Tuesday, May 26, 2009

Boediono dan Neoliberalisme

(Posting di Kompasiana)

Perkenalan saya dengan pak Boediono mungkin tak terlalu lama. Namun dalam beberapa bulan terakhir, saya kerap kali bertemu dan berdiskusi dengan pak Boed, baik dalam rapat formal, maupun sekedar ngobrol-ngobrol ringan. Persis sebagaimana cerita orang, ia adalah orang yang hati-hati dan irit dalam berbicara. Demikian pula dalam pemikiran ekonomi, ia sungguh penuh perhitungan.
Saya tidak membahas pemikiran ekonomi Pak Boed, ataupun bermaksud mendukung dan membela pak Boed, namun lebih fokus pada sebuah isu yang selama ini ditudingkan kepadanya, yaitu sebagai agen Neoliberalisme. Sebelum menyimpulkan apakah pak Boed itu seorang neolib atau bukan, hal terpenting bagi kita adalah memahami apa itu ”binatang” neoliberalisme. Hal ini mengingat dalam beberapa waktu belakangan, kata ”Neoliberalisme” kerap digunakan secara longgar dan terlalu mudah disematkan pada berbagai kesempatan.
Bagi yang mengenal pak Boed, baik dari sisi moral maupun profesional, tudingan neolib akan terasa salah alamat. Secara moral, kepentingan kekuasaan dan uang bukan menjadi ciri pak Boed. Secara profesional, pandangan ekonominya justru lebih banyak bicara dari sisi kerakyatan, bukan seperti yang didengungkan selama ini tentang neoliberal.
Memahami neoliberalisme, tak cukup hanya melihat dari sisi tekhnis ekonomi, namun juga perlu dipahami fondasi filosofinya. Secara fondasi filosofi, neoliberalisme sering disalahartikan secara longgar. Seolah-olah kapitalisme dan pasar bebas itu adalah neoliberalisme. Seolah-olah mereka yang mengikuti petuah IMF dan World Bank, otomatis adalah seorang neoliberalis. Padahal tidak selamanya begitu.
Neoliberalisme juga kerap diciutkan pada trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi. Trio kebijakan tersebut memang merupakan motor dari kebijakan ekonomi neoliberal. Namun, tidak semua bentuk deregulasi-liberalisasi-privatisasi merupakan agenda neoliberal.
Neoliberalisme memiliki makna lebih luas dari itu semua. Ia adalah radikalisasi dari kapitalisme dan prinsip pasar bebas ke seluruh bidang kehidupan manusia. Penganut neolib, bukan sekedar melihat persoalan dalam statistik ekonomi belaka, melainkan sudah membangun ideologinya tentang ekonomi pasar pada kehidupan manusia dan pengaturan masyarakat. Dalam pandangan seorang neolib, hubungan manusia dipandu oleh prinsip transaksi laba rugi yang berlaku dalam ekonomi pasar.
Pandangan ini bermula dari pecahan Mazhab Freiburg, yaitu mazhab Chicago, yang disponsori oleh Friedrich von Hayek dan Milton Friedman. Dalam salah satu artikelnya, Friedman mengatakan, ”Kapitalisme adalah prasyarat kebebasan politik”. Gary Becker, salah seorang ekonom Mazhab Chicago kemudian mengatakan’”ekonomi memberikan semesta pendekatan paling komprehensif untuk memahami semua perilaku manusia”. Dari sini, berkembanglah kodrat manusia sebagai mahluk ekonomi.
Manusia kemudian diwujudkan dalam sosok makhluk pengusaha, yang memandang segala sesuatunya sebagai perusahaan yang mencetak laba. Mulai dari tanah, pendidikan, kesehatan, hingga kehidupan sosial, hubungannya adalah seberapa besar ia bisa mencetak laba. Menurut B. Herry Priyono, dalam pandangan Neolib, tidak ada kesehatan, yang ada bisnis rumah sakit. Tidak ada pendidikan, yang ada bisnis sekolah, bukan pasien melainkan konsumen pengobatan. Bukan guru, melainkan penjual pelajaran. Pada akhirnya tak ada lagi perbedaan antara ekonomi pasar (market economy) dan masyarakat pasar (market society).
Krisis ekonomi global yang terjadi, menunjukkan betapa neoliberalisme bekerja dengan dahsyat dan mengutamakan syahwat laba. David Harvey menulis bahwa neoliberalisme adalah juga berarti finansialisasi segalanya, yang ditujukan untuk mencetak laba. Tak heran, terjadi bubble yang luar biasa radikal di pasar keuangan negara industri maju. Kapital telah tercerabut dari faktor produksi tenaga kerja dan sumber daya alam. Kapital telah menguasai ekonomi di semua sektor, mengatur kehidupan masyarakat, bahkan pada relasi antar manusia yang melihat seseorang dari seberapa besar ia memiliki kapital.
Bagi para penganut neolib, tak cukup hanya ada prinsip pasar pada barang/jasa ekonomi, melainkan harus berada pada seluruh aspek kehidupan. Pasar adalah segalanya, tak boleh ada yang lain.
Dari sini, kita kembali pada pertanyaan, apakah pak Boed memercayai radikalisasi pasar tersebut. Inti dari ”agama” Neolib dapat dilihat dari jawaban atas pertanyaan, ”Apakah pak Boed percaya bahwa ekonomi dan finansial adalah satu-satunya jawaban bagi penciptaan tatanan di negeri ini?”. Bila ia percaya, maka ia seorang Neolib, bila tidak, tentu ia bukan Neolib.
Untuk itu, ada baiknya kita membaca dan mengikuti beberapa pemikirannya. Dalam pidato awal tahun 2009 di hadapan para bankers yang berjudul “Hidup di tengah Krisis”, Pak Boed justru menyampaikan bahwa ekonomi kita perlu kembali ke akarnya, perbankan kita perlu “back to basic”, dan kehidupan masyarakat tak ditentukan melulu dari sisi pasar. Ia mengatakan :
“Salah satu pelajaran yang paling mendasar dari krisis ini adalah pentingnya bagi kita untuk kembali ke khittah, “back to basics”. Marilah kita lihat mengapa demikian. Krisis yang kita hadapi sekarang ini dapat dilihat sebagai konsekuensi dari perkembangan sektor keuangan yang lepas dari akarnya yaitu kegiatan ekonomi riil. Perkembangan yang luar biasa dari sektor keuangan di banyak negara selama lebih dari satu dasawarsa terakhir bersumber dari perkembangan inovasi produk keuangan dan inovasi kelembagaan keuangan yang juga luar biasa.”
Dalam kesempatan tersebut, pak Boed juga mengemukakan pentingnya peranan UMKM sebagai basis fundamental ekonomi Indonesia. Untuk itu, skema kredit kepada UMKM perlu didukung penyalurannya.
Selain itu, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di UGM, Pak Boed mengatakan pentingnya peran Pemerintah dalam mendorong proses pembangunan yang mensejahterakan rakyat, serta memberi perhatian khusus pada pentingnya pendidikan melalui proses belajar mengajar yang efektif. Ekonomi bukanlah semata mata jawaban bagi terwujudnya sebuah tatanan. Ragam hubungan manusia bisa dikategorikan dalam hubungan kultural, politik, legal, sosial, estetik, spritiual dan lain sebagainya.
Tentu saja tulisan ini merupakan simplifikasi dari cerita dan sejarah panjang neoliberalisme. Namun, dari berbagai deskripsi di atas kiranya kita dapat menyimpulkan apakah seseorang Neolib atau bukan. Dan selanjutnya, kita juga bisa menerka-nerka, adakah di antara pengelola negeri ini yang sebenarnya justru agen Neolib. Saya serahkan sepenuhnya kepada anda.
Salam.