Monday, December 29, 2008

Negara Tak Pernah Tidur, Tapi Sering Libur ...

Pak SBY kerap berkata bahwa “the state never sleep”. Negara tak pernah tidur. Hal ini adalah penjelasan atas kebiasaan beliau memimpin rapat kapan saja dan dimana saja. Meski negara tak pernah tidur, bukan berarti negara tak pernah libur. Justru di negeri ini, kita sering merayakan libur bersama. Bahkan Presiden, Wapres, dan Menterinya, beberapa kali kita saksikan sedang menikmati hari libur. Kita tentu ingat tulisan mas Wisnu saat pak JK berenang dengan cucu-cucunya di Makassar. Mungkin mottonya, Bersama Kita Libur...!!

Tak ada yang salah dengan libur. Justru saat libur itulah sebenarnya negara kita bergerak. Saat libur, negara ini tidak tidur. Saat libur, negara ini mengeliat dan ekonomi bertumbuh. Libur akhir tahun ini, banyak dari kita yang mengambil cuti pada tanggal 30-31 Desember sehingga bisa mendapatkan libur sampai 11 hari. Kita pulang kampung, berlibur bersama keluarga, ataupun berbelanja di berbagai tempat. Sungguh menyenangkan bukan.

Apa dampak libur panjang itu? Yang pasti tempat wisata penuh sesak. Belanja masyarakat meningkat. Melihat berita di TV, jalur puncak macet total. Demikian pula dengan kota-kota lain di daerah. Bandung macet dan dipenuhi warga Jakarta. Malioboro di Yogya penuh sesak dengan wisatawan. Pantai Kuta di Bali meriah oleh para pelancong. Mungkin banyak juga yang ingin menikmati Jakarta yang sepi. Tapi ternyata tak sepenuhnya benar. Saat menengok berbagai mall di Jakarta, Mall penuh sesak oleh para wisatawan domestik dari berbagai daerah. Warga Jakarta sendiri juga kerap kedatangan sanak saudara, sepupu, keponakan, dari daerah, yang ingin berwisata di Ibukota.

Tapi inilah gairah perekonomian negeri. Di tengah kelesuan dan pesimisme ekonomi, prediksi lesunya ekonomi di tahun 2009, kita seolah mendapat harap dari geliat masyarakat Indonesia yang gemar melakukan konsumsi. Ya, konsumsi adalah pendukung terbesar pertumbuhan ekonomi negeri. Sekitar 60% dari pertumbuhan ekonomi kita didukung oleh sektor konsumsi. Dengan penduduk melebihi 225 juta orang, gerak konsumsi Indonesia memang sebuah kekuatan luar biasa. Kita melihat sejumlah sektor seperti retail, konsumer produk, tekstil, garmen, elektronik, otomotif, dan non-tradables tumbuh dengan pesat seiring dengan jumlah penduduk yang besar.

Adalah China yang memperkenalkan model “Holiday Economy” untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Wakil PM China Qian Qichen di tahun 2001 menerapkan libur panjang bersama saat peringatan hari buruh untuk mendongkrak ekonomi negerinya. Industri turisme dan perdagangan ritel adalah yang paling diuntungkan dari kebijakan ini. Di tahun 1999, hal ini juga pernah dilakukan di China dan berhasil. Para ahli mengatakan bahwa “holiday economy” memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi China. Pendapatan hotel dan turisme meningkat 80% saat diterapkannya kebijakan itu.

Kembali ke Indonesia, meski kita tak punya apa-apa, tapi kita punya gaya. Konsumsi adalah kekuatan negeri ini. Konsumsi melulu memang tidak memberikan dampak yang berkelanjutan. Tapi tak ada yang salah dengan konsumsi yang besar bukan? Konsumsi, apabila disikapi dengan cerdas akan juga mendorong investasi dan produksi. Konsumsi adalah sebuah kekuatan yang mampu menarik para investor dan penanam modal untuk datang membangun Indonesia.

Secara spesifik, kekuatan konsumsi yang kita bicarakan adalah kekuatan konsumsi orang kaya yang signifikan. Jumlah orang sangat kaya di Indonesia sangat besar, bahkan lebih besar dari yang ada di Singapura ataupun Malaysia. Bandingkan jumlah mobil mewah antara Jakarta dan Singapura. Jauh lebih banyak di Jakarta (itupun belum menghitung yang dimiliki orang Indonesia di Singapura). Tak heran, tahun ini Singapura telah angkat bendera putih karena krisis global. Pertumbuhan mereka negatif, dan mengumumkan bahwa Singapore is in recession. Sementara Indonesia, meski terkena dampak krisis, masih berani menatap masa depan dengan optimis.

Jumlah penduduk Indonesia adalah 225 juta. Pendapatan perkapita mencapai 1.946 dolar AS. Bandingkan dengan masa sebelum krisis moneter saat pendapatan per kapita kita hanya sebesar 1.100 dollar AS. Dari jumlah itu, menurut analisis pak Harinowo (komisaris BCA), 10% nya adalah penduduk yang sangat kaya, dalam arti memiliki pendapatan per kapita lebih dari 6.000 dollar AS. Jumlahnya 22,5 juta orang.
Kekuatan orang sangat kaya di Indonesia dengan pendapatan per kapita yang besar itu menjadi landasan kuat untuk pertumbuhan konsumsi dan kemajuan ekonomi di tahun mendatang. Belum lagi ditambah dengan masyarakat menengah kaya, ataupun masyarakat yang merasa kaya. Kekuatan ini menjadi pendongkrak pertumbuhan ekonomi kita ke depan. Harapannya tentu bisa jadi sebuah pendorong bagi tumbuhnya ekonomi kerakyatan yang tersebar di seluruh negeri. Di sinilah kita berharap pada peran aktif dari Pemerintah untuk menjadikan pertumbuhan konsumsi ini berkelanjutan dan dapat menyebar ke pertumbuhan investasi dan produksi.

Akhirnya, liburan bisa menjadi sangat produktif. Selain memberikan nilai positif dari sisi psikologis, detachment dari rutinitas, membangun keakraban dengan sanak saudara, liburan adalah salah satu cara untuk mendongkrak ekonomi negeri. Kalaupun tidak mendorong ekonomi secara signifikan, setidaknya dengan berlibur kita mampu melupakan sejenak krisis yang sedang melanda negeri. Yuuuk kita berlibur ....

Saturday, December 27, 2008

3 doa, 3 cinta, dan 3 calon Presiden kita

Inilah kisah tentang Tiga. Nicholas Saputra bertemu lagi dengan Dian Sastro dalam film 3 Doa 3 Cinta. Buat yang kangen menyaksikan mereka main bareng lagi, 3 Doa 3 Cinta lumayan menghibur untuk ditonton pada libur natal dan tahun baru ini. Film ini membawa kita merenung dan memicu kesadaran tentang keterkungkungan kita pada berbagai masalah hidup selama ini. Huda, Rian, dan Sahid adalah 3 santri yang tinggal dan belajar di kalangan pesantren. Mereka memiliki mimpi dan cita-cita sendiri. Kebiasaan mereka adalah menulis doa dan harapan pada sebuah tembok pesantren. Dalam mencapai harapan itu, mereka berani memilih jalan yang berbeda, meski risikonya berat. Mereka bahkan harus menghadapi dilema antara kultur pesantren dengan kondisi nyata di luar pesantren.

Kisah tentang tiga orang santri yang memiliki harapan dan mimpi serta tantangan dalam mewujudkannya, dituturkan dengan menarik. Film inipun bisa menjadi sebuah metafor tentang kita dan kehidupan. Kalau dibawa ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mimpi dan harapan rakyat tentu diserahkan pada para pemimpin untuk mewujudkannya. Kebetulan, setelah reformasi, kita memiliki 3 presiden yang dipilih melalui proses demokrasi. Mereka adalah Gus Dur, Megawati, dan SBY. Ketiganya mewakili doa dan harapan rakyat, namun mereka juga dihadapkan pada sulitnya mewujudkan harapan itu. Dan sebagaimana para santri di film, kadang dalam merumuskan kebijakan, mereka cenderung bersifat pragmatis. Karena untuk keluar dari jalur mainstream risikonya terlalu besar.

Kita melihat dari sisi ekonomi negeri. Sepuluh tahun sejak krisis, perekonomian sudah mulai menunjukkan perbaikan. Namun perbaikan itu belum bisa sepenuhnya membawa kita keluar dari krisis. Permasalahan struktural perekonomian seperti kemiskinan dan pengangguran masih menghantui sebagian besar rakyat. Dalam masa kepemimpinan 3 presiden itu, Indonesia beberapa kali dihantam krisis ekonomi. Seperti kutuk, tidak ada satupun Presiden RI yang mulus memimpin negeri ini tanpa harus diuji oleh krisis.

Tapi, apakah para Presiden itu bisa disalahkan? Mereka telah berupaya keras tapi krisis datang lebih keras lagi. Bagi penganut aliran ekonomi business cycle atau conjunctur, tentu menyakini bahwa ekonomi tak selamanya bisa berjalan mulus. Perekonomian diyakini tidak akan bisa tumbuh terus tanpa batas, ataupun menukik terus tanpa dasar. Sudah dari sononya, kehidupan ekonomi akan selalu ditandai oleh fluktuasi. Ada titik balik dari segalanya. Ekonomi, secara alamiah, akan mengalami gelombang naik turun. Siapapun Presidennya.

Itulah konsekuensi dari sistem ekonomi yang kita anut saat ini, ekonomi terbuka. Sistem kita membolehkan produksi dan distribusi dilakukan orang per orang dalam sistem mekanisme pasar. Siapapun Presidennya tak akan bisa menghilangkan gelombang pasang surut ekonomi. Kita harus menerima kenyataan bahwa ekonomi akan mengalami krisis setiap beberapa tahun sekali. Berbagai indikator seperti pengangguran, kemiskinan, investasi, konsumsi, tabungan, suku bunga, dan budget pemerintah, hanya masalah perhitungan saja antara naik dan turun. Setiap pemerintahan akan mengkaji angka demi angka dalam pidato ataupun laporan pertanggungjawabannya.

SBY dan Megawati telah membulatkan tekad untuk maju lagi memimpin negeri. Calon ketiganya bisa Prabowo, bisa Sri Sultan, atau bisa siapa saja. Tapi 3 Presiden terdahulu telah membuktikan bahwa mengendalikan perekonomian Indonesia dalam turbulensi perekonomian terbuka tidak mudah. 3 calon presiden kita ke depan juga akan menghadapi medan perekonomian yang tak mudah.

Apabila sistem ekonomi seperti saat ini akan dipertahankan, siapapun Presiden terpilih nanti, ia dan tim ekonominya akan terus menghadapi masalah ini. Namun, mereka diharapkan dapat mengatur gelombang naik turun perekonomian dengan kebijakan yang “antisiklis”. Saat krisis datang, mereka harus mampu mencari cara bagaimana membendung krisis. Saat ekonomi meningkat, mereka diharap mampu memperpanjang titik itu dan menyejahterakan masyarakat.

Kembali ke film 3 doa 3 cinta, Nicholas Saputra harus berjuang keras untuk meraih cita-cita dan menemukan cinta ibunya yang telah lama tak dijumpai. Presiden kita juga dituntut mampu meraih cita-cita dan menemukan “adil dan makmur” yang lama tak kita jumpai. Mengelola perekonomian Indonesia yang berisikan lebih dari 200 juta penduduk bukanlah hal mudah. Ibarat mengemudikan sebuah pesawat jumbo jet. Mesin dan crew-nya harus kuat dan tangguh. Semoga kita mampu. Salam.

Monday, December 22, 2008

Lia Eden, Indonesia Unggul, dan Utopia


Masuk penjara tak membuat Lia Eden Jera. Keluar dari penjara, ia bahkan tampil semakin berani. Lia memberi ultimatum pada Presiden SBY melalui maklumat Wahyu Tuhan bagi Pemerintah Indonesia. Iapun harus kembali ke penjara. Hal yang menarik adalah, Lia Eden tetap konsisten membawa janji akan “Kerajaan Tuhan” dan perdamaian di muka bumi. Ia mendapat pengikut karena mampu menawarkan sebuah utopia.

Dalam situasi krisis, baik krisis ekonomi hingga krisis kepercayaan diri seperti saat ini, Lia Eden bagaikan sebuah Eden (nirvana) yang memberi seteguk air bagi pengikutnya yang kehausan. Ajaran Lia Eden tentu dianggap sesat. Dan itu menjadi ranah para teolog dan sosiolog. Dalam pandangan politik ekonomi, fenomena Lia Eden merupakan hal yang menarik. Secara lebih besar dan rasional, utopia “Kerajaan Tuhan” sebenarnya juga dipakai oleh para politisi dalam meraih dukungan massa. Dalam jenis dan kadar yang berbeda, para politisi dan calon presiden membawa masyarakat pada sebuah janji utopis tentang masa depan yang lebih baik. Sebuah eden yang menjanjikan. Dan rakyatpun, biasanya, terbuai.

Sepanjang zaman, kemampuan membangun mimpi dan utopia ini selalu dipertahankan. Sistem ekonomi Marxisme dan kapitalisme berkembang sepanjang zaman karena menawarkan mimpi utopis tentang masyarakat yang sejahtera. Sosialisme senantiasa membawa janji kesetaraan dan pemerataan. Kapitalisme menjanjikan kebebasan dan demokrasi. Di bidang politik demikian pula. Ignas Kleden pernah mengatakan bahwa pemimpin bisa bertahan apabila ia mampu menawarkan utopia. Mungkin benar adanya.

Soekarno menawarkan sebuah utopia, yang dapat menggerakan seluruh bangsa dan masyarakat Indonesia, ke arah yang dikehendakinya. Utopia yang ditawarkan adalah pembentukan bangsa yang berkarakter, mendapat pengakuan, bahkan penghormatan dari bangsa lain di dunia. Fokus utamanya adalah pada kebangsaan, dan sepanjang hayat ia bergulat dengan proyek nation building, sebagai sebuah kerja raksasa.

Ketika Soeharto menjadi presiden, ia dan tim ekonominya menawarkan sebuah utopia baru, yaitu pembangunan nasional. Utopia ini berisi banyak janji menarik, antara lain pengentasan kemiskinan, peningkatan taraf hidup, pertumbuhan ekonomi, modernisasi cara hidup, dan demokratisasi sistem politik.

Permasalahannya adalah, utopia tidak pernah memiliki titik masa depan yang jelas. Kapan semua itu akan dicapai tak pernah dibicarakan. Yang muncul adalah janji dan janji terus tanpa henti. Aksi dan aksi tanpa pernah tahu kapan ia bisa mengejawantah di muka bumi. Seiring dengan waktu, masyarakat bisa merasakan, apakah mimpi itu memiliki pencapaian atau tidak di muka bumi. Soekarno terus mengobarkan revolusi hingga revolusi memakan anaknya sendiri. Soeharto menjadi Bapak pembangunan hingga ia menjadi korban dari pembangunannya sendiri. Saat utopia itu semakin sulit diterapkan, rakyat hilang kesabaran.

Habibie dan Gus Dur duduk di tampuk kepemimpinan tanpa membawa utopia. Mereka tak sanggup bertahan lama. Janji utopis ini semacam “sesajen” atau bayaran bagi rakyat Indonesia untuk ganjaran mereka bertahan di tampuk kepemimpinan. Gus Dur memang memiliki over legitimate karena memiliki pengikut setia. Tapi sayang, itu saja belum cukup. Masyarakat Indonesia tak bisa hidup tanpa mimpi utopis yang jelas. Megawati kemudian muncul menjadi presiden. Masyarakat Indonesia berharap ia mampu membangun kembali mimpi utopis sang ayah. Sayang, upaya membangun utopia ini tidak sempat dibangun dan masyarakat terlanjur menemukan figur baru yang dianggap mampu. Dialah SBY.

Pekan lalu, SBY meluncurkan buku Indonesia Unggul. Inilah judul menarik yang digaungkan pada masyarakat Indonesia. Selama kepemimpinannya, SBY mampu hadir membawa utopia. Program-progamnya visioner dan membawa bangsa ini pada sebuah tahapan kesadaran yang mantap. Isu-isu seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kemandirian ekonomi, adalah berbagai masalah yang selama ini membuat kesal dan putus asa bangsa. Dan, SBY mampu hadir menyibak berbagai masalah itu dengan sebuah langkah. Bukunya, Indonesia Unggul, juga berisikan pemikiran-pemikiran yang luar biasa bagus dan visioner. SBY mengingatkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar yang bisa unggul di masa depan. Di sini, SBY memiliki kelebihan dalam merebut hati masyarakat Indonesia.

Utopia memang menjadi rebutan dalam krisis saat ini, apalagi menjelang pemilu 2009. Utopia juga menjadi strategi bagi banyak orang untuk meraih simpati masyarakat. Kalau kita perhatikan iklan kampanye calon presiden, masing-masing ingin membawa kita pada tanah Eden. Bahwa kita akan jaya, akan kembali menjadi macan asia, wong cilik perlu diperhatikan, berjuang untuk rakyat, mengabdi bagi negeri, menghapus korupsi dan lain sebagainya.

Di sini, janji adalah satu sisi. Namun utopia adalah sisi lain. Ia bisa menjadi semacam jebakan. Ia berada dalam lapisan rapuh kepercayaan apabila tak mampu menawarkan titik pencapaian yang kurang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Tanpa adanya titik itu, perlahan pemimpin akan ditinggalkan, seperti para pengikut Lia Eden yang makin hari makin berkurang. Bila itu terjadi, berarti krisis tak memberi kita pelajaran. Atau memang kita memiliki masalah dalam belajar.

Saturday, December 20, 2008

Meneropong Ekonomi 2009

tulisan ini dimuat di koran Investor Daily, 17 Desember 2008
Catatan di pengujung tahun selalu diwarnai ramalan, baik ramalan nasib, peruntungan, jodoh, ataupun proyeksi ekonomi untuk tahun berikutnya. Pada 2009, perekonomian akan diwarnai banyak jebakan, gangguan, yang melemahkan ketahanan ekonomi. Ekonomi Indonesia bersifat terbuka. Kita merasakan sendiri bagaimana berbagai permasalahan di dunia global berdampak pada geliat ekonomi negeri. Resesi yang terjadi di negara maju, melambatnya ekonomi dunia, dan rentannya sistem keuangan global, secara setangkup akan dirasakan pada perekonomian Indonesia. Perdagangan dan keuangan adalah dua jalur paling cepat yang menjalarkan dampak global tersebut.

Dengan kondisi tersebut, tahun 2009 akan menjadi tahun yang tidak mudah, atau istilah filmnnya, year of living dangerously. Akan ada banyak guncangan, jebakan, gangguan, yang dapat sewaktu-waktu menggoyang ketahanan perekonomian kita. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprakirakan akan melambat.

Selain karena melambatnya ekonomi dunia memang, penurunan harga komoditas internasional juga akan menjadi faktor utama perlambatan karena berdampak pada penurunan ekspor Indonesia. Perlambatan ekspor tersebut akan berdampak pada konsumsi rumah tangga melalui penurunan daya beli masyarakat (income effect) dan diikuti oleh penurunan investasi oleh dunia bisnis.

Sementara itu, transmisi krisis global melalui sektor keuangan semakin menambah tekanan pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui terbatasnya pembiayaan, baik untuk konsumsi maupun investasi.

Tekanan Inflasi Berkurang
Pada 2009 akan diadakan pesta demokrasi (Pemilu) yang diperkirakan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat, khususnya saat kampanye. Kemeriahan partai politik dalam menggalang massa berpesta demokrasi diharapkan dapat meningkatkan geliat ekonomi negeri. Namun, krisis keuangan global saat ini berpengaruh pula pada kondisi keuangan partai-partai politik. Akibatnya, walau akan ada dorongan permintaan, dampaknya masih akan terbatas pada pertumbuhan ekonomi.

Akibat langsung pada perlambatan pertumbuhan adalah sektor riil. Apabila dunia bisnis semakin melesu, pada gilirannya akan jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat. Pada 2008 ini, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah meningkat. Pada November saja, tercatat sebanyak 66.000 orang yang terkena PHK. Jumlah yang terkena PHK ini diperkirakan terus meningkat pada 2009. Meningkatnya angka pengangguran dikhawatirkan akan membawa dampak lain pada kehidupan sosial masyarakat.

Melihat berbagai perkembangan tersebut di atas, maka perlambatan ekonomi Indonesia pada 2009 merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan turun drastis pada 4,4%. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan sekitar 4,5%. Bank Pembangunan Asia (ADB) 5%. Dan versi Pemerintah menyebutkan angka sekitar 5% dengan skenario pesimistis mencapai 4,5%.

Namun, di balik keprihatinan atas perlambatan pertumbuhan, secercah harapan pun muncul, yakni berkurangnya tekanan inflasi. Bank Indonesia telah berulangkali menyebutkan bahwa inflasi 2009 akan menurun ke kisaran 6,5-7,5% dengan kecenderungan berada pada batas bawah.

Perkiraan ini cukup beralasan mengingat, selain faktor turunnya imported inflation dari harga-harga komoditas internasional, penurunan inflasi juga didukung oleh faktor domestik, antara lain seperti rencana Pemerintah menurunkan harga BBM, stabilisasi harga oleh Pemerintah sepanjang periode Pemilu, serta meningkatnya produksi padi dan pengadaan beras.

Hasil perhitungan Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa efek penurunan harga premium akan mengurangi tekanan inflasi sebesar 0,3-0,5% pada putaran pertama. Apabila ini ditangkap oleh masyarakat dengan penurunan harga di berbagai sektor, hal itu dipastikan akan semakin menurunkan tekanan inflasi.

Menurunnya tekanan inflasi ini memberikan sebuah ruang bagi ekonomi Indonesia untuk mengeliat. Bank Indonesia tentu diharapkan dapat memanfaatkan momentum ini melalui kebijakannya yang secara konsisten menjaga pencapaian inflasi tanpa mengganggu stabilitas perekonomian.

Kelenturan Ekonomi
Namun, ekonomi Indonesia bukan sekedar angka-angka. Di balik angka-angka itu, hiduplah aktor-aktor ekonomi yang lentur dan liat. Mereka adalah para pelaku yang berdaya juang dan berdaya tahan tinggi. Mereka tersebar luas di seluruh penjuru Nusantara dalam berbagai peran seperti petani, nelayan, dan pengusahan mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Saat krisis melanda negeri kita, dimana ekonomi mendapat tekanan berat, usaha para petani dan nelayan masih bisa tumbuh pada kisaran 3-4%. Pasar domestik yang luas, jaring-jaring kehidupan sosial kemasyarakatan yang erat, telah mampu mengikat dan menjadi penyangga bagi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Dalam keadaan seperti itu, perekonomian Indonesia memiliki kemampuan bergerak seperti mekanika sebuah mesin. Itulah kelenturan ekonomi Indonesia yang sekiranya mampu dirasakan dan dijadikan modal utama oleh otoritas dalam menelurkan kebijakannya.
Ramalan masa depan memang penting. Namun kita tak bisa hanya berhenti di angka. Kita juga tak bisa hanya berhenti pada upaya mengamankan budget pemerintah semata. Krisis global saat ini merupakan momentum untuk dapat membangun perekonomian yang kokoh secara nyata dan merata di masyarakat.

Akhirnya, pertanyaannya bukan berapa besar pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2009, melainkan bagaimana dengan pertumbuhan yang minim itu Indonesia tetap berkomitmen pada kepentingan rakyat? Itulah tantangan bagi pemimpin kita di masa depan. Indonesia di masa depan sangat membutuhkan seorang negarawan yang mampu tampil dan bersedia larut memikirkan masa depan bangsa. Selamat Tahun Baru 2009.

Junanto Herdiawan, peneliti ekonomi lulusan Leeds University

Sunday, December 14, 2008

Presiden Indonesia pilihan tuhan

”In a democracy, the people get the government they deserve”. Dalam sebuah demokrasi, rakyat mendapatkan pemerintah (pemimpin) yang pantas bagi mereka. Begitulah observasi dari Alexis De Tocqueville (1805-1859), seorang filsuf dan sejarawan Perancis. Dengan kata lain, pemimpin adalah cerminan karakter dari mereka yang dipimpin.

Masyarakat yang matang dan intelektual, secara alamiah akan mendapatkan pemerintahan yang matang. Sementara masyarakat yang mentah, akan mendapatkan pemerintahan yang mentah. Masyarakat yang gemar dengan hal-hal yang berbau instan dan gemar dengan bungkusan citra (image), akan mendapatkan pula pemerintah yang sesuai dengan karakter mereka. “Vox Populi Vox Dei”, Suara Rakyat Suara Tuhan. Dalam demokrasi, Tuhan mengejawantah pada suara rakyat. Oleh karenanya, janganlah kita selalu menyalahkan pemerintah. Karena mereka sebenarnya hanya cerminan dari diri kita sendiri.

Kita melihat contoh di banyak negara bagaimana hubungan antara pemimpin dengan mereka yang dipimpin. Amerika yang mayoritas penduduknya matang dan berpendidikan, layak mendapatkan presiden sekaliber Obama. Perancis yang penduduknya terkenal dengan fashion dan modenya, mendapatkan ibu negara yang mantan model dan Presiden yang bergaya selebritis. Beberapa negara Afrika yang masyarakatnya kerap berperang, mendapat pemerintah yang juga gemar perang dan konflik. Itulah sebagian contoh yang berangkat dari observasi De Tocqueville.

Apakah hal itu juga berlaku di Indonesia? Jawabnya bisa diperdebatkan. Apakah Gus Dur, Megawati, dan SBY adalah pemimpin yang mencerminkan sikap dan karakteristik manusia Indonesia, tentu banyak pendapat.

Prof Boeke di masa kolonial pernah menegaskan mitos tentang masyarakat Indonesia yang malas. Menurutnya masyarakat Indonesia ini memiliki karakter “lack of deffered gratification”. Tak bisa menunda kenikmatan. Punya uang sedikit, maunya belanja. Kalau ada buku tentang cara singkat menjadi kaya, buku itu pasti laris manis. Pandangan masyarakat kita berjangka pendek dan ingin cepat sukses.

Di bidang ekonomi, karakter itu dapat dilihat dari komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi. Kalau kita melihat secara agregat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ini, termasuk saat krisis melanda, kita dapat tumbuh cukup menggembirakan di sekitar 6%. Namun kalau dilihat lebih dalam, pertumbuhan itu lebih didominasi oleh sektor konsumsi. Sementara Ekspor dan Investasi masih belum optimal. Konsumsi masyarakat meningkat, konsumsi pemerintah juga meningkat. Tak ada yang salah memang dengan konsumsi. Tapi menjadikan konsumsi sebagai penggerak pertumbuhan semata tentu tidaklah bijak. Kita tahu bahwa bangsa yang konsumtif adalah bangsa yang tidak punya karakter. Hanya bangsa yang produktiflah menjadi bangsa yang berkarakter tinggi.

Kalau kita lihat dari komoditas ekspor, di tahun 1993-1998, ada 20 komoditas ekspor non migas yang tumbuh di atas 10%. Kini, komoditas yang tumbuh di atas 10% mungkin tinggal sekitar tujuh komoditas. Itupun sebagian besarnya adalah komoditas sumber daya alam. Dulu, saat harga udang galah meningkat, masyarakat beramai-ramai berbisnis udang galah. Kini, saat harga CPO meningkat, seluruh tanah diubah tanam menjadi perkebunan sawit. Gejala ini terjadi terus menerus. Saling mengekor dan ingin mencari keuntungan dengan cepat. Dan tentu, kalau ambruk, ambruklah beramai-ramai.

Di saat krisis global seperti ini, kita melihat permasalahan yang menimpa ekonomi kita semakin nyata. Banyak perusahaan yang mulai tutup, semakin sedikit pula ekspor, dan PHK meningkat. Transaksi berjalan kita di neraca pembayaran mulai "megap megap" dan menunjukkan angka defisit. Defisit transaksi berjalan adalah hal yang serius karena menyangkut persoalan struktural dan kultural dari bangsa ini.

Mungkin akan ada pendapat bahwa persoalan di bidang ekonomi ini seolah olah hanya persoalan angka, persoalan uang, ataupun persoalan manajemen. Tetapi, ada yang lebih embedded inherent di balik munculnya angka-angka tersebut. Itulah cerminan dari sikap dan karakteristik bangsa. Budaya sulit menunda kesenangan, senang mengkonsumsi, dan gemar memburu kekayaan dengan instan, dapat tercermin secara agregat di angka-angka makroekonomi. Karena itulah, usaha perbankan untuk mendorong dan menggiatkan tabungan di masyarakat menjadi penting. Karena itulah, usaha-usaha untuk melakukan jalan pintas mencapai kekayaan, harus dicegah bersama-sama. Inilah tantangan bukan hanya bagi pemerintah, tapi bagi kita semua.

Sampai di sini, pernyataan De Tocqueville menjadi penting. Karena dengan demikian kita akan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan karakter kita itu. Waduh, mudah-mudahan De Tocquiville salah. Mudah-mudahan dengan karakter masyarakat yang ada saat ini, kita masih bisa mendapatkan pemimpin yang memiliki karakter negarawan, yang bersedia larut memikirkan masa depan bangsa. Seorang Pemimpin yang benar-benar pilihan Tuhan. Salam.

Monday, December 08, 2008

Twilight, Drakula, dan Ekonomi Politik Jangka Pendek


When you can live forever, what do you live for?”. Kalau anda bisa hidup selamanya, apa yang akan anda lakukan dalam hidup? Di dunia ini mungkin hanya ada dua orang yang ingin hidup seribu tahun lagi. Pertama, Chairil Anwar. Dan kedua, Drakula. Sudah nonton film Twilight? Ya, inilah kisah cinta dua anak remaja dengan latar belakang Drakula modern. Para Twilighters, pecinta novel Twilight karya Stephenie Meyers, menyambut pemutaran film ini dengan antusias. Sejatinya, ini hanya kisah klasik tentang cinta antara dua anak manusia yang berbeda. Bella Swan nan jelita, jatuh cinta pada Edward Cullen yang ternyata adalah keturunan vampir. Kisah ini menarik karena menyajikan vampir modern yang hadir tanpa nuansa horor. Konstelasi kejiwaan vampir diangkat dalam film ini begitu indah. Adegan romantisnya lumayan “picisan”, tapi bikin gregetan. Buat para remaja putri, kisah cinta dengan vampir ganteng ini memang bisa membuat mereka “termehe-mehe”.

Usai menyaksikan film ini, tafsir penontonpun bisa berbeda-beda. Bagi saya, film ini membawa satu pesan moral yang menarik. “When you can live forever, what do you live for?”. Itulah saya pikir kelebihan Drakula dari kebanyakan manusia biasa. Drakula memiliki perspektif jangka panjang dalam memandang masalah dan kehidupan. Karena mereka menyadari bahwa mereka hidup selamanya. Berbeda dengan kebanyakan manusia yang hanya berpikir sesaat dan untuk kepentingan jangka pendek. Edward Cullen dan keluarganya berupaya melindungi Bella dari gangguan vampir jahat. Mereka mementingkan masa depan Bella ketimbang kepentingan jangka pendek mereka, untuk sekedar menghisap darah Bella. Hebat juga. Rupanya Drakula tidak berpikir myopic atau rabun ayam. Mereka justru memandang jauh ke depan.

Di tengah konstelasi krisis ekonomi dan ramai politik saat ini, nampaknya kita perlu belajar dari Drakula. Saya teringat pandangan dari Prof Syafii Maarif yang mengingatkan kita akan bahaya dari kultur politik ”rabun ayam”. Kultur politik ini ditandai dengan visi jangka pendek dan pragmatis para pemain demokrasi. Kita melihat saat ini Indonesia disibukkan dengan politik kekuasaan yang menguras energi bangsa. Sulit rasanya kita membangun bangsa dan pemerintahan yang kokoh selama para pemain demokrasi terpasung kultur ”rabun ayam”. Mereka terpaku dan terpukau kepentingan jangka pendek. Di kalangan intelektual politik, kita melihat godaan politik kekuasaan begitu kuat. Hal ini telah membuat mereka kehilangan kejernihan berpikir dan kemerdekaan dalam menilai. Akibatnya, orang lupa bahwa bangsa ini membutuhkan kelahiran negarawan yang bersedia larut memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa. Kita begitu sibuk dan asyik sekali dengan gelora pemilu 2009 serta kepentingan jangka pendek golongan, bahkan kepentingan diri sendiri.

Dalam pandangan ekonomi, pola pikir myiopic ini juga berbahaya. Adalah John Maynard Keynes yang pernah mengatakan “in the long run we all dead”. Memang demikian. Di masa depan memang kita semua mati. Namun Keynes juga tidak menganjurkan orang untuk hanya memikirkan jangka pendek. Bahwasanya masa depan penuh ketidakpastian, benar adanya. Keputusan preferensi akan likuiditas sangat ditentukan oleh persepsi kita akan masa depan. Namun di sisi lain, Keynes juga pernah menulis essay pendek yang berjudul “The Economic Possibilites for Our Grandchildren”. Ia menulis bagaimana anak cucunya hidup di Inggris setelah krisis dan perang dunia usai. Ia meyakini bahwa di tahun 2030 (tulisan itu dibuat tahun 1931) masa depan anak cucu akan lebih baik. Oleh karenanya, keputusan ekonomi yang dibuat harus bermanfaat bagi masa depan anak cucu.

Dulu, kita pernah bangga punya REPELITA dan konsep Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun. Kita menggaung-gaungkan visi dan lepas landas pembangunan. Kita pernah “merasa” punya masa depan. Kini, PJP memang masih ada. Namun sejauh mana ia tertanam dalam benak kita semua, masih jadi pertanyaan. Saat ini, pikiran kita begitu disibukkan dengan krisis ekonomi dan masalah-masalah mendesak jangka pendek. Persoalan nilai tukar, neraca pembayaran, perbankan, pasar uang, pasar saham, dan melemahnya pertumbuhan ekonomi, menjadi rangkaian masalah yang tak usai. Kita terbawa dalam pusaran demi pusaran langkah menyelesaikan berbagai permasalahan mendesak itu. Tentu tak ada salahnya kita berpikir jangka pendek. Masalah segera memang perlu juga diselesaikan. Hanya saja, jangan sampai semua energi kita terkuras berputar-putar di sana. Kita tetap perlu punya perspektif jangka panjang. Namun, dalam kondisi ekonomi politik saat ini, siapa ya yang memikirkan hal itu? Mungkin kita perlu belajar dan minta bantuan pada Drakula. Salam.

Friday, December 05, 2008

BI Rate Sebagai Problem Filsafat

Media massa hari ini menurunkan berita beragam tentang penurunan BI Rate. Para analis pasar juga setangkup. Ada yang menyambut baik, dan ada yang seolah-olah “caught by surprise”. Kemarin, kami sempat menerima beberapa tamu investor dari Inggris. Mereka menyatakan ketertakjubannya dengan penurunan BI Rate. Sebaliknya, Bisnis Indonesia, hari ini menulis headline “Pasar Sambut Positif penurunan BI Rate”. Koran Tempo menulis berita “BI Rate turun, Rupiah Menguat”. Jauh hari sebelum RDG, Ketua Kadin dan Analis dari Indef mengatakan bahwa BI Rate seharusnya turun. Mereka berkata ”Pakai BI Rate untuk stimulus” (Kompas, 27 Nov 2008). Turunnya BI Rate, bukan hanya diharapkan (expected) oleh mereka, bahkan didoakan. Terlepas dari sambur limburnya pendapat, perhatian dunia, masyarakat, media, dan analis, kini tertuju pada sebuah makhluk abstrak bernama “BI Rate”. BI Rate telah memberi “gairah” dalam diskursus wacana di kalangan pelaku pasar.

Mengapa BI Rate menjadi begitu ”sexy”? Di satu sisi, ini adalah buah dari komunikasi Bank Indonesia yang proaktif dan terus menerus sejak tahun 2005. Hasil komunikasi itu telah mengangkat BI Rate menjadi wacana publik. Namun permasalahan muncul, ketika beberapa pihak mulai menggeser pemahaman dan filosofis BI Rate dari khittahnya semula. Hal ini bukan hanya menyesatkan, namun sangat berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Ferdinand de Saussure (1929), seorang filsuf penganut aliran strukturalisme, kira-kira akan menggolongkan BI Rate sebagai sebuah “penanda” atau “signifier” atas sesuatu yang ”ditandakan” atau ”signified”. ”Bahasa adalah perkara bentuk dan bukan substansi”, demikian ungkapan terkenal dari Saussure. BI Rate menjadi sebuah bentuk yang merupakan identitas dari satu metode, atau cara, untuk mencapai sebuah tujuan. Sebenarnya ada kode tersembunyi (hidden code) dan hakikat asali yang ingin dicapai oleh BI Rate. Bila kita membedah lagi BI Rate ke dalam hakikat asalinya, kita seharusnya sampai pada sebuah alasan kenapa BI Rate ada. Hal ini bisa menjadi sebuah kajian ontologis yang lebih mendalam tentang kehidupan publik dan kesejahteraannya. Claude Levi Strauss (1931) kemudian menulis mengenai kajian mitos. Dalam kajian itu, BI Rate bisa dikategorikan ke dalam mitos (myth), sama seperti Freud terpesona pada mimpi (dream). Topologi mitos adalah ia bisa bekerja di ranah irrasionalitas.

Permasalah muncul ketika ”penanda” yang semula adalah sebuah tekhnik dan cara untuk mencapai tujuan, telah bergeser menjadi tujuan itu sendiri. BI Rate adalah sebuah instrumen yang digunakan untuk mencapai satu tujuan. Bagaimana cara bekerja instrumen itu tetap suatu misteri. Ilmu ekonomi mencoba menjelaskannya dengan berbagai analisis baik kualitatif maupun kuantitatif. Namun bagaimana sebenarnya yang terjadi, tak ada yang tahu. Yang kita bisa lakukan adalah mencoba memahami mekanisme gejala yang ada. Tekanan inflasi, pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran, pasar uang, dan berbagai gejala yang ada. Kita mengandaikan sesuatu sebagai ”ada” padahal itu adalah pengetahuan kita mengenai ”ada”. Inilah yang kadang yang menjadi awal dari sebuah ”keterpelesetan” berpikir.

Beberapa pihak dalam pekan-pekan terakhir ini mencoba menggiring pendapat publik akan pentingnya BI Rate diturunkan. Berbagai diskusi dan wacana dilempar dan menempatkan BI Rate sebagai sebuah ”panacea”. Apabila masalah ekonomi sudah mentok, maka jawaban yang ditunggu adalah BI Rate. Kalau suku bunga di negara lain turun, kenapa di BI gak turun? Jadi, BI Rate harus turun, karena semua turun. Diskusi semakin meluas dan memanas. BI Rate, yang semula adalah cara mencapai tujuan, telah bergeser menjadi tujuan itu sendiri.

Mudah-mudahan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak terjebak ke dalam penyesatan berpikir yang dilakukan beberapa pihak tersebut. Harapan kita adalah munculnya sebuah penjelasan yang semakin ”mendekati” kebenaran akan alasan penurunan tersebut. Pada ujungnya, BI Rate bekerja pula dalam tataran wacana, psikologi, di samping masalah mekanistis. Upaya membangun kesadaran, komunikasi yang jelas dan terus menerus, menjadi lebih penting untuk menghindarkan publik dari keterkejutan dan kebingungan.

BI Rate sebagai problem filsafat mengingatkan kita bahwa mungkin inilah salah satu contoh kesekian tentang implikasi dari sebuah syarat metodologis yang kemudian dianggap sebagai realitas ontologis. Atau, implikasi dari proyek cara memikirkan sesuatu yang terpeleset dan dianggap sebagai ”sesuatu” itu sendiri.

Tuesday, December 02, 2008

Setelah Bank Century, amankah bank kita?

Setelah Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), beberapa nasabah bank kerap bertanya pada saya, apakah akan ada bank lain yang menyusul? Atau, masih amankah bank di Indonesia? Mereka khawatir dan ingin segera memindahkan dananya pada bank yang lebih aman. Kekhawatiran mereka tentu boleh boleh saja. Tapi sebenarnya ada satu hal menarik yang dapat kita lihat dari kasus Bank Century. Hal itu adalah tidak terjadinya gejolak yang berlebihan pada nasabah bank di Indonesia. Padahal, masalah bank gagal adalah sesuatu yang sangat sensitif dalam sebuah krisis.

Masih segar dalam ingatan, saat krisis perbankan terjadi di tahun 1997/98. Kekacauan merembet ke segala sendi kehidupan, berawal dari ditutupnya 16 bank umum. Nasabah beramai-ramai menyerbu dan menarik dana dari bank. Terjadilah rush. Namun kini, saat mendengar Bank Century diserahkan pada LPS, masyarakat relatif tenang dan tidak terjadi rush secara besar-besaran. Di satu sisi, hal ini melegakan karena menunjukkan betapa sigap dan antisipatifnya Pemerintah dalam menyikapi krisis yang terjadi. Meski demikian, kita merasakan bahwa kepercayaan masih belum sepenuhnya pulih. Nasabah masih ragu, bahkan ada yang diam-diam memindahkan dananya ke bank-bank yang dianggap aman atau bahkan ke luar negeri. Adanya kasus bank yang gagal, melemahnya nilai tukar, dan krisis global yang masih belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, menjadi alasan yang kuat bagi para nasabah bank untuk menjadi ragu.

Industri perbankan Indonesia menguasai lebih 90 persen dari keseluruhan industri keuangan saat ini. Sedangkan pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lain-lain menempati sisanya yang amat kecil. Tak heran saat indeks saham melorot tajam, hanya para investor yang panik, sementara kehidupan masyarakat tak serta merta terganggu. Namun saat ada satu bank yang bermasalah, nasabah bank sontak resah. Masalah bank adalah masalah kita semua karena menyangkut dana kita sendiri.

Permasalahan yang menimpa bank berawal dari krisis global yang menyebabkan tekanan pada pasar uang di dalam negeri. Muncul keraguan antar pelaku pasar uang rupiah yang pada akhirnya meningkatkan sekat-sekat antar bank di Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Transaksi antar bank tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kalau kita lihat selama September s.d November 2008, rata-rata volume transaksi PUAB rupiah per hari menurun drastis. Hal ini menyebabkan suku bunga PUAB meningkat secara cepat. Dalam kondisi demikian, bank bisa saja mengalami kesulitan dalam memperoleh dana di PUAB. Kesulitan ini akan diperparah apabila ada isu dan rumor yang berkembang di masyarakat sehingga terjadi penarikan dana.

Meski Bank Century dihadapkan pada masalah serius sehingga harus diambil alih LPS, bukan berarti bank lain juga demikian. Secara fundamental, saat ini ketahanan perbankan Indonesia tetap terjaga dan menunjukkan kinerja yang positif di tengah berbagai gejolak global. Selain itu, respon pemerintah dan Bank Indonesia guna menghindari risiko sistemik melalui Perppu JPSK, Perppu Amandemen UU BI (perluasan kolateral), dan Perppu LPS juga dinilai tepat waktu. Mekanisme permasalahan yang terjadi pada Bank Century dapat diselesaikan tanpa menimbulkan gejolak yang berlebih. Adanya penjaminan dana nasabah sampai dengan Rp2 milyar, meski banyak yang berharap untuk ditingkatkan menjadi penjaminan penuh, juga masih mampu menghindari kepanikan.

Selain karena tekanan krisis global, ada dua hal yang menjadi penyebab krisis pada perbankan kita. Pertama, krisis disebabkan oleh masalah internal bank. Misalnya, kejahatan bank dan good governance yang buruk. Kedua, krisis perbankan disebabkan oleh kepanikan para nasabah dan pemilik modal. Perilaku mania dan panik akan memperparah krisis. Perbankan di satu sisi dapat menjadi sumber krisis, seperti yang terjadi pada tahun 1997/98. Namun perbankan, di sisi lain, dapat juga menjadi obat penyembuh krisis. Bila bank sehat, solid, dan dipercaya masyarakat, peranannya dalam membawa kita keluar dari krisis sangat besar. Untuk itu, kepada perbankanlah tertumpu harapan bangsa ini untuk menjadi pendorong kegiatan ekonomi.

Masih amankah bank kita? Secara fundamental dapat dijawab masih. Namun jawaban sebenarnya terletak pada kepercayaan kita sendiri pada perbankan. Adagium lama mengatakan bahwa Bank adalah bisnis kepercayaan. Tanpa kepercayaan, tidak ada bank. Salam.