Wednesday, January 04, 2012

Blog baru Junanto Herdiawan

Yth teman-teman sekalian,

Guna memudahkan untuk membaca dan mengumpulkan berbagai tulisan saya yang berserak di berbagai blog, saya dibuatkan oleh Mas Amril Taufik Gobel (Daeng Amril), sebuah blog baru, yang beralamat di http://junantoherdiawan.com
Moga-moga blog baru tersebut lebih mudah dibaca dan bermanfaat.

salam
Junanto Herdiawan

Monday, August 15, 2011

Dampak Ekonomi Kerusuhan Inggris



Tulisan ini dimuat di Harian Kontan, 15 Agustus 2011

Di balik meriahnya perayaan Royal Wedding antara Pangeran William dan Kate Middleton bulan April lalu, perekonomian Inggris sejatinya telah menyimpan permasalahan serius. Sejak krisis global 2008, ekonomi Inggris dilanda penyakit berat, yaitu resesi ekonomi, tingginya pengangguran, defisit anggaran yang membengkak, serta masalah demografi yang berdampak pada dilema multikulturalisme.

Untuk mengatasi masalah defisit anggaran yang membengkak, pemerintah Inggris melakukan pemangkasan pengeluaran secara signifikan. Pengeluaran pemerintah dipangkas £83 miliar (4,5% dari PDB) hingga tahun 2014-2015. Pemangkasan pengeluaran tersebut diperkirakan mengurangi sekitar 500 ribu lapangan kerja di Inggris. Di sisi lain, pajak dinaikkan hingga £29 miliar (1,6% dari PDB). Hal tersebut menimbulkan konsekuensi pahit bagi masyarakat Inggris, berupa meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.

Seolah mendapat momentum, keresahan dan ketidakpuasan masyarakat meledak dalam kerusuhan di kota London, pekan lalu (6/8). Kerusuhan di London itupun kemudian menyebar ke berbagai kota di Inggris, seperti Birmingham, Manchester, Liverpool, Leeds, dan beberapa kota lain.

Kerusuhan adalah petaka bagi stabilitas. Berbagai kerusuhan yang terjadi menjadikan masa depan pemulihan ekonomi Inggris dihadapkan pada ketidakpastian. Apalagi kerusuhan ini terjadi jelang setahun diselenggarakannya Olimpiade 2012 di London.
Kerusuhan yang terjadi di Inggris juga memiliki implikasi serius pada pemulihan ekonomi di wilayah Eropa. Inggris adalah kekuatan ekonomi nomor enam dunia, dan ketiga di wilayah Eropa. Namun sebelum kerusuhan terjadi, indikator ekonomi Inggris telah menunjukkan permasalahan yang berat.

Sampai dengan triwulan II-2011, ekonomi Inggris hanya tumbuh sebesar 0,2% (kuartalan). Angka ini sedikit membaik setelah pada triwulan IV-2010 tumbuh negatif sebesar 0,5% (kuartalan). Sementara itu, tingkat produksi di Inggris anjlok 1,4% (kuartalan) dalam triwulan II-2011 akibat lemahnya permintaan dan turunnya produksi migas karena ditutupnya beberapa ladang minyak di Inggris.

Sisi permintaan, yang menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi Inggris, masih lesu akibat turunnya daya beli masyarakat. Inflasi dan pajak yang tinggi telah menggerus daya beli rakyat Inggris. Ketidakpastian masa depan juga menjadikan masyarakat Inggris menahan belanja dan berjaga-jaga dengan menyimpan tabungan yang mereka miliki. Hal itu akan membawa pertumbuhan ekonomi Inggris ke tingkat yang lebih rendah, setidaknya di tahun 2011.

Berbagai hal tersebut memendam keresahan yang berujung pada kerusuhan di beberapa wilayah berpenduduk miskin di Inggris. Keberlanjutan program konsolidasi fiskal yang sedang dijalankan pemerintah Inggris pun mendapat tekanan sejak kerusuhan terjadi. Pemerintah Inggris dihadapkan pada pilihan yang sulit. Apabila mereka menghentikan program konsolidasi, kredibilitasnya akan turun. Namun apabila diteruskan, tantangan ketidakstabilan akan terus meningkat.

Pelajaran Bagi Indonesia
Di sisi lain, melemahnya nilai tukar poundsterling belum mampu meningkatkan ekspor Ingggris. Sebagian besar ekspor Inggris ditujukan ke wilayah Eropa, yang saat ini juga sedang dilanda resesi berkepanjangan. Berbagai kerusuhan masih terjadi secara sporadis di Yunani, Italia, Spanyol, Irlandia, dan Perancis. Akibatnya, sentimen bisnis pelaku usaha di Inggris melesu, ditambah lagi masih ketatnya kondisi kredit, terus turunnya harga properti, dan berkurangnya investasi pemerintah.

Menyikapi tekanan pada ekonomi Inggris tersebut, pemerintah dan bank sentral Inggris berupaya untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Namun mereka dihadapkan pada pilihan yang tidak banyak.

Pemerintah berusaha menjaga kesinambungan fiskal, sementara Bank of England kemungkinan besar masih akan meneruskan kebijakan moneter yang longgar untuk mendorong pertumbuhan. Meski demikian, tekanan inflasi di Inggris yang telah melebihi 4% (yoy) pada Juni 2011, atau di atas target 2% (yoy) di akhir 2012, menjadikan Bank of England juga berada pada posisi yang sulit.

Bagi ekonomi Indonesia, kerusuhan yang terjadi di Inggris sejauh ini belum memberikan dampak secara langsung. Namun kita perlu mencermati perkembangan di sana mengingat Inggris adalah salah satu negara penting yang menjadi tujuan ekspor Indonesia dengan nilai mencapai sekitar 1,7 miliar dolar AS pertahun.

Di sisi lain, masih terus melemahnya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat memberi dampak secara terbatas pada perekonomian nasional. Namun hal ini dapat diimbangi dengan masih tumbuh positifnya negara-negara Asia, seperti Cina dan India.

Kerusuhan di Inggris juga memberi kita beberapa pelajaran. Pertama, stabilitas ekonomi adalah elemen terpenting dalam perekonomian. Terganggunya stabilitas ekonomi akan mengoyak kestabilan politik dan sosial. Oleh karenanya, upaya pemerintah menjaga kestabilan ekonomi perlu diprioritaskan. Kerusuhan yang terjadi di Inggris saat ini bukan dilatarbelakangi oleh alasan politik, melainkan lebih ke faktor ekonomi dan kesenjangan pendapatan.

Pelajaran kedua, kerusuhan dapat menimbulkan kerugian material dan immaterial yang tidak terhitung. Indonesia telah mengalami sendiri dampak pahit dari kerusuhan tahun 1998 yang menimbulkan trauma. Untuk bangkit dari persepsi negatif dunia internasional, membutuhkan waktu yang panjang. Kerugian material akibat kerusuhan Inggris diperkirakan melebihi £100 juta. Namun kerugian immaterial, nampaknya jauh lebih besar lagi karena turunnya kepercayaan internasional.

Ketiga, semakin perlunya pemerintah mendengarkan berbagai permasalahan struktural yang terjadi di masyarakat. Beberapa bulan sebelum kerusuhan, sekitar dua ribu masyarakat miskin di London melakukan demonstrasi. Namun kabarnya tidak satupun orang mendengar. Kerusuhan pun terjadi.

Salah seorang pelaku kerusuhan mengatakan bahwa kini dunia mendengar keluhan kami. Dari situ kita melihat bahwa kerusuhan bisa menjadi sarana rakyat untuk menyuarakan pendapatnya, apabila saluran-saluran yang lain mampat. Untuk itu, kita perlu berhati-hati.

Junanto Herdiawan, Ekonom Senior Bank Indonesia, Alumnus Leeds University, Inggris

Friday, April 08, 2011

Masa Depan Nuklir Sesudah Fukushima

Tulisan ini dimuat di Harian KONTAN, 8 April 2011, hal 23

Semenjak terjadi krisis reaktor nuklir Fukushima, yang terletak di wilayah timur laut Jepang, masa depan energi nuklir berada dalam kegamangan. Bayangan tragedi Three Mile Island di Amerika Serikat (1979) dan Chernobyl di Ukraina, bekas wilayah Uni Soviet (1986) terasa bangkit kembali. Dunia kemudian dihinggapi oleh kecemasan akan keselamatan reaktor nuklir dan bahaya radiasi pada kehidupan manusia.

Sesaat setelah terjadi bencana di Fukushima, Amerika Serikat, India, dan Korea Selatan langsung melakukan review terhadap standar keamanan pada seluruh reaktor nuklir mereka. Jerman menghentikan 7 dari 17 reaktor yang dimiliki. Taiwan mengundurkan jadwal operasi reaktor barunya. Italia melakukan penilaian kembali perlunya memiliki reaktor nuklir. Sementara China menghentikan sementara pembangunan semua reaktor nuklir baru. Rencana pembangunan reaktor nuklir di beberapa negara sementara dihentikan. Hanya dua negara di Asia Tenggara yang mengindikasikan terus memiliki reaktor nuklir, yaitu Indonesia dan Vietnam.

Para pengambil kebijakan kini berada pada posisi yang sulit karena menghadapi tekanan publik akan keselamatan reaktor nuklir mereka. Hal inilah yang juga menjadikan banyak negara mulai mempertimbangkan keberadaan reaktor nuklir mereka. Pertemuan pemimpin negara-negara industri maju G-8, yang dijadwalkan Mei mendatang, akan membahas secara khusus tentang standar keamanan reaktor nuklir dan masa depan energi nuklir.

Dibandingkan dengan gas dan batu bara, nuklir diyakini sebagai sumber energi masa depan yang harganya lebih murah dan memiliki emisi karbon yang jauh lebih rendah. Para ilmuwan juga mengatakan, untuk kepentingan energi, nuklir memiliki daya damai yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Kitapun menyaksikan masa kebangkitan nuklir (nuclear renaissance) sebelum tragedi Fukushima terjadi.

Saat ini ada sekitar 440 reaktor nuklir yang beroperasi di 31 negara, dan menyumbang sekitar 15% energi listrik dunia. Sebanyak 63 reaktor sedang dibangun, dan lebih dari 158 dalam proses pengajuan pendirian di berbagai negara. Alasannya masuk akal, bahwa upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, membutuhkan energi yang berkesinambungan dengan emisi karbon rendah. Apalagi ke depan bahan bakar fosil semakin langka dan habis.

Langkah berbagai negara menimbang ulang pembangunan reaktor nuklir tersebut menjadikan masa depan energi nuklir berada dalam ketidakpastian. Hal ini juga tercermin dari anjloknya harga uranium dunia. Pascatsunami Jepang, harga uranium turun menuju titik terendah pada tanggal 17 Maret 2011, menyentuh US$ 49.74 per lb. Pada masa kebangkitan industri nuklir di tahun 2007-2008, harga uranium pernah menyentuh rekor tertinggi, mencapai US$ 136 per lb, sebelum turun karena krisis ekonomi global. Menurut Asosiasi Nuklir Dunia, di 2009 permintaan uranium dari 9 negara penghasil uranium sebesar 5,4 juta metrik Ton.

Dari sisi perekonomian, ketersediaan energi listrik menjadi salah satu variabel penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Berbagai industri manufaktur hanya akan bisa tumbuh dan berkembang di tempat yang menyediakan pasokan energi murah dan berkesinambungan. Hal ini membuat beberapa negara, seperti China dan Vietnam berpacu membangun reaktor nuklir.

China telah melakukan investasi agresif di bidang reaktor nuklir. Data dari Asosiasi Nuklir Dunia menunjukkan, di China, sebanyak 27 reaktor sedang dibangun, 50 reaktor sedang dalam proses perencanaan, dan 110 reaktor sedang diajukan untuk mendapat persetujuan pemerintah.

Saat ini China memiliki 13 reaktor nuklir yang sudah beroperasi dan menghasilkan 65,7 terrawatt hours (TWh). Jumlah ini hampir mencapai 2% dari kebutuhan total energi di China tahun 2009.

Dengan bangkitnya perekonomian China menjadi kekuatan ekonomi nomor dua dunia, Beijing terus menggenjot jumlah reaktor nuklir guna memenuhi target 5% pangsa energi nuklir di tahun 2020. Permintaan energi China diperkirakan meningkat sebesar 75% antara tahun 2008 hingga 2035.

Dalam draft Pembangunan Lima Tahun ke-12 awal Maret lalu, pemerintah China menargetkan tambahan kapasitas listrik sebesar 40 gigawatt tahun 2011-2015. Ini empat kali lebih besar dari ketersediaan listrik di tahun 2010. Namun, bencana di Fukushima membuat China sementara menangguhkan berbagai proyek nuklir tersebut.

Banyak pertimbangan
Ditangguhkannya berbagai proyek nuklir di banyak negara tersebut menunjukkan bahwa meski energi nuklir memiliki “daya damai” yang bermanfaat, segi keselamatan tetap menjadi prioritas. Berbagai tragedi menyisakan pertanyaan berapa yang harus dibayar dari kenyamanan teknologi nuklir.

Pelajaran dari kasus Fukushima ini jelas. Di satu sisi, standar pengamanan dan budaya pengelolaan disiplin menjadi syarat utama pengelolaan reaktor nuklir. Namun di sisi lain, kemungkinan bencana alam terburuk, termasuk gelombang tsunami, juga perlu dipikirkan dalam pembangunan reaktor nuklir. Apalagi beberapa negara yang memiliki reaktor nuklir, justru berada di wilayah “ring of fire” yang rawan dengan bencana gempa, tsunami, dan gunung berapi. Berbagai risiko tadi belum mempertimbangkan risiko lain, yakni ancaman terorisme. Bila terjadi serangan teroris pada reaktor nuklir, dampaknya sangat fatal.

Ujung-ujungnya, pembangunan reaktor nuklir memerlukan banyak pertimbangan. Bukan hanya dari sisi tekhnis operasional, namun juga dari sisi ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, masa depan energi nuklir ke depan diperkirakan masih akan tumbuh, namun secara moderat.

Beberapa negara, seperti Perancis yang tingkat ketergantungannya terhadap nuklir mencapai 75%, Finlandia, dan Belanda, masih akan berjalan dengan program nuklirnya. Negara-negara tersebut diperkirakan akan meningkatkan investasi untuk membangun reaktor nuklir generasi baru, yang diyakini lebih aman dan tahan terhadap bencana alam.

Namun di sisi lain, pembangunan beberapa reaktor kemungkinan akan terhambat atau dihentikan seiring dengan dilakukannya pengetatan syarat-syarat keamanan.

Bencana di Fukushima menunjukkan bahwa Jepang, negara yang paling disiplin, paling baik perencanaannya terhadap bencana dan salah satu yang paling kompeten dalam pengelolaan reaktor nuklir, tampak gagap. Kegelisahan, kengerian, dan ketakutan, sempat dirasakan pada penduduk Jepang, dan ikut menyebar ke seluruh dunia.

Kiranya berbagai hal itu perlu dipertimbangkan oleh setiap negara yang ingin membangun reaktor nuklirnya.

Junanto Herdiawan, Analis Ekonomi Senior

Wednesday, April 06, 2011

Menghitung Tsunami Ekonomi Jepang

Tulisan ini dimuat di Harian Kontan, 23 Maret 2011, hal 23.

Sebelum terkena bencana tsunami 11 Maret 2011 lalu, sejatinya perekonomian Jepang telah menyimpan beberapa masalah serius. Ekonomi Jepang menderita penyakit 3D, yaitu Depression, Deflation, dan Demographic.

Artinya, ekonominya mengalami depresi, terjebak dalam deflasi yang berkepanjangan, dan populasinya menua. Dan saat terkena bencana, mereka mendapat dua tambahan “D” lagi, yaitu Disaster dan Destruction. Belum lagi ada satu “D” yang selama ini juga telah menggayuti ekonomi Jepang, yaitu Debt (Utang).

Bencana kali ini lebih berat, karena selain menghadapi gempa dan tsunami, Jepang harus menghadapi krisis reaktor nuklir Fukushima. Bagaimana dampak bencana kali ini bagi Jepang? Untuk menghitung dampaknya, pertama kita perlu menghitung potensi kerugian yang muncul dari bencana kali ini. Lalu, kita perlu melihat potensi pemulihan atau rekonstruksi pascabencana yang dilakukan oleh Jepang, sehingga dampak total bencana bisa diperkirakan.

Setelah itu, kita juga dapat memperkirakan dampak bencana ini bagi perekonomian Indonesia. Bagi Indonesia, Jepang adalah mitra dagang terbesar, dengan pangsa sekitar 17% dan total ekspor senilai 25 miliar dolar AS.

Banyak pendapat yang mencoba membandingkan bencana kali ini dengan Gempa Kobe tahun 1995. Beberapa analis berpendapat, dampak bencana 2011 pada perekonomian Jepang tidak akan sebesar Kobe. Hal ini karena daerah yang terkena tsunami (Prefektur Miyagi), memiliki potensi ekonomi lebih kecil dibandingkan Kobe. Menilik pangsanya terhadap produk domestik bruto (PDB), pangsa Prefektur Miyagi hanya 1,7% terhadap PDB, lebih kecil dibanding Kobe, yang mencapai 2% dari PDB.

Namun, kita perlu ingat bahwa gempa yang menimpa Kobe berbeda dengan tsunami Miyagi. Saat Gempa Kobe, yang terkena dampaknya adalah sektor pelabuhan dan industri, namun tidak memengaruhi pasokan energi ke seluruh Jepang.

Tsunami tahun ini, bukan hanya menghantam wilayah Miyagi, namun mengenai reaktor nuklir Fukushima, yang menjadi pemasok sekitar 24% energi ke seluruh Jepang. Akibatnya, bukan hanya di wilayah yang terkena tsunami, namun sebagian besar Pulau Honshu (pulau terbesar di Jepang), mengalami kekurangan suplai energi.

Terkait dengan hal tersebut, bencana kali ini diperkirakan memberi dampak serius, dan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan Gempa Kobe 1995. Dampak putaran pertama dari bencana Jepang ini (first round impact) adalah menurunnya output beberapa industri, terkait dengan rusaknya pabrik akibat tsunami.

Di Miyagi, terdapat empat area yang terkena dampak paling parah, yaitu Iwate, Miyagi, Fukushima, dan Ibaraki. Keseluruhannya menyumbang sekitar 6,2% PDB Jepang (berdasarkan pengeluaran). Tsunami yang menghantam wilayah timur laut Jepang, diperkirakan akan menghentikan industri yang berada di wilayah sekitar pantai timur laut, minimal satu tahun ini, akibat kerusakan parah pada pabrik.

Analis memperkirakan terhentinya pabrik tersebut akan menurunkan pertumbuhan Jepang sebesar 2,2% hingga 3.0% dari PDB, atau sekitar 12 triliun Yen (148 miliar dolar AS). Apabila hal itu juga memperhitungkan industri berat di wilayah Fukushima dan Ibaraki, dampaknya akan lebih besar.

Dampak lanjutan (second round impact) dari bencana tersebut muncul akibat krisis reaktor nuklir Fukushima. Jepang akan mengalami kekurangan energi listrik dalam jangka pendek. Hal ini mengakibatkan penutupan operasi industri di hampir sebagian wilayah Kanto, atau di luar wilayah yang terkena dampak tsunami, khususnya industri yang menyerap banyak tenaga listrik, seperti industri baja dan otomotif.

Sementara itu, pemadaman bergilir dilakukan bukan hanya pada daerah yang terkena gempa, melainkan juga pada sekitar 13 prefektur, yang menyumbang sekitar 42% dari PDB Jepang. Mereka menjadi basis industri terkemuka Jepang, seperti Sony, Toyota, Nippon Steel, dll.

Risiko lain yang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Jepang adalah turunnya konsumsi masyarakat akibat kepercayaan yang turun, penguatan Yen yang berkelanjutan, dan apabila penanganan krisis reaktor nuklir tidak berjalan baik.

Tumbuh berkat rekonstruksi

Meski kerugian terhadap perekonomian Jepang akibat bencana ini cukup besar, harapan terletak pada upaya rekonstruksi atau pembangunan kembali Jepang, dalam jangka menengah panjang. Berapa jumlah biaya pemulihan untuk bencana kali ini, masih sulit dihitung.

Banyak analis memperkirakan biaya rekonstruksi gempa-tsunami 2011 ini antara US$ 100 milar – US$ 200 miliar dolar AS. Sementara biaya pembangunan kembali infrastruktur diperkirakan mencapai US$ 300 miliar dalam waktu sekitar 3 tahun. Biaya itu belum mempertimbangkan dampak pembersihan reaktor nuklir Fukushima, yang kemungkinan akan memakan waktu panjang dan biaya besar. Melihat dari kasus Three Mile Island di Amerika, mereka membutuhkan 14 tahun dengan biaya lebih dari US$ 1 triliun.

Menghitung kerugian dan potensi rekonstruksi pascabencana tersebut, perekonomian Jepang diperkirakan akan melemah dalam jangka pendek, terkait dengan kekurangan energi listrik dan rantai distribusi yang terganggu. Namun, proses rekonstruksi diperkirakan akan menahan kontraksi ekonomi tersebut. Beberapa lembaga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Jepang akan turun antara 0.1-0.2% secara year on year (yoy)

Ekspor Jepang dari industri yang mengandalkan tenaga listrik besar, seperti – baja, otomotif, elektronik – diperkirakan akan terpukul terkait dengan dihentikannya produksi beberapa pabrik dan turunnya kepercayaan pasar. Di sisi lain, impor Jepang, terutama bahan bakar untuk mengkompensasi hilangnya tenaga nuklir akan meningkat.

Kalau kita tarik ke dalam negeri, sebagai mitra dagang terbesar, gempa Jepang akan memberi dampak pada perekonomian Indonesia, khususnya melalui jalur perdagangan dan keuangan. Di sisi perdagangan, kita melihat kebutuhan energi Jepang akan meningkat dalam jangka pendek.

Beberapa hari setelah tsunami, Jepang menandatangani kesepakatan tambahan impor LPG sebesar 150.000 ton dari Rusia, dan 500.000 ton dari Korea Selatan. Dari sisi ini, Indonesia tentu dapat melihat peluang akan meningkatnya ekspor LPG ke Jepang.

Sementara di jangka menengah, saat dilakukannya rekonstruksi, kebutuhan akan alat-alat listrik dan alat dukung konstruksi diperkirakan ikut meningkat. Namun di sisi lain, impor Indonesia dari Jepang juga akan terpengaruh. Produksi otomotif, baja, dan elektronik Jepang, diperkirakan akan terganggu, setidaknya hingga akhir tahun 2011.

Akhirnya, kita tidak hanya perlu melakukan antisipasi ataupun meributkan dampak radiasi reaktor nuklir Jepang ke Indonesia. Namun yang tak kalah penting juga adalah bagaimana kita bisa mengantisipasi dampak ekonomi dari bencana yang terjadi di Jepang.

Junanto Herdiawan
Ekonom di Kantor Perwakilan BI Tokyo

Thursday, March 24, 2011

Meneropong Ekonomi Jepang Pascatsunami

Sebagaimana dimuat di Kompas.com

Meski situasi di Jepang masih kritis karena isu meluasnya radiasi dari reaktor nuklir Fukushima, upaya menghitung kerugian ekonomi mulai dilakukan oleh banyak pihak. Dalam beberapa hari ini, kami sempat berdiskusi dengan para analis di Tokyo untuk membahas dampak bencana terhadap ekonomi Jepang.

Hal ini menjadi penting, karena Jepang adalah mitra dagang terbesar Indonesia dengan pangsa 17% dan perdagangan senilai 25 miliar dollar AS. Oleh karenanya, apa yang terjadi di Jepang pada gilirannya akan berdampak pada ekonomi Indonesia.

Memang terlalu dini untuk menghitung secara lengkap data ekonomi dari bencana kali ini. Namun kita perlu membedakan dua krisis yang menimpa Jepang, yaitu bencana gempa-tsunami dan krisis reaktor nuklir Fukushima. Gempa dan tsunami memang menghancurkan Jepang. Namun, dari sisi ekonomi, upaya rekonstruksi atau pembangunan kembali akan mendorong lagi aktivitas perekonomian Jepang.

Di sisi lain, krisis reaktor nuklir Fukushima kemungkinan dapat menjadi masalah bagi ekonomi Jepang apabila dampaknya meluas. Keterbatasan pasokan listrik akibat berhentinya reaktor nuklir Fukushima dapat menggangu keberlangsungan industri Jepang. Selain itu, masalah radiasi yang dikabarkan mulai menyebar ke produk makanan dan air minum di Jepang, dapat mengakibatkan gangguan pada perekonomian Jepang apabila tidak segera diatasi.

Sebelum terkena tsunami, ekonomi Jepang telah menyimpan masalah serius. Mereka menderita penyakit 3D, yaitu Depression, Deflation, dan Demographic. Ekonominya mengalami Depresi dan terjebak dalam Deflasi yang berkepanjangan, sementara populasinya menua (Demografi). Saat terkena tsunami, mereka mendapat derita dua tambahan “D” lagi, yaitu Disaster dan Destruction. Gabungan 5D tersebut membawa masalah besar yang berujung pada penyakit persisten ke 6 yang selama ini menggayuti ekonomi Jepang, yaitu DEBT (Utang). Lengkaplah Jepang menderita penyakit 6D.

Dengan berbagai masalah tersebut, bagaimana Jepang dapat bangkit dari krisis? Apabila dilihat dari sisi ekonomi, banyak yang membandingkan bencana gempa tsunami kali ini dengan gempa di Kobe tahun 1995. Saat itu Jepang begitu cepat pulih dan dampak bencananya tidak besar.

Kalau dilihat gempa kali ini, sumbangan wilayah Miyagi yang terkena gempa, terhadap PDB Jepang, jauh lebih kecil dibandingkan Kobe. Miyagi Prefektur “hanya” menyumbang 1.7% dari total PDB Jepang. Angka ini lebih kecil dibandingkan Kobe dengan sumbangan sebesar 2% dari total PDB. Kobe juga merupakan wilayah industri yang memiliki pelabuhan besar dunia, dengan sumbangan 4% dari PDB Jepang. Dengan indikator tersebut, beberapa pengamat memperkirakan gempa kali ini berdampak lebih sedikit pada pertumbuhan ekonomi Jepang dibanding Kobe.

Namun satu hal yang kita tidak boleh lupa adalah bahwa gempa kali ini memiliki eksposur dan skala yang lebih besar dari Kobe. Selain itu, yang lebih parah lagi adalah, saat Gempa Kobe tidak terjadi masalah dengan pasokan listrik di Jepang. Krisis nuklir di Fukushima yang terjadi setelah gempa 2011 ini, telah mengakibatkan Jepang mengalami krisis listrik. Sebagai informasi, reaktor nuklir Fukushima 1 dan 2 menyumbang sekitar 24% tenaga listrik bagi Jepang. Akibat ditutupnya reaktor tersebut, Jepang mengalami krisis energi listrik.

Kekurangan energi listrik tersebut akan berdampak langsung pada industri yang menyerap banyak tenaga listrik, seperti industri baja dan otomotif. Akibat tidak langsungnya terjadi pada industri turunannya, seperti spare parts dan perlengkapan lainnya, yang ikut tutup karena industri hulunya tutup. Pemadaman bergilir juga dilakukan bukan hanya di wilayah yang terkena gempa, namun pada sekitar 13 prefektur, yang menyumbang sekitar 42% dari PDB Jepang, dan menjadi basis industri terkemuka Jepang, seperti Sony, Toyota, Nippon Steel, dll. Dalam skenario terburuk, apabila keseluruhan industri tersebut akan mengurangi kapasitas operasinya hingga beberapa minggu pascabencana, dampaknya ke PDB diperkirakan cukup signifikan. Ini artinya, ekonomi Jepang akan melemah.

Namun harapan terletak pada upaya pembangunan kembali Jepang pascabencana. Biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan kembali Jepang diperkirakan melebihi 200 miliar dollar AS. Bahkan ada yang mengatakan hingga 500 miliar dollar AS. Angka ini selain muncul dari klaim asuransi, juga dari biaya pembangunan infrastruktur, seperti jembatan, jalan raya, dan bangunan. Hal ini dapat menahan perlambatan ekonomi Jepang dalam jangka menengah panjang. Total biaya rekonstruksi ini akan lebih besar lagi kalau memperhitungkan biaya pemulihan wilayah di sekitar reaktor nuklir Fukushima. Saat krisis reaktor Three Mile Islands saja, biaya yang muncul hampir mencapai 1 miliar dollar AS untuk pembersihan radiasi selama 14 tahun.

Dengan bencana tersebut, tahun ini Jepang akan memasuki double dip recession, atau kembali lagi masuk ke zona resesi, dengan pertumbuhan negatif pada triwulan I dan triwulan II 2011, setelah juga mengalami kontraksi ekonomi sebesar 0.3% pada triwulan IV-2010. Dampak negatif bencana akan dirasakan sepenuhnya pada tahun 2011, terkait dengan kekurangan energi listrik dan rantai distribusi yang terganggu. Selanjutnya, pada tahun 2012 hingga 2016, Jepang diperkirakan akan melakukan rekonstruksi seluruh daerah yang terkena gempa.

Kalau kita lihat dari sisi Neraca Pembayaran, ekspor Jepang dari industri yang mengandalkan tenaga listrik besar, seperti – baja, otomotif, elektronik – dan konsumsi diperkirakan akan terpukul terkait dengan dihentikannya produksi beberapa pabrik dan turunnya kepercayaan pasar. Di sisi lain, impor Jepang, terutama terkait dengan bahan bakar untuk mengkompensasi hilangnya tenaga nuklir akan meningkat.

Perkembangan ke depan, akan sangat tergantung pada bagaimana Jepang mengatasi dampak ekonomi bencana ini. Apakah Jepang akan mengoptimalkan industrinya di luar negeri, dan mencari alternatif sumber energi secara cepat, akan sangat memengaruhi pemulihan mereka. Apabila Jepang mampu secara cepat mengganti sumber energi listriknya, maka dampak negatif ekonominya dapat dikurangi.

Menghadapi berbagai perkembangan tersebut, Indonesia perlu berhitung dan melihat dampak dari bencana Jepang. Dampak bencana Jepang akan sampai ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan keuangan. Dalam jangka pendek, Jepang pasti akan membutuhkan alternatif pengganti energi. Kemungkinan terbesar adalah mereka akan mengimpor LNG secara besar-besaran.

Selain itu, kemungkinan besar dalam jangka menengah, sektor industri, perbankan, dan keuangan Jepang, akan memfokuskan operasi pada rekonstruksi pascabencana. Di satu sisi, hal ini akan meningkatkan permintaan bahan-bahan listrik, alat-alat konstruksi, dan kebutuhan material lainnya.

Pada ujungnya, kita tidak hanya perlu melakukan antisipasi ataupun meributkan dampak radiasi reaktor nuklir Jepang ke Indonesia. Namun yang tak kalah penting juga adalah bagaimana kita bisa mengantisipasi dampak ekonomi dari bencana yang terjadi di Jepang.

Salam dari Tokyo

Mengapa Saya (Masih) Bertahan di Tokyo

Sebagaimana dimuat di Kompas.com

Krisis nuklir acapkali menimbulkan ketakutan. Saat bom atom pertama diciptakan, hingga nuklir ditemukan, manusia berada dalam ketakutan yang konstan. Ini yang dulu dikatakan oleh filsuf Hans Jonas sebagai “heuristik ketakutan”.

Saat krisis reaktor nuklir Fukushima 1 terjadi, saya juga dirambati oleh rasa takut itu. Jarak reaktor nuklir Fukushima dengan Tokyo hanya sekitar 200km. Dalam pikiran saya, sekiranya terjadi hal terburuk, kota Tokyo akan diterjang radiasi nuklir dalam hitungan jam. Makin hari, krisis juga terlihat makin tereskalasi, dan seolah tak terkendali. Berbagai ledakan dan lepasan radioaktif terus berlangsung.

Di sisi lain, media massa terus menerus memberitakan suasana yang mencekam. Saat dikatakan radiasi telah mencapai kota Tokyo, saya makin dilingkupi rasa takut. Keluarga di rumah, anak-anak yang masih kecil, dan terutama dampak radiasi yang mengerikan, menjadi alasan saya untuk takut. Belum lagi ditambah puluhan telpon dan sms dari kerabat di tanah air, yang pesannya sama, “Pulang sekarang juga, keadaan makin bahaya!!”

Media massa makin menyulut kepanikan. Hal itu turut dirasakan di Tokyo, khususnya para warga negara asing. Gelombang eksodus warga asing meningkat. Bandara Narita penuh oleh warga asing yang ingin pulang ke negaranya. Saya mencoba menghubungi sesama kolega warga asing di Tokyo. Rekan dari Perancis, Italia, Jerman, dan negara Eropa lainnya sudah mengungsi. Saat saya telpon kantor mereka, banyak yang sudah di luar Tokyo. Sementara kolega dari Cina, saat saya hubungi sudah mengungsi ke selatan. Hanya satu kolega dari Korea Selatan yang masih bertahan dan tetap bekerja.

Wajar apabila saya panik melihat kondisi seperti itu. Haruskah saya ikut lari, mengikuti kepanikan ratusan manusia lainnya. Haruskah saya panik, meninggalkan sahabat-sahabat Jepang saya di kantor, yang berulangkali meyakinkan saya bahwa keadaan aman. Haruskah saya mengungsi, semata hanya karena mempercayai apa yang dimuat di televisi.

Saya teringat ucapan PM Inggris Lloyd George tentang kepanikan di pasar keuangan, “financiers in panic do not make a pretty sight”. Dalam kepanikan kita kerap tak bisa berpikir jernih. Sayapun kemudian mencoba melihat keadaan di kota Tokyo. Hampir tidak ada tanda-tanda kepanikan di wajah orang Jepang. Mereka melakukan aktivitas seperti biasa. Aktivitas berjalan normal tanpa ada yang berubah signifikan. Kalaupun ada yang berbeda adalah karena pasokan listrik yang berkurang, sehingga terjadi penghematan listrik di banyak tempat, termasuk pengurangan operasi kereta api.

Selama pekan lalu, rekan-rekan analis Jepang bahkan masih mengajak diskusi, menelpon, seperti keadaan normal. Saya juga menerima telpon dari beberapa perusahaan dan bank Jepang yang mengatakan bahwa investor Jepang masih akan melakukan investasi di Indonesia. Mereka tidak menunjukkan tanda-tanda panik.

Mengapa mereka tidak panik?

Saat saya tanya, jawabnya adalah karena mereka percaya pada pemerintahnya. Orang Jepang percaya bahwa pemerintah Jepang akan melakukan yang terbaik dan selalu memikirkan rakyatnya. Jangankan untuk krisis nuklir, saat gempa dan seluruh transportasi mati di Tokyo saja, tiba-tiba di stasiun sudah dibagikan selimut dan air putih gratis. Beberapa vending machine otomatis gratis. Makanan juga tiba-tiba keluar entah dari mana.

Pemerintah Jepang sudah siap dengan berbagai kemungkinan. Apalagi untuk krisis nuklir, sangat tidak mungkin apabila pemerintah belum memikirkan kondisi terburuk. Alhasil, orang Jepang bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Meski mereka juga pastinya waswas dengan perkembangan yang terjadi, tapi itu tidak ditunjukkan. Setiap bertemu, mereka saling mengobarkan semangat sesama untuk membangun kembali Jepang. Sama sekali tidak ada kepanikan seperti yang digambarkan di media.

Saya juga percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabat saya, mas Kunta, kandidat PhD Nuklir di Jepang, yang mengatakan bahwa keadaan tak seburuk yang diberitakan media. Saya sempat ikut dalam pertemuan darurat nuklir di KBRI Tokyo, yang dipimpin oleh Dubes RI untuk Jepang, M Lutfi. Dari diskusi yang juga dihadiri para ahli nuklir tadi, kami berkeyakinan bahwa kondisi sampai saat ini masih aman, dan KBRI belum perlu melakukan evakuasi pada warga negara Indonesia.

Para mahasiswa nuklir tersebut, kami menyebutnya “The Nuclear Boys”, diberi ruang kerja di KBRI Tokyo untuk terus memantau dan melakukan update pada warga Indonesia akan kondisi reaktor nuklir Fukushima. Mereka akan memberikan sinyal alert sekiranya kita perlu melakukan evakuasi, yang menurut mereka sangat kecil kemungkinannya terjadi di Tokyo.

Saya seperti ikut kuliah nuklir saat mengikuti penjelasan para nuclear boys ini. Menurut mereka, apa yang dilakukan pemerintah Jepang saat ini sudah sesuai dengan prosedur pengamanan reaktor nuklir, karena reaktor nuklir dibangun dengan mempersiapkan keadaan terburuk yang mungkin terjadi.

Apa yang terjadi pada reaktor Fukushima ini dapat dikatakan apes. Rencananya reaktor ini akan ditutup pada bulan April 2011, karena usianya yang sudah lama (40 tahun). Namun siapa nyana, sebelum ditutup malah terkena tsunami.

Meski sudah berusia 40 tahun, reaktor Fukushima ini tetap menganut prinsip dasar pengelolaan reaktor nuklir yang dikenal dengan istilah 3C, yang berarti Control, Cool, dan Contain. Dalam kondisi apapun, termasuk bencana, reaktor nuklir harus selalu dapat di –Control. Dan fungsi Control ini terbukti bekerja baik. Hal ini terbukti saat gempa terjadi, seluruh reaktor berhenti (shutdown), yang mengurangi terjadinya risiko kebocoran.

Setelah berhenti, reaktor ini membutuhkan langkah pendinginan (cooling). Langkah ini sebenarnya dapat dilakukan secara otomatis dengan pompa listrik yang akan menyirami reaktor dengan air laut. Sayangnya, tsunami menghajar alat otomatis tersebut. Akibatnya proses pendinginan gagal. Inilah yang saat ini diributkan dan diberitakan di media. Inilah juga yang sedang dilakukan dan diperjuangkan oleh Jepang. Mereka berusaha mendinginkan reaktor tersebut. Langkah pendinginan itu mensyaratkan beberapa ledakan untuk mengurangi tekanan. Jadi ledakan-ledakan tersebut bukan tak terkendali, namun memang bagian dari proses pendinginan. Risikonya memang ada pelepasan radiasi ke udara.

Meski pendinginan gagal, bahan radioaktif yang berbahaya masih tersimpan dalam tabung pengamannya (reactor vessel). Inilah fungsi C ketiga, atau Contain tadi. Bahan radioaktif berbahaya di reaktor Fukushima, tersimpan baik dalam berbagai lapisan tabung pengaman. Hal ini berbeda dengan reaktor nuklir Chernobyl yang tidak memiliki vessel pengaman dan tidak didinginkan dengan air, melainkan dengan graphite yang justru memicu api. Reaktor Chernobyl juga digunakan untuk keperluan militer, sementara Fukushima untuk pembangkit energi. Oleh karena itu, di Chernobyl, material yang digunakan berbeda, materinya berbeda, dan cara penangannya juga berbeda. Jadi, bencana Chernobyl tidak mungkin terjadi di Fukushima.

Mengenai radiasi yang terjadi, bahan yang saat ini dilepaskan di udara adalah jenis cesium 137 dan iodine 131. Keduanya terbawa udara dan tertiup angin sampai di Tokyo. Namun semakin jauh zat ini dari pusatnya, ia semakin terurai dan tidak berbahaya. Inilah yang menjadikan pemerintah Jepang membuat radius evakuasi sepanjang 30 km. Sementara mereka mengatakan bahwa kota Tokyo masih aman.

Kemarin, radiasi di daerah Shinjuku Tokyo sekitar 0.089 microsievert (satuan pengukur radiasi). Sebagai perbandingan, angka radiasi itu kurang lebih sama dengan radiasi kalau kita makan 4 butir pisang. Jauh lebih kecil dari radiasi kalau kita naik pesawat terbang, ataupun bekerja di depan komputer.

Dengan berbagai alasan yang sangat rasional tersebut, saya belum melihat alasan mengapa harus melakukan evakuasi dari Tokyo saat ini. Masyarakat Jepang tetap bekerja, dan kitapun harus tetap bekerja. Beberapa kerabat dan teman yang khawatir dengan kondisi kami, saya sarankan untuk sementara berhenti melihat televisi atau media yang kerap “lebay” dalam memberitakan keadaan di Jepang, khususnya terkait dengan krisis nuklir Fukushima.

Masalah pemerintah Jepang memang terletak pada upaya komunikasi mereka yang kurang baik. Orang Jepang terkenal hebat dalam perencanaan dan pelaksanaan, namun kerap memiliki masalah dengan komunikasi. Hal ini yang menyebabkan terjadinya banyak ketidakjelasan dalam penanganan krisis nuklir kali ini. Persis seperti saat krisis rem blong Toyota lalu, di mana mereka sangat lama dalam melakukan respons. Hal ini mungkin terkait juga dengan budaya mereka yang selalu ingin semuanya serba pasti sebelum berkata.

Terlepas dari itu, berdasarkan berbagai informasi tadi, dan juga melihat kegigihan orang-orang Jepang, ketangguhan rekan PPI, kesabaran rekan KBRI, dan teman Indonesia lain di Jepang, saya melihat memang belum ada alasan untuk melakukan evakuasi saat ini. Semoga keadaan ke depan bisa lebih baik.

Salam

Sunday, March 13, 2011

Merasakan Gempa Terburuk di Jepang

Sebagaimana dimuat di Kompas.com, 12 Maret 2011



Selama satu tahun tinggal di Jepang, saya sering merasakan gempa. Hampir setiap bulan, Jepang diguncang gempa. Oleh karenanya, saya mulai terbiasa oleh gempa sporadis yang berulangkali terjadi. Biasanya saya akan tetap diam dan menunggu hingga gempa berlalu. Warga Jepang juga terbiasa dengan gempa. Mereka selalu terlihat tenang, setiap gempa mengguncang.

Tapi, gempa kemarin (11/3) sungguh beda. Itu bukan gempa biasa.

Saat guncangan pertama terjadi, saya merasakan getaran yang hebat. Tak lama, lemari di ruang kerja saya jatuh terbalik dan buku-buku bertebaran. Saat itu saya sedang berada di kantor yang berlokasi di lantai 9 sebuah gedung di daerah Marunouchi, Tokyo.

Saya langsung berdiri dan bertanya pada rekan kantor yang warga Jepang. Mulanya mereka mengatakan untuk tenang, namun saat guncangan makin besar, mereka juga panik. Kalau warga Jepang sudah panik, artinya gempa ini serius. Ketika getaran semakin keras, kami bertahan di bawah meja dan melihat ruangan kantor porak poranda. Selain lemari, papan tulis, gantungan jaket, dan buku-buku, ambruk dan berhamburan ke lantai.

Getaran tidak berhenti namun justru bertambah kencang. Debu-debu mulai berjatuhan dari langit-langit ruang kerja. Saat itu, kami mulai panik. Namun di tengah kepanikan, saya kagum dengan kesigapan, standard operation procedure, dari pengelola gedung.

Saat guncangan pertama terjadi, pengeras suara langsung mengumumkan bahwa saat ini terjadi gempa yang cukup keras. Kita diminta untuk tetap bertahan di ruangan. Hal ini bagi saya agak berat, sebab sudah pernah beberapa kali merasakan gempa di gedung tinggi Jakarta. Dan yang dilakukan saat itu adalah, kita berhamburan keluar melalui pintu darurat. Namun hal itu justru dilarang di Jepang.

Peringatan mengatakan bahwa berada di luar gedung saat gempa justru lebih berbahaya. Kami diminta untuk bertahan di dalam. Gedung sudah dirancang untuk tahan gempa. Mudah memang mengatakannya, namun kalau anda berada pada posisi yang secara konsisten diguncang dan dibanting selama bermenit-menit, yang terbersit tentu pikiran untuk segera keluar dari gedung.

Selama hampir dua jam, guncangan tidak berhenti. Keras, reda, kemudian kembali dibanting-banting lagi. Bukan hanya gerakan dari kiri ke kanan, namun juga diguncang dari atas ke bawah. Kami bertahan di bawah meja saat guncangan terjadi.

Pegawai di kantor kami secara sigap langsung membagikan makanan, air minum, mempersiapkan senter dan peluit. Itu memang standar penanganan gempa di gedung-gedung tinggi Jepang. Saat pertama kali berkantor, saya juga sudah diingatkan untuk selalu menyediakan berbagai keperluan standar tersebut.

Saat guncangan semakin keras, pikiran saya tentu tertuju ke keluarga di rumah. Apalagi saat itu anak saya sedang berada di sekolah. Namun saya lebih tenang kalau anak di sekolah, karena sekolah di Jepang telah memiliki standar penanganan gempa, dan anak-anak sudah dilatih menghadapinya.

Anak saya diberikan perangkat gempa dari sekolah, berupa tutup kepala yang selalu harus dipasang di bangkunya setiap hari, baik saat terjadi maupun tidak terjadi gempa. Mereka juga dilatih bagaimana kalau terjadi gempa, ke mana harus berkumpul, dan bagaimana sekolah mengontak orang tua.

Pihak kelurahan juga telah memeringati tentang kemungkinan terjadinya gempa besar ini sejak tahun lalu. Mereka sudah antisipasi akan terjadi gempa besar, namun tidak dapat memastikan kedatangannya. Hal yang dilakukan adalah secara rutin berlatih menghadapi gempa. Di sekolah, di rumah, dan di perkantoran, kami dilatih untuk menghadapi gempa. Di setiap perumahan juga tersedia pengeras suara dan sirene yang menandakan gempa, serta apa yang perlu kita lakukan.

Berdasarkan kondisi tersebut, saya merasa lebih tenang akan kondisi keluarga.
Tiba-tiba, pengeras suara di gedung berbunyi kembali dan mengatakan bahwa seluruh lift dimatikan, para penghuni gedung diminta menjauh dari tempat berbahaya, jangan menyalakan api, dan tetap berada di ruangan. Diingatkan pula bahwa gempa susulan masih akan terus terjadi. Petugas-petugas gedung juga melakukan inspeksi ke setiap ruangan untuk memastikam keamanan gedung dan penghuninya.

Saya berada di gedung sekitar 4 jam hingga pengumuman mengatakan boleh keluar. Namun, saat berhasil keluar gedung, seluruh layanan kereta api dan bis kota dihentikan. Pemerintah kota mengambil langkah antisipatif demi keamanan penumpang. Penduduk Tokyo pun tumpah ruah di jalan, berdesakan di stasiun, karena tidak bisa pulang. Kebanyakan pekerja di Tokyo tinggal di luar kota dan menggunakan kereta api sebagai sarana transportasi mereka. Berhentinya kereta api, berarti terputusnya hubungan dengan rumah.

Karena udara musim dingin begitu menggigil, sekitar 5 derajat, dan jalan kaki tidak mungkin, maka sebagian mereka menginap di kantor. Akibatnya banyak convenience store (kombini) diserbu orang untuk sekedar mendapatkan roti atau onigiri (nasi kepal Jepang).

Hal menarik dari gempa di Jepang adalah perkara kesiapan pemerintah dan warganya dalam menghadapi bencana. Meski panik, mereka terlihat tenang dalam menyikapi bencana. Prosedur dan latihan bertahun-tahun membentuk ketenangan tersebut. Selain itu, budaya memikirkan orang juga patut dicontoh. Saat pulang semalam, meski jalanan padat oleh mobil, masyarakat menyerbu supermarket untuk makanan, warga mencari taksi untuk kembali pulang, mereka tetap melakukannya dengan tertib dan antri secara teratur. Di jalanan, meski macet total, tapi tidak terlihat ada yang menyerobot, bahkan menyalakan klakson.

Gempa dan bencana alam memang tak bisa ditolak. Korban juga tak dapat dihindari. Gempa saat ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah gempa di Jepang. Namun mereka telah mempersiapkan kedatangan gempa ini jauh-jauh hari. Malang tentu tak dapat ditolak, tapi bagaimana kita menyikapi bencana tersebut menjadi penting. Dengan persiapan yang matang dan antisipasi yang baik, meski terdapat korban, jumlahnya bisa diminimalkan.

Bayangkan bila Jepang tidak mempersiapkan diri, termasuk mempersiapkan ketahanan bangunannya. Korbannya mungkin bukan hanya akibat tsunami, tapi ditambah dengan akibat reruntuhan bangunan.

Saat ini, gempa susulan masih terjadi beberapa kali. Mudah-mudahan keadaan bisa lebih baik di sini, dan kita bisa mengambil pelajaran. Mohon doanya dari rekan kompasianer.

Salam

Monday, December 20, 2010

Wajah Tampan dan Tribalisme Sepak Bola

Saya adalah pecinta teater dan drama. Di Gelora Bung Karno semalam, sebuah drama kembali terjadi. Tim nasional Indonesia melaju ke Final piala AFF. Gegap gempita penontonpun meledak riuh. Lewat internet, saya melihat bahwa sepak bola adalah sebuah teater yang mampu menerabas batas.

Sepak bola memang lebih dari sekedar olah raga. Bukan hanya para pecinta bola, namun banyak pula mereka yang tak paham sepak bola, malam itu ikut bersorak riang menyaksikan tim nasional Indonesia. Mulai dari semangat nasionalisme, lambang garuda di dada, merah putih di lapangan, teknik permainan, hingga sekedar menyaksikan wajah tampan para pemain muda. Banyak alasan. Tapi itu semua adalah penanda bahwa nasionalisme dan kebangsaan masih nyata di sepakbola.

Di balik segala tekhnik permainan, hingga wajah tampan pemain, pertandingan sepak bola selalu memberi kita banyak makna. Sebelum menonton sepak bola tadi malam, saya terlibat diskusi dengan seorang kawan tentang krisis ekonomi di Eropa. Kami berbicara mengenai krisis ekonomi global yang telah tiga tahun berjalan. Tak banyak kita memperoleh jawab. Tapi siapa sangka bahwa pemandangan di Gelora Bung Karno semalam bisa menjelaskan krisis global.

Riuh rendah penonton di lapangan menunjukkan bahwa sepak bola adalah jawaban mengapa globalisasi gagal. Sepak bola adalah jawaban mengapa krisis bisa terjadi. Sepak bola mengatakan bahwa globalisasi menyimpan kelemahan.

Jauh hari sebelum krisis terjadi, Franklin Foer pernah menulis sebuah buku berjudul “How Soccer Explains The World”. Menurutnya, sepak bola bisa menjelaskan dunia, baik dari sisi politik, budaya, sosial, dan ekonomi, di era globalisasi ini.
Teori globalisasi mengatakan bahwa dunia semakin datar. Batas negara bisa diterabas dengan menyatunya ekonomi dunia. Muncullah ide penyatuan mata uang, perjanjian dagang, hingga berbagai kerjasama multilateral dan bilateral. Kemudian lahirlah Uni Eropa, WTO, AFTA, APEC, G20, dan kerjasama lain yang mensamarkan batas-batas negara. Uni Eropa bahkan telah menyatukan mata uangnya menjadi Euro. Di ASEAN sendiri, muncul diskusi untuk membuat mata uang bersama ASEAN.

Batas negara diterabas karena kekuatan modal tak mengenal nasionalisme. Bagi modal, tujuan utamanya adalah keuntungan. Modal kemudian merasuk ke dalam pikiran para pengambil keputusan, oligarki perusahaan, dan para kapitalis, untuk dapat menyediakan ruang lebih luas bagi berkembang biaknya modal. Globalisasi adalah jawaban dari ambisi modal tersebut.

Tapi, pada ujungnya manusia tetap tak bisa diperbudak oleh modal. Seberapapun derasnya arus globalisasi, semangat tribalisme kesukuan tetap ada. Hal inilah yang menjadi hambatan bergulirnya globalisasi. Dan di sepak bola, kita melihat jawaban akan fenomena itu.

Inggris misalnya, kalau bicara negara, mereka memakai bendera Union Jack, atau menyebut diri dengan United Kingdom. Tapi saat tiba di sepak bola, mereka punya empat bendera, Scotland, England (St. George’s Cross), Wales, dan (Northern) Ireland. Semangat kesukuan, tribalisme, dan nasionalisme masing-masing wilayah, tetap tak bisa dipersatukan oleh kekuatan apapun, termasuk kapital.

Saat kita melihat sepak bola Indonesia, yang saat ini muncul adalah nasionalisme. Pemandangan di GBK semalam menunjukkan bahwa nasionalisme masih hidup. Berhadapan dengan Filipina, Malaysia, Vietnam, emosi kebangsaan muncul lebih tinggi dari emosi regionalisme. Menghadapi Malaysia di final nanti, banyak yang bukan lagi sekedar melihat sebagai sepak bola. Emosi dan sentimen bangsa ikut mewarnai pertandingan itu.

Franklin Foer menyebut hal ini dengan semangat tribalisme yang masih hidup. Setiap negara masih memiliki nilai-nilai itu. Menurutnya, sepak bola muncul "to defend the virtues of old-fashioned nationalism", sebagai cara "a way to blunt the return of tribalism".

Semangat inilah yang selalu menjadi ganjalan dari harapan penyatuan modal yang didengung-dengungkan oleh para birokrat, kapitalis, dan oligarki perusahaan. Di satu sisi, kapitalisme bicara soal penyatuan modal dan bergesernya batas negara. Tapi di sisi lain, sepakbola justru membangkitkan nasionalisme, etnisitas, dan batas negara, yang justru diperangi oleh globalisasi.

Tak dapat dipungkiri bahwa sepakbola juga besar karena globalisasi. Sepak bola adalah juga industri. Para pemain tampan di bintang iklan, kaos adidas, nike, dan merek-merek global, mewarnai sepak bola. Korporasi global juga membesarkan sepak bola melalui beragam promosi. Bursa transfer pemain antar benua terus terjadi, seolah menjadi penanda bahwa sepak bola adalah bisnis global. Tapi di keping mata uang yang sama, sepak bola adalah juga soal nasionalisme, keyakinan, bahkan agama, bagi sebagian orang. Ada hal-hal yang tak terbeli oleh modal global.

Merujuk pada krisis ekonomi di Eropa, saat ini mulai muncul kembali semangat tribalisme atau nasionalisme masing-masing negara Eropa. Mereka menuntut pembubaran mata uang Euro, dan kembali pada mata uang masing-masing. Mata uang adalah kebanggaan nasional mereka. Menurut mereka, Euro dianggap menjadi salah satu penyebab krisis. Kembali pada kebanggaan nasional, seperti kembali pada identitas tim nasional, adalah jawaban keluar dari krisis.

Krisis global juga menunjukkan bahwa masing-masing negara saat ini sibuk mempertahankan dirinya sendiri. Mereka tidak peduli lagi soal penyatuan negara, kerjasama perdagangan, ataupun globalisasi. Hal terpenting saat ini adalah menyelamatkan ekonomi masing-masing. Cina menuduh Amerika, demikian pula sebaliknya. Negara berkembang menuduh negara maju, demikian pula sebaliknya. Muncullah apa yang dinamakan “currency war” atau “perang mata uang”. Forum seperti APEC dan G-20 tak mampu sepenuhnya mengatasi semangat nasionalisme masing-masing negara anggotanya.

Thomas Friedman pernah mengatakan bahwa “The World is Flat”. Tapi krisis global telah membalik itu semua. Kini, dunia tak lagi datar, “The World is Round Again”. Dunia terpilah-pilah dalam batas-batas dan nasionalisme masing-masing negara.

Sepak bola menunjukkan bahwa semangat nasionalisme senantiasa bergelora di diri para pendukung tim. Globalisasi tak mampu merenggut semangat itu. Dan di situlah, globalisasi menemukan kelemahan. Kini, dunia menjadi tidak rata lagi.

Salam sepakbola.