Membandingkan Lehman Brothers dan Bakrie Brothers tentu bukan sebuah perbandingan “apple to apple”. Namun keduanya memiliki kesamaan, usaha mereka besar dan ekspansif, memiliki usia dan pengalaman yang panjang, dan sama-sama menjadi korban terjangan krisis finansial global.
Tahun 1845, Henry dan Mayer Lehman mendirikan Lehman Brothers. Bisnis awalnya adalah perdagangan kapas. Usaha Lehman kemudian berkembang pesat menjauhi bisnis kapas. Dan tahun 2008, Lehman Brothers terhempas. Tahun 1942, Achmad Bakrie mendirikan Bakrie Brothers. Bisnis awalnya adalah perdagangan kopi. Usahanya berkembang pesat merambah semua sektor. Dan tahun 2008, krisis kembali menghempas. Saham Bakrie Brothers amblas. Lehman Brothers dililit utang sampai 613 miliar dollar AS. Sahamnya amblas dari 94 dolar AS/ler lembar menjadi hanya 29 sen/lembar. Sementara Bakrie Brothers dililit utang 1,2 miliar dollar AS. Harga saham yang dimiliki Bakrie pun ikut amblas. Saham Bumi meluncur bebas dari Rp 8550/ lembar, menjadi hanya sekitar Rp 2000/lembar.
Ilmu ekonomi yang berkembang pesat sering memperumit persoalan sehingga kita kerap kehilangan kejernihan dalam melihat pokok permasalahannya. Dalam ilmu ekonomi dasar, ada satu paradigma klasik yang dipertahankan berabad-abad. Itulah kaitan intrinsik antara 3 faktor dalam proses produksi. Bila kita ingin menghasilkan produk dari kapas atau kopi, kita membutuhkan relasi antara 3 hal: modal finansial (money/capital), tenaga kerja (labor), dan tanah (land) sebagai sebuah situs untuk berproduksi. Munculnya teknologi adalah ekstensi dari ketiga hal tersebut.
Kaitan ketiganya bersifat intrinsik, dalam arti proses produksi dapat terjadi dan memberi kesejahteraan apabila ketiganya bertaut. Ditemukannya uang dan inovasi finansial telah mengubah segalanya. Berkembangnya pasar finansial telah membawa modal finansial pergi jauh meninggalkan tenaga kerja dan tanah. Globalisasi telah memperumit persoalan. Agenda kapitalisme dan neoliberalisme semakin melepas kinerja modal/uang dari kaitan intrinsiknya dengan tanah dan tenaga kerja. Kalangan bisnis dan pemilik modal semakin memperbesar kekuatan modalnya di pasar-pasar keuangan dan bursa komoditas, baik melalui utang maupun permainan harga.
Pasar saham yang tujuan awalnya adalah tempat investasi telah berubah menjadi ajang judi (J.M.Keynes, 1934). Bisnis, menurut Georg Simmel dalam bukunya The Philosophy of Money, pada awalnya bukan semata mencari keuntungan. Bisnis memiliki fungsi sosial. Ia menganjurkan agar modal finansial juga didukung oleh ketertanaman nilai pada masyarakat. Uang lahir dari semangat solidaritas sosial. Untuk menjaga keseimbangan, diciptakan badan publik. Keberadaan badan publik (pemerintah ataupun otoritas) adalah untuk menyeimbangkan kepentingan masyarakat dan pebisnis. Setiap masyarakat modern dibangun di atas perimbangan antara masyarakat, pasar, dan badan publik.
Hal ini menjadi sulit apabila kepentingan bisnis dan politik menjadi satu. Masyarakat akan ditinggalkan di sisi lain dari variabel ekonomi. Majalah The Economist pernah menulis bagaimana bahayanya poros kekuatan yang hanya bertumpu pada kekuatan politik dan bisnis hingga meninggalkan masyarakat. “The main dangers to the success of capitalism are the very people who would consider themselves its most ardent advocates: the bosses of the companies, the owners of companies, and politicians who tirelessly insist that they are pro business” (The Economist, 28/6/2003). Perimbangan kekuatan antara politik, bisnis, dan komunitas masyarakat adalah sebuah jalan penentu sehat tidaknya sebuah perekonomian. Runtuhnya Lehman Brothers dan prahara yang menimpa Bakrie Brothers menjadi semacam penanda betapa rumitnya hubungan antar poros dalam sistem perekonomian kita.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment