Saturday, November 01, 2008

Akankah Indonesia Kembali ke Pelukan IMF?

IMF menjadi semacam mantra di krisis global yang penuh turbulensi saat ini. Perlahan tapi pasti, beberapa negara mulai masuk dalam program bantuan IMF. Eslandia, Ukrania, Hongaria telah menyerah pada krisis dan masuk menjadi pasien IMF. Eslandia menerima 2,1 miliar dollar AS, Ukraina menerima 16,5 miliar dollar AS, dan Hungaria menerima 25 miliar dollar AS dalam bentuk paket penyelamatan keuangan di bawah bendera Stand By Arrangement. Belarusia dan Pakistan adalah pasien selanjutnya. Mereka sudah angkat tangan melawan krisis. IMF memang menyediakan dana yang jumlahnya mencapai 200 miliar dollar AS untuk membantu negara anggotanya yang mengalami masalah likuiditas karena krisis global. Namun sebagai dokter, IMF tentu memberlakukan syarat-syarat ketat bagi pasien yang menerima pinjaman tersebut.

Meminta bantuan IMF juga pernah dilakukan Indonesia saat krisis tahun 1997-8 lalu. Meski kita telah berhasil keluar dari program IMF pada tahun 2004, pengalaman pahit berada dalam program itu masih membekas dalam ingatan. Di bawah program IMF, keleluasaan kita dalam mengelola ekonomi sangat terbatas karena segala sesuatu harus dilakukan dengan persetujuan IMF terlebih dulu. Siapa pula tak ingat patahan peristiwa yang menyakitkan hati bangsa, saat Presiden RI menandatangani letter of Intent (LoI), sementara di sebelahnya Managing Director IMF berdiri angkuh sambil melipat tangan. Menyikapi krisis keuangan global terjadi belakangan ini, tentu wajar bila muncul kekhawatiran dan pertanyaan, akankah kita kembali pada pelukan IMF?

Rute menuju IMF
Secara umum, sebuah negara meminta bantuan IMF apabila negara tersebut secara berturut turut atau bersamaan mengalami overheating ekonomi (biasanya ditandai dengan inflasi yang tinggi), defisit pada neraca transaksi berjalan (bahkan beberapa negara mengalami twin deficit yang cukup besar), serta kesulitan memenuhi kewajiban utang luar negeri, termasuk utang luar negeri perbankan. Dengan kondisi fundamental ekonomi yang rapuh, gejolak ekonomi akan memberikan sentimen negatif pada negara tersebut. Hal itu kemudian mendorong terjadinya aliran keluar modal asing yang berakibat pada anjloknya harga saham, melemahnya nilai tukar, dan pada gilirannya meningkatkan credit default swap (ini adalah sebuah indikator premi risiko pada suatu negara). Menghadapi melemahnya nilai tukar, biasanya bank sentral akan melakukan intervensi guna menjaga kestabilan nilai tukar. Apabila terus menerus dilakukan, hal ini menyebabkan tergerusnya cadangan devisa. Akibatnya, rating negara tersebut akan menurun, upaya pembiayaan dan kepercayaan dari luar negeri semakin tertutup, dan ujungnya, bendera putihpun dikibarkan. Negara memanggil sang dokter IMF guna perawatan.Rute permasalahan seperti itulah yang dialami oleh kelima negara yang meminta bantuan IMF. Khusus untuk Pakistan, berbagai masalah itu ditambah lagi dengan munculnya instabilitas politik di negaranya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Ibarat penyakit, demam mulai dirasakan oleh ekonomi Indonesia. Rambatan krisis dari AS mengalir melalui sektor keuangan dan perlahan menyebar ke sektor lainnya. Perekonomian negeri mulai meriang. Kondisi pasar keuangan domestik mengalami tekanan tajam sehingga nilai tukar rupiah terdepresiasi, indeks harga saham turun, dan credit default swap meningkat. Indikator lainnya hampir serupa dengan yang dialami kelima negara di atas, pertumbuhan kredit melaju tinggi, cadangan devisa menurun, inflasi meningkat, dan terjadi defisit pada neraca transaksi berjalan setelah 10 tahun selalu mencatat surplus. Apabila diruntut, kondisi itu bagai rangkaian kereta yang menjalani rute menuju jurang. Akankah kita selamat? Atau apakah di ujung jalan nanti kita akan bertemu dengan sang dokter IMF? Jawabnya tak pasti.

Meski secara umum hampir sama dengan apa yang dialami oleh kelima negara tadi, kondisi fundamental Indonesia masih sedikit lebih baik. Kondisi perbankan jauh lebih baik dibanding pada saat krisis. Berbagai indikator ketahanan menunjukkan bahwa industri perbankan kita saat ini lebih resilien. Eksposur pada utang luar negeri juga tidak separah pada saat 1998. Di sisi pertumbuhan ekonomi, kita masih melihat sebuah kegairahan dengan akan dilaksanakannya pemilu tahun depan. Hal ini diharapkan akan mendukung kuatnya konsumsi dan maraknya investasi domestik. Tekanan inflasi, yang menjadi akar dari permasalahan, juga diperkirakan menurun di tahun depan.

Namun jalan ke depan pasti tak mudah. Kita masih berada pada tahap awal krisis keuangan. Rambatannya masih bisa kemana-mana. Ujungnya kita belum tahu hendak kemana? Kita semua tentu tak ingin ini semua berujung pada sebuah mala.Kita tak ingin ada petaka lagi yang mengoyak dan mengguyah kehidupan rakyat. Berbagai langkah pemerintah untuk menanggapi gejala awal krisis tentu perlu kita beri apresiasi. Namun itu saja belum cukup. Langkah jangka panjang diperlukan. Selain itu, peranan elemen masyarakat juga penting. Saat ini, kita masih memiliki modal penting, yaitu kestabilan politik dan sosial. Tugas kita semua menjaga ketenangan ini terutama dalam menghadapi pemilu tahun depan. Apabila berbagai hal baik ini tak mampu kita jaga bersama, bukan tak mungkin kita akan mengatakan, “Welcome back Mister IMF...”

No comments: