Wednesday, September 30, 2009

Arus Modal Asing : Antara Benci dan Rindu

sebuah tulisan lama di Harian Republika

Senin, 11 Juni 2007
Arus Modal Asing: Antara Benci dan Rindu

Oleh : Junanto Herdiawan, Peneliti Ekonomi Bank Indonesia (BI)

Masuknya modal asing ke Tanah Air dalam beberapa pekan ini seolah membangkitkan sense deja ju dalam diri kita masing-masing. Apalagi, tahun ini bertepatan dengan 10 tahun krisis ekonomi yang menimpa negeri. Masih segar dalam ingatan kita bahwa salah satu pemicu krisis saat itu adalah terjadinya penarikan dana besar-besaran (sudden capital reversal), dari dana masuk secara besar-besaran menjadi dana keluar secara besar-besaran. Kini, kita dihadapkan kembali pada derasnya aliran modalasing ke Indonesia.

Sampai bulan Mei 2007, aliran modal asing yang masuk tersebut terus meningkat jumlahnya hingga mencapai sekitar 17 miliar dolar AS. Dana tersebut ditempatkan ke berbagai outlet rupiah seperti SBI, SUN, dan pasar saham. Derasnya aliran dana itu seolah menggedor kesadaran kita pada pengalaman saat krisis lalu. Penarikan dana besar-besaran saat itu kemudian menimbulkan gejolak dengan dampak penularan yang sangat menekan pasar uang dan ekonomi nasional. Kalau ada perilaku "membebek" saat aliran dana tersebut masuk maka perilaku serupa juga akan terjadi saat dana itu keluar.

World Bank dalam laporannya, ''Addressing the Social Impact of the Crisis in Indonesia 1998'', menulis bahwa perubahan aliran dana luar negeri swasta di Indonesia berjumlah sekitar 22 miliar dolar AS selama setahun, dari aliran masuk 12 miliar dolar AS pada 1997 menjadi aliran keluar 10 miliar dolar AS pada 1998. Leo Gough dalam bukunya Asia Meltdown mengatakan bahwa Asia, yang semula diharapkan menjadi miracle, dalam waktu singkat berubah menjadi chaos, krisis, atau meltdown.

Modal asing yang saat itu dielu-elukan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, dalam sekejap berubah menjadi sumber krisis multidimensi. Kitapun teringat lirik lagu "Benci Tapi Rindu" yang didendangkan Diana Nasution. Kau datang dan pergi/Sesuka hatimu /Oh... kejamnya dikau/ Teganya dikau padaku."

Akankah berulang?
Masuknya aliran modal ke kawasan regional saat ini dipengaruhi oleh masih berlangsungnya kelebihan likuiditas global dan menariknya imbal hasil investasi di kawasan regional. Sementara di sisi domestik, kita melihat bahwa berlanjutnya perbaikan fundamental perekonomian menjadi faktor penting dalam menarik masuknya modal asing tersebut yang pada gilirannya mendukung penguatan nilai tukar rupiah.

Belajar dari pengalaman krisis, derasnya arus modal asing tersebut perlu kita cermati secara seksama. Hal ini agar kita dapat mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah terulangnya krisis serupa. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengingat kembali, mengapa pada tahun 1997 lalu terjadi pembalikan modal secara tiba-tiba. Untuk itu, marilah kita membandingkan berbagai indikator ekonomi utama saat ini dengan saat tahun 1997 lalu.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa kondisi saat ini jauh berbeda dengan kondisi tahun 1997. Dari aspek politik, saat ini kita tidak melihat terdapat gejolak yang signifikan seperti yang terjadi di tahun 1997. Sementara dari aspek ekonomi, kondisi fundamental makroekonomi dewasa ini juga jauh lebih baik.

Hal tersebut tercermin dari beberapa indikator ekonomi seperti stabilitas makroekonomi yang terjaga, kondisi transaksi berjalan yang surplus, cadangan devisa yang tinggi, sistem nilai tukar mengambang, kondisi fiskal yang sehat, dan kondisi perbankan yang relatif lebih baik. Stabilitas makroekonomi Indonesia saat ini terjaga dengan baik.

Pertumbuhan ekonomi terus berlangsung, laju inflasi semakin rendah, dan kondisi fiskal sehat. Sementara itu, transaksi berjalan mencapai surplus dalam beberapa tahun terakhir sehingga mencapai 9,6 miliar dolar AS pada akhir tahun 2006 dibanding defisit 5,2 miliar dolar AS pada akhir tahun 1997.

Cadangan devisa kita juga terus bertambah secara signifikan dan pada akhir April 2007 mencapai 49,3 miliar dolar AS serta terus meningkat menjadi 50,3 miliar dolar AS pada awal Mei, dibanding sekitar 20 miliar dolar AS pada tahun 1997. Dari sisi kebijakan nilai tukar, dianutnya sistem nilai tukar mengambang saat ini juga memberikan keuntungan berupa rendahnya tekanan langsung pada cadangan devisa.

Di sisi institusi, kondisi perusahaan khususnya institusi keuangan nasional juga lebih baik dibanding dengan kondisi pada tahun 1997. Kita melihat berbagai upaya penguatan sendi-sendi kelembagaan, finansial, dan operasional telah dilakukan. Perbaikan kondisi permodalan, penerapan risk management, dan konsistensi penerapan prinsip kehati-hatian bank, telah menjadi fokus perhatian dalam proses penguatan industri perbankan.

Membangun garis-garis pertahanan
Kita menyadari bahwa kondisi yang baik saat ini saja tak cukup untuk membuat modal asing itu betah berlama-lama di negeri kita. Kita memerlukan langkah lanjutan agar dana tersebut dapat bertahan dan mengalir ke sektor riil yang lebih berjangka panjang. Untuk itu, manajemen pengelolaan perekonomian nasional yang berhati-hati perlu terus dilakukan.

Kehati-hatian dalam mengelola anggaran pemerintah dan neraca pembayaran Indonesia juga menjadi hal yang penting. Selain itu, upaya memperbaiki iklim investasi juga perlu terus dilakukan. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia perlu terus memfasilitasi kegiatan perekonomian nasional dengan melakukan review aturan-aturan yang terkait dengan industri perbankan guna mendorong penyaluran kredit.

Sementara itu, second line of defence yang perlu dipertajam guna mengantisipasi apabila terjadi pembalikan modal secara mendadak adalah mempererat kerja sama regional dengan negara-negara lain di kawasan. Secara regional, kita telah memiliki perjanjian Bilateral Swap Arrangement (BSA) dengan beberapa negara (Cina, Jepang, dan Korea) yang jumlahnya mencapai 12 miliar dollar AS.

Sejarah, kata Nietzche, adalah sebuah ingatan yang disimpan dalam kesadaran kolektif dan mengendap dalam kenangan. Belajar dari pengalaman sejarah itu, kita berharap dengan upaya antisipasi yang kita dilakukan, krisis tahun 1997 tidak akan terulang lagi di negeri ini. Selain itu kita juga berharap agar para pelaku pasar, investor asing, dan pemilik dana, lebih meyakini kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1997. Bila aliran modal asing tadi dapat bersifat produktif dan terus berlama-lama di Tanah Air maka kita yakin perekonomian Indonesia dapat tumbuh secara berkualitas dan berkesinambungan. ( )

Friday, September 04, 2009

Celana Dalam dan Kesehatan Ekonomi

Seberapa sering anda membeli Celana Dalam? Meski buat beberapa orang, Celana Dalam itu sifatnya personal, dalam ekonomi tak ada yang personal. Secara agregat, Celana Dalam bisa jadi indikator akan kondisi perekonomian suatu negara. Berita di Washington Post beberapa hari lalu menulis mengenai Celana Dalam dan Resesi Ekonomi di AS. Hasil survey menunjukkan bahwa kaum pria membeli 3 hingga 4 celana dalam selama satu tahun. Saat krisis ekonomi melanda, pembelian Celana Dalam Pria merosot drastis. Rupanya, membeli Celana Dalam secara rutin bukan hanya baik bagi kesehatan diri, tapi juga baik bagi kesehatan ekonomi suatu negara.

Teorinya seperti ini : dalam keadaan krisis, pada umumnya orang akan memotong pengeluarannya. Mereka hanya akan mempertahankan konsumsi kebutuhan pokok, dan mengurangi biaya-biaya lainnya, seperti biaya hiburan, berlibur, belanja dll. Celana Dalam termasuk ke dalam kebutuhan dasar manusia yang ikut dipotong. Dalam kondisi krisis, lebih baik tidak beli celana dalam daripada tidak membeli makanan. Akhirnya penjualan Celana Dalam pun mulai merosot. Ini menjadi indikasi bahwa ekonomi berada dalam tekanan serius.

Di Amerika, ada sebuah Indeks yang dinamakan Indeks Celana Dalam Pria atau Men’s Underwear Index yang pada tahun 2008 lalu mencatat penurunan drastis setelah sebelumnya selalu mencatat pertumbuhan positif sejak tahun 2003. Namun memasuki pertengahan 2009, indeks Celana Dalam pria di Amerika Serikat menunjukkan perlambatan penurunan. Bahkan pada tahun 2010 diprediksi akan mulai menunjukkan tanda pembalikan ke atas. Masyarakat mulai kembali membeli Celana Dalam. Hal ini sungguh melegakan dan menjadi secercah cahaya akan berakhirnya resesi di Amerika.

Bagaimana di Indonesia? Apakah Celana Dalam bisa menjadi patokan berakhirnya krisis? Pembalikan ekonomi di AS tentu akan membawa dampak pada perbaikan ekonomi di dalam negeri. Namun sejak kasus “Kolor Ijo” di Bekasi beberapa waktu lalu, kisah tentang Celana Dalam di negeri ini masih berputar hanya di sekitar urusan perut. Meski demikian, kalau melihat pada indikator-indikator konvensional, krisis ekonomi nampaknya hampir berlalu. Pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II-2009 tercatat masih tumbuh positif di angka 4% dan diprediksi selama 2009 akan berada pada tingkat sekitar 4%. Di tahun 2010, pertumbuhan ekonomi akan mulai pulih dan diperkirakan dapat mencapai 5%.

Terkait dengan Celana Dalam, sebagai proxy dapat dilihat perbaikan pada penjualan ritel selama triwulan II-2009. Sektor perdagangan, yang menjadi salah satu sektor terbesar penyumbang pertumbuhan pada ekonomi Indonesia, juga tumbuh membaik. Keyakinan konsumen, dan keyakinan dunia usaha akan ekonomi Indonesia ke depan, semakin menunjukkan perbaikan. Hal itu tercermin dari membaiknya hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Perbaikan keyakinan tersebut pada gilirannya mendorong geliat aktivitas sektor-sektor ekonomi. Di triwulan III-2009 ini, perbaikan ekonomi akan menyebabkan angka pertumbuhan pada triwulan III mampu melebihi prediksi semula sebesar 3,9%.

Apakah perbaikan ini akan terus berlangsung? Kemampuan kita menggunakan momentum menjadi hal yang teramat penting dalam situasi pembalikan ekonomi yang sedang terjadi saat ini.

Sementara itu, cobalah cek lemari pakaian anda. Kapan terakhir kali anda membeli Celana Dalam?

Selamat berakhir pekan. Salam.

Ada Duri di Balik Century

If you borrow 100 dollar, you are at the mercy of the bank
But if you borrow 1 million dollar, the bank is at your mercy ….

Metafor di atas menunjukkan bahwa perbankan adalah bisnis yang penuh komplikasi. Masalah yang dihadapi bukan melulu soal tekhnis keuangan, tapi juga soal kepercayaan dan psikologi publik. Istilah “risiko sistemik” pada perbankan misalnya, kerap terjalin kusut dengan salah kaprah. Adakah sebenarnya risiko sistemik itu? Atau itu hanya istilah semantik yang digunakan politisi dalam menutupi kepentingannya?

Kasus bailout lembaga keuangan di Amerika Serikat dan Eropa, atau sejarah krisis sepanjang zaman, menunjukkan bahwa “risiko sistemik” adalah hal yang inheren dalam dunia keuangan. Itu adalah sebuah risiko akan terjadinya instabilitas di pasar keuangan yang dapat merambat ke sektor riil. Saat krisis terjadi, kepercayaan masyarakat runtuh. Saat itu, umumnya Pemerintah turun tangan mem-bail out sistem keuangan, meski misalnya, kesalahan seperti penerbitan subprime mortgage, dilakukan oleh para pemilik bank.
Kegalauan itu pula yang mengemuka dalam kasus penyelamatan Bank Century. Kita perlu membedakan antara penyelamatan Century karena risiko sistemik dengan kejahatan perbankan yang dilakukan pemilik bank. Sayangnya, isu politis telah bercampur baur dengan isu tekhnis.

Permasalahan penyelamatan bank, kejahatan perbankan, kebijakan pengawasan, hingga langkah penyelesaian, simpang siur dalam wacana publik.

Mengapa Bank Century Diselamatkan?

Banyak pendapat mengatakan bahwa Bank Century adalah bank kecil. Penutupannya dinilai lebih baik daripada penyelamatannya. Lantas, mengapa pada saat itu (akhir 2008) Bank Century tidak ditutup saja?

Sebelum menjawab hal itu, ada baiknya kita melihat pada kontekstualisasi saat peristiwa itu terjadi. Terlepas dari permasalahan yang terjadi di Bank Century, pada akhir 2008, Indonesia sedang terkena imbas krisis global yang luar biasa dahsyatnya. Saat itu, Bank Century menghadapi “sakratul maut”. Pilihannya adalah menutup bank itu atau menyelamatkannya.

Apabila melihat pada dampaknya di sektor riil dan jumlah nasabahnya, Bank Century sebenarnya termasuk ke dalam low impact bank. Jumlah nasabahnya pun hanya 65.000 orang. Artinya, apabila ada permasalahan, menutup bank ini memiliki dampak kecil ke sektor riil dan nasabah.

Namun hal itu hanyalah satu parameter dalam mempertimbangkan penutupan suatu bank. Beberapa parameter lain perlu menjadi pertimbangan, khususnya apabila melihat apakah penutupan bank itu membawa “risiko sistemik”.

Parameter pertama adalah melihat bagaimana dampak penutupan Bank Century pada bank lain. Dilihat dari parameter itu, Bank Indonesia memandang imbasnya sangat besar. Data pada waktu itu menunjukkan bahwa ada beberapa bank yang memiliki eksposur besar di Bank Century. Artinya, dana bank-bank tersebut akan “nyangkut” di Bank Century melalui fasilitas Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Beberapa bank akan mengalami masalah likuiditas. Akibatnya, rasio kecukupan modalnya (CAR) akan anjlok. Kalau CAR suatu bank anjlok, bank tersebut langsung masuk ICU, atau pengawasan khusus BI. Masalah tidak berhenti di situ, karena efeknya akan berantai ke bank-bank lainnya.

Parameter lain yang menjadikan Bank Century sistemik pada waktu itu, adalah imbasnya ke pasar modal, baik pada saham maupun obligasi. Belum lagi menghitung imbasnya pada sistem pembayaran antar bank, dan ditambah “trauma” masyarakat apabila mendengar sebuah bank “ditutup”.

Kondisi ekonomi saat itu sungguh berada dalam posisi clear and present danger. Bangkrutnya Lehman Brothers dan ditutupnya lebih dari 50 bank di Amerika, belum termasuk di Eropa, telah menimbulkan “kengerian” yang luar biasa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sistem keuangan Indonesia saat itu mengalami tekanan hebat. Kepercayaan publik terhadap perbankan merosot drastis. Hal itu dapat dilihat pada dana perbankan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang biasanya mencapai Rp 200 triliun, tiba-tiba menyusut hingga “hanya” Rp 89 triliun. Itu artinya, masyarakat beramai-ramai menarik dananya dari perbankan dalam jumlah besar. Untuk menutupi kebutuhan itu, perbankan mencairkan dana mereka di SBI.

Indikator kepanikan masyarakat juga dilihat dari anjloknya dana deposito masyarakat di bank. Menyikapi penarikan ini, bank melakukan perang suku bunga, guna menghindari penarikan lebih lanjut. Di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), bank-bank besar mulai menahan dana dan enggan saling meminjamkan pada bank yang membutuhkan. Akibatnya, bank kecil dan menengah mengalami kesulitan likuiditas.

Kondisi pasar uang saat itu, sungguh amat tegang.

Di sisi lain, ada indikator risiko gagal kredit yang dinamakan CDS (Credit Default Swap). Ini adalah indikator yang berlaku internasional untuk melihat risiko kegagalan suatu negara dalam membayar kewajibannya. Makin tinggi indeksnya, makin tinggi risikonya. Saat itu, CDS Indonesia melonjak dari angka 200 basis point (bps) menjadi 1400 bps. Risiko gagal Indonesia saat itu sungguh tinggi. Hal ini kemudian diikuti oleh penarikan dana asing yang mencapai sekitar 6 miliar dollar AS. Nilai tukar rupiah pun ikut tertekan. Masyarakat makin resah dan panik. Sebagian menarik simpanannya dan menukar ke dollar.

Penutupan bank, dalam kontekstualisasi keadaan seperti di atas, akan menyebabkan kondisi semakin tidak terkendali. Masyarakat merosot kepercayaannya pada bank. Trauma penutupan 16 bank di tahun 1998 masih jelas membayang dan menjadikan mereka gelisah.

Dari sisi ini, diperlukan sebuah professional judgement, atau executive decision yang berani. Tentu dengan segala risikonya. Bank Century pun diselamatkan.

Duri di balik penyelamatan
Namun di balik aksi penyelamatan itu, ada duri yang harus dipisahkan. Itulah kejahatan perbankan yang dilakukan oleh manajemen Bank Century. Secara diam-diam, manajemen Bank Century melakukan praktik-praktik kejahatan yang amat busuk. Beberapa praktik yang dilakukan antara lain adalah surat berharga senilai 11 juta dollar AS yang tak bisa dicairkan, letter of credit (L/C) fiktif senilai 100 juta dollar AS, pemalsuan bank note senilai 18 juta dollar AS, serta beberapa kredit fiktif lainnya bernilai jutaan dollar AS.

Kejahatan perbankan seperti itu harus ditindak secara tegas. Oleh karena itu, langkah BPK untuk menuntaskan audit investigatif terhadap dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Bank Century, ataupun permasalahan dalam penyimpangan pengucuran dana, perlu dilakukan secara serius.Di sini kita perlu melihat secara proporsional antara penyelamatan, pengawasan, dan kejahatan. Kebijakan penyelamatan, adalah sebuah langkah yang berani dan dinilai tepat untuk menghindari kegagalan lebih besar pada sistem keuangan Indonesia. Namun, apabila dalam pelaksanaan penyelamatan itu terdapat penyimpangan, ataupun kejahatan pada perbankan, maka yang perlu diusut tuntas adalah kejahatannya, dan bukan pada kebijakan penyelamatannya.

Saat puluhan bank ditutup di Amerika Serikat dan Eropa, perbankan di Indonesia justru solid di tengah guncangan krisis. Lebih dari 130 bank di Indonesia kondisinya sehat dan stabil dengan tingkat kesehatan yang baik. Bahwasanya dalam kondisi itu, ada satu atau dua bank yang sakit karena berbagai sebab, tentu memprihatinkan kita. Namun kiranya pandangan proporsional perlu diberikan pula pada berhasilnya pengawasan di 130 bank yang sehat.

Mudah-mudahan kita bisa berpikir jernih dalam melihat kasus Bank Century. Mudah-mudahan kita tidak terseret pada diskusi semantik tentang risiko sistemik, apalagi isu-isu politis yang membelokkan isu sebenarnya.

Salam.

Wednesday, September 02, 2009

Malaysia Tetap Negara Favorit Kita

Nasionalisme kadang hadir dalam wajah ganda. Pemahamannya pun berupa makna. Di satu sisi, kita bisa saja berkata cinta produk dalam negeri. Namun di sisi lain, kita sekaligus pecinta produk luar negeri. Di satu sisi, kita mengecam penjiplakan budaya kita. Tapi di sisi lain, kita dengan mudahnya menjiplak budaya asing. Pun demikian halnya dalam menyikapi kasus klaim Malaysia atas budaya kita. Meski banyak yang menghujat dan mengecam Malaysia, terkait dengan iklan pariwisatanya, bangsa kita tetap menjadikan Malaysia tujuan pelancongan. Iklan pariwisata Malaysia yang ditayangkan, sanggup membetot hati para pelancong negeri ini untuk selalu berkunjung ke Malaysia.

Dari data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) Triwulan II-2009 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, jumlah WNI yang bepergian ke luar negeri meningkat 13%, menjadi 1,3 juta orang. Ke mana mereka pergi? Daerah favorit turis Indonesia adalah Singapura (44%) dan Malaysia (25%), kemudian diikuti oleh Australia (6%), Thailand (4%), dan Amerika Serikat (4%). Dana yang dikeluarkan oleh para turis itu, atau dana yang keluar dari Indonesia untuk perjalanan itu adalah sebesar 1,2 miliar dollar AS. Itu artinya, selama triwulan II-2009, ada dana sebesar 1,2 miliar dollar AS yang dibelanjakan penduduk Indonesia di luar negeri.

Setelah Singapura, Malaysia adalah negara favorit tujuan wisata pelancong WNI. Jumlah wisatawanpun meningkat setiap waktu. Iklan turisme, penerbangan murah, menjadi perangsang turis Indonesia untuk melancong ke Malaysia. Tamasya ke Malaysia juga sangat mudah dan mengasyikkan. Infrastruktur, akomodasi, transportasi, hingga kemudahan papan penunjuk jalan menjadikan wisata ke Malaysia sangat menyenangkan. Kesiapan infrastruktur transportasi memungkinkan pengunjung memiliki banyak pilihan untuk melakukan mobilitas, mulai dari kereta komuter, monorail, ERL, taksi, bus, hingga sepeda motor. Meski tak banyak dibanding negeri kita, Malaysia memberikan pula pilihan wisata. Mulai dari mandi matahari di pantai Pulau Redang, bersnorkeling dalam kejernihan air Pulau Langkawi, merasakan manisnya strawberry di Dataran Tinggi Cameron, hingga menguji adrenalin di Genting Highlands.

Upaya meningkatkan pariwisata sebagai tulang punggung pendapatan, dilakukan dengan sangat serius oleh Pemerintah Malaysia. Dari sebelumnya, menempati posisi ke-16 penghasil devisa, kini pariwisata Malaysia adalah 5 besar penyumbang devisa negeri itu. Dalam setahun, penghasilan Malaysia dari sektor pariwisata mencapai 14 miliar dollar AS, atau dua kali lipat Indonesia, yang “hanya” 7 miliar dollar AS. Pilihan tempat wisata, keanekaragaman hayati, alam, dan keindahan budaya, yang dimiliki Indonesia, ternyata tidak otomatis mampu mendatangkan turis. Bahkan turis Indonesiapun masih memilih untuk berlibur ke Malaysia.

Dari data Neraca Pembayaran, Malaysia …. memang truly Asia. Salam.