Monday, October 20, 2008

Empat Stadium Krisis Moneter

Salah satu dosen mata kuliah ekonomi saya, sembari santai bercerita bahwa krisis ekonomi itu mirip seperti kanker. Ada empat stadium yang berbeda-beda. Pengobatannyapun tergantung pada stadiumnya masing-masing. Yang paling parah bila krisis mencapai tahap kanker Stadium keempat. Ini disebut dengan Depresi. Depresi ditandai oleh amblasnya bursa saham, pasar keuangan, turunnya pertumbuhan, dan meluasnya pengangguran serta kemiskinan. Berbagai masalah sosialpun muncul. Hal ini pernah terjadi saat The Great Depresion tahun 1929-30 di AS. Ekonomi AS saat itu runtuh. Stadium ketiga, adalah Resesi. Kondisi ini ditandai oleh turunnya pertumbuhan ekonomi selama tiga triwulan berturut-turut. Dampaknya adalah pengangguran yang meningkat, kemiskinan yang meluas, dan kehidupan yang bertambah sulit. Apabila tidak ditangani dengan baik, resesi akan berakhir depresi.

Stadium kedua, adalah Stagflasi. Periode ini terjadi ketika inflasi dan stagnasi (yaitu, menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran) terjadi secara bersamaan. Istilah stagflasi pertama kali disebutkan oleh United Kingdom Chancellor of the Exchequer Iain MacLeod dalam pidatonya di hadapan parlemen pada tahun 1965. "Stag" berasal dari suku kata pertama "Stagnasi", yang merujuk pada menurunnya kondisi ekonomi, sementara "flasi" berasal dari suku kata kedua dan ketiga "inflasi", yang merujuk pada naiknya harga barang-barang secara umum dan terjadi secara terus menerus.

Stadium pertama, ini yang paling penting kita cermati, adalah Emosi. Nah, stadium inilah yang saat ini menimpa ekonomi Indonesia. Saat ini muncul kekhawatiran dan kepanikan dari pelaku pasar akan dampak krisis AS terhadap perekonomian domestik. Terjadilah luapan emosi atau irasionalitas dari pasar. Ditutupnya Bursa Efek Indonesia, melemahnya nilai tukar, adalah cerminan kepanikan dari pelaku pasar. Inilah emosi. Menghadapi emosi, kepala dingin sangat diperlukan. Kita patut memberi apresiasi pada otoritas pemerintah maupun moneter yang tidak terbawa emosi. Di saat krisis merebak, berbagai persoalan jangka pendek segera ditangani dengan tanggap. Upaya penyediaan Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan dinilai sebagai kebijakan yang tanggap cepat. Yang menarik juga adalah upaya BI dalam menenangkan pasar dengan mengeluarkan beberapa paket kebijakan pelonggaran likuiditas untuk menyelesaikan masalah keketatan likuiditas di perbankan dalam jangka pendek. Selain itu, upaya meningkatkan batas maksimum penjaminan dana nasabah di bank, dari Rp100 juta ke Rp 2 milyar dianggap mampu menenangkan pasar. Bayangkan bila kebijakan ini baru diambil saat terjadi bank rush seperti tahun 1998. Tentu tak akan kredibel. Inilah langkah yang pre-emptive. Dilakukan sebelum emosi meledak. Mudah-mudahan krisis dapat kita lewati dengan baik dan tidak berkembang biak bagai kanker hingga stadium empat. Naudzubillahi min dzalik.

No comments: