Monday, December 20, 2010

Wajah Tampan dan Tribalisme Sepak Bola

Saya adalah pecinta teater dan drama. Di Gelora Bung Karno semalam, sebuah drama kembali terjadi. Tim nasional Indonesia melaju ke Final piala AFF. Gegap gempita penontonpun meledak riuh. Lewat internet, saya melihat bahwa sepak bola adalah sebuah teater yang mampu menerabas batas.

Sepak bola memang lebih dari sekedar olah raga. Bukan hanya para pecinta bola, namun banyak pula mereka yang tak paham sepak bola, malam itu ikut bersorak riang menyaksikan tim nasional Indonesia. Mulai dari semangat nasionalisme, lambang garuda di dada, merah putih di lapangan, teknik permainan, hingga sekedar menyaksikan wajah tampan para pemain muda. Banyak alasan. Tapi itu semua adalah penanda bahwa nasionalisme dan kebangsaan masih nyata di sepakbola.

Di balik segala tekhnik permainan, hingga wajah tampan pemain, pertandingan sepak bola selalu memberi kita banyak makna. Sebelum menonton sepak bola tadi malam, saya terlibat diskusi dengan seorang kawan tentang krisis ekonomi di Eropa. Kami berbicara mengenai krisis ekonomi global yang telah tiga tahun berjalan. Tak banyak kita memperoleh jawab. Tapi siapa sangka bahwa pemandangan di Gelora Bung Karno semalam bisa menjelaskan krisis global.

Riuh rendah penonton di lapangan menunjukkan bahwa sepak bola adalah jawaban mengapa globalisasi gagal. Sepak bola adalah jawaban mengapa krisis bisa terjadi. Sepak bola mengatakan bahwa globalisasi menyimpan kelemahan.

Jauh hari sebelum krisis terjadi, Franklin Foer pernah menulis sebuah buku berjudul “How Soccer Explains The World”. Menurutnya, sepak bola bisa menjelaskan dunia, baik dari sisi politik, budaya, sosial, dan ekonomi, di era globalisasi ini.
Teori globalisasi mengatakan bahwa dunia semakin datar. Batas negara bisa diterabas dengan menyatunya ekonomi dunia. Muncullah ide penyatuan mata uang, perjanjian dagang, hingga berbagai kerjasama multilateral dan bilateral. Kemudian lahirlah Uni Eropa, WTO, AFTA, APEC, G20, dan kerjasama lain yang mensamarkan batas-batas negara. Uni Eropa bahkan telah menyatukan mata uangnya menjadi Euro. Di ASEAN sendiri, muncul diskusi untuk membuat mata uang bersama ASEAN.

Batas negara diterabas karena kekuatan modal tak mengenal nasionalisme. Bagi modal, tujuan utamanya adalah keuntungan. Modal kemudian merasuk ke dalam pikiran para pengambil keputusan, oligarki perusahaan, dan para kapitalis, untuk dapat menyediakan ruang lebih luas bagi berkembang biaknya modal. Globalisasi adalah jawaban dari ambisi modal tersebut.

Tapi, pada ujungnya manusia tetap tak bisa diperbudak oleh modal. Seberapapun derasnya arus globalisasi, semangat tribalisme kesukuan tetap ada. Hal inilah yang menjadi hambatan bergulirnya globalisasi. Dan di sepak bola, kita melihat jawaban akan fenomena itu.

Inggris misalnya, kalau bicara negara, mereka memakai bendera Union Jack, atau menyebut diri dengan United Kingdom. Tapi saat tiba di sepak bola, mereka punya empat bendera, Scotland, England (St. George’s Cross), Wales, dan (Northern) Ireland. Semangat kesukuan, tribalisme, dan nasionalisme masing-masing wilayah, tetap tak bisa dipersatukan oleh kekuatan apapun, termasuk kapital.

Saat kita melihat sepak bola Indonesia, yang saat ini muncul adalah nasionalisme. Pemandangan di GBK semalam menunjukkan bahwa nasionalisme masih hidup. Berhadapan dengan Filipina, Malaysia, Vietnam, emosi kebangsaan muncul lebih tinggi dari emosi regionalisme. Menghadapi Malaysia di final nanti, banyak yang bukan lagi sekedar melihat sebagai sepak bola. Emosi dan sentimen bangsa ikut mewarnai pertandingan itu.

Franklin Foer menyebut hal ini dengan semangat tribalisme yang masih hidup. Setiap negara masih memiliki nilai-nilai itu. Menurutnya, sepak bola muncul "to defend the virtues of old-fashioned nationalism", sebagai cara "a way to blunt the return of tribalism".

Semangat inilah yang selalu menjadi ganjalan dari harapan penyatuan modal yang didengung-dengungkan oleh para birokrat, kapitalis, dan oligarki perusahaan. Di satu sisi, kapitalisme bicara soal penyatuan modal dan bergesernya batas negara. Tapi di sisi lain, sepakbola justru membangkitkan nasionalisme, etnisitas, dan batas negara, yang justru diperangi oleh globalisasi.

Tak dapat dipungkiri bahwa sepakbola juga besar karena globalisasi. Sepak bola adalah juga industri. Para pemain tampan di bintang iklan, kaos adidas, nike, dan merek-merek global, mewarnai sepak bola. Korporasi global juga membesarkan sepak bola melalui beragam promosi. Bursa transfer pemain antar benua terus terjadi, seolah menjadi penanda bahwa sepak bola adalah bisnis global. Tapi di keping mata uang yang sama, sepak bola adalah juga soal nasionalisme, keyakinan, bahkan agama, bagi sebagian orang. Ada hal-hal yang tak terbeli oleh modal global.

Merujuk pada krisis ekonomi di Eropa, saat ini mulai muncul kembali semangat tribalisme atau nasionalisme masing-masing negara Eropa. Mereka menuntut pembubaran mata uang Euro, dan kembali pada mata uang masing-masing. Mata uang adalah kebanggaan nasional mereka. Menurut mereka, Euro dianggap menjadi salah satu penyebab krisis. Kembali pada kebanggaan nasional, seperti kembali pada identitas tim nasional, adalah jawaban keluar dari krisis.

Krisis global juga menunjukkan bahwa masing-masing negara saat ini sibuk mempertahankan dirinya sendiri. Mereka tidak peduli lagi soal penyatuan negara, kerjasama perdagangan, ataupun globalisasi. Hal terpenting saat ini adalah menyelamatkan ekonomi masing-masing. Cina menuduh Amerika, demikian pula sebaliknya. Negara berkembang menuduh negara maju, demikian pula sebaliknya. Muncullah apa yang dinamakan “currency war” atau “perang mata uang”. Forum seperti APEC dan G-20 tak mampu sepenuhnya mengatasi semangat nasionalisme masing-masing negara anggotanya.

Thomas Friedman pernah mengatakan bahwa “The World is Flat”. Tapi krisis global telah membalik itu semua. Kini, dunia tak lagi datar, “The World is Round Again”. Dunia terpilah-pilah dalam batas-batas dan nasionalisme masing-masing negara.

Sepak bola menunjukkan bahwa semangat nasionalisme senantiasa bergelora di diri para pendukung tim. Globalisasi tak mampu merenggut semangat itu. Dan di situlah, globalisasi menemukan kelemahan. Kini, dunia menjadi tidak rata lagi.

Salam sepakbola.

No comments: