Sunday, July 27, 2008

BI Rate di tengah Prahara Inflasi

Tulisan ini dimuat di Harian Investor, 22 Juli 2008
Sungguh menarik mencermati keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Juli 2008 yang kembali menaikkan BI rate sebesar 25 bps. Kenaikan tersebut dilatarbelakangi oleh masih tingginya risiko perekonomian global dan tekanan inflasi ke depan. Hal ini masuk akal, mengingat inflasi sampai bulan Juni 2008 tercatat sudah mencapai 11,03% (yoy). Bank Indonesia bahkan memerkirakan inflasi di tahun 2008 akan mencapai 11,5-12,5% atau jauh melampaui targetnya yang sebesar 5+1%.

Di satu sisi, kebijakan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan yang terukur dan berhati-hati. BI Rate tidak dinaikkan secara agresif mengikuti credo atau cardinal rule dari mekanisme Inflation Targeting Framework (ITF). Dalam ITF, apabila tekanan inflasi meningkat, obat mujarabnya adalah menaikkan suku bunga. Nampaknya aturan tersebut tidak diikuti secara membabi buta oleh Bank Indonesia. BI Rate tetap naik, namun kenaikannya perlahan dalam magnitude 25 bps selama tiga bulan terakhir ini. Di sisi lain, akibatnya adalah, kebijakan menaikkan BI Rate tersebut dinilai oleh beberapa pelaku pasar sebagai sebuah kebijakan yang terlambat dan terlalu sedikit (too little, too late). Bahkan ada yang mengatakan bahwa BI sudah behind the curve dalam menyikapi inflasi kali ini.

BI Rate, too little too late
Pandangan yang mengatakan bahwa kebijakan BI sudah behind the curve tersebut didasari oleh pemikiran tentang mulai meningkatnya ekspektasi inflasi masyarakat serta tekanan sisi permintaan dalam perekonomian (aggregate demand). Apabila kenaikan permintaan tersebut tidak diimbangi secara setangkup oleh sisi penawaran, secara alamiah yang terjadi adalah kenaikan harga-harga atau inflasi. Peranan sisi permintaan memang diprakirakan masih akan kuat di tahun 2008. Survei penjualan eceran pada triwulan II-2008 mengindikasikan bahwa penjualan riil masih meningkat 4,8% (yoy). Penjualan barang elektronik dan kendaraan bermotor juga masih menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan. Apabila dilihat secara sektoral, pertumbuhan yang cukup tinggi berasal dari sektor properti yang tercermin dari peningkatan kredit properti yang pesat.

Meningkatnya tekanan sisi permintaan itu juga dipicu oleh tingginya angka pertumbuhan kredit perbankan yang mencapai 31,4% (yoy). Tingginya pertumbuhan kredit perbankan tersebut masih didominasi oleh kredit konsumsi, bukan kredit modal kerja dan kredit investasi. Pertumbuhan kredit konsumsi inilah yang perlu diwaspadai mengingat sifatnya yang begitu sensitif pada pembentukan inflasi.

Berbagai hal di atas tentu menimbulkan kekhawatiran akan memanasnya ekonomi apabila tidak diikuti oleh respon yang tepat dari kebijakan moneter. Namun sejauh mana tekanan ini perlu direspon, dan bagaimana menyeimbangkan respon kebijakan moneter antara pengendalian inflasi dan kinerja ekonomi, tentu menjadi hal yang harus dipikirkan di negeri ini. Oleh karenanya, upaya membedah secara tepat sumber-sumber tekanan inflasi menjadi penting untuk menghindari assesment yang kurang tepat dalam menyikapi tingginya tekanan inflasi.


Sumber tekanan inflasi di Indonesia
Di Indonesia, laju inflasi dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, inflasi dipengaruhi oleh harga komoditas makanan yang bergejolak (volatile food). Apabila terjadi kenaikan harga komoditas makanan tertentu, seperti minyak goreng, kedelai, terigu dll, inflasi akan melonjak. Kedua, inflasi dipengaruhi oleh harga kelompok komoditas yang diatur oleh Pemerintah (administered prices), seperti harga BBM dan listrik. Kenaikan harga BBM sebesar 28,7% lalu misalnya, secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap inflasi IHK sekitar 2,86% untuk first round dan second round effect. Ketiga, inflasi dipengaruhi oleh faktor inflasi inti (core inflation). Inflasi inti ini terdiri dari keseimbangan permintaan dan penawaran (output gap), inflasi yang disebabkan oleh faktor eksternal (imported inflation), seperti dampak kenaikan harga komoditas internasional, melemahnya nilai tukar rupiah, serta berasal dari ekspektasi inflasi masyarakat.

Dari berbagai sumber tekanan inflasi tersebut, inflasi di Indonesia saat ini terutama didorong oleh dampak dari kenaikan BBM, volatile food, dan masih tingginya imported inflation. Hal ini menunjukkan bahwa komponen terbesar dari penyebab inflasi di Indonesia berasal dari sisi nonfundamental.

Perlunya Perkakas Baru
Menyikapi sumber tekanan inflasi tersebut, kebijakan moneter dihadapkan pada sebuah pilihan kebijakan. Dalam mekanisme ITF, respon yang paling tepat dari kenaikan inflasi adalah menaikkan suku bunga. Namun diskresi terletak pada berapa besar magnitude kenaikan suku bunga tersebut. Hal inilah yang perlu menjadi pertimbangan dari kebijakan moneter di Indonesia. Tingkat inflasi yang berlebihan akan semakin memperlambat gerak perekonomian negeri. Namun di sisi lain, respon kebijakan moneter yang berlebihan (overkill) juga akan mengganggu pergerakan ekonomi tersebut. Dalam aras eksistensi paling dasar, menurunnya daya beli masyarakat dan melambatnya perekonomian akan menambah berat beban kehidupan yang harus dipikul masyarakat.

Oleh karenanya, upaya mengendalikan inflasi perlu dilakukan secara berhati-hati. Kebijakan moneter perlu mendeteksi secara jelas sumber-sumber tekanan inflasi sebelum memberikan responnya. Seberapa jauh peningkatan aggregate demand (sisi permintaan) memiliki dampak pada inflasi dan akibatnya pula pada pertumbuhan ekonomi. Kenaikan BI Rate sebesar 25 bps bulan ini sebenarnya telah memberikan sinyal kehati-hatian tersebut. Kenaikan BI Rate tidak dilakukan oleh Bank Indonesia secara membabi buta (excessive and aggresive) dan mekanistis dalam menyikapi tingginya inflasi. BI Rate juga tidak menjadi satu-satunya perkakas yang bekerja sendiri. Ia juga diimbangi oleh perkakas moneter lainnya seperti penyerapan ekses likuiditas, sterilisasi valas, dan mengoptimalkan OPT.

Adanya keterkaitan inflasi dengan produktifitas dan efisiensi perekonomian menunjukkan bahwa langkah menurunkan inflasi harus senantiasa dilakukan secara berimbang. Sementara itu, adanya keterkaitan antara inflasi dengan aspek-aspek struktural memberi implikasi bahwa pengendaliannya membutuhkan koordinasi yang terpadu antara seluruh elemen bangsa.

No comments: