Saturday, July 26, 2008

Indonesia dalam Sistem Finansial Global

dimuat di harian Investor, 12 Mei 2008
Kekuatan sistem keuangan global yang selama diagungkan, ternyata tak lebih dari sekadar buih (bubble) yang rapuh. Bagai racun yang bekerja cepat, gejala ini menebarkan kekhawatiran ke berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.

Satu hal yang perlu kita sadari dalam menyikapi dampak rambatan dari krisis global saat ini adalah sebuah kenyataan bahwa sektor finansial telah mendominasi sektor perekonomian lainnya. Hal inilah yang mengakibatkan rentannya sistem keuangan Amerika Serikat saat menghadapi gejolak yang bersumber dari subprime mortgage.

Saat buih itu pecah, perekonomian AS terseret ke dalam arus ancaman resesi. Bisnis buih di pasar keuangan bagaikan bom waktu yang potensinya sangat besar dalam melelehkan seluruh sistem keuangan global.

Hasil penelitian Gerard Dumenil dan Dominique Lévy (2001), dua ekonom dari Centre National de la Recherche Scientifique, Paris, menunjukkan bahwa globalisasi sistem keuangan dunia bercirikan pada sebuah dominasi kekuasaan finansial atas sektor ekonomi lain. Dominasi sektor keuangan ini menggelembungkan transaksi finansial, sehingga menjadi buih besar yang rapuh.

B Herry Priyono mengistilahkan ‘sektor finansial’ (finance) sebagai praktik manajemen mutakhir atas kinerja reksa dana, dana pensiun, asuransi, commercial dan investment banking, sekuritas, dan sebagainya. Sektor inilah yang membentuk modal serta melakukan permainan atas sektor barang dan riil.

Pasar modal yang cita-cita luhurnya dimaksudkan sebagai strategi pembentukan modal bagi investasi, dalam globalisasi dewasa ini justru tumbuh menjadi pasar judi. Hal ini menjadikan sektor itu dapat menggembung menjadi buih dalam pusaran spekulasi. Buih dapat diciptakan dalam pasar keuangan demi keuntungan para pemilik kapital. Pada tataran ini, perekonomian Indonesia tak terhindarkan dari pusarannya.

Aliran Dana Asing
Dalam Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2007 yang diluncurkan belum lama ini, Bank Indonesia menyebutkan bahwa tantangan bagi perekonomian ke depan tidaklah ringan. Secara implisit terlihat bahwa dominasi sektor keuangan atas sektor riil juga terjadi di Indonesia. Kekhawatiran akan terjadinya pelarian dana asing dari Indonesia mengemuka dalam beberapa pemikiran.

Dana asing berjangka pendek pada perekonomian Indonesia jumlahnya memang cukup besar, sekitar US$ 15 miliar. Total volume transaksi valas di pasar spot sepanjang tahun 2007 mencapai US$ 561 miliar, atau meningkat hampir 50% dibanding tahun sebelumnya. Perkembangan ini sebagian besar didorong oleh masuknya aliran dana asing ke pasar keuangan Indonesia.

Oleh karena itu, arus keluar yang terjadi pada pertengahan tahun 2007 tentu berdampak pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan, terutama memberi tekanan pada nilai tukar rupiah. Dampak lanjutan pelemahan nilai tukar ini merambat ke berbagai sektor kehidupan, mulai dari meningkatnya harga-harga hingga pada keresahan pada lapis masyarakat yang paling bawah.

Pada periode terjadinya krisis subprime mortgage, selera risiko dari para investor global terhadap aset di negara seperti Indonesia menurun drastis. Hal itu berkolerasi erat dengan perkembangan nilai tukar rupiah. Menyikapi fenomena yang terjadi, kita perlu mewaspadai dan mencermati dampak kuasa finansial tersebut pada perekonomian Indonesia.

Para pemilik modal asing lebih menempatkan perspektifnya pada keuntungan yang mereka dapat dari penanaman modal mereka. Tapi begitu prospek ekonomi atau pengelolaan ekonomi suatu negara memburuk, tanpa ayal, mereka akan keluar setiap saat. Kita patut bersyukur bahwa meski pasar keuangan Indonesia turut terkena imbas krisis di AS, sampai saat ini dampak yang ditimbulkannya masih dapat diminimalkan.

Para pemodal asing masih bertahan dalam menanamkan dananya di negeri ini. Kondisi fundamental ekonomi yang didukung pengelolaan kebijakan makroekonomi yang semakin membaik menjadikan perekonomian Indonesia memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap kejutan eksternal. Kondisi tersebut berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya di mana kejutan eksternal langsung menimbulkan gejolak berkepanjangan.

Namun, kita tetap perlu mewaspadai dampak krisis global yang ternyata lebih dalam dan luas dari perkiraan. Hal serius yang nyata di hadapan kita adalah betapa sektor finansial dapat menciptakan buih yang bisa meletus setiap saat. Oleh karenanya, upaya kita menyeimbangkan pergerakan di pasar finansial dengan kerja nyata di sektor riil menjadi sebuah hal yang tak dapat ditunda lagi

Dekonstruksi dan rekonstruksi kebijakan publik Kita menyadari bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang dapat menahan dan menutup diri dari perkembangan global. Di satu sisi perkembangan global memberi manfaat bagi negeri, tapi di sisi lain ia bisa jadi sebuah petaka. Pusaran resesi global yang berdampak luas pada banyak negara, termasuk Indonesia, menjadi contoh petaka yang dapat dibawa oleh perekonomian global.

Untuk itu, para pemangku kebijakan dituntut lebih berani melakukan terobosan. Kebijakan makroekonomi perlu diambil dengan lebih arif dan keberanian mengambil risiko perlu dilakukan jika memang itu demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Akhirnya perlu bergerak keluar dari cateris paribus yang diyakininya selama ini, khususnya menyikapi kekuasaan modal, dominasi sektor finansial, dan globalisasi.

Sepuluh tahun setelah krisis adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengisi dekade-dekade ke depan dengan kerja keras dan kerja kolektif serta sikap saling mendukung guna mencapai suatu kehidupan yang lebih baik.

1 comment:

Unknown said...

Setuju setuju!!!
Bapak ini hebat bener!!