“Madness is rare in individuals, but in groups, parties, nations, and ages, it is the rule.” - Friedrich Nietzsche
Pernahkah kita berkendara menerobos lampu merah? Namun kita melakukannya bukan karena situasi jalan yang sepi. Kita lakukan itu semata karena kita melihat ada kendaraan lain yang menerobos, kemudian diikuti oleh kendaraan-kendaraan lainnya. Di pasar keuangan, perilaku seperti itu dinamakan perilaku naluri kerumunan hewan (herd instinct). Perilaku itulah yang menyebabkan pasar keuangan mengalami panik dan membuat pasar modal runtuh (crash) ataupun nilai tukar amblas. Naluri kerumunan hewan yang biasa terjadi di pasar modal ataupun pasar uang sering membuat orang mencoba untuk ikut-ikutan. Mereka masuk ke pasar modal secara irasional dan membeli saham apa pun yang ada dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan besar. Ketika kemudian hasilnya tidak seperti yang diharapkan, mereka segera melepas kembali untuk mengurangi kerugian.
Pengalaman kita di tahun 1998 menunjukkan bahwa herd instinct menjadi awal dari krisis ekonomi. Perilaku tersebut kembali terulang pada Oktober 2005 saat harga minyak dunia melonjak, dan Agustus 2007 saat krisis kredit hipotek perumahan AS (subprime mortgage) terjadi. Tahun 2008 ini, hal itu terjadi lagi saat Bursa Efek Indonesia sempat dihentikan perdagangannya. Harga saham anjlok, semua orang secara panik melakukan aksi jual tanpa berpikir lagi. Terakhir, pekan lalu, saat nilai tukar rupiah menembus angka Rp10.000 per dollar AS. Semua orang, para profesional pasar keuangan, bahkan ibu rumah tangga, beramai-ramai menukar tabungannya ke dollar. Rupiah yang tertekan, makin tertekan. Mengapa para profesional pasar keuangan, bisa berperilaku seperti kawanan hewan yang ditandai oleh kegilaan dan kepanikan (manias and panics)? Adakah cara mengatasi perilaku tersebut?
Profesional yang Rasional
Friederich Hegel, seorang filsuf, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional dan memiliki kesadaran diri (a rational and self conscious create). Sementara itu, Jack Bogle (1951), ekonom dari Princeton, mengatakan bahwa munculnya para profesional yang mengelola dana masyarakat di pasar keuangan (fund manager) akan melahirkan sebuah sebuah pasar yang tenang dan rasional. Dalam pandangan Bogle, profesional tersebut, memiliki kemampuan rasio dan pendidikan yang dapat mencegah pasar dari kegilaan dan kepanikan. Dan di tahun 1960, para akademisi di bidang keuangan meyakini bahwa para profesional akan menjaga harga saham sejalan dengan nilai bukunya. Hal ini bertentangan dengan pendapat John Maynard Keynes (1941) yang mengatakan bahwa pasar keuangan adalah sebuah kasino, kolam tempat spekulasi (a 'casino,' a 'whirlpool of speculation).
Seiring dengan berjalannya waktu, ramalan Keynes terbukti lebih akurat. Krisis demi krisis terjadi disebabkan oleh perilaku tidak rasional dari para profesional. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan bahwa akal sehat bergantung pada situasi, namun rasio tidak bergantung pada situasi. Para profesional keuangan adalah juga manusia yang menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang sama dengan investor-investor amatir. Apalagi mereka mengelola dana masyarakat. Jika mereka menentang pasar, risikonya adalah ditinggalkan pasar.
Membangun Kepercayaan di antara Kerumunan Hewan
Krisis mengajarkan pada kita bahwa perilaku irasional justru memperparah krisis. Ketika irasionalitas itu mulai merambah pada aksi penarikan dana besar-besaran di bank (rush), memburu dan menumpuk kebutuhan pokok, serta memborong barang tanpa berpikir, perekonomian dipastikan akan semakin sulit. Kita menyadari bahwa irasionalitas ini adalah sifat yang manusiawi. Ditambah lagi, kita hidup dalam dunia digital dan tekhnologi informasi yang semakin mengglobal. Ruang dan waktu terasa semakin sempit. Informasi, isu, gosip, begitu cepat bertebaran.
Menghadapi krisis keuangan saat ini, hal terpenting adalah membangun kredibilitas dan kepercayaan. Fukuyama mengatakan bahwa “Trust is a Social Capital”, Kepercayaan adalah sebuah modal sosial. Bagaimana pemerintah dan otoritas mampu membangun kepercayaan adalah kunci utama kita dalam mengarungi krisis. Pemerintah diharapkan tidak menelurkan kebijakan yang panik dan blunder sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat kita juga akan menghadapi pesta demokrasi, dimana suasana dapat menghangat dan berbalik setiap saat.
Tanpa adanya kepercayaan, yang terjadi adalah kekacauan. Hal ini juga dikatakan oleh salah seorang pejabat IMF, bahwa yang terjadi kini adalah “loss of confidence, regardless the fundamental”, hilangnya kepercayaan tanpa memikirkan masalah fundamental sebenarnya. Statement itu benar adanya. Kalau melihat kondisi fundamental, saat ini perekonomian Indonesia sudah jauh lebih baik dibanding saat krisis 1997-8. Pemerintah juga lebih tanggap dalam menghadapi krisis. Upaya menjaga terus kepercayaan ini menjadi penting. Globalisasi memang penuh ambivalensi. Menghadapinya, kita harus rela menerima kenyataan bahwa kegilaan dan perilaku kerumunan hewan di pasar keuangan, ada dan tak terelakkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment