Sunday, October 12, 2008

"Tanggap ing Sasmita" Krisis Keuangan AS

Rabu sore, 17 September 2008, artis jelita Christy Carlson Romano direncanakan hadir untuk membunyikan bel penutupan di lantai perdagangan New York Stock Exchange (NYSE). Kehadiran Christy sekaligus menandai debutnya di pertunjukan musikal Broadway “Avenue Q”. Dalam pertunjukan itu, ia memainkan dua peran, seorang guru taman kanak-kanak yang romantis dan penyanyi klub malam yang menggoda. Namun realita tak demikian, sore itu bukan Christy Carlson Romano, melainkan seorang petugas NYSE yang muncul sebentar untuk membunyikan bel penutupan perdagangan. Bel berbunyi dan dia menghilang. Lantai saham senyap, hening, tak ada lambaian, tak ada tepukan, hanya ada keterdiaman. Sore itu, bukan hanya di Amerika Serikat, namun di pasar keuangan seluruh dunia, gairah untuk tertawa seolah raib bersama ambruknya Lehman Brothers. Keruntuhan Lehman Brothers tersebut menyusul rentetan ambruknya lembaga-lembaga keuangan global lainnya.

Hari-hari selanjutnya seluruh mata dunia menatap perkembangan yang terjadi di AS dari detik ke detik. Pengambilan keputusan untuk memberikan dana talangan (bail out) sebesar USD 700 miliar oleh DPR AS menjadi momen yang paling dinantikan oleh dunia. Saat RUU paket dana talangan itu disetujui, terselip sedikit nafas lega akan sebuah harapan, meski itu masih jauh dari penyelesaian krisis. Rambatan krisis tersebut terus dirasakan di Eropa, Asia, dan pada ujungnya membuat “meriang” perekonomian Indonesia.

Dampak krisis global ke Indonesia
Indonesia sebagai negara ekonomi terbuka tak dapat dipungkiri berada dalam ayunan globalisasi. Kemana ayunan itu mengarah, kesana kita dibawa. Dampak langsungnya adalah penyesuaian portfolio para investor asing di pasar keuangan. Akibatnya kita saksikan sendiri bagaimana IHSG tertekan, yield SUN jangka pendek meningkat, dan pada gilirannya terjadi tekanan di pasar reksadana. Paniknya pasar menyebabkan Bursa Efek Indonesia harus "tutup" perdagangan. Rupiahpun melemah tak terkontrol mengikuti ayunan pelemahan global. Wajar ini terjadi, karena besarnya kepemilikan saham asing di bursa efek Indonesia, yang saat ini berjumlah 64% dari total kepemilikan. Selain itu, dana asing di pasar SUN dan SBI yang saat ini berjumlah sekitar 14 miliar dollar AS juga sungguh mengkhawatirkan. Komposisi portfolio ini di satu sisi membawa dampak positif karena membawa likuiditas berupa aliran modal masuk. Namun dana ini juga sewaktu-waktu dapat berbalik arah (capital outflow) dan merugikan perekonomian negeri sebagaimana yang terjadi.

Di sisi lain , krisis keuangan di AS tersebut juga berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia, khususnya yang tercermin di sisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Apabila krisis keuangan global ini berlanjut, ekspor Indonesia akan tertekan dan memengaruhi kinerja NPI. Ekspor kita saat ini masih mengandalkan pada sektor yang berbasis sumber daya alam dan peningkatan harga komoditas internasional. Melemahnya ekonomi global dan turunnya harga komoditas pada gilirannya tentu akan menurunkan ekspor. Alhasil, peranan ekspor yang selama ini menjadi cushion bagi perekonomian nasional akan berkurang. Sementara itu, masih tingginya permintaan di dalam negeri mendorong meningkatnya impor barang-barang dari luar negeri yang kemudian akan menekan posisi transaksi berjalan dalam jangka pendek.

Hikmah dari krisis keuangan AS
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi perkembangan yang terjadi tersebut? Tentu kita harus bersikap reflektif dan terbuka. Dalam jangka pendek , apa yang terjadi di AS memang memberi tekanan pada ekonomi domestik. Namun sebenarnya, krisis tersebut dapat menjadi sebuah momentum yang tepat bagi kita untuk memantapkan langkah dalam membangun ekonomi negeri. Kita seolah diingatkan bahwa upaya membesarkan sektor keuangan harus seiring dengan upaya membangun ekonomi di sektor riil.

Saat ini kita memiliki fondasi kestabilan makroekonomi yang jauh lebih baik dibanding setelah krisis. Bahkan di tengah tekanan krisis global seperti ini, ekonomi kita masih dapat tumbuh pada kisaran 6 persen. Pertumbuhan ini harus dapat terus memberi manfaat khususnya pada kehidupan rakyat berupa penurunan kemiskinan dan pengangguran. Tidak ada jalan lain selain memperbaiki kinerja ekonomi kita. Pertama, upaya meningkatkan kinerja sektor riil, membangun daya saing dan diversifikasi ekspor, memperkuat basis UMKM khususnya pertanian dan kelautan dalam menyerap tenaga kerja, serta memicu investasi adalah langkah yang tak dapat ditawar lagi. Harus diakui bahwa peningkatan kinerja ekonomi kita saat ini bukan ditunjang sepenuhnya oleh peningkatan sektor riil, tetapi oleh peningkatan harga komoditas dan kinerja sektor keuangan. Memang terkesan klasik dan membosankan, namun hal ini harus terus dikumandangkan. Upaya melakukan penanaman kembali (re-embeddedness) sektor keuangan pada sektor riil adalah hakikat asali dari sebuah pembangunan ekonomi. Kedua, meneruskan kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dan berhati-hati dan berpihak pada rakyat. Kebijakan yang ditempuh oleh otoritas saat ini dinilai sudah mampu memberikan ketenangan pada pasar karena sifatnya yang konsisten, berhati-hati, dan market friendly. Hal ini merupakan modal kepercayaan para investor terhadap pengelolaan ekonomi makro.

Akhirnya, kita perlu tanggap ing sasmita atau mampu menangkap tanda-tanda yang diberikan alam. Krisis AS adalah sebuah penanda bagi kita semua dalam melakukan refleksi akan pengelolaan ekonomi negeri . Kita pernah diberikan penanda melalui krisis tahun 1997/98, kita diingatkan kembali dengan krisis keuangan di AS tahun 2007/08. Jangan sampai ada peringatan ketiga. Karena saat itu datang, bisa jadi kita sudah terlambat dalam membenahi ekonomi negeri.

No comments: