Friday, October 24, 2008

Indonesia Dalam Bayang Neoliberal

Apakah ada alternatif lain yang lebih baik dari neolib? Sejak Margaret Thatcher mengatakan T.I.N.A (There Is No Alternatives), neoliberal seolah menjadi pilihan niscaya bagi kemakmuran dunia. Neolib meyakinkan kita bahwa pilihan kebijakan untuk mengatasi kemiskinan di muka dunia adalah melalui perdagangan bebas (free trade) dan pasar bebas (free market). Segala upaya untuk menegakkan paham ini disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai institusi internasional maupun pelajaran ekonomi di berbagai universitas. Arus modal yang bergerak bebas antar daerah dan negara, dipandang sebagai hal strategis yang harus dilakukan setiap negara. Berbagai rintangan yang menghambat gerak modal tersebut (seperti tariff, tax, dan kontrol lainnya) harus dihilangkan (David Harvey, 2005). Kedaulatan negara atas komoditas dan arus modal seolah menyerah pada kekuatan pasar global.

Hal nyata yang terjadi kemudian adalah sebuah akumulasi modal yang luar biasa besarnya di pasar-pasar keuangan dunia. Akumulasi ini membalon sedemikian besar hingga pada akhirnya pecah saat krisis subprime mortgage menyeruak. Bangkrutnya Lehman Brothers pada akhir September 2008, melengkapi rentetan rontoknya lembaga-lembaga keuangan besar di dunia. Setelah Bear and Sterns, Fannie Mae, Fredie Mac, Indy Mac, Northern Rock, Merrill Lynch, hingga AIG, institusi keuangan global yang semula tampil bagai pilar yang kokoh, ternyata tak lebih dari sekedar buih yang rapuh. Wall Street yang selama ini diagung-agungkan sebagai fondasi hegemoni kapitalisme AS, kini justru menjadi episentrum dari runtuhnya pasar keuangan global. Perkembangan yang begitu cepat dengan efek ramifikasi yang luas ke seluruh penjuru dunia membuat tak ada seorangpun yang berani meramalkan apa yang akan terjadi ke depan. Kita melihat krisis mengimbas ke pasar saham yang jatuh secara signifikan, diikuti oleh indeks-indeks di bursa-bursa saham seluruh dunia. Krisis tersebut memasuki periode yang makin berbahaya dengan nyaris lumpuhnya pasar surat utang karena investor di berbagai penjuru dunia yang panik.

Menyikapi hal ini, apakah neolib menyerah? Menarik untuk membaca hasil pertemuan Presiden Bush dengan negara-negara G-20 di Washington DC tanggal 15 November lalu. Press Release yang dikeluarkan oleh Press Secretary, Dana Perino, menulis "The summit will also provide an important opportunity for leaders to strengthen the underpinnings of capitalism by discussing how they can enhance their commitment to open, competitive economies, as well as trade and investment liberalization..." Intinya, neolib belum menyerah. Siaran pers itu mengingatkan bahwa jangan sampai krisis keuangan ini menodai semangat kapitalisme dan komitmen negara-negara pada sebuah ekonomi yang terbuka dan kompetitif.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memang diombang ambing dalam ayunan globalisasi saat ini. Krisis keuangan yang terjadi di AS saat ini, serta merta memberi tekanan pada pasar keuangan RI. Jalur finansial dan jalur perdagangan internasional adalah jalan efek itu menyebar pada ekonomi kita. Globalisasi tak dapat kita hindari. Semangat neolib juga tak dapat begitu saja kita nafikkan. Hanya saja, kita punya pilihan. Bangsa Indonesia adalah bangsa berdaulat yang harus memilih jalannya sendiri dalam menyejahterakan rakyatnya. Krisis ini jangan dilihat sebagai bencana, namun sebuah peluang.

Kita patut memberi apresiasi atas langkah yang tanggap dan cepat dari pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dalam menyikapi dampak jangka pendek krisis keuangan ini. Langkah tersebut dilakukan secara tepat guna mengurangi kepanikan pasar. Oleh karenanya, setelah berhasil dengan baik menelurkan kebijakan saat "dihantam badai", kebijakan "pasca badai" perlu segera dirumuskan. Apa itu kebijakan "pasca badai"? itulah sebuah kebijakan yang menanamkan kembali sektor keuangan pada rahimnya sendiri, yaitu sektor riil. Ancaman dan bahaya neolib akan bisa dikurangi apabila kita melakukan kompromi dengan pasar. Krisis ini memberi pelajaran yang sangat berarti bagi kita bahwa sektor keuangan tak bisa melaju sendiri tanpa terkait pada sektor riil. Apabila kebijakan "pasca badai" dapat dirumuskan dan diaplikasikan dengan baik, kita berharap ekonomi Indonesia akan lebih berkesinambungan dan memberi kesejahteraan. Itulah peluang dari krisis keuangan AS saat ini. Tetap waspada pada paham neolib agar tidak mengguyah kedaulatan NKRI. Salam.

No comments: