Tuesday, June 17, 2008

Bahasa dan Makna

Whereof one cannot speak, thereof one must be silent, itu adalah ungkapan terkenal dari Ludwig Wittgenstein (1889-1951) dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus. Melalui dua bukunya, Tractatus Logico-Philosophicus (1921) dan Philosophical Investigation (1953), Wittgenstein telah memengaruhi perkembangan filsafat di kemudian hari, khususnya tradisi analitik. Dalam buku I (teori gambar), yang merupakan tahap awal pemikirannya, Ia memengaruhi para filsuf neopositivisme. Sedangkan tahap pemikiran berikutnya, buku II (teori permainan bahasa), menjadi titik pangkal tradisi analitik bahasa.

Inti karya Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus ialah bahwa apa yang dapat dikatakan bisa dikatakan dengan jelas, dan tentang apa yang tidak dapat dikatakan kita harus berdiam diri. Bagi Wittgenstein batas tersebut hanya dapat ditarik dalam bahasa. Ide sentral karya Wittgenstein di sini adalah teori gambar (picture theory), yaitu bahwa proposisi adalah gambar dari realitas. Suatu gambar dapat menampilkan apa yang digambarkan jika ada kesamaan struktur antara keduanya. Struktur yang dimaksud adalah susunan atau kaitan logis tertentu antara elemen-elemen yang membentuk sesuatu. Wittgenstein menyebut struktur logis ini sebagai bentuk logis (logical form). Hubungan antara gambar (bahasa) dan yang digambarkannya (obyek, realitas) adalah kesamaan bentuk logis. Dengan demikian, Wittgenstein pun menganggap bahwa proposisi etika dan metafisika tidaklah mungkin. Wittgenstein memang tidak menyangkal akan adanya hal-hal “abstrak”, misalnya konsep kematian atau Tuhan, tetapi menurutnya hal-hal seperti kematian dan Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan karenanya kita harus berdiam diri. Baginya hanya ada satu bahasa yang memiliki makna, yaitu bahasa deskriptif, bahasa yang berbicara tentang realitas empiris. Tetapi segera ia menuai kritik bahwa gagasannya itu rapuh. Hal inilah yang menjadi dasar membuat ia bergeser ke teori kedua, teori permainan bahasa.

Dalam teori keduanya, Wittgenstein menyangkalnya dengan mengajukan konsep "language game" (aturan atau tata bahasa). Bahasa deskriptif menurutnya hanyalah salah satu bentuk saja dalam keseluruhan penggunaan bahasa. Arti kata-kata hanya dapat dipahami dalam kerangka acuan aturan bahasa yang digunakan. Satu kata yang sama bila digunakan dalam tata bahasa dengan aturan pakai yang berbeda, akan mendapat arti yang berbeda pula. Arti suatu kata terus-menerus selalu dapat berubah, tergantung penggunaannya.

Pada tahap ini Wittgenstein sadar bahwa suatu kata tidak harus menunjuk pada suatu obyek dan makna kata tergantung dalam penggunaannya. Suatu kata tetap memiliki arti walaupun tidak ada obyek yang ditunjuknya. Arti suatu kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, karena ia tak dapat dilepaskan dari tata aturan bahasa yang digunakan. Wittgenstein menyadari akan makna bahasa yang terlalu sempit jika hanya untuk menggambarkan fakta-faktanya saja.

Jalan Buntu Program Pencerahan

Adakah jalan keluar dari perangkap kapitalisme saat ini? Theodor Adorno dan Max Horkheimer merupakan tokoh yang sangat sentral dalam The Frankfurt School. Mereka juga dikenal sebagai pencetus aliran Kiri Baru (New Left). Aliran ini mencoba mengkritik kapitalisme namun berada pada tataran yang tidak seradikal Karl Marx. Proyek pencerahan berusaha mencerahkan manusia dengan mengajaknya berpikir rasional. Melalui proyek pencerahan manusia diajak untuk mendidik diri meninggalkan mitos dan menggunakan nalar. Di satu sisi, proyek pencerahan ini berupaya melepaskan mitos dan agama, namun di sisi lain ia juga melahirkan mitos atau agama baru. Di bidang ekonomi misalnya, efisiensi dan hukum pasar menjadi konsekuensi dari Proyek Pencerahan. Lahirlah irasionalitas baru yaitu segala hal menjadi komoditi, artinya ia kehilangan nilai sebenarnya. Produksi dibuat bukan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan kebutuhan baru terus menerus diciptakan demi pertumbuhan produksi. Kalaupun ada demonstrasi dari kalangan kiri, maka atribut demo akan disediakan oleh produksi baru.

Semua hal menjadi komoditas (Lukacs: reifikasi). Konsumsi menjadi yang paling utama. Apa yang dikhawatirkan Marx tidak terjadi, tegangan antara unterbau dan uberbau tidak terjadi. Kapitalisme terbukti bisa mengakomodir semua orang. Di negara kapitalis, para petani dan buruh kini sudah bisa hidup dengan kebebasannya sendiri. Mereka membeli komoditi dan produk-produk kapitalis. Semua unsur kritis terus dibuat komoditi oleh ekonomi pasar. Herbert Marcuse menyebut ini dalam manusia satu dimensi, one dimensional man, yaitu manusia yang sudah terintegrasi penuh dalam rasionalitas. Kalaupun diadakan revolusi, hasilnya akan sama. Di sini, Adorno dan Horkheimer putus asa dan pesimis. Kapitalisme seolah tidak menyediakan jalan keluar. Semua hal mampu diakomodasi dalam kapitalisme. Merekapun akhirnya menghadapi jalan buntu (aphoria).

Renungan Adorno dan Horkheimer ini mencerminkan keterbatasan generasi pertama dari Kaum Kiri Baru. Renungan-renungan kritis mereka akhirnya tidak dapat menembus kenyataan bahwa fenomena kapitalisme telah menyerang balik Proyek Pencerahan yang sejak awal telah disuarakan oleh Marx dan darinya hendak diperjuangkan melalui kebebasan. Gerakan pencerahan akhirnya menjadi sekedar gerakan budaya. Namun gerakan mereka tidak sia-sia karena membuka jalan bagi pemikir pemikir selanjutnya.