
Di dalam negeri, beberapa partai dan calon presiden juga membawa-bawa isu kapitalisme dalam kampanyenya. Sistem kapitalisme dan pasar bebas dituding sebagai biang kerok masalah dan tidak tepat diterapkan di Indonesia. Sistem kapitalisme dituding hanya membawa keuntungan bagi yang berpunya. Sementara yang miskin kerap terlupakan. Kapitalisme dianggap menyalahi kodrat manusia.
Tapi, benarkah kapitalisme itu salah. Tulisan ini adalah sebuah pembelaan terhadap kapitalisme dan pasar bebas secara esensi. Kita perlu mendudukan kapitalisme dan pasar bebas pada akarnya sebelum terjadi salah kaprah dan kitapun berburuk sangka (su’udzon) terhadapnya. Karena esensi dasar manusia adalah juga kapitalis, maka tentu kapitalisme bukan sesuatu yang diharamkan.
Kapitalisme pertama memang pernah terjadi di tanah surga. Saat itu Tuhan memberi kebebasan pada Adam untuk melakukan apa saja dan memakan apa saja, kecuali mendekati pohon khuldi. Namun Adam tak mampu menahan godaan. Meski ia bebas memiliki segalanya, buah khuldi disikatnya juga. Fenomena buah Khuldi ini menjadi dasar keserakahan dan ketidakcukupan manusia. Tapi Tuhan memahami ciptaannya yang secara esensi memiliki sifat serakah dan hanya peduli mengejar kepentingannya sendiri (self interest). Oleh karenanya, ia memberi dunia pada Adam untuk ditinggali dan mengelola self interest itu sebaik-baiknya demi kesejahteraan tatanan masyarakat.
Entah kenapa, beribu tahun kemudian lahir Bapak Kapitalisme yang juga bernama Adam. Ia pastinya keturunan Nabi Adam. Nama lengkapnya Adam Smith (1725 – 1790). Entah kebetulan, entah tidak, tapi Adam Smith juga melahirkan ajaran tentang pasar bebas dan kapitalisme. Adam yang ini bukan seorang nabi, dan ia juga bukan seorang ekonom, karena ilmu ekonomi belum lahir kala itu. Adam Smith adalah seorang filsuf moral. Pertanyaan yang ada dalam benaknya adalah mengenai moralitas manusia. Bagaimana sifat manusia yang serakah dan mengejar kepentingannya sendiri dapat menciptakan tatanan dalam masyarakat. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang maha besar yang terus memburu jawaban.

Syarat dapat berjalannya pasar bebas dan rasa merasa ini adalah juga adanya dukungan dari beberapa institusi, termasuk pelayanan publik seperti sekolah, kesehatan, dan tentunya regulasi negara dan finansial terhadap si miskin. Hal ini perlu ada untuk mengurangi instabilitas, ketidakseimbangan, dan ketidakadilan. Bagi yang menganggap teori Adam Smith semata meletakkan kebebasan pada pasar, mereka tentu salah besar. Adam Smith justru menulis pentingnya tugas Pemerintah dalam mensejahterakan warganya (The Wealth of Nation, hal 687-688).

Buat yang ingin merujuk dari sisi agama, kita tentu ingat hadits Rasulullah Muhammad saw tentang kejadian lonjakan harga di Mekah pada suatu masa. Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Dalam riwayat itu dikatakan: “Pada zaman Rasulullah saw terjadi lonjakan harga di pasar, lalu sekelompok orang menghadap Rasulullah saw seraya mereka berkata:’Ya Rasulullah, harga-harga di pasar melonjak begitu tinggi, tolong patoklah harga tersebut’.
Rasulullah saw menjawab, ’sesungguhnya Allahlah yang (pada hakekatnya) menetapkan harga, dan menurunkannya, melapangkan dan meluaskan rezki. Janganlah seseorang diantara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta maupun nyawa’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Di sini kita melihat bahwa Rasulullah menolak pematokan harga dan menyerahkan harga komoditas pada mekanisme pasar bebas, meskipun mungkin saat itu para petani dan nelayan dirugikan. Hal ini karena kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh mekanisme pasar, dan bukan aksi spekulasi. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas, maka wajar harga barang tersebut naik. Dalam keadaan demikian Rasulullah saw tidak mau campur tangan membatasi harga komoditas di pasar tersebut, karena policy dan tindakan seperti ini dapat menzalimi hak para pedagang.
Di sini kita memahami, bahwa kapitalisme bukan melulu tentang keserakahan. Ia adalah juga tentang keseimbangan kodrat manusia. Ia adalah juga tentang kesejahteraan dan keluhuran. Ia juga mensyaratkan sifat hati –hati dan keutamaan (prudence and virtue). Keserakahan muncul karena kurangnya simpati, bukan karena kesalahan kapitalisme. Salam.
No comments:
Post a Comment