“The Job of a central bank is to worry...”, demikian adagium yang sering diucapkan tentang tugas bank sentral. Menghadapi krisis keuangan yang terjadi di AS akhir-akhir ini, bank sentral kembali berada dalam sorotan. Tak terkecuali di Indonesia. Kebijakan Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan BI Rate menjadi 9,5% bulan Oktober 2008, menuai kritik dan kecaman. Di tengah penurunan suku bunga yang dilakukan di negara-negara lain, di tengah ancaman resesi dunia dan perlambatan ekonomi, mengapa BI justru menaikkan BI Rate? Langkah ini dianggap sebagai langkah yang egois, blunder, dan tidak memikirkan kehidupan masyarakat kebanyakan. Bank Indonesia dihadapkan pada sebuah risiko kredibilitas.
BI Rate yang blunder?
Henry Paulson, menteri keuangan AS, saat mengumumkan paket bail out sebesar 700 miliar dollar AS, kira-kira mengatakan bahwa setiap negara memiliki karakteristiknya sendiri. Inti dari pernyataan Menkeu AS tersebut, bijaklah dalam mengadopsi kebijakan. Krisis yang mengimbas dan menyebar dirasakan berbeda oleh masing-masing negara. Ketahanan, kondisi, dan kekuatan masing-masing akan sangat menentukan sampai seberapa ia bertahan. Indonesia adalah sebuah keunikan tersendiri. Saat ekonomi dunia melesu sejak pertengahan 2007 lalu, perekonomian domestik justru melaju kencang. Ancaman resesi yang dirasakan oleh negara lain, tidak serta merta dirasakan di Indonesia. Hal ini diindikasikan oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi dalam tujuh triwulan terakhir. Dalam kurun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru melejit pada kisaran di atas 6%. Padahal saat itu, banyak negara mengoreksi pertumbuhannya.
Faktor utama tingginya pertumbuhan adalah konsumsi masyarakat dan ekspor yang tinggi seiring dengan tingginya harga komoditas internasional. Selain itu, dukungan dari kredit perbankan yang tumbuh lebih dari 32% pertahun menjadi pendorong meningkatnya permintaan. Konsumsi masyarakat menjadi sumber utama pemicu kuatnya pertumbuhan ekonomi. Dengan jumlah rakyat lebih dari 200 juta, konsumsi memang motor pertumbuhan kita. Apabila kita melihat secara sektoral, laju sektor properti tumbuh pesat mencapai 8% setahun. Pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor, juga terus meningkat di seluruh Indonesia. Tidak ada yang salah memang dengan pertumbuhan dari sisi permintaan ini. Namun permintaan yang melaju eksesif akan sangat membahayakan perekonomian apabila tidak diimbangi oleh pasokan memadai dari sisi penawaran. Hal itu akan membawa ekonomi pada sebuah guyah ketidakstabilan.
Saat ini, harga komoditas dunia mulai menurun. Imbasnya adalah ekspor kita yang juga menurun yang akan berdampak pada prospek pertumbuhan ke depan. Namun, permintaan domestik masih tinggi. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan impor, baik untuk bahan baku dan modal, maupun barang konsumsi. Akibatnya, terjadi tekanan di Neraca Pembayaran Indonesia. Defisit transaksi berjalan mulai terjadi pada triwulan II-2008. Seiring dengan itu, nilai tukar mulai melemah. Ekspektasi inflasi juga meningkat. Hal ini menjadi sebuah penanda akan perlunya kita mencermati ketahanan perekonomian.
Untuk itu, kebijakan menaikkan BI Rate nampaknya dilandasi oleh sebuah raison d’etre yang jelas, dan bukan saran dari IMF seperti yang dituding beberapa pihak. Tingginya permintaan, masih tingginya ekspektasi inflasi, dan dampak dari kenaikan harga barang impor seiring dengan melemahnya rupiah, menjadi hal yang perlu diwaspadai. Reaktif? BI melakukan kenaikan BI Rate sejak bulan Mei 2008, di saat negara lain masih mencermati perkembangan global. Langkah ini dinilai kalangan investor sebagai langkah proaktif. Credo-nya jelas, permintaan yang terlalu tinggi, terutama dari kalangan menengah ke atas, perlu dikendalikan guna menjaga kestabilan bagi kepentingan masyarakat secara luas.
BI Rate ke depan
Menghadapi dampak dari krisis keuangan AS ke depan, tentu fokus utama yang perlu dipikirkan adalah menjaga stabilitas perekonomian. Kestabilan ini menjadi penting karena ia adalah sebuah element of continuity yang perlu kita jaga bersama. Pengalaman krisis 1997-8 perlu menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak “blunder” dalam mengambil kebijakan. Sumber-sumber masalah, utamanya sumber ketidakstabilan ekonomi dan inflasi, perlu ditelisik dengan baik.
Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berupaya menyelesaikan berbagai masalah mendesak akibat dampak krisis AS. BI Rate adalah sebuah instrumen kebijakan moneter yang merupakan respon dari state of the economy dan signal bagi pencapaian inflasi ke depan. Berbagai tekanan pada kestabilan dan prospek inflasi tercermin pada keputusan BI Rate. Namun, BI Rate tak dapat berdiri sendiri. Ia harus didukung oleh instrumen moneter lain yang dimiliki oleh bank sentral, seperti intervensi valas, moral suasion, manajemen likuiditas, dan GWM. Oleh karenanya, upaya untuk melihat dampak kebijakan dalam spektrum menengah panjang menjadi penting. Tentu, orkestrasi kebijakan BI yang selaras diharapkan tidak memberi sinyal yang membingungkan dan berdampak negatif bagi masyarakat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment