnya adalah ekspor kita yang juga menurun yang akan berdampak pada prospek pertumbuhan ke depan. Namun, permintaan domestik masih tinggi. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan impor, baik untuk bahan baku dan modal, maupun barang konsumsi. Akibatnya, terjadi tekanan di Neraca Pembayaran Indonesia. Defisit transaksi berjalan mulai terjadi pada triwulan II-2008. Seiring dengan itu, nilai tukar mulai melemah. Ekspektasi inflasi juga meningkat. Hal ini menjadi sebuah penanda akan perlunya kita mencermati ketahanan perekonomian.

Untuk itu, kebijakan menaikkan BI Rate nampaknya dilandasi oleh sebuah raison d’etre yang jelas, dan bukan saran dari IMF seperti yang dituding beberapa pihak. Tingginya permintaan, masih tingginya ekspektasi inflasi, dan dampak dari kenaikan harga barang impor seiring dengan melemahnya rupiah, menjadi hal yang perlu diwaspadai. Reaktif? BI melakukan kenaikan BI Rate sejak bulan Mei 2008, di saat negara lain masih mencermati perkembangan global. Langkah ini dinilai kalangan investor sebagai langkah proaktif. Credo-nya jelas, permintaan yang terlalu tinggi, terutama dari kalangan menengah ke atas, perlu dikendalikan guna menjaga kestabilan bagi kepentingan masyarakat secara luas.

BI Rate ke depan
Menghadapi dampak dari krisis keuangan AS ke depan, tentu fokus utama yang perlu dipikirkan adalah menjaga stabilitas perekonomian. Kestabilan ini menjadi penting karena ia adalah sebuah element of continuity yang perlu kita jaga bersama. Pengalaman krisis 1997-8 perlu menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak “blunder” dalam mengambil kebijakan. Sumber-sumber masalah, utamanya sumber ketidakstabilan ekonomi dan inflasi, perlu ditelisik dengan baik.

Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berupaya menyelesaikan berbagai masalah mendesak akibat dampak krisis AS. BI Rate adalah sebuah instrumen kebijakan moneter yang merupakan respon dari state of the economy dan signal bagi pencapaian inflasi ke depan. Berbagai tekanan pada kestabilan dan prospek inflasi tercermin pada keputusan BI Rate. Namun, BI Rate tak dapat berdiri sendiri. Ia harus didukung oleh instrumen moneter lain yang dimiliki oleh bank sentral, seperti intervensi valas, moral suasion, manajemen likuiditas, dan GWM. Oleh karenanya, upaya untuk melihat dampak kebijakan dalam spektrum menengah panjang menjadi penting. Tentu, orkestrasi kebijakan BI yang selaras diharapkan tidak memberi sinyal yang membingungkan dan berdampak negatif bagi masyarakat.

Sunday, October 12, 2008

"Tanggap ing Sasmita" Krisis Keuangan AS

Rabu sore, 17 September 2008, artis jelita Christy Carlson Romano direncanakan hadir untuk membunyikan bel penutupan di lantai perdagangan New York Stock Exchange (NYSE). Kehadiran Christy sekaligus menandai debutnya di pertunjukan musikal Broadway “Avenue Q”. Dalam pertunjukan itu, ia memainkan dua peran, seorang guru taman kanak-kanak yang romantis dan penyanyi klub malam yang menggoda. Namun realita tak demikian, sore itu bukan Christy Carlson Romano, melainkan seorang petugas NYSE yang muncul sebentar untuk membunyikan bel penutupan perdagangan. Bel berbunyi dan dia menghilang. Lantai saham senyap, hening, tak ada lambaian, tak ada tepukan, hanya ada keterdiaman. Sore itu, bukan hanya di Amerika Serikat, namun di pasar keuangan seluruh dunia, gairah untuk tertawa seolah raib bersama ambruknya Lehman Brothers. Keruntuhan Lehman Brothers tersebut menyusul rentetan ambruknya lembaga-lembaga keuangan global lainnya.

Hari-hari selanjutnya seluruh mata dunia menatap perkembangan yang terjadi di AS dari detik ke detik. Pengambilan keputusan untuk memberikan dana talangan (bail out) sebesar USD 700 miliar oleh DPR AS menjadi momen yang paling dinantikan oleh dunia. Saat RUU paket dana talangan itu disetujui, terselip sedikit nafas lega akan sebuah harapan, meski itu masih jauh dari penyelesaian krisis. Rambatan krisis tersebut terus dirasakan di Eropa, Asia, dan pada ujungnya membuat “meriang” perekonomian Indonesia.

Dampak krisis global ke Indonesia
Indonesia sebagai negara ekonomi terbuka tak dapat dipungkiri berada dalam ayunan globalisasi. Kemana ayunan itu mengarah, kesana kita dibawa. Dampak langsungnya adalah penyesuaian portfolio para investor asing di pasar keuangan. Akibatnya kita saksikan sendiri bagaimana IHSG tertekan, yield SUN jangka pendek meningkat, dan pada gilirannya terjadi tekanan di pasar reksadana. Paniknya pasar menyebabkan Bursa Efek Indonesia harus "tutup" perdagangan. Rupiahpun melemah tak terkontrol mengikuti ayunan pelemahan global. Wajar ini terjadi, karena besarnya kepemilikan saham asing di bursa efek Indonesia, yang saat ini berjumlah 64% dari total kepemilikan. Selain itu, dana asing di pasar SUN dan SBI yang saat ini berjumlah sekitar 14 miliar dollar AS juga sungguh mengkhawatirkan. Komposisi portfolio ini di satu sisi membawa dampak positif karena membawa likuiditas berupa aliran modal masuk. Namun dana ini juga sewaktu-waktu dapat berbalik arah (capital outflow) dan merugikan perekonomian negeri sebagaimana yang terjadi.

Di sisi lain , krisis keuangan di AS tersebut juga berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia, khususnya yang tercermin di sisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Apabila krisis keuangan global ini berlanjut, ekspor Indonesia akan tertekan dan memengaruhi kinerja NPI. Ekspor kita saat ini masih mengandalkan pada sektor yang berbasis sumber daya alam dan peningkatan harga komoditas internasional. Melemahnya ekonomi global dan turunnya harga komoditas pada gilirannya tentu akan menurunkan ekspor. Alhasil, peranan ekspor yang selama ini menjadi cushion bagi perekonomian nasional akan berkurang. Sementara itu, masih tingginya permintaan di dalam negeri mendorong meningkatnya impor barang-barang dari luar negeri yang kemudian akan menekan posisi transaksi berjalan dalam jangka pendek.

Hikmah dari krisis keuangan AS
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi perkembangan yang terjadi tersebut? Tentu kita harus bersikap reflektif dan terbuka. Dalam jangka pendek , apa yang terjadi di AS memang memberi tekanan pada ekonomi domestik. Namun sebenarnya, krisis tersebut dapat menjadi sebuah momentum yang tepat bagi kita untuk memantapkan langkah dalam membangun ekonomi negeri. Kita seolah diingatkan bahwa upaya membesarkan sektor keuangan harus seiring dengan upaya membangun ekonomi di sektor riil.

Saat ini kita memiliki fondasi kestabilan makroekonomi yang jauh lebih baik dibanding setelah krisis. Bahkan di tengah tekanan krisis global seperti ini, ekonomi kita masih dapat tumbuh pada kisaran 6 persen. Pertumbuhan ini harus dapat terus memberi manfaat khususnya pada kehidupan rakyat berupa penurunan kemiskinan dan pengangguran. Tidak ada jalan lain selain memperbaiki kinerja ekonomi kita. Pertama, upaya meningkatkan kinerja sektor riil, membangun daya saing dan diversifikasi ekspor, memperkuat basis UMKM khususnya pertanian dan kelautan dalam menyerap tenaga kerja, serta memicu investasi adalah langkah yang tak dapat ditawar lagi. Harus diakui bahwa peningkatan kinerja ekonomi kita saat ini bukan ditunjang sepenuhnya oleh peningkatan sektor riil, tetapi oleh peningkatan harga komoditas dan kinerja sektor keuangan. Memang terkesan klasik dan membosankan, namun hal ini harus terus dikumandangkan. Upaya melakukan penanaman kembali (re-embeddedness) sektor keuangan pada sektor riil adalah hakikat asali dari sebuah pembangunan ekonomi. Kedua, meneruskan kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dan berhati-hati dan berpihak pada rakyat. Kebijakan yang ditempuh oleh otoritas saat ini dinilai sudah mampu memberikan ketenangan pada pasar karena sifatnya yang konsisten, berhati-hati, dan market friendly. Hal ini merupakan modal kepercayaan para investor terhadap pengelolaan ekonomi makro.

Akhirnya, kita perlu tanggap ing sasmita atau mampu menangkap tanda-tanda yang diberikan alam. Krisis AS adalah sebuah penanda bagi kita semua dalam melakukan refleksi akan pengelolaan ekonomi negeri . Kita pernah diberikan penanda melalui krisis tahun 1997/98, kita diingatkan kembali dengan krisis keuangan di AS tahun 2007/08. Jangan sampai ada peringatan ketiga. Karena saat itu datang, bisa jadi kita sudah terlambat dalam membenahi ekonomi negeri.