Thursday, August 13, 2009

Rahasia Kebugaran Mbak Ani

(Diposting pula di Kompasiana)

Bagi mereka yang pernah mengikuti proses penyusunan APBN di DPR tentu akan merasakan betapa panjang dan melelahkannya proses itu. APBN harus dibahas terlebih dahulu dengan Komisi XI DPR RI. Setelah itu dibawa ke Panitia Anggaran. Dari situ, dibahas dalam Panitia Kerja, sebelum akhirnya dibawa kembali ke Rapat Paripurna Panitia Anggaran. Prosesnya bisa memakan waktu lebih dari satu bulan dengan rapat marathon hingga dini hari. Perdebatan dan perbedaan kepentingan sangat mewarnai proses pembagian anggaran. Apalagi kalau sudah sampai pada pembagian anggaran ke dalam kantong Departemen atau sektor tertentu, prosesnya sangat alot dan melelahkan.

Tak sedikit rekan-rekan dari Pemerintahan yang jatuh sakit dalam proses panjang itu. Mulai dari flu hingga badan meriang. Namun, bagi Mbak Ani, atau Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, proses itu dijalaninya dengan selalu riang dan bugar. Berbagai pertanyaan yang tajam, kritis, dan kadang ngeyel tetap dilayaninya dengan senyum. Hingga akhir pembahasan, Mbak Ani tetap tampil ceria. Padahal pekerjaannya bukan hanya rapat di DPR, melainkan juga setumpuk pekerjaan di Pemerintahan. Apa rahasianya?

Dari hasil pengamatan dan bincang-bincang dengan para ajudan, memang mbak Ani selalu menjaga kebugarannya. Selain itu, ada satu hal yang selalu dibawa ajudan setiap mbak Ani ikut sidang di DPR, dan itu adalah dua botol termos. Sebelum mbak Ani datang, termos sudah meluncur lebih dahulu dibawa ajudan. Termos mencari posisi di depan meja Mbak Ani. Kalau bahan Rapat boleh saja ketinggalan, karena staf mbak Ani pasti membawakan. Tapi termos ini jangan sampai ketinggalan, demikian menurut Ajudan. Meski di ruang rapat disediakan minuman atau makanan, termos favorit mbak Ani tetap hadir mendampingi. Ajudan biasanya meletakkan dengan hati-hati, memutar tutupnya untuk mengecek kesegaran isinya, dan mempersiapkan gelas di samping termos tersebut.

Apa isi kedua termos itu? Termos pertama berisi “Sari Jeruk Segar Dingin”. Sementara termos kedua berisi “Kopi”. Kata ajudan, mbak Ani sendiri yang memeras jeruk dan membuat kopi itu setiap pagi. Jeruk segar dingin memang penuh kelezatan dan mengandung vitamin C yang baik untuk tubuh. Sari jeruk dingin ini diperas khusus, dan bukan diambil dari sirup. Mbak Ani bisa membedakan mana sirup dan mana jeruk asli. Seperti Miss Universe yang selalu tampil segar dalam iklan vitamin C, maka mbak Ani juga tampil segar dengan Sari Jeruk Dinginnya.

Lantas, kenapa kopi? Karena kopi mengandung zat kafein yang mampu membuat kita tahan kerja lebih lama. Menurut penelitian, efek positif dari kafein antara lain: menambah kecepatan berpikir dan inspirasi, menyembuhkan rasa ngantuk dan kelelahan, peningkatan sensor stimuli dan reaksi motorik. Kopi juga bermanfaat bagi kecantikan karena mampu mengangkat sel kulit mati dan menggantikannya dengan yang baru. Bahkan kini juga mulai dikenal luluran kopi di berbagai salon kecantikan.

Di atas kedua termos tersebut ditempeli label, supaya mbak Ani tidak tertukar kalau mau minum. Sebab, mbak Ani tidak minum keduanya secara random. Kalau dicermati, bila keputusan rapat menyenangkan hati dan sesuai dengan perkiraan, biasanya mbak Ani mengambil sari Jeruk. Tapi bila rapat kelihatan bakal deadlock dan panjang, ia membuka termos kopi. Dengan kebugaran seperti itu, nampaknya mbak Ani masih akan tetap bugar lima tahun ke depan.

Selamat mencoba jeruk dan kopi. Salam.

Sandal Jepit dan Ekonomi Indonesia

(Diposting juga di Kompasiana)

Gedung pencakar langit di ibukota tak selalu berarti kementerengan. Di balik ruangan dingin ber-AC, wallpaper nan indah, sampai penampilan para pekerja yang mentereng, selalu ada hakikat asali dari diri kita. Setidaknya itulah yang terjadi di kantor saya. Saat hari beranjak siang di kantor, pemandangan para pekerja yang tampil mentereng, perlahan mulai berubah.
Sebut saja namanya Dewi. Ia rekan kerja saya yang cantik dan manis. Penampilannya tipe wanita karir. Baju bermerek, busana stylish, parfum semerbak, dan sepatu berhak tinggi mengkilat. Ia lulusan S-2 dari universitas ranking teratas di Amerika. Pengetahuannya jangan diragukan. Pengalaman dan pergaulannya luas.

Tapi, saat bekerja di kantor, Dewi selalu menggunakan sandal jepit. Sambil bersandal jepit, Dewi bekerja, menerima telpon, dan melakukan analisis pasar dengan tajam. Di sekitar Dewi, banyak para pekerja kantor yang secara diam-diam atau terang-terangan, juga memakai sandal jepit. Sepatu berhak tinggi dan mengkilat diparkir di bawah meja. Saya sendiri selalu menggunakan sandal jepit. Baik untuk sholat ataupun untuk bekerja, sandal jepit memang nyaman. Kalau mau jujur, lihatlah di kolong-kolong meja para eksekutif di kantor mewah. Hampir dipastikan kita menemukan sandal jepit.

Sandal jepit, selain memberi kenyamanan adalah juga sebuah kejujuran. Sandal jepit adalah sebuah nilai tradisional yang dimiliki bangsa kita untuk berontak terhadap hegemoni sepatu. Sandal jepit merupakan makna “Ada” bagi kita. Eksistensi kita tercermin dari kenyamanan kita dengan sandal jepit. Memakai sandal jepit, berarti juga mengakui hakikat bangsa ini yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa agraris dan maritim.

Sejak dahulu, nenek moyang kita tidak pernah memakai sepatu. Mereka ke sawah ataupun melaut, tanpa beralas kaki (nyeker). Sepatu masuk ke negeri ini dibawa oleh para penjajah Belanda. Sepatu modern baru ditemukan di wilayah Eropa pada tahun 1800-an. Sejak saat itu, para petinggi pribumi mulai mengenal sepatu. Tapi rakyat kebanyakan, masih nyeker.
Sebagai penganut chaos theory, ataupun web of life dari Fritjof Chapra, saya kerap mengaitkan berbagai fenomena menarik pada kondisi ekonomi bangsa. Dari sandal jepit saya berpikir, di balik kemajuan dan kemewahan mall-mall, di balik kata pembangunan gedung mewah dan teknologi, sesungguhnya kita ini bangsa yang rindu pada kekuatan asali bangsa, yaitu bangsa agraris dan maritim.



Kalau kita lihat kekuatan ekspor bangsa Indonesia, hampir didominasi oleh ekspor komoditas alam dan hasil bumi. Dalam beberapa triwulan ini, ekspor CPO dan batubara tumbuh meningkat seiring dengan membaiknya permintaan internasional (Grafik). Dulu, ekspor beras, karet, dan minyak bumi, menjadi kekuatan bangsa ini. Berbeda dengan Korea Selatan atau Jepang, yang kekuatan ekspor negaranya terletak pada industri semikonduktor, otomotif, dan produk komunikasi, bangsa kita masih tradisional dan “hanya” mengekspor hasil bumi. Meski kelihatan tradisional, tapi itulah hakikat dan jati diri bangsa ini. Upaya mengingkarinya sama dengan memakai sepatu mengkilat dan berhak tinggi. Hanya terlihat mentereng, tapi hati kecil berontak dan mencari kembali sandal jepit.

Oleh karenanya, upaya penguatan industri, jatah anggaran pemulihan ekonomi, kiranya perlu fokus pada industri yang menjadi kekuatan bangsa ini, seperti pertanian, pertambangan, dan maritim. Sektor kelautan adalah sektor yang kerap terpinggirkan, meski bangsa Indonesia adalah bangsa maritim dengan mottonya yang terkenal dulu “Di Laut Kita Jaya”. Namun kini, sektor itu belum jadi “jagoan”. Coba tengok keberpihakan pemerintah pada pengembangan sektor kelautan yang masih minim. Fokus industri maritim masih belum optimal. Selain itu, rencana anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan 2010 juga turun menjadi Rp 3,1 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 3,4 triliun.

Seperti sandal jepit, mungkin kini saatnya kita jujur pada diri kita. Bahwa kita ini pada hakikatnya adalah bangsa petani dan nelayan. Basis industri kita adalah usaha kerakyatan atau usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kita bukan bangsa yang sophisticated dengan hiruk pikuk pasar keuangan dan tekhnologi, semikonduktor, otomotif, dan perangkat komunikasi. Kita adalah bangsa petani dan nelayan. Upaya mensofistikasi industri dan tekhnologi, ada baiknya diarahkan pada industri pertanian, pertambangan, dan kelautan. Thailand tidak malu dengan hakikat diri tersebut, dan telah membuktikan bahwa bangsa petani dan umkm juga bisa berkiprah di dunia internasional.

Dari sandal jepit di kantor, kita memahami arti “Ada”. Dengan demikian, kita tak perlu lagi bingung untuk memulai dari mana membangun basis kekuatan ekonomi kita. Salam.

Ekonomi Indonesia Pasca Teror Bom

Diposting pula di Kompasiana

Tak dapat dipungkiri, teror bom Ritz Carlton dan JW Marriot tanggal 17 Juli 2009 lalu akan membawa persepsi negatif bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Baru saja, beberapa pekan lalu, IMF mengeluarkan outlook yang positif tentang Indonesia. Dan baru saja, ekonomi Indonesia dipuji dalam berbagai fora internasional. Namun, semua itu seolah sirna dengan terjadinya bom. Kejadian itu dikhawatirkan dapat menghapus prestasi di bidang ekonomi yang telah diraih secara susah payah selama 4 tahun terakhir ini.

Apakah ekonomi Indonesia akan terpengaruh oleh ledakan bom tersebut? Dalam jangka pendek mungkin akan ada dampaknya. Dampak bom terhadap ekonomi kemungkinan akan dirasakan dalam 2-3 bulan mendatang. Apabila kita melihat pada data perkembangan kejadian terorisme di Indonesia, dampak langsungnya adalah pada penurunan PDB, secara khusus pada subsektor pariwisata yang ditunjukkan oleh menurunnya jumlah wisatawan manca negara.

Dari grafik terlihat, setiap terjadi bom, jumlah wisatawan manca negara yang datang ke Indonesia langsung menurun. Meski dampak kasus Bom Bali dan Jakarta tidak sama, karena Bali adalah daerah wisata, keduanya kita perbandingkan dalam satu grafik untuk mempermudah. Usai Bom Bali 2002, Bom Marriot 2004, Bom Kedubes Australia 2004, dan Bom Bali jilid II 2005 (tanda panah), pertumbuhan di sektor pariwisata Indonesia turun drastis. Tahun 2005 misalnya, terjadi penurunan pada subsektor perhotelan dan pariwisata dari sekitar 8% menjadi 6%.

Namun apabila dilihat secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru terlihat mampu bertahan dari dampak ledakan bom. Setelah ledakan Bom Bali Oktober 2002 misalnya, PDB triwulan IV-2002 memang turun drastis menjadi 2,61% dibanding triwulan sebelumnya. Sektor pariwisata turun 0,9%. Namun di awal 2003, PDB sudah dapat tumbuh kembali 2,04%, termasuk sektor pariwisata tumbuh 0,47%.

Setelah ledakan bom Marriot Agustus 2003 dan ledakan bom di kedutaan Australia September 2004, terjadi hal serupa. PDB turun pada triwulan III-2003 dan Triwulan III-2004 turun menjadi 3,97% dan 5,10%. Namun PDB kembali tumbuh pada triwulan IV-2003 dan Triwulan IV-2004 menjadi 4,95% dan 6,65%. Secara umum, bahkan pertumbuhan ekonomi kita berangsur membaik dari tahun 2003 hingga 2005, dari 4,9%. 5,1%, dan 5,6%.

Di pasar uang, ketahanan ekonomi relatif lebih baik. Nilai tukar rupiah pada umumnya akan berfluktuasi usai serangan bom. Namun relatif kembali stabil dalam waktu cepat. Hal sama terjadi pada IHSG. Di sisi moneter, kemampuan Bank Indonesia meredam dampak moneter dari kejadian bom juga cukup baik. Perkembangan uang beredar dapat dikendalikan stabil, dan inflasi juga terkendali sebesar 5,06% dan 6,4% pada tahun 2003 dan 2004.

Dari data di atas, ekonomi Indonesia terbukti relatif tahan terhadap guncangan bom. Meski sempat mengalami gangguan dalam jangka pendek, penyesuaian berlangsung cukup cepat. Pesimisme biasanya muncul dari kalangan pengusaha dan investor asing. Namun melihat sampai saat ini pertumbuhan investasi belum terlalu optimal di negeri ini, mudah-mudahan dampak ke depan tidak terlalu parah. Pengalaman di atas memberi kita sedikit optimisme dalam melihat kinerja ekonomi Indonesia ke depan.

Perkembangan ekonomi secara umum memang bukan ditentukan oleh faktor sentimen semata, namun juga oleh faktor fundamental. Keduanya harus saling mengisi. Kemampuan kita menyeimbangkan antara faktor fundamental dan sentimen sungguh penting untuk menjaga keberlangsungan ekonomi kita ke depan. Mudah-mudahan, kabinet yang tinggal beberapa bulan ini masih dapat bekerja secara optimal dalam menyikapi guncangan. Salam.

Pahlawan yang Takut Pulang ke Negerinya Sendiri

(Diposting juga di Kompasiana)

Dalam perjalanan pulang dari Korea Selatan beberapa waktu lalu, saya duduk bersebelahan dengan seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bernama Herry. Ia telah bekerja di Korea Selatan lebih dari tiga tahun, tepatnya di wilayah Chungduk, pada sebuah pabrik bahan kimia. Di pabrik itu, bekerja lebih dari 100 orang Indonesia. Selama bekerja, mereka diperlakukan secara baik, hidup terjamin, dan penghasilannya bisa dikirimkan secara rutin ke kampung halamannya.

Setelah bekerja 3 tahun, Herry ingin pulang ke kampungnya di Cimahi untuk mengurus beberapa dokumen. Sepanjang jalan, ia minta bantuan saya agar bisa turun bersama di terminal penumpang biasa. Ia minta saya untuk mengajaknya sebagai kawan dalam rombongan. Ketika saya tanyakan kenapa, ia hanya berkata takut untuk turun di Terminal khusus TKI. Ia khawatir mendapat perlakuan seperti teman-temannya, yang sampai harus keluar uang banyak sebelum sampai ke kampungnya. Birokrasi dan transportasi di luar bandar membuatnya takut. Entah benar atau tidak, tapi saya menangkap ketakutan di wajahnya. Padahal dalam pikiran saya, terminal khusus TKI seharusnya mempermudah para TKI ini. Saya mencoba meyakinkannya, tapi ia tak yakin juga. Mungkin karena saya sendiri juga tidak yakin.

Turun dari pesawat, saya melihat spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Pahlawan Devisa”. Sebuah slogan yang sangat menyejukkan hati. Tentu saja hati saya, bukan hati mas Herry. Baginya, slogan tak ada arti tanpa aksi. Karena ia tetap ketakutan.

Mudah-mudahan apa yang ditakutkan Herry hanya sebuah ketakutan belaka. Sebab nasib seperti Herry ini sungguh memiriskan. Mereka yang bekerja dan menopang kekuatan ekonomi negeri ini, harus mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Belum lagi nasib TKI kita di negeri lain yang harus mengalami siksaan dan cobaan hidup. Kebanggaan dan harga diri mereka sebagai TKI kurang dihargai.



Seminggu sebelumnya, saya terlibat diskusi hangat bersama rekan dari Bangko Sentral Ng Pilipinas (Bank Sentral Filipina). Kami bertukar cerita mengenai kondisi ekonomi, secara khusus tentang ketahanan eksternal perekonomian. Di Filipina, pendapatan dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri (TKI) menjadi salah satu pilar terbesar yang menopang kekuatan ekonomi. Dalam setahun, pendapatan remitansi mereka mencapai hampir 17 miliar dollar AS. Mereka juga dengan bangga menyebutkan negara mereka berbasis pada “Overseas Workers Remittances”. Kalau melihat website Bank sentralnya, data Remitansi menjadi bagian dari pilar Neraca Pembayarannya. Di sisi lain, Tenaga Kerja mereka juga memiliki kebanggaan dan dihargai di negerinya sendiri.

Saat krisis melanda tahun 2008 lalu, hal yang paling menggalaukan kita adalah meningkatnya risiko Indonesia. Salah satu indikator yang digunakan adalah Currency Default Swap (CDS). Ini adalah peringkat risiko yang menunjukkan kerentanan suatu negara dalam memenuhi kewajibannya, khususnya kewajiban Luar Negeri. Hal yang memprihatinkan adalah, Filipina dianggap lebih baik dari Indonesia. Mereka memiliki level CDS yang lebih rendah. Bila CDS Indonesia saat krisis sempat mencapai hampir 800 bps, maka Filipina hanya berada di level lebih rendah dari 350 bps. Artinya, risiko “default” negeri kita, jauh lebih besar dari Filipina.

Satu hal yang membuat Filipina lebih kokoh adalah pemasukan devisa yang pasti dari pekerja mereka di luar negeri, yaitu sebesar 17 miliar dollar AS. Pendapatan ini tidak terganggu oleh krisis karena mereka bekerja di bidang-bidang tugas yang tidak terkena dampak krisis, seperti kesehatan dll. Sebaran pekerja mereka di luar negeri pun tidak hanya terkonsentrasi di AS saja.
Sementara di Indonesia, penghasilan dari TKI yang tercatat di Neraca pembayaran kita “hanya” sekitar 6-7 milliar dollar AS. Belum banyak memang.


Tentu banyak perbedaan antara TKI Indonesia dan Filipina. Kompetensi mereka, kemampuan berbahasa dan skill, yang semuanya terkait dengan keseriusan, keteguhan Pemerintah, dan paradigma kita dalam menjadikan TKI sebagai sumber devisa. Hal ini butuh lebih dari sekedar slogan. Selain itu, harga diri dan kebanggaan mereka sebagai TKI perlu diangkat. Dan pada ujungnya, kesiapan kita untuk “legowo” dan bangga sebagai bangsa TKI perlu ada. Karena mereka memang adalah, pahlawan devisa.

Salam